Lawang Sewu, Cagar Budaya Jawa Tengah


Bagi warga Jawa Tengah, nama Lawang Sewu tentu sudah tidak asing lagi. Ini adalah nama sebuah bangunan kuno yang letaknya persis di tengah kota Semarang, tepatnya di daerah Tugu Muda. Disebut "lawang sewu" (pintu seribu) karena bangunan peninggalan jaman Belanda ini memang memiliki pintu yang banyak sekali.

Lawangsewu dibangun tahun 1908, yang dikerjakan oleh arsitek Belanda Profesor Klinkkaner dan Quendaag. Tahun 1920, gedung ini mulai dipakai sebagai kantor pusat Nederlandsch Indische Spoor-weg Maatschapij (NIS), sebuah maskapai atau perusahaan kereta api pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1864.

Jalur pertama yang dilayani saat itu adalah Semarang - Yogyakarta. Pembangunan jalur itu dimulai 17 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Sloet van Den Beele. Tiga tahun kemudian, yaitu 19 Juli 1868 kereta api yang mengangkut penumpang umum sudah melayani jalur sejauh 25 km dari Semarang ke Tanggung.

Saat itu arsitek yang mendapat kepercayaan untuk membuat desain adalah Ir P de Rieau. Ada beberapa cetak biru bangunan itu, antara lain A 387 Ned. Ind. Spooweg Maatschappij yang dibuat Februari 1902, A 388 E Idem Lengtedoorsnede bulan September 1902, dan A 541 NISM Semarang Voorgevel Langevlenel yang dibuat tahun 1903. Ketiga cetak biru tersebut dibuat di Amsterdam.

Dengan beroperasinya jalur tersebut, NIS membutuhkan kantor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Lokasi yang dipilih kemudian adalah di ujung Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda). Lokasi itu merupakan perempatan Jalan Pandanaran, Jalan Dr Soetomo, dan Jalan Siliwangi (kini Jalan Soegijapranata).

Namun sampai Sloet Van Den Beele meninggal, pembangunan gedung itu belum dimulai. Pemerintah Belanda kemudian menunjuk Prof Jacob K Klinkhamer di Delft dan BJ Oudang untuk membangun gedung NIS di Semarang dengan mengacu arsitektur gaya Belanda.

Lokasi yang dipilih adalah lahan seluas 18.232 meter persegi di ujung Jalan Bojong, berdekatan dengan Jalan Pandanaran dan Jalan Dr Soetomo. Tampaknya posisi itu kemudian mengilhami dua arsitektur dari Belanda tersebut untuk membuat gedung bersayap, terdiri atas gedung induk, sayap kiri, dan sayap kanan.
Sebelum pembangunan dilakukan, calon lokasi gedung tersebut dikeruk sedalam 4 meter. Selanjutnya galian itu diurug dengan pasir vulkanik yang diambil dari Gunung Merapi.

Pondasi pertama dibuat 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati.

Setiap hari ratusan orang pribumi menggarap gedung ini. Lawang Sewu resmi digunakan tanggal 1 Juli 1907. Dalam perkembangannya, Lawang Sewu juga terkait dengan sejarah pertempuran lima hari di Semarang yang terpusat di kawasan proliman (Simpanglima) yang saat ini dikenal sebagai Tugu Muda.

Saat meletus Pertempuran Lima Hari di Semarang, 14-18 Agustus 1945, Lawangsewu dan sekitarnya menjadi pusat pertempuran antara laskar Indonesia dan tentara Jepang.Pada peristiwa bersejarah tersebut, gugur puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Lima di antaranya dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu. Mereka adalah:Noersam, Salamoen, Roesman, RM Soetardjo, dan RM Moenardi.

Untuk memperingati mereka, di sebelah kiri pintu masuk (gerbang) didirikan sebuah tugu peringatan bertuliskan nama para pejuang Indonesia yang gugur.

Perusahaan kereta api kemudian menyerahkan halaman depan seluas 3.542,40 meter persegi pada Pemda Kodya Semarang. Sedangkan makam lima jenasah di halaman itu, 2 Juli 1975 dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dengan Inspektur Upacara Gubernur Jateng Soepardjo Roestam.

Menelusuri lebih dalam Lawang Sewu
Mengapa banyak orang menyebutnya Lawang Sewu, bahwa bangunan tersebut memiliki banyak pintu. Jika diartikan pintu dalam bahasa Jawa ‘Lawang’ sedangkan ‘Sewu’ itu seribu berarti “Pintu seribu”, entah siapa yang menamakan dan menghitung pintu-pintu itu!, yang jelas nama Lawang Sewu sudah melekat di setiap orang Indonesia sampai saat ini.

Kami pun mencoba melangkahkan kaki untuk masuk kedalam gedung. Dari pintu utama kami langsung dihadapkan sebuah tangga besar menuju lantai 2. Di bagian tangga terpasang sebuah kaca grafir yang menutupi jendela dengan ukiran yang indah . Memang, awal yang dirasakan saat memasuki bangunan ini agak sedikit berbeda, lorong-lorong yang minimnya pencahayaan membuat suasana agak sedikit mistis.

Akan tetapi, semua itu disambut oleh keindahan pemandangan hiasan kaca-kaca patri yang penuh warna warni di puncak anak tangga. Dinding dan tiang-tiang yang masih kokoh melengkapi kemegahan struktur bangunan itu. Terpesona akan semua itu, kami melanjutkan menelusuri bagian ruangan yang lain. Memasuki bagian atas dan berdiri disalah satu balkonnya, terlihat kesibukan kendaraan-kendaraan dijalan raya serta disuguhi pemandangan taman kota di tengah bundaran jalan.

“Penjara Bawah Tanah”
Setelah puas menelusuri bagian atas, kami pun turun dan mengelilingi bagian dasar bangunan. Pintu-pintu tinggi yang berjajar dibagian sayap gedung, mengingatkan seperti apa kesibukan pada waktu itu. Adapula sebuah ruangan yang katanya berisi peninggalan jaman Belanda. Pintunya sangat kokoh sehingga belum berhasil dijebol hingga saat ini. Jadi ada kemungkinan di dalamnya masih banyak tersimpan uang dan harta benda lainnya. Benarkah demikian?

Melihat seluruh kondisi fisik eksterior maupun interiornya meski kurang terawat, decak kagum pun ada dalam diri. Bangunan bersejarah Lawang Sewu tetap menyisakan keelokan arsitektur dimasa lalu.

Puas berkeliling dibagian dasar ruangan, kami pun ketempat dimana terdapat penjara bawah tanah. Cukup dengan uang Rp 5000,-/orang kami bisa melihat ruangan-ruangan yang dahulunya sebagai tempat penjara dan penyiksaan tahanan.

Penjara yang dimaksud berlokasi dibawah tanah, mempunyai kedalam 3 meter dari permukaan. kami ditemani oleh pemandu untuk menelusuri lorong selebar kurang lebih 1,5 meter dengan ketinggian langit-langit 2 meter tanpa ada cahaya. Dengan bantuan senter besar kami memulai perjalanan, aroma yang sumpek serta genangan air mengawali penelelusuran ini, namun semua itu tidak menjadi kendala bagi kami, untuk mengetahui apa saja yang ada di sini (penjara). Dengan rasa sedikit takut, pemandu mulai menunjukan kamar-kamar disebelah kiri maupun kanan lorong. Dahulu disini adalah tempat penyiksaan bagi para tahanan oleh pihak Belanda dan Jepang.

Berikutnya, sampai pada ruangan yang berisi bak-bak beton yang tingginya mencapai 1 meter. Tempat ini juga digunakan untuk menyiksa para tahanan dengan dipaksa berjongkok dengan direndam air setinggi leher sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi.

Dengan cara penyiksaan itu ruangan ini diberi nama penjara jongkok. Sulit dibayangkan, seperti apa para pejuang kita di perlakukan seperti itu!.Dalam penelusuran selanjutnya, kami ditunjukan sekat jejeran batu bata yang ukurannya 1x1 meter bentuknya seperti lemari.

Sekat-sekat sempit inilah yang disebut penjara berdiri di tempat ini biasanya diisi 5 sampai 6 tahanan setelah disiksa dengan tertutup jeruji besi dan dibiarkan berdiri hingga mati lemas.

Ruangan terakhir yang kami jumpai adalah ruang eksekusi. Tampak satu meja terbuat dari baja tertanam dilantai. Disinilah para tahanan dieksekusi mati dengan di penggal kepalanya. Ruangan ini cukup membuat merinding, saat membayangkan kejadian kala itu, dimana para tahanan di eksekusi.

Sumber : http://info.indotoplist.com