Subang adalah kota yang berasal dari perkebunan. Pada mulanya, daerah Subang adalah perkebunan yang dimiliki oleh Peter Willem Hofland. Ia merupakan pemilik dari wilayah perkebunan yang sangat luas. Untuk melakukan transportasi dari daerah-daerah yang luas ini, ia berinisiatif untuk mengimpor lori dari negara Belanda. Lori ini disebut dogong oleh masyarakat sekitar dan ditarik oleh lokomotif stoom. Di seluruh perkebunan dipasang jalur-jalur rel kereta api. Lori ini, disatu titik, mengalami persimpangan yang mengarahkannya ke daerah Sumurbarang, Manyingsal dan lainnya. Daerah ini yang disebut dengan daerah Wesel.
Di tahun 1886, nama perusahaan perkebunan miliknya yang bernama Perkebunan P&T (Pamanukan & Tjiasem) diganti dengan nama NV. Maatschappy Ter Exploitatie der Pamanukan en Tjiasem Landen. Kedepannya, tanah perkebunan ini mengalami 3 masa peralihan : tahun 1812-1839 menjadi milik Inggris, tahun 1840-1910 menjadi milik Belanda lalu terakhir di tahun 1911-1953 kembali di tangan Inggris. Pada tahun 1953, nama Belanda tersebut dirubah menjadi P&T Land N.V. Hasil perkebunan dari perusahaan ini meliputi teh, karet, sisal, singkong (tapioka), kapok, merica, coklat, kina, kopi dan padi.
Subang pada tahun 1950 adalah sebuah perkebunan karet yang luas. Pusat dari seluruh kegiatan di Subang.
berada di perusahaan “The Anglo Indonesian Plantation LTD”. Tercatat di perusahaan ini sejumlah 46 orang karyawan-nya adalah orang Indonesia sedangkan sisanya adalah 268 orang asing. Ini mengungkapkan bahwa perusahaan perkebunan ini cukup besar. Besarnya jumlah kaum expatriat ini juga memperlihatkan adanya persentuhan sosial, budaya, agama dan lainnya antara kaum pribumi lokal Subang dengan bangsa lain (masyarakat internasional) yang cukup intens pada periode tersebut.
Periode ini juga memperlihatkan bergeraknya Republik ini menjadi RIS. Bupati di pemerintahan RIS ini adalah Raden Suyono Hadipranto. Untuk mengambil hati para pegawai yang bekerja pada pemerintah RIS, Belanda mengadakan distribsi barang-barang yang didatangkan dari luar negeri (tanpa bea masuk) pada pegawainya. Barang-barang tersebut diharuskan dibeli oleh semua pegawai yang dipotong langsung dari gaji mereka.
Para pegawai ini akhirnya menjadi “gelap mata” sehingga pada saat gajian mereka pulang hanya membawa beberapa rupiah saja, karena gaji itu habis untuk membeli baang-barang distribusi. Ini tentu membawa kekecewaan pada isteri-isteri mereka. Akibatnya, barang-barang distribusi itu akhirnya dijual ke tengkulak dengan harga-harga yang lumayan. Mula-mula barang-barang ini menarik, lalu kemudian mutu barang-barang itu mulai mengalami “degradasi” sehingga menjadi sekualitas dengan barang di pasaran. Akibatnya para ibu-ibu pegawai negeri tidak lagi mengalami keuntungan ketika menjualnya kembali.
Tentu, di luar Subang, di cakrawala Indonesia, kita melihat adanya pergolakan terus menerus antara penjajah Belanda dengan kaum nasional Republik. Pertempuaran, kontak senjata, saya kira menjadi sesuatu yang lazim terjadi di sekitar kota Subang.
Juga ada suatu babak dalam masa ini yang merupakan salah satu tonggak demokrasi bangsa kita: Pemilu pertama tahun 1955. Semoga pemaparan singkat ini bisa menjadi pengalaman dalam memahami sejarah Subang dan dalam mengamati Subang saat ini. Menarik untuk mengetahui apakah pada saat itu juga masyarakat Subang telah mulai menggunakan hak pilihnya. Dan apakah pembicaraan pemilu kala itu juga telah didiskusikan oleh masyarakat di kedai-kedai kopi atau tempat berkumpul lainnya.
(Disarikan dari Sejarah Subang dari Zaman ke Zaman (1858-2004), karya dari H. Oeriya Sahidi).
(www.bisma.wordpress.com)
Sumber : http://kotasubang.wordpress.com