Sejarah Pangkalpinang

A. TOPONIM KOTA PANGKALPINANG

Pangkalpinang mulai disebut dalam literatur sekitar abad 17, Toponim Pangkalpinang secara etimologis berasal dari kata Pangkal atau Pengkal dalam bahasa Bangka yang berarti pusat distrik (Distric Capital), kota tempat pasar (Market Town), tempat berlabuh Kapal (a boat landing), dan pusat segala aktifitas dimulai (where a path begin). Sebagai pusat segala aktifitas di atas sebutan Pangkal atau Pengkal juga digunakan oleh orang Bangka untuk penyebutan daerah seperti Pangkal Bulo, Pangkal Lihat yang menjadi Sungai Lihat, Pangkal Menduk, Pangkal Mangas, di samping sebutan Pangkalpinang sendiri. Sedangkan Pinang (Areca chatecu) adalah nama sejenis tumbuhan Palm yang multi fungsi dan banyak tumbuh di Bangka. Jadi penamaan Pangkalpinang dimulai dari terbentuknya kampung kecil yang banyak ditumbuhi Pohon Pinang. Ditengahnya mengalir sungai sungai yang airnya bening. Banyak perahu atau wangkang yang keluar masuk dari kampung kecil itu, dan di tepi sungai sungai tersebut banyak pula ditumbuhi pohon Pinang. Oleh pengguna Perahu atau Wangkang, pohon Pinang tersebut digunakan untuk menambat perahu mereka ketika berlabuh. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam Pangkalpinang sudah menjadi pusat segala aktifitas kegiatan dan pemukiman. Pada tahun 1813 ketika Inggris berkuasa di Bangka, Inggris (East India Company) menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu Distrik dari tujuh distrik eksplorasi Timah yang produktif di samping Jebus, Klabat, Sungailiat, Merawang, Toboali dan Belinyu. Setelah Perjanjian London tanggal 13 Agustus 1814, ketika Kesultanan Palembang dan daerah daerah lainnya termasuk pulau Bangka diserahkan Inggris kepada Belanda sebagai ganti Cotchin di India, oleh Pemerintah Hindia Belanda, Pangkalpinangpun dijadikan salah satu distrik penghasil timah yang produktif. Sebagai satu distrik Pangkalpinang dipimpin seorang Administrateur yang merangkap kepala pemerintahan sipil distrik. Sejak itu Pangkalpinang mulai berkembang sebagai pusat kegiatan perdagangan dan pertambangan. Lambat laun kampung kecil yang pada awal mula terbentuknya hanyalah berupa pangkalan (parit) pengumpul timah, daerahnya berawa-rawa dan dibelah oleh sungai sungai (diantaranya Sungai Rangkui, Sungai Pedindang) yang dapat dilalui wangkang atau kapal kapal kecil hingga ke muara, terus tumbuh dan berkembang menjadi kampung besar, terbukti pada tahun 1848 jumlah penduduk Pangkalpinang sekitar 6.694 orang, yang tersebar di 105 kampung.

Seluruh proses serah terima daerah berdasarkan perjanjian London dilakukan antara M.H. Court sebagai perwakilan Inggris dengan K. Heynes yang mewakili Belanda. Serah terima dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 1816 di Mentok. Serah terima ini jelas sekali menunjukkan bahwa Mentok dan pulau Bangka pada waktu itu merupakan Bandar dan tempat yang strategis bagi Inggris dan Belanda di Kawasan Sumatera. Belanda lalu mengangkat Residen Bangka pertama K. Heynis yang kemudian karena bermasalah, jabatannya langsung dicopot dan diambil alih langsung oleh Herman Warner Muntinghe, Comissaris General Belanda. Muntinghe mendarat di Mentok pada tanggal 20 April 1818. Muntinghe adalah orang yang menyulut perang Menteng atau perang Palembang tahun 1819 dan kemudian menghapuskan Kesultanan Palembang Darussalam. Pada tahun 1818 diangkatlah M.A.P Smissaert sebagai Residen Bangka hingga terbunuh pada tanggal 14 November 1819 di sungai Buku perbatasan Desa Zed dengan Desa Puding pada waktu perjalanan pulang dari Pangkalpinang menuju Mentok. Jabatan Residen kemudian dirangkap oleh komandan militer Belanda Letkol Keer.

Sejak berkuasa kembali di Bangka, Pemerintah Hindia Belanda yang oleh Pemerintah Kerajaan Belanda diberi Hak Oktroi, yaitu hak untuk menggunakan kekuatan militer dalam kegiatan perdagangan, melakukan eksploitasi terhadap rakyat dan hasil Pulau Bangka. Dengan menggunakan berbagai dalih serta alasan terutama penghapusan terhadap sistem Timah Tiban, Belanda kemudian berangsur angsur menguasai dan memonopoli Perdagangan Timah dan Komoditas lainnya. Penindasan yang dilakukan Belanda menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa pada rakyat, sehingga terjadilah perlawanan perlawanan rakyat. Untuk menumpas perlawanan tersebut Belanda menjadikan Pangkalpinang sebagai basis pertahanan dan pusat kekuatan pasukannya. Sebagai bukti bahwa Pangkalpinang sebagai pusat atau basis pertahanan Pasukan Belanda adalah pada waktu pertempuran besar besaran di Bangkakota pada bulan September tahun 1819. Untuk kedua kalinya Bangkakota diserang oleh Belanda dari darat yang dipimpin oleh Kapten Laemlin yang membawa pasukannya dari Pangkalpinang dan memulai serangan pada tanggal 14 September 1819, sedangkan serangan dari laut dilakukan oleh Belanda dengan empat buah kapal perang dibawah pimpinan Kapten Baker. Kemudian untuk menumpas perlawanan Depati Bahrin dan untuk mempertahankan Pulau Bangka pada tahun 1819 Admiral Constantinjn Johan Walterbeek mengirim 100 orang infanteri ke Pangkalpinang di bawah pimpinan Kapten Ege. Pasukan ini juga difungsikan sebagai cadangan karena pada waktu itu juga sedang berlangsung Perang Palembang. Pada bulan Maret tahun 1820 Letnan Reisz melancarkan serangan dengan membawa pasukan dari Pangkalpinang untuk menaklukkan Kota beringin. Bukti lainnya bahwa Pangkalpinang adalah pusat kekuatan militer Belanda adalah ketika Belanda menghadapi perlawanan Depati Amir.

B. IBUKOTA KERESIDENAN BANGKA

Karena letak Pangkalpinang yang strategis di tengah Pulau Bangka maka Belanda menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu basis kekuatan meliter untuk menumpas perlawanan – perlawanan rakyat Bangka seperti perlawanan Bangkakota tahun 1819-1820, perlawanan Depati Bahrin tahun 1820-1828 dan Perlawanan Depati Amir tahun 1848-1851. Puncaknya pada tahun 1913, Belanda memindahkan ibukota Keresidenan Bangka dari Mentok ke Pangkalpinang. Pemindahan ini sekaligus memisahkan administrasi negeri dengan administrasi pertambangan timah yang berakibat Pangkalpinang menjadi pusat penambangan timah di Bangka dengan berdirinya perusahaan Timah Banka Tin Winning (BTW) dan pusat administrasi negeri (bestuur). Sebelum menjadi Ibukota Keresidenan Bangka, Pangkalpinang merupakan Keasistenan Residen yang dipimpin oleh seorang Controleur bernama RJ Koppenol yang dibantu oleh seorang Demang yaitu Raden Ahmad.

Sejak menjadi ibukota Keresidenan Bangka dengan Residen pertama A.J.N. Engelenberg (tahun 1913-1918) Pangkalpinang mulai tumbuh dan berkembang menjadi kota yang ramai dengan segala aktifitasnya. untuk menjalankan roda administrasi pemerintahan di Pangkalpinang sejak tahun 1913 Residen Belanda mulai menempati rumah Residen (Rumah Dinas Walikota Sekarang) yang sebelumnya ditempati oleh Controleur RJ Koppenol. Rumah Residen sering disebut orang Pangkalpinang dengan Rumah Besar, karena rumahnya besar dan kokoh terdiri atas 2 kamar utama, 4 Paviliun, Poyer, Ruang Tamu dan 2 ruang makan, beberapa ruang tidur kecil serta dapur, memiliki beranda yang luas dengan 10 (sepuluh) pilar yang besar dan kokoh. Rumah ini terletak di Jalan Merdeka No. 1 atau merupakan titik Nol Pulau Bangka. Rumah di bangun di atas lahan seluas 7656,25 M2 yang dikelilingi oleh Pohon Pinang Raja. Di halaman depan rumah terdapat Meriam meriam kuno yang terbuat dari besi dan perunggu. Dua meriam dari tipe sundut itu berukuran panjang 128,5 cm, diameter pangkal 42 cm dan diameter ujung 16 cm. Sedang kedua dudukan meriam memiliki ukuran panjang 132,5 cm dan tinggi 63 cm. Pada bagian ujung meriam tertulis angka tahun 1840, sedangkan pada kedudukan meriam terdapat angka tahun 1857 serta tulisan AGW. Masing-masing meriam memiliki mulut berdiameter 7,5 cm yang menandakan ukuran kalibernya. Baik meriam maupun kedudukannya seluruhnya dicat hitam. Kedudukan astronomisnya adalah 020 71’ 210” LS dan 1060 06’ 761” BT. Disamping itu terdapat lagi dua meriam lainnya yang terpasang di muka Kantor Polisi Resort Pangkalpinang di jalan Jenderal Sudirman, sekitar 50 m dari rumah dinas Walikota Pangkalpinang, dua meriam ini juga terbuat dari besi. Ukuran panjangnya 210 cm dan 225 cm, diameter pangkal 40 cm, diameter pucuk 25 cm dan diameter lubang menyulut 11 cm. Pada ujung meriam ditulis tahun pembuatannya, yaitu tahun 1854. Dua meriam ini termasuk jenis meriam sundut yang biasanya memiliki peluru berbentuk bulat dan dimasukkan melalui bagian mulut. Sayangnya tidak jelas secara pasti siapa yang meletakkan meriam dan kapan meriam meriam tersebut diletakkan di dua tempat di atas, dari empat meriam ini semakin jelaslah bahwa Pangkalpinang merupakan pusat pertahanan dan kekuatan militer Belanda sejak tahun 1819 dan rumah yang dijadikan sebagai rumah Residen Belanda telah dibangun sebelum tahun 1913 walaupun masih berbentuk panggung terbuat dari dinding papan dan beratap sirap.

Rumah ini disamping dijadikan sebagai rumah kediaman Residen juga dijadikan sebagai tempat kegiatan kemasyarakatan dan ini berlanjut hingga sekarang. Disamping rumah Residen dibangun pula Kantor Keresidenan (kantor sementara Gubernur sekarang), Gedung pertemuan (Panti Wangka Sekarang), Kantor Polisi (Opas) dan sarana sarana lainnya seperti alun alun (Lapangan Merdeka), Jalan–jalan raya, Rumah rumah untuk Karyawan BTW dan dibangun pula taman Wilhemina (sekarang Tamansari), dengan arsitek Van Ben Benzehorn. Taman ini berfungsi sebagai tempat untuk olahraga, kesenian serta konservasi karena banyak ditanami dengan pepohonan langka yang rindang, sangat cocok untuk olahraga dan rekreasi keluarga dan berangin angin (Zich Onspannen). Sebagai kantor pusat penambangan timah terbesar di dunia, perekonomian masyarakat Pangkalpinang terasa sangat dinamis ditunjang lagi dengan letaknya yang strategis di lintas internasional.

Residen A.J.N. Engelenberg pada Tahun 1918 digantikan oleh Dournik yang memerintah hingga tahun 1923, pada masa ini dibangunlah sarana dan prasana untuk kepentingan umum oleh pemerintah Hindia Belanda seperti pada tahun 1920 dibangun Rumah Sakit bagi Karyawan BTW (Sekarang Rumah Sakit Bakti Timah) dan pada tahun 1923 Belanda membangun pusat peleburan biji timah dengan menggunakan oven pendingin air di Pangkalbalam sebelum dikirim ke Singapura. Pada Tahun 1923 Residen Dournik digantikan oleh Flasel. Sebagai Residen, Flasel memerintah selama 2 tahun dan Kemudian digantikan oleh J.E Edie pada tahun 1925. Pada masa pemerintahan J.E Edie mulai dilakukan penelitian untuk mencari sumber air baku bersih untuk masyarakat Pangkalpinang dan pembangunannya direalisasikan pada tahun 1927 dengan membangun fasilitas air minum di bukit Mangkol. Fasilitas air minum bukit Mangkol pada waktu itu dibangun untuk melayani kebutuhan 11.970 orang pelanggan kota Pangkalpinang. Residen J.E Edie pada tahun 1928 digantikan oleh Residen Haze Winkelman WD yang memerintah selama tiga bulan dan kemudian digantikan oleh Residen Hooijer. Setelah Residen Hoijer yang menjadi Residen Bangka pada tahun 1931 adalah Residen Hammester. Pada masa pemerintahan Residen Hammester, tepatnya pada tahun 1933 Pulau Belitung dijadikan salah satu Keasistenan Residen. Hammester menjadi Residen hingga tahun 1934 dan digantikan oleh Residen Mann hingga pecahnya perang Dunia Kedua. Pada saat berkecamuknya Perang Dunia Kedua Keresidenan Bangka dipimpin oleh P. Brouwer hingga Bangka diduduki bala tentara Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang seluruh aset milik Pemerintah Hindia Belanda termasuk BTW dikuasai oleh Jepang. Sistem pemerintahan yang dilakukan di Bangka berpusat di Pangkalpinang dilakukan dengan semi meliter atau pemerintahan Facisme yang disebut Bangka Belitung Gunseibu. Walaupun masa kekuasaan Jepang di Bangka sangat singkat namun penderitaan dan kesengsaraan yang diderita rakyat Bangka sangat luar biasa, hal ini terutama karena kekurangan sandang dan pangan untuk kehidupan sehari hari.

C. PENGARUH BUDAYA CHINA

Pada tahun 1770 Sultan Palembang Darussalam Mahmud Badaruddin II ( tahun 1768-1852), mendatangkan pekerja pekerja dari China untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi timah di Pulau Bangka, sejak itulah mulai berdatangan orang orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina selatan. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dari Propinsi Guang Xi. Pekerja atau kuli tambang yang berasal dari Cina banyak yang berbaur dengan masyarakat Melayu dan kemudian menikah. Pada dasarnya orang orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan perempuan Melayu. Pekerja Cina yang miskin ini sengaja di kontrak untuk menjadi kuli di tambang tambang timah di Bangka untuk jangka waktu tertentu, termasuk untuk bekerja di parit parit timah di Pangkalpinang.

Pada Tahun 1803 J. VAN DEN BOGAART seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami pulau Bangka yaitu Orang orang China, Orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People (sering disebut orang gunung, atau orang darat) dan Sea Dwellers (orang laut). Perkembangan dan populasi pekerja timah dari Cina berkembang dengan pesat, hal ini terbukti bahwa pada tahun 1816 terdapat 2.528 pekerja timah di Bangka. Berdasarkan catatan pada tahun 1848 jumlah penduduk etnis China di Pangkalpinang berjumlah sekitar 1.867 Jiwa, kemudian terus berkembang dan berdasarkan sensus pada tahun 1920 terdapat 15.666 orang etnis China di Pangkalpinang dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk pada waktu itu.

Sejarah Pangkalpinang secara mendasar tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kekuasaan kekaisaran Tiongkok di Asia Timur dan perebutan, penguasaan atau eksploitasi terhadap biji timah oleh berbagai bangsa, sebagai bukti dari kedua hal tersebut dapat dilihat dari monumen hidup (Living Monument) diantaranya Kelenteng yang tersebar hampir diseluruh pelosok kota dalam ukuran besar dan kecil sesuai dengan fungsi dan penggunaannya, bentuk bangunan rumah tinggal berarsitektur vernakuler Cina berikut dengan penataan pemukiman yang dipisahkan dengan banyaknya gang gang sempit, tersebarnya makam makam tua orang Cina yang disebut Pendem Cina, Pemakaman Belanda (Kerkof), ditemukannya berbagai keramik Cina (peninggalan Dinasti Qing tahun 19 M), ditemukan ratusan meriam kuno tua terbuat dari besi dan perunggu misalnya yang ada di depan rumah Dinas Walikota tahun 1840, dan di depan Polresta Pangkalpinang tahun 1854. Bukti tertua tentang pengolahan timah ditemukan di situs Kota Kapur Bangka, berdasarkan penelitian ditemukan terak atau limbah peleburan biji logam, kapan asal zaman peleburan biji logam ini tidak di ketahui secara pasti akan tetapi dari angka tahun Prasasti Kota Kapur diperkirakan pada tahun 686 M, yang jelas tekhnologi Perundagian ini diperoleh oleh bangsa Indonesia dari Dongson. Baru ada catatan yang jelas tentang penemuan timah di Bangka kira-kira tahun 1709 M, kemudian tahun 1812 Inggris menguasai Bangka Belitung dan tahun 1814 dikuasai Belanda, dan sejak itu mulai dilakukan eksploitasi besar besaran terhadap biji timah.

Sedangkan pengaruh kekaisaran Tiongkok di Bangka Belitung berdasarkan catatan tertua yang ada yaitu sekitar tahun 1292 M ketika Khu Bilai Khan kaisar Tiongkok mengirimkan Ekspedisi untuk menghukum Kertanegara raja Singosari karena menolak membayar upeti sebagai tanda takluk, sebab dalam konsep Chung Kuo (pusat kekuasaan Tiongkok) kerajaan kerajaan dalam lingkaran luar termasuk dalam kekuasaan mereka, termasuk kerajaan yang ada di Nusantara yang disebut dengan Nan Yang atau negeri selatan. Pasukan besar Tiongkok berjumlah 20.000 orang dengan kapal perang berukuran besar sejumlah 1.000 kapal dan perbekalan cukup untuk selama 1 (satu) tahun singgah di Bangka, Belitung dan Kalimantan Barat untuk membuat kapal kapal kecil guna mempercepat gerak pasukannya memasuki perairan dan sungai di Jawa. Hal ini makin memperjelas bahwa Bangka Belitung khususnya Pangkalpinang sangat strategis dan merupakan jalur perdagangan laut antar negara (Jejaring Asia) diantaranya Cina, Asia Tenggara, Kepulauan Nusantara dan India, dan peran pelabuhan pelabuhan yang ada di Bangka Belitung seperti Mentok, Tempilang, Tanjungpandan dan Pangkalbalam serta pelabuhan lainnya sebagai Bandar Internasional dan Interinsuler pemasok barang niaga seperti hasil hutan (Damar, Gaharu), merica atau lada dan Timah.

Berikutnya pengaruh budaya China masuk ke Nusantara, ketika Cheng Ho (Zheng He) (tahun 1371 – 1435 SM), seorang Muslim yang lahir di Propinsi Yuan mengadakan perjalanan sebanyak 7 (tujuh) kali dalam 28 Tahun. Cheng Ho mengunjung Gersik, Tuban, Lasem, Semarang, Jakarta, Palembang, Aceh dan Bangka, salahsatu peninggalan ekspedisi Cheng Ho adalah tekhnologi pembuatan kapal/perahu dan bangunan bangunan yang berarsitektur China.

Gelombang besar kedatangan bangsa Cina untuk mengeksploitasi timah di Bangka di mulai pada awal abad 20, banyak kongsi kongsi dagang yang berdiri untuk menambang dan memperjual belikan timah, tiap kelompok atau kongsi memiliki pimpinan dan struktur sosialnya sendiri, mereka juga membawa kepercayaan asli darimana mereka berasal. Untuk melakukan pemujaan sesuai dengan aliran yang dianut mereka membangun Kelenteng, misalnya pada kelenteng Kwan Tie Bio. Pada Kelenteng tertua di Pangkalpinang ini terdapat hiasan buah Labu (Gourd) di puncak atap kelenteng dan adanya lambang Patkwa (Pakua) di depan kelenteng yang di tengahnya ada lingkaran hitam putih (Ying dan Yang), Patkwa (Pakua) melambangkan keberuntungan, rejeki atau kebahagiaan. Dua ciri di atas menunjukkan bahwa aliran Taoisme masih merupakan yang terpenting. Nama kelenteng sudah dua kali mengalami perubahan, pada masa Orde Baru kelenteng ini bernama Amal Bhakti. Pada tahun 1986 bagian depan kelenteng terkena pelebaran jalan sehingga pekarangan depan, pintu serta tembok depan mundur beberapa meter, bagian altar Kuan Tie tetap utuh dan bagian depan dibangun menjadi 2 lantai. Pada tahun 1991 bagian belakang kelenteng diubah menjadi tempat tidur petugas dan dapur. Pada Tanggal 22 Februari 1998 terjadi kebakaran yang menghanguskan seluruh bangunan kelenteng kecuali pada bagian kiri bangunan, sejak itu dilakukanlah pemugaran kembali dipimpin oleh Jamal seorang ahli dalam kelenteng dan pembuatan patung dan rehabilitasi selesai seperti bentuk sekarang serta diresmikan pada tanggal 5 Agustus 1999 dengan nama kelenteng Kwan Tie Miau. Kelenteng ini diperkirakan dibuat pada tahun 1841 Masehi (dari aksara cina pada sebuah Lonceng besi di kelenteng). Pembangunannya sendiri dilakukan secara gotong royong oleh berbagai kelompok Kongsi penambangan timah yang ada di Pangkalpinang, dan diresmikan pada tahun 1846, hal ini terbukti dari ucapan selamat dari beberapa perkumpulan Kongsi pada hari baik bulan baik tahun ke 26 Daoguang yang bertepatan dengan tahun 1846.

Pemujaan utama pada kelenteng ini adalah terhadap Thian (Tuhan Alam semesta) dan terhadap tokoh Huang Ti (Kaisar terkenal dinasti Chin yaitu Chin Shih Huang Ti) sangat dominan sekali di kelenteng ini, sehingga mereka sering disebut orang Cin. Di samping Huang Ti terdapat arca Chui chang di sebelah kiri dan Kuan Pien di sebelah kanan, kemudian terdapat lagi Dewa Pekong (Pengatur Keselamatan), Cai Shen (Dewa rejeki), Tai Sui (Dewa Keselamatan Umum), Tian Hou Shen Mu (Dewi Laut). Selain dewa dewi yang berasal dari kepercayaan Kong hu cu, pemujaan terhadap Dewi Kwan Im juga dilakukan. Dewi ini adalah Awalokiteswara, salah satu Dewa dalam pantheon agama Budha Mahayana yang dipercaya akan membangkitkan dunia dari kehancuran dan menyelamatkan manusia dari siksa akhirat. Setiap hari ke 13 bulan lima penanggalan Imlek diadakan perayaan hari hari besar dewa dewa kelenteng.

Kawasan Kelenteng Kwan Tie Miaw ini sekarang ditambah dengan lokasi Gang Singapur dan Pasar Mambo sedang dikondisikan sebagai salah satu Objek wisata kota Pangkalpinang yaitu Wisata Budaya dan Wisata Belanja. Lokasi ini diupayakan menjadi China Town (untuk mengingatkan kepada wajah kota lama Pangkalpinang yang sangat dipengaruhi oleh rumah rumah dan kelenteng Cina) dan dijadikan juga sebagai pusat upacara peringatan hari Raya Imlek, puncak hari raya Cap Go Meh, kegiatan Sembahyang Rebut dan kegiatan Pot Ngin Bun. Kegiatan Pot Ngin Bun merupakan satu satunya ritual yang ada di kelenteng Kwan Tie Miaw. Kegiatan ini dilakukan untuk menolak bala dan segala wabah penyakit yang mewabah di Masyarakat seperti wabah Beriberi yang mewabah di Bangka sekitar tahun 1850-1860.

Disamping Kelenteng sebagai Monumen hidup pengaruh Cina di Bangka dan Belitung adalah ditemukannya makam makam orang Cina yang tersebar di berbagai tempat, tidak diketahui secara pasti kapan perubahan tradisi menguburkan orang yang telah meninggal di dalam tanah, sebab kebiasaan sebelumnya mereka menguburkan orang yang meninggal dalam tempayan (banyak ditemukan tempayan di saat penduduk membuka ladang). Makam makam Cina ini dibangun dalam bentuk dan arsitektur yang unik dan menarik serta dihiasi dengan tulisan aksara Cina yang indah dan sangat jelas sekali menunjukkan status sosial ekonomi orang yang dimakamkan. Makam umumnya dibangun pada lokasi perbukitan, hal ini menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi orang Cina terhadap leluhur dan nenek moyangnya. Setiap tahun di adakan tradisi Sembahyang Kubur (Ceng Beng atau Qing Ming), seluruh keluarga yang ada di perantauan pulang untuk sembahyang dan memberikan penghormatan terhadap leluhur. Puncak pelaksanaan Ceng Beng dilaksanakan pada tiap tanggal 5 April, khusus di Pangkalpinang ritualnya di pusatkan di Pekuburan Sentosa yang didirikan pada tahun 1935. Pada tahun tersebut juga didirikan Paithin yaitu rumah tempat sembahyang. Dari sekian banyak makam, makam tertua yang ada di sini adalah makam keluarga Boen Piet Liem (tidak jelas nama siapa yang dimakamkan), kuburan ini dipugar di tahun ke empat setelah pemerintahan Sun Yat Sen (memerintah tahun 1911), jadi makam dipugar sekitar tahun 1915. Sampai sekarang kompleks makam ini masih berfungsi, luas kompleks makam seluruhnya 199.450 M2 dengan jumlah makam sebanyak 11.478 makam, dari seluruh makam terdapat 1(satu) makam yang beragama Islam yaitu makam Ny. Tjuriaty binti Kusumawidjaya berangka tahun 1994, tanah pekuburan sentosa merupakan sumbangan dari Marga Boen, menurut tugu pendiri makam yang dibangun tahun 1935, makam ini didirikan oleh empat orang yaitu Yap Fo Sun tahun 1972, Chin A Heuw tahun 1950, Yap Ten Thiam tahun 1944 dan Lim Sui Cian. Untuk mempermudah pengelolaan kompleks pemakaman telah dibangun Kantor, rumah duka dan jalan jalan beraspal di sekitar makam untuk mempermudah transportasi.

D. KONFERENSI PANGKALPINANG

Usia kota Pangkalpinang tergolong muda kalau dilihat dari aspek pemerintahan, akan tetapi sebagai kota sejarah, khususnya sejarah perlawanan rakyat menentang Kolonialisme Belanda dan pergerakan kebangsaan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, kota ini memiliki nilai historis yang sangat penting. Ada dua peristiwa sejarah pergerakan kemerdekaan yang terjadi di Pangkalpinang yang merupakan bagian dari sejarah nasional dan dapat dijadikan sebagai simpul perekat keindonesiaan yang perlu diteliti dan ditulis sejarahnya secara utuh dan lengkap sebagai bagian dari Sejarah Nasional yaitu tentang Konferensi Pangkalpinang dan Pengasingan Pemimpin Republik ke Bangka.

Perlawanan rakyat menentang penindasan Inggris dan Belanda di Bangka merupakan perlawanan tertua di Nusantara, perlawanan ini dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda ingin memonopoli perdagangan khususnya timah dengan dalih ingin menghapuskan Sistem Timah Tiban yang berlaku sejak Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Perlawanan dimulai oleh Demang Singayudha di Kotaberingin dan Batin Tikal di Gudang, Perlawanan Rakyat Bangkakota pada bulan Mei tahun 1819, Perlawanan Depati Bahrin tahun 1820-1828 dan Perlawanan Depati Amir tahun 1848-1851. Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 setidaknya ada dua kegiatan bersejarah tentang pergerakan kebangsaan yang terjadi di Kota Pangkalpinang, yang pertama yaitu pada tanggal 1 - 12 Oktober 1946, dilaksanakan Konferensi Pangkalpinang. Konferensi ini merupakan kelanjutan Konferensi Federal Malino Sulawesi Selatan tanggal 15 - 25 Juli 1946. Dipilihnya Pangkalpinang sebagai tuan rumah karena Belanda ingin menjadikan daerah daerah di luar Jawa dan Sumatera sebagai basis kekuatannya. Konferensi ini bertujuan untuk penyatuan pendapat antara golongan - golongan minoritas (Eropa, Arab China dan India). Konferensi ini kurang disambut antusias masyarakat dan disertai dengan ketidak jelasan sikap etnis Cina yang tinggal di Bangka, hal ini dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum republik dan traumanya orang Cina di Bangka terhadap perlakuan dan kekerasan pemerintah Belanda terhadap pemberontakan Cina di Jawa. Dari sisi Politis delegasi etnis Cina tidak memberikan usul yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tionghoa (THHK), perbaikan pelayanan kesehatan, dan perbaikan sistem perdagangan. Kaum Republiken sangat menentang konferensi ini karena merupakan strategi dan upaya Van Mook untuk membentuk negara Federal Bangka Belitung dan Riau dalam negara Indonesia Serikat yang merupakan Uni Indonesia Belanda.

Setelah perundingan Linggajati tanggal 10 November 1946 yang salah satu isi butirnya adalah Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Dalam rangka membentuk Negara Indonesia Serikat tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Bangka Raad (Dewan Bangka Sementara) dengan Surat Keputusan tanggal 10 Desember 1946 Nomor 8 ( STBL. 1946 Nomor 38 ) yang ditandatangani oleh Guvernemen General Nederlanshe Indie. Keputusan ini menjadikan Pulau Bangka suatu daerah otonom. Dewan Bangka sementara ini merupakan lembaga pemerintah tertinggi di bidang otonomi, sebagai ketuanya diangkatlah Masyarif Datuk Bendaharo Lelo yang didampingi sekretaris yaitu Saleh Achmad. Dewan ini beranggotakan 25 (dua puluh lima) orang yang terdiri dari 14 (empat belas) orang Indonesia, 9 (sembilan) orang Tionghoa serta 2 (dua) orang bangsa Belanda. Dari 14 (empat belas) anggota orang Indonesia 13 (tiga belas) orang dipilih dan 1(satu) orang diangkat oleh Residen, kemudian dari 9 (sembilan) anggota orang Tionghoa 8 (delapan) orang dipilih dan 1 (satu) orang diangkat oleh Residen. Dari 2 (dua) anggota orang bangsa Belanda, 1 (satu) orang diangkat Masyarakat dan 1 (satu) orang diangkat oleh Residen. Kemudian dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 ( STBL. 1947 Nomor 123 ) Dewan Bangka Sementara ditetapkan sebagai Dewan Bangka dan ketuanya tetap dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo. Setelah pelaksanaan Konferensi Pangkalpinang diadakan Konferensi Denpasar tanggal 24 Desember 1946 yang melahirkan negara Indonesia Timur. Upaya Belanda untuk membentuk negara negara federal terus diupayakan, dalam bulan Januari tahun 1948 dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie Nomor 4 (STBL. 1948 Nomor 123) tanggal 23 Januari 1948 Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung menjadi BABIRI yang kemudian akan dijadikan salah satu Negara Federal dalam Uni Indonesia Belanda. Kemudian pada tanggal 29 Mei 1948 dilaksanakan Konferensi Bandung yang diikuti oleh tiga orang utusan dari Bangka yaitu Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, Se Siong Men, dan Joesoef Rasidi, Konferensi Bandung ini menyepakati berdirinya BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg) yaitu sebuah Badan Permusyawaratan Federal yang beranggotakan wakil wakil dari Negara Federal bentukan Belanda dan diharapkan juga nantinya Republik Indonesia juga ikut bergabung di dalamnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Konferensi ini berhasil membentuk BFO dan gagal mempengaruhi kaum republik dan rakyat untuk mendirikan negara Bangka Belitung dan Riau, karena semangat Nasionalisme dan patriotisme masyarakat Bangka khususnya warga Pangkalpinang.

E. PANGKALPINANG KOTA PANGKAL KEMENANGAN

Peristiwa sejarah pergerakan kedua yang terjdi di Bangka adalah pengasingan pemimpin pemimpin republik. Pada tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia di Yogjakarta diduduki Belanda melalui Agresi Militer ( sejak tahun 1946 Ibukota Republik Indonesia Pindah dari Jakarta ke Yogjakarta). Istana kepresidenan di kepung oleh pasukan belanda di bawah pimpinan Kolonel Van Langen. Karena kecilnya jumlah pasukan pengawal Presiden maka mereka oleh Presiden Soekarno diperintahkan untuk menyerah. Para pemimpin Republik beserta sekitar 150 (seratus lima puluh) orang menjadi tahanan rumah di dalam istana kepresidenan di Yogjakarta selama tiga hari. Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel Van Langen memerintahkan para Pemimpin Republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogjakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat akan tetapi tidak disampaikan kepada para Pemimpin Republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang ( sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi Rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat. Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Gunung Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda.

Pada tanggal 5 Februari 1949 Presiden Pertama RI Bung Karno dan Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri) tiba di pelabuhan Pangkalbalam dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina untuk bergabung dengan pemimpin pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan lebih dulu di Menumbing.Kedatangan Bung Karno disambut dengan antusias masyarakat Pangkalpinang, mereka menaiki bagian depan Mobil BN 2 dan disepanjang jalan dielu-elukan masyarakat dengan pekik Merdeka. Kedatangan Bung Karno memberikan dorongan moril yang sangat besar bagi pejuang pejuang pro Republik di Bangka, untuk mempertahankan dan merebut kembali kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau dipelajari sesungguhnya pada saat itu pusat pemerintahan Republik Indonesia berada di Bangka, sebab dalam kenyataannya, MR Syafrudin Prawiranegara yang menerima mandat membetuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di sumatera tidak menjalankan mandatnya karena pemimpin pemimpin republik (hampir separuhnya) berada di Bangka. Pada keesokannya datang pula beberapa tokoh seperti dr. Darma Setiawan, Prof. Soepomo, dan dr. J Leimena, selain itu datang juga tiga orang tokoh BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg), Mr. Soejono, Anak Agung Gde Agung, dan dr. Ateng, mereka datang untuk merundingkan bentuk negara Indonesia dimasa depan. Awalnya perundingan perundingan dilaksanakan di Menumbing, kemudian perundingan dipindahkan ke Pangkalpinang (lokasinya Sekarang dijadikan Museum Timah Indonesia) karena peserta perundingan bertambah dengan hadirnya pejabat dari KTN (Komisi Tiga Negara). Selesai pelaksanaan perundingan para Pemimpin Republik tidak langsung pulang akan tetapi menginap di rumah tersebut (Sekarang dijadikan Museum Timah Indonesia), rumah terdiri atas lima kamar, satu kamar besar digunakan untuk berunding dan empat kamar lainnya digunakan untuk kamar tidur. Pada malam harinya para pemimpin diundang oleh Ketua Dewan Bangka Masjarif Datuk Bendaharo Lelo dan Demang Kepala Pangkalpinang Sidi Menek. Kedatangan para pemimpin ke Pangkalpinangpun dimanfaatkan oleh masyarakat Pangkalpinang untuk berkunjung walaupun hanya sekedar bersalaman. Pemimpin yang paling lama tinggal di rumah ini adalah Bapak TNI Angkatan Udara kita RS. Soerjadarma, orang Pangkalpinang sangat menghormatinya. Melalui beberapa kali perundingan atau Diplomasi di Pangkalpinang lahirlah Konferensi Roem Royen atau Roem-Royen Statement tanggal 7 Mei 1949 yang salah satu isinya bahwa pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Jogjakarta. Pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Rombongan kembali ke Yogjakarta pada saat ini Bung Karno mengatakan bahwa “Dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan”. Akhir dari perjuangan diplomasi dan fhisik tersebut pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag dalam Konferensi Meja Bundar, ditandatangani pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda.

Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang disebut dengan EXORBITANTE RECHTEN. Cara Kolonial ini ternyata sangat efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan kerajaan tradisional di daerah seperti perlawanan yang dipimpin Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dhien, Depati Amir dan pemimpin lainnya. Akan tetapi pengasingan dan pembuangan yang dilakukan terhadap para pemimpin Republik tidak membawa hasil bagi Belanda karena strategi dan taktik perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia sudah diubah, disamping melakukan perlawanan fhisik dilakukan juga perlawanan melalui Diplomasi atau perundingan yang jauh lebih efektif. Untuk pelurusan Sejarah, anggapan bahwa peristiwa sejarah yang terjadi di luar Jawa adalah Little Historical Events (Peristiwa sejarah yang kecil), sedangkan peristiwa sejarah yang terjadi di Jawa adalah Great Historical Events (Peristiwa sejarah yang besar) harus segera dihilangkan. Memang tidak semua peristiwa sejarah di daerah dapat di Indonesiakan, namun untuk merajut simpul simpul ke Indonesiaan peranan sejarah di daerah harus tetap diperhatikan.

Sebagai wujud dari rasa syukur Rakyat Bangka terhadap jerih payah perjuangan pergerakan kemerdekaan, dibangunlah tugu pergerakan kemerdekaan. Tugu Pergerakan Kemerdekaan terletak di dalam areal Tamansari (Taman Wilhemmina), bersebelahan dengan Rumah Residen (Rumah Dinas Walikota Pangkalpinang). Tugu Merdeka dibuat untuk mengenang perjuangan rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda. Berdasarkan tulisan pada prasasti di tugu tertulis “Surat kuasa kembalinya ibukota Republik Indonesia ke Jogyakarta, diserahterimakan oleh Ir. Soekarno kepada Sri Sultan Homengkubuwono IX – Media Juni 1949”. (Prasasti yang terdapat di Tugu Pergerakan kemerdekaan Tamansari hilang tidak diketahui rimbanya). Menurut catatan sejarah Tugu Merdeka Tamansari diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1949 oleh Wakil Presiden RI Drs. Mohammad Hatta.

Tugu tersebut di bangun dengan Arsitektur yang unik dan menarik terdiri atas 3 bagian, pada bagian bawah berbentuk Punden berundak undak berbentuk segi delapan dengan undakan sebanyak 17 (tujuh belas) undakan, yang memiliki makna, 17 (tujuh belas) undakan, berarti tanggal 17 saat diresmikannya Tugu Pergerakan Kemerdekaan, dan Undak-undak bersegi delapan diartikan sebagai bulan delapan atau bulan Agustus saat diresmikannya Tugu Pergerakan Kemerdekaan. 17 (tujuh belas) Undakan ditambah 1 (satu) Yoni dan 1 (satu) Lingga berjumlah 19 (sembilan belas) kemudian Jumlah undak undak dikalikan panjangnya tiap tiap lingkar segi delapan berjumlah 49 meter, dapat diartikan Tugu Perjuangan Kemerdekaan dibuat pada tahun 1949. Bagian tengah tugu berbentuk Yoni sedangkan bagian atas berbentuk Lingga dengan ukuran yang simetris sehingga tampak serasi. Tinggi keseluruhan mulai dari undak terbawah sampai puncak Lingga setinggi 7,65 m, terdiri dari tinggi undak dan yoni 1,65 m dan tinggi lingga 1,65 m dan tinggi Yoni 4,35 m, dengan luas areal Tugu seluas 168 m2, secara geografis tugu ini di sebelah Utara berbatasan dengan Jl. Ican Saleh, di sebelah Selatan berbatasan dengan Lapangan Merdeka, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Jl. Kartini, dan sebelah Timur berbatas dengan Rumah Dinas Walikota atau rumah Residen.

F. SEJARAH PEMERINTAHAN

Setelah ditandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 14 Desember 1949 dan berdasarkan konstitusi ini Negara berbentuk Federasi dan meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama meliputi Daerah daerah seperti; Jawa tengah, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur merupakan satuan satuan kenegaraan yang tegak sendiri disamping Negara Republik Indonesia Kemudian Negara negara Federal bentukan Belanda serta daerah daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah daerah bagian.

Pada tanggal 22 April 1950 diangkatlah R. Soemardjo sebagai Residen Bangka, Pulau Bangka ditetapkan menjadi Kabupaten yang terdiri atas 5 (lima) Kewedanaan dan 13 (tiga belas) Kecamatan. Kewedanaan tersebut meliputi Bangka Utara yang beribukota di Belinyu, Kewedanaan Sungailiat yang beribukota di Sungailiat, Kewedanaan Bangka Tengah beribukota di Pangkalpinang, Kewedanaan Bangka Barat beribukota di Mentok dan Kewedanaan Bangka Selatan beribukota di Toboali. Sebagai Bupati Bangka pertama diangkatlah R. Soekarta Martaatmadja.

Pangkalpinang terus berkembang menjadi kota kecil yang membentuk suatu pemerintahan kota pada tahun 1956 dengan dasar pembentukan, Undang undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 tanggal 14 November 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Selatan, pada waktu itu kota hanya memiliki luas 31,7 km2 dengan penduduk berjumlah sekitar 50.000(lima puluh ribu) orang, terdiri atas 2 (dua) Gemeente yaitu Gemeente Pangkalpinang dan Gemeente Gabek, batas batas wilayahnya ditetapkan berdasarkan keputusan DIRECTEUR BINNENLANDS BESTUUR nomor 2615/BFg tanggal 30 September 1919. Pemerintah Kota kecil Pangkalpinang dilengkapi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota kecil Pangkalpinang yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang anggota dan dilengkapi pula dengan Dewan Pemerintah Daerah Kota kecil yang teridiri dari 3 (tiga) orang anggota yang dipilih dari anggota DPRD Kota kecil, sedangkan Ketua Dewan Pemerintah Daerah, Kepala Daerah yang kedudukannya berdasarkan Undang Undang tetapi tidak merangkap sebagai anggota. Urusan-urusan yang termasuk wewenang Kota kecil pada waktu itu adalah Pekerjaan Umum, Kesehatan, Kehewanan, Perikanan Darat, Sosial, Perindustrian Kecil, Agaria, Perburuhan, Penerangan, Pertanian, Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Sebagai Pejabat Walikota Kota Kecil yang pertama adalah Raden Supardi Suwarjo tahun 1956, kemudian Ahmad Basirun tahun 1956, Raden Abdullah tahun 1956-1958 dan Abang Arifin.

Selanjutnya Pangkalpinang berstatus Kotapraja pada tahun 1957 berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tanggal 17 Januari 1957 yang diundangkan sehari kemudian yaitu tanggal 18 Januari 1957 dalam Lembaran Negara Nomor 6 Tahun 1957, Undang undang ini kemudian di tambah dengan Undang-undang Nomor 6 dan 8 Tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 9 dan 50 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang – undang tersebut dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II termasuk Kotapraja dalam lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera selatan. Status Kota Kecil Pangkalpinang berubah menjadi Pemerintah Kotapraja Pangkalpinang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan minimum 15 (lima belas) orang dan maksimum 35 (tiga puluh lima) orang. Kotapraja Pangkalpinang berdasarkan jumlah penduduk pada waktu itu mendapat ketentuan minimum yaitu 15 (lima belas) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Anggota Dewan Pemerintah Daerah dari semula 3 (tiga) orang ditetapkan menjadi 5 (lima) orang, mereka dipilih dari anggota DPRD Kotapraja berdasarkan perimbangan wakil partai pada waktu itu, sedangkan ketua Dewan Pemerintah Daerah karena jabatannya tetap dipegang oleh Kepala Daerah. Sebagai Walikota Kotapraja pada saat ini adalah Raden Hundani tahun 1958-1960, beliau merupakan Walikota pertama yang dipilih oleh DPRD Kotapraja hasil Pemilu tahun 1955, kemudian pada tanggal 1 Oktober 1960 diangkatlah M. Saleh Zainuddin tahun 1960-1967 sebagai Walikota selanjutnya.

Berdasarkan surat DPRD Provinsi Sumatera Selatan tanggal 3 Februari 1957 diserahkan kepada Kotapraja Pangkalpinang, Dinas Pertanian Rakyat, Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan Darat. Kemudian pada tanggal 24 Juli 1957 diserahkan pula Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Dinas Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Dalam rangka penataan wilayah, wilayah pemerintahan yang semula terdiri dari 6 (enam) Blok menjadi 12 (dua belas) Blok yakni masing-masing 6 (enam) Blok berada pada tiap Wilayah Keasistenan Wedana Kota. Penataan wilayah ini berdasarkan SK Walikota Kotapraja Pangkalpinang Nomor 17/UD/07/Kepts/1963.

Berdasarkan SK Presiden Nomor Up/10/I/M-220 tanggal 21 Februari 1968. M. Saleh Zainuddin digantikan oleh Drs. Rustam Effendi (1967-1972) kemudian beliau digantikan oleh H. Masdan, SH selaku Care Taker Walikota Kotapraja. Di bawah Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965 ditunjuklah 5 (lima) orang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) sebagai Pembantu Walikotamadya dengan SK Gubenur Nomor 017/Kpts/1968 yang berasal dari unsur Sekber Golkar, IPKI, Muhammadiyah, PSII dan NU. Pada saat ini (sampai bulan Mei tahun 1971 Ibukota Kabupaten Bangka masih berada di Pangkalpinang hingga keluar Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1971 tanggal 19 Februari 1971 yang menetapkan Sungailiat sebagai ibukota Kabupaten Bangka yang peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 13 Mei 1971 di Sungailiat. Kemudian bekas kantor Bupati Bangka dijadikan Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Bangka Belitung, sejak Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi ke-31, kantor ini dijadikan kantor sementara Gubernur Bangka Belitung. Selanjutnya jabatan Walikotamadya ketujuh H. Masdan, SH selaku Care Taker berakhir dan beliau digantikan oleh Roesli Romli tahun 1972-1978 dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor PEMDA/7/7/35-151 tanggal 22 Mei 1973. Pada tanggal 23 Juli 1974 dikeluarkan dan berlaku Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, LN Nomor 38, TLN Nomor 3037 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah. Karena undang-undang ini menganut Azas Dekonsentrasi dan Azas Desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama, maka sebutan Pangkalpinang menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pangkalpinang, yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Pangkalpinang. Walikotamadya adalah sebagai Wakil Pemerintah Pusat dan Penguasa Tunggal (Administrator Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan). Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ini Sekretaris Daerah menjadi Sekretaris Kotamadya Daerah Tingkat II yang tidak lagi merangkap jabatan sebagai Sekretaris DPRD.

Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor PEM. 7/23/8-450 tanggal 20 Juli 1978 diangkatlah H. Mohammad Arub, SH sebagai Walikotamadya dan beliau menjabat selama dua Priode tahun 1978-1983 dan tahun 1983-1988, pada masa ini dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1984, wilayah Kotamadya Dati II Pangkalpinang diperluas dari 31,70 km2 menjadi 89,4 km2.. Wilayah pemerintahan juga ditata ulang dari 2 (dua) Kecamatan menjadi 4 (empat) Kecamatan, 55 (lima puluh lima) Kelurahan dan 3 (tiga) desa yakni Kecamatan Pangkalbalam dengan 13 (tiga belas) Kelurahan, Kecamatan Tamansari dengan 21 (dua puluh satu) Kelurahan ditambah 1 (satu) desa dari perluasan wilayah, yakni Desa Tuatunu, Kecamatan Rangkui dengan 13 (tiga belas) Kelurahan dan Kecamatan Bukit Intan dengan 8 (delapan) Kelurahan dan 2 (dua) desa dari perluasan wilayah, yakni Desa Bacang dan Desa Air Itam.

H. Mohammad Arub, SH, pada tahun 1988 digantikan oleh Bapak H. Rosman Djohan tahun 1988-1993 sebagai Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Pangkalpinang, beliau kemudian digantikan oleh Drs. H. Sofyan Rebuin, MM, yang menjabat selama 2 periode tahun 1993-1998 dan tahun 1998-2003, pada masa kepimpinan beliau terjadi krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis ini menjadi pemicu terjadinya suksesi Kepemimpinan Nasional dan berakhir Era Orde Baru, berganti dengan Era Reformasi.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, sesuai dengan tuntutan reformasi dan pemberian otonomi luas kepala Daerah, kemudian dicabut dan diganti dengan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tanggal 7 mei 1999, dan berlaku efektif pada 1 Januari 2001, lebih cepat 4 bulan dari ketentuannya. Hal ini terjadi karena pemberlakuan undang-undang ini bersama undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. Melalui pelaksanaan Otonomi Daerah diharapkan dapat meredam keinginan disintegrasi bangsa, akibat pemerintah yang sangat sentaralistik di bawah undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II hanya tertulis dalam aturan saja. Dengan berlaku secara efektifnya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang membawa perubahan radikal (mendasar) dalam pemerintahan.

Dalam perkembangan Kota Pangkalpinang selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan dimana pada waktu itu meliputi 55 (lima puluh lima) Kelurahan dan 3 (tiga) desa menjadi 35 (tiga puluh lima) Kelurahan. Sedangkan dengan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pemekaran Kecamatan maka Kecamatan yang ada menjadi Kecamatan Pangkalbalam, Kecamatan Tamansari, Kecamatan Gerunggang, Kecamatan Rangkui dan Kecamatan Bukit Intan.

Drs. H. Sofyan Rebuin, MM, selanjutnya digantikan oleh Drs. H. Zulkarnain Karim, MM yang terpilih pada tanggal 4 Agustus 2003 berpasangan dengan Triatmadja, BSc sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pangkalpinang. Sebelum menjabat Walikota Pangkalpinang Drs. H. Zulkarnain Karim, MM adalah Sekretaris Daerah Kota Pangkalpinang dan Wakil Walikota Pangkalpinang Triatmadja, BSc adalah anggota DPRD Kota Pangkalpinang dari PDIP. Kedua pasangan ini dilantik pada tanggal 26 Agustus 2003 dan masih menjabat hingga sekarang.

Sumber : http://tampukpinang.info