Bukti bahwa di tanah Banten semasa dulu berdiri sebuah kerajaan agung, hingga kini masih bisa disaksikan pada bangunan Masjid Banten Lama, yang berdiri tetap kokoh dan selalu dipenuhi pengunjung dari seluruh Indonesia, terutama mereka yang ingin mengetahui keagungan peninggalan rajanya masa itu Sultan Hasabuddin.Berdirinya Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun sebagai pusat kegiatan dan informasi. Keempat, ada pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Keempat komponen ini, jejaknya masih terdapat di Desa Banten Lama Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang. Tapi yang masih kokoh berdiri dan berfungsi hingga saat ini hanya Masjid Agung.
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa umumnya. Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada bulan Syawal, Haji, Maulud, Rajab dan Ruwah. Sementara setiap hari Kamis, Jumat dan Minggu juga menjadi hari pilihan bagi para peziarah untuk mengunjungi Masjid Banten.
Ada juga waktu yang paling ramai yaitu malam Jum’at ketika malam 14 bulan purnama. “Mereka percaya malam Jumat tanggal 14 bulan purnama adalah waktu di mana para auliya’ berkumpul dan bermusyawarah sehingga dikeramatkan, dan bila berziarah pada tanggal itu doanya mustajabah.
Bangunan masjid yang terletak sekira 10 km sebelah utara Kota Serang ini merupakan peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), putera pertama Sunan Gunung Jati. Konon, pembangunan Masjid Agung Banten bermula dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih suci untuk pembangunan Kerajaan Banten.
Hasanuddin lalu shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah yang dimaksud ayahandanya. Setelah berdo’a, spontanitas air laut yang berada di sekitarnya menyibak menjadi daratan. Selanjutnya, Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta komponen-komponen lainnya, seperti alun-alun, pasar dan masjid agung.
Dalam pembangunan masjid agung, salah satu arsiteknya adalah Raden Sepat. “Raden Sepat mulanya dari Majapahit, kemudian membangun Masjid Demak, Cirebon dan Masjid Banten Lama ini. Jadi bukan ketaksengajaan bila antara masjid Demak, Cirebon dan Banten Lama secara arsitektur ada mata rantainya.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara.
Karena menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini, konon dulunya lebih berfungsi sebagai menara pandang ke lepas pantai karena bentuknya mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Dan semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Sebenarnya masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid.
Sumber : http://healthntourism.co.id
Photo : http://www.iai-banten.org