Sribaduga Maharaja

Oleh Tim Wacana Nusantara

Sribaduga Maharaja atau Prabu Guru Dewataprana, adalah anak dari Ningrat Kencana atau Dewa Niskala, cucu dari Prabu Niskala Wastu Kencana dan cicit dari Prabu Linggabuana.

Pada tahun 1475-1484 terjadi perselisihan antara Prabu Susuktungal raja Sunda yang beribukota di bogor dengan Surawisesa atau Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali dan Galuh. Perselisihan kedua raja adik kandung ini akhirnya dapat dapat diselesaikan berkat ayahnya (Prabu Niskala Wastu Kencana) yaitu dengan cara mengawinkan kedua anaknya. Anak dari Prabu Surawisesa bernama Prabu Guru Dewataprana dan anak dari Prabu Susuktunggal bernama Mayang Sunda (Kentring Manik). Perkawinan dari satu kakek ini akhirnya menyelesaikan perselisihan dengan sama-sama mewariskan tahta ke anak-anaknya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal.

Pada tahun 1482 Masehi , pusat kerajaan Galuh Pakuan di Kawali di tinggalkan dan Kawali menjadi Kerajaan kecil dibawah Pajajaran dengan menempatkan adiknya yaitu Jayadiningrat. Perpindahan Prabu Guru Dewataprana pindah dari Kawali ke Bogor, menyatukan kembali Kerajaan Sunda Pakuan dengan Galuh Pakuan yang diberinama kerajaan Pajajaran. Perpindahan Guru Dewataprana sekaligus mengukuhkannya menjadi seorang Raja Pajajaran dengan Gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata (dalam pantun Sunda disebut Prabu Siliwangi). Setelah menerima tahta dari Kerajaan Sunda selanjutnya bergelar Sri Baduga Maha Raja (menurut naskah Wangsakerta). Prabu Siliwangi menetapkan Pakuan Pajajaran menjadi Ibu Kota Pajajaran menjadi ibu kota Kerajaan yang baru dan Siliwangi sering disebut Raja Pajajaran pertama. Sejak saat itu, pusat pemerintahan/Ibu kota Pajajaran tidak pernah berpindah-pindah sampai runtuhnya Pajajaran.
Dibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya. Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir maupun batin. Bahagia sentosa di utara, selatan, barat dan timur karena perasaan sejahtera.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja diabadikan dalam prasasti, baik yang dibuat atas perintahnya langsung, atau dibuat setelah ia meningal. Karya Sri Baduga Maharaja, tercatat dalam prasasti batu tulis Bogor yang berangka tahun 1455 saka. Angka tersebut menunjukan tahun 1533 masehi. Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1482 sampai 1521 Masehi.
Kebijakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana). Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Kepustakaan:
Iskandar, Yoseph. 2005. “Sejarah Jawa Barat”. Bandung: CV Geger Sunten
Sukardja, Djadja. 2007. Situs Kawali “ Astana Gede”. Ciamis. ….