Oleh Parsudi Suparlan
Masalah negara kita masih belum terpecahkan saja, apalagi pada saat minggu-minggu sekarang dimana banyak sekali masalah selain yang sangat kritis dan aktual, sangat jangka pendek, serta penyelesainnyapun jangka pendek dan cenderung politis. Dibalik semua itu kita yakin bahwa Indonesia mempunyai berbagai masalah yang fundamental dan dijanjikan penyelesaian-penyelesaian yang berdasarkan pada pandangan yang komprehensif. Kalau kita bicara mengenai Otonomi Daerah misalnya, yang merupakan konsensus dan suatu keharusan secara ekonomi, politis, publik opini. Tetapi banyak kekhawatiran akan hal ini, apakah nantinya akan membawa hal-hal yang berat seperti masalah disintegrasi bangsa. Karena memang krisis yang kita alami sekarang sudah masuk ke berbagai kehidupan, yang belum tentu akan terbantu dengan desentralisasi yang dalam keadaan terpaksa. Sangat sedikit diskusi publik yang memberikan perhatian jernih mengenai dasar-dasar budaya dan masyarakat yang sebetulnya merupakan fundamen hakiki dari Indonesia sebagai suatu negara plural, negara yang Bhineka Tunggal Ika. Sehingga menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana masa depan Bhineka Tunggal Ika itu kalau dilihat secara budaya? Dalam waktu dekat ini akan ada suatu simposium di Makasar dalam bidang Antropologi pada tanggal 1 sampai 4 Agustus 2000. Tentu sebagaimana layaknya suatu simposium, simposium Antropolgi inipun akan banyak membahas masalah. Tema umumnya adalah ôMenyongsong Otonomi Daerah Mengenali Budaya Lokal dan Membangun Integrasi Bangsaö, yang diadakan oleh jurusan Antropologi FISIP-UI dan Jurnal Antropologi Indonesia. Anda bisa mengakses ini melalui berbagai cara, antara lain melalui kami yaitu perspektif@ibm.net, nanti akan kami sediakan keterangannya. Sekarang maksud kita bukan untuk membicarakan simposium itu secara khusus, tetapi materinya yang bagi kita menjadi satu pertanyaan, Bhineka Tunggal Ika, bagaimana konsep itu sekarang? Bagaimana pluralisme itu di Indonesia? Kita akan berbicara dengan orang yang sangat berwenang membahas ini yaitu Bapak Parsudi Suparlan, Profesor Antropologi dari Universitas Indonesia, yang baru saja kembali dari Amerika dan menghabiskan banyak waktu pendidikan dan penelitiannya baik di Indonesia, Amerika ataupun negara lain. Inilah Perspektif Baru dengan Parsudi Suparlan bersama pemandu anda Wimar Witoelar.
Apa yang kita bisa expect dari konsep Bhineka Tunggal Ika itu sekarang?
Bhineka Tunggal Ika dipertanyakan apa itu masih mungkin? Menurut saya itu masih mungkin. Yang harus kita pikirkan adalah bukan berarti Bhineka itu artinya didalam satu itu banyak keaneka ragaman, hanya itu saja. Tetapi justru hakikat hubungan antara yang berbagai-bagai dengan yang satu itu yang harus kita pikirkan bersama.
Ada satu konsep dalam ilmu pengetahuan sosial, antropologi, sosiologi, ilmu politik, yang namanya masyarakat majemuk. Konsep ini datangnya dari Indonesia dan itu dikemukakan oleh ahli Inggris bernama Furnival, penulis dua buah buku yang pertama adalah The Plural Economic of Netherland Hindie dan Colonial Policy a Comparation Between Burma and Netherland Hindie. Di situ jelas sekali ditunjukan bahwa yang namanya Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk terdiri atas sekolompok-sekolompok sosial atau masyarakat yang satu sama lain sebetulnya tidak saling berhubungan, tidak saling terikat, dan bahkan dia mengatakan tidak ada keinginan bersama.
Mereka ini atau masyarakat ini dipersatukan menjadi satu oleh satu kekuatan paksa pada zaman itu adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lalu masyarakat-masyarakat ini saling berhubungan karena masing-masing punya kepentingan ekonomi yaitu di pasar. Jadi justru mereka ketemunya di pasar dan untuk kepentingan ekonomi. Lebih lanjut Furnival mengatakan bahwa masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, para penguasanya hanya memikirkan kepentingan ekonomi untuk mereka sendiri. Yang paling pokok, penguasaan dengan force, dan yang kedua hanya memikirkan uang untuk kepentingan diri sendiri.
Jadi ada semacam penguatan ilmiah terhadap pengertian awam bahwa rezim yang totaliter dari dalam negeri seperti rezim Soeharto, ada miripnya dengan rezim yang totaliter dari luar negeri seperti kolonial?
Betul, seperti di Rusia yang masyarakatnya majemuk, Yugoslavia, Afrika Selatan juga demikian. Dengan kata lain kepentingan penguasa lebih menonjol dari kepentingan lain, dan kalaupun warga masyarakat saling berhubungna satu sama lain bukan untuk kesadaran kebersamaan, tetapi untuk kepentingan ekonomi masing-masing. Ini yang kita rasakan pada pemerintahan Presiden Soeharto yang lalu.
Dengan kata lain keBhineka Tunggal Ikaan itu seolah-olah ada satu yang menguasai beranekaragam yang berada dibawahnya dan mereka itu harus tunduk. Jadi tidak ada hukum yang objektif yang berbicara mengenai kebenaran atau keadilan atau untuk kesejahteraan, tapi sebenarnya kebenaran, keadilan dan kesejahteraan untuk yang menguasai hukum itu.
Bagaimana jenis pluralisme yang terwujud dalam Amerika Serikat misalnya yang sering sekali meromantisasi konsep keragaman itu?
Kalau kita perhatikan sejarah Amerika, sebetulnya ide yang pertama ada bukanya pluralisme tapi mono culturalisme, atau ide mengenai satu kebudayaan. Yang utama adalah yang dinamakan White Anglo Saxon Protestant atau WASP. Jadi orang kulit putih yang berasal dari Anglo Saxon dan beragama Kristen protestan. Sebab pada dasarnya agama-agama lain termasuk Katolik adalah agama minoritas di Amerika. Disingkirkan.
Orang-orang kulit putih lainpun pada mulanya adalah minoritas. Jadi orang kulit putih yang Anglo Saxon sebetulnya yang utamanya. Sehingga monoculturalisme ini berkembang terus sampai menjelang perang dunia ke 2, dan mulai ditantang, mulai retaknya konsep monoculturalisme yang WASP tadi itu setelah Presien Kennedy terpilih.
Jadi konsep prularisme itu sesuatu yamg modern dan baru bukan yang datang dari kebudayaan zaman dulu?
Betul, konsep multi kulturalisme sebetulnya adalah sesuatu yang baru, karena dulunya Amerika itu adalah WASP. Sedangkan golongan lain, suku bangsa dan ras lain yang datang belakangan ke Amerika, mau tidak mau harus menjadi WASP. Kalau yang warna kulitnya beda seperti bangsa kita itu susah menjadi WASP. Ini akhirnya tersingkir, dan menghasilkan kelompok-kelompok minoritas seperti Pecinan, Getto, Yahudi, dan sebagainya. Itu yang tidak bisa teradaptasi didalam WASP tadi.
Apa itu berarti kita harus khawatir kalau dikaitkan dengan konflik etnis, konflik horisontal lainnya bahwa dasarnya itu jauh lebih dalam dari pada pluralisme yang sekarang dipromosikan sebagai barang baru?
Kita tidak usah khawatir. Justru yang harus kita khawatirkan adalah perimbangan hubungan kekuatan antara penguasa dengan yang dikuasai, pusat dengan daerah. Kalau kita memang konsekuen, kita mengatakan kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka landasan dasar demokrasinya harus dipegang yaitu satu adalah kesakralan negara atau pemerintah, kedua kesakralan masyarakat dan yang ketiga individual.
Kita sekarang baru bicara HAM individual, tapi hak masyarakatnya belum disakralkan. Karena itu kalau kita perhatikan masyarakat sekarang yang diobrak-abrik, dirusak. Nah, kalau kita konsisten dengan ideologi kita, kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka itu kita pegang. Dengan demikian maka hak budaya komuniti itu juga harus diperhatikan dan didukung oleh hukum dan kekuatan hukum yang ada. Jadi keseimbangan antara ketiganya itu akan tercapai, dan ini yang terjadi di Amerika.
Jadi seperti lari dari satu eksrim ke ekstrim yang lain ya. Dulu kekuatan negara terpusat, sekarang kekuatan individu dipromosikan, sedangkan masyarakat tengahnya sama-sama menderita, itu yang terjadi sekarang?
Ya masyarakatnya justru menderita karena masyarakat sendiri tidak dihargai, tidak disakralkan. Yang disakralkan semuanya HAM. Polisi takut bertindak padahal kepentingan masyarakat kan dihancurkan oleh para perusuh. Lalu HAM yang dimenangkan kan eksrim ini. Ini yang harus mulai kita pikirkan sekarang. Kita ambil contoh di Amerika, hak untuk hidup orang kulit hitam sebagaimana cara hidup atau kebudayaan orang kulit hitam dihargai.
Yang lainnya juga demikian. Dan hak-hak ini kemudian sampai pada tingkat politik yang lebih atas, bukan lagi HAM dalam pengertian individual tapi dalam arti kebudayaan dan masyarakatnya dihargai. Jadi hak hidup kebudayaan itu dihargai. Ada dijamin dalam undang-undang. Ini yang dinamakan sebagai multi culturalism.
Makanya di Amerika orang bilang ôkebebasan pribadi berhenti dimana kebebasan umum itu mulai. Kelihatannya itu intuitif dari kecil, tingkat pendidikan rendah sudah dimasukan nilai-nilai itu, mengapa? Apa ada suatu esensi yang lebih demokratis pada masyarakat di Amerika dari pada yang di Timur?
Sebetulnya pendidikan mengenai multi culturalism di negara bagian California itu telah dilakukan sejak tahun 70-an, lalu di negara-negara bagian lain tahun 80-an, 90-an dan sebagainya. Saya terakhir di negara bagian Indiana, di sana sekarang sudah mulai dimasukan pengajaran mengenai multiculturism, dan sudah berjalan kira-kira lima tahunan. Adanya pengajaran ini antara lain membuat orang Amerika menjadi tidak rasis, bahwa orang lain yang berbeda juga berhak untuk hidup seperti kita. Nah, kalau berhak untuk hidup seperti kita, lalu tatanannya seperti apa? Tatanannya adalah hukum yang kita taati bersama, kita hormati bersama.
Apakah kita boleh berharap bahwa kita akan mengatasi soal-soal yang sangat serius dalam pluralisme, dalam integrasi bangsa, dengan satu kesadaran yang tinggi, atau kita memang dalam proses cerai berai ? Soalnya kalau kita ikuti contoh Bapak yang di Amerika, itu memerlukan suatu kegiatan dengan political will, strategi hukum dan segala macam. Di Indonesia dari mana kita akan menemukan kekuatan semacam itu kira-kira?
Kalau kita ingat HAM, itu dulu juga tidak ada, kan sama. Nah kita bisa melakukan bahwa masyarakat-masyarakat kecil, komuniti-komuniti kecil juga punya hak untuk hidup. Hidup menurut kebudayaannya yang bersangkutan. Jadi jangan mentang-mentang kita kuat seperti orang Jawa, atau orang Padang di Mentawai kan kuat, atau orang Melayu di Riau kan kuat, lalu masyarakat-masyarakat terasing dihabisi. Mereka dianggap sebagai yang tidak berharga dan harus diislamkan atau di Kristenkan, serta bukan dengan suka rela.
Seperti ini sebaiknya mulai diindahkan, dan itu didalam undang-undang PBB ada hak-hak sepert itu yang harus dilindungi oleh negara yang bersangkutan. Indonesia menandatanganinya. Satu hal berkaitan dengan ini adalah kalau kita perhatikan, antara lain kalau kita lihat di Indonesia, di Rusia dan Yugoslavia, begitu kekuasaan yang otoriter tidak ada lagi, maka masing-masing mau berkuasa, masing-masing bentrok dan sebagainya, timbul kerusuhan, masing-masing mau mendapatkan kue yang besar Tapi kalau kita lihat apa yang terjadi di Afrika Selatan itu berbeda.
Sebenarnya itu juga masyarakat majemuk, tapi Mandela mempunyai suatu kemampuan untuk memaafkan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih, dan Kennedy juga mempunyai kemampuan sosial untuk melakukan ini. Membangun golongan minoritas dan mendamaikan golongan dominan untuk dapat hidup bersama. Itu dituangkan dalam undang-undang. Tapi di Rusia dan Yogoslavia tidak ada tokoh seperti itu. Nah ini saya kira yang harus kita pikirkan, mungkin barangkali kita dapat melakukannya dengan antara lain memberikan konsesi hak budaya komuniti didalam undang-undang otonomi daerah.
Jadi ini jelas suatu upaya bangsa, upaya nasional, dimana kita harus sangat solider dan dengan kekuatan besar, bagaimana tempatnya otonomi daerah didalam usaha untuk mempersatukan bangsa ini, apa dia tidak menimbulkan fragmentasi dalam prosesnya?
Otonomi daerah kalau salah-salah bisa menghasilkan fragmentasi, disorganisasi dan kemudian menjadi disintegrasi. Apa yang harus diperhatikan bahwa di daerah-daerah masyarakat yang utama adalah masyarakat suku bangsa, yang biasanya mayoritas pemeluk sesuatu agama walaupun ada minoritasnya yang agama lain.
Di dalam prinsip kesukubangsaan masing-masing suku bangsa di Indonesia, ada satu unsur terpenting yang saya namakan originalitas. Apakah originalitas ini seharusnya tidak dimasukan didalam peraturan atau dalam semacam etika dasar dari terbentuknya otonomi, bahwa sesuatu warga masyarakat otonomi daerah sebetulnya adalah mereka yang dilahirkan di tempat itu. Karena pada dasarnya kita ini tidak ada yang asli. Sebetulnya kita semuanyan hanya migran, hanya saja siapa yang lebih dulu, siapa yang lebih berkuasa. Misalnya dikepulauan Riau Bangka, orang Cina datang terlebih dahulu dari pada orang Melayu. Karena mereka bekas perompak atau kapal terdampar itu ada disitu.
Begitu juga orang Cina di Kalimantan Barat, tapi mereka masih saja digolongkan sebagai pendatang padahal ngomong Chinanya sebagian besar sudah tidak bisa. Ini saya kira satu unsur utama yang menjadi landasan dasar etika terbentuknya otonomi daerah untuk menghindarkan adanya diskriminasi dan sebagainya. Jadi yang namanya warga sesuatu wilayah adalah mereka dilahirkan disitu, tidak peduli asalnya dari mana. Ini baru kita bisa menuju pada masyarakat Indonesia yang kita harapkan, yang berkebudayaan majemuk, bukan yang masyarakat majemuk tapi mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam, yang Bhineka Tunggal Ika.
Seperti Bapak katakan HAM tidak ada sekarang ada, kesadaran mengenai pluralisme mulai ada. Ini muncul karena reformasi, karena rezim itu tumbang, atau sudah ada kesadaran pada kantong-kantong masyarakat Indonesia?
Kesadaran itu ada, mengenai keberadaan ada dalam pengetahuan mereka. Hanya kemudian kalau itu ada kaitannya dengan kepentingan masing-masing pribadi, maka kesukubangsaan dimanipulasi. Mengatakan itu bukan asli. Berbagai kerusuhan yang sekarang terjadi juga demikian, ôitu bukan orang sini, itu orang luar.
Padahal dia lahir dan besar di situ. Ambil contoh dalam kasus kerusuhan di Kalimantan Barat antar Madura dan Melayu. Ada orang Madura yang kalau dipulangkan ke Madura, dia harus tinggal di mana? Karena dia lahir dan besar disitu, dan sudah tiga generasi. Ini yang harus kita pikirkan bersama.
Sumber: http://www.perspektifbaru.com
Masalah negara kita masih belum terpecahkan saja, apalagi pada saat minggu-minggu sekarang dimana banyak sekali masalah selain yang sangat kritis dan aktual, sangat jangka pendek, serta penyelesainnyapun jangka pendek dan cenderung politis. Dibalik semua itu kita yakin bahwa Indonesia mempunyai berbagai masalah yang fundamental dan dijanjikan penyelesaian-penyelesaian yang berdasarkan pada pandangan yang komprehensif. Kalau kita bicara mengenai Otonomi Daerah misalnya, yang merupakan konsensus dan suatu keharusan secara ekonomi, politis, publik opini. Tetapi banyak kekhawatiran akan hal ini, apakah nantinya akan membawa hal-hal yang berat seperti masalah disintegrasi bangsa. Karena memang krisis yang kita alami sekarang sudah masuk ke berbagai kehidupan, yang belum tentu akan terbantu dengan desentralisasi yang dalam keadaan terpaksa. Sangat sedikit diskusi publik yang memberikan perhatian jernih mengenai dasar-dasar budaya dan masyarakat yang sebetulnya merupakan fundamen hakiki dari Indonesia sebagai suatu negara plural, negara yang Bhineka Tunggal Ika. Sehingga menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana masa depan Bhineka Tunggal Ika itu kalau dilihat secara budaya? Dalam waktu dekat ini akan ada suatu simposium di Makasar dalam bidang Antropologi pada tanggal 1 sampai 4 Agustus 2000. Tentu sebagaimana layaknya suatu simposium, simposium Antropolgi inipun akan banyak membahas masalah. Tema umumnya adalah ôMenyongsong Otonomi Daerah Mengenali Budaya Lokal dan Membangun Integrasi Bangsaö, yang diadakan oleh jurusan Antropologi FISIP-UI dan Jurnal Antropologi Indonesia. Anda bisa mengakses ini melalui berbagai cara, antara lain melalui kami yaitu perspektif@ibm.net, nanti akan kami sediakan keterangannya. Sekarang maksud kita bukan untuk membicarakan simposium itu secara khusus, tetapi materinya yang bagi kita menjadi satu pertanyaan, Bhineka Tunggal Ika, bagaimana konsep itu sekarang? Bagaimana pluralisme itu di Indonesia? Kita akan berbicara dengan orang yang sangat berwenang membahas ini yaitu Bapak Parsudi Suparlan, Profesor Antropologi dari Universitas Indonesia, yang baru saja kembali dari Amerika dan menghabiskan banyak waktu pendidikan dan penelitiannya baik di Indonesia, Amerika ataupun negara lain. Inilah Perspektif Baru dengan Parsudi Suparlan bersama pemandu anda Wimar Witoelar.
Apa yang kita bisa expect dari konsep Bhineka Tunggal Ika itu sekarang?
Bhineka Tunggal Ika dipertanyakan apa itu masih mungkin? Menurut saya itu masih mungkin. Yang harus kita pikirkan adalah bukan berarti Bhineka itu artinya didalam satu itu banyak keaneka ragaman, hanya itu saja. Tetapi justru hakikat hubungan antara yang berbagai-bagai dengan yang satu itu yang harus kita pikirkan bersama.
Ada satu konsep dalam ilmu pengetahuan sosial, antropologi, sosiologi, ilmu politik, yang namanya masyarakat majemuk. Konsep ini datangnya dari Indonesia dan itu dikemukakan oleh ahli Inggris bernama Furnival, penulis dua buah buku yang pertama adalah The Plural Economic of Netherland Hindie dan Colonial Policy a Comparation Between Burma and Netherland Hindie. Di situ jelas sekali ditunjukan bahwa yang namanya Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk terdiri atas sekolompok-sekolompok sosial atau masyarakat yang satu sama lain sebetulnya tidak saling berhubungan, tidak saling terikat, dan bahkan dia mengatakan tidak ada keinginan bersama.
Mereka ini atau masyarakat ini dipersatukan menjadi satu oleh satu kekuatan paksa pada zaman itu adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lalu masyarakat-masyarakat ini saling berhubungan karena masing-masing punya kepentingan ekonomi yaitu di pasar. Jadi justru mereka ketemunya di pasar dan untuk kepentingan ekonomi. Lebih lanjut Furnival mengatakan bahwa masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, para penguasanya hanya memikirkan kepentingan ekonomi untuk mereka sendiri. Yang paling pokok, penguasaan dengan force, dan yang kedua hanya memikirkan uang untuk kepentingan diri sendiri.
Jadi ada semacam penguatan ilmiah terhadap pengertian awam bahwa rezim yang totaliter dari dalam negeri seperti rezim Soeharto, ada miripnya dengan rezim yang totaliter dari luar negeri seperti kolonial?
Betul, seperti di Rusia yang masyarakatnya majemuk, Yugoslavia, Afrika Selatan juga demikian. Dengan kata lain kepentingan penguasa lebih menonjol dari kepentingan lain, dan kalaupun warga masyarakat saling berhubungna satu sama lain bukan untuk kesadaran kebersamaan, tetapi untuk kepentingan ekonomi masing-masing. Ini yang kita rasakan pada pemerintahan Presiden Soeharto yang lalu.
Dengan kata lain keBhineka Tunggal Ikaan itu seolah-olah ada satu yang menguasai beranekaragam yang berada dibawahnya dan mereka itu harus tunduk. Jadi tidak ada hukum yang objektif yang berbicara mengenai kebenaran atau keadilan atau untuk kesejahteraan, tapi sebenarnya kebenaran, keadilan dan kesejahteraan untuk yang menguasai hukum itu.
Bagaimana jenis pluralisme yang terwujud dalam Amerika Serikat misalnya yang sering sekali meromantisasi konsep keragaman itu?
Kalau kita perhatikan sejarah Amerika, sebetulnya ide yang pertama ada bukanya pluralisme tapi mono culturalisme, atau ide mengenai satu kebudayaan. Yang utama adalah yang dinamakan White Anglo Saxon Protestant atau WASP. Jadi orang kulit putih yang berasal dari Anglo Saxon dan beragama Kristen protestan. Sebab pada dasarnya agama-agama lain termasuk Katolik adalah agama minoritas di Amerika. Disingkirkan.
Orang-orang kulit putih lainpun pada mulanya adalah minoritas. Jadi orang kulit putih yang Anglo Saxon sebetulnya yang utamanya. Sehingga monoculturalisme ini berkembang terus sampai menjelang perang dunia ke 2, dan mulai ditantang, mulai retaknya konsep monoculturalisme yang WASP tadi itu setelah Presien Kennedy terpilih.
Jadi konsep prularisme itu sesuatu yamg modern dan baru bukan yang datang dari kebudayaan zaman dulu?
Betul, konsep multi kulturalisme sebetulnya adalah sesuatu yang baru, karena dulunya Amerika itu adalah WASP. Sedangkan golongan lain, suku bangsa dan ras lain yang datang belakangan ke Amerika, mau tidak mau harus menjadi WASP. Kalau yang warna kulitnya beda seperti bangsa kita itu susah menjadi WASP. Ini akhirnya tersingkir, dan menghasilkan kelompok-kelompok minoritas seperti Pecinan, Getto, Yahudi, dan sebagainya. Itu yang tidak bisa teradaptasi didalam WASP tadi.
Apa itu berarti kita harus khawatir kalau dikaitkan dengan konflik etnis, konflik horisontal lainnya bahwa dasarnya itu jauh lebih dalam dari pada pluralisme yang sekarang dipromosikan sebagai barang baru?
Kita tidak usah khawatir. Justru yang harus kita khawatirkan adalah perimbangan hubungan kekuatan antara penguasa dengan yang dikuasai, pusat dengan daerah. Kalau kita memang konsekuen, kita mengatakan kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka landasan dasar demokrasinya harus dipegang yaitu satu adalah kesakralan negara atau pemerintah, kedua kesakralan masyarakat dan yang ketiga individual.
Kita sekarang baru bicara HAM individual, tapi hak masyarakatnya belum disakralkan. Karena itu kalau kita perhatikan masyarakat sekarang yang diobrak-abrik, dirusak. Nah, kalau kita konsisten dengan ideologi kita, kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka itu kita pegang. Dengan demikian maka hak budaya komuniti itu juga harus diperhatikan dan didukung oleh hukum dan kekuatan hukum yang ada. Jadi keseimbangan antara ketiganya itu akan tercapai, dan ini yang terjadi di Amerika.
Jadi seperti lari dari satu eksrim ke ekstrim yang lain ya. Dulu kekuatan negara terpusat, sekarang kekuatan individu dipromosikan, sedangkan masyarakat tengahnya sama-sama menderita, itu yang terjadi sekarang?
Ya masyarakatnya justru menderita karena masyarakat sendiri tidak dihargai, tidak disakralkan. Yang disakralkan semuanya HAM. Polisi takut bertindak padahal kepentingan masyarakat kan dihancurkan oleh para perusuh. Lalu HAM yang dimenangkan kan eksrim ini. Ini yang harus mulai kita pikirkan sekarang. Kita ambil contoh di Amerika, hak untuk hidup orang kulit hitam sebagaimana cara hidup atau kebudayaan orang kulit hitam dihargai.
Yang lainnya juga demikian. Dan hak-hak ini kemudian sampai pada tingkat politik yang lebih atas, bukan lagi HAM dalam pengertian individual tapi dalam arti kebudayaan dan masyarakatnya dihargai. Jadi hak hidup kebudayaan itu dihargai. Ada dijamin dalam undang-undang. Ini yang dinamakan sebagai multi culturalism.
Makanya di Amerika orang bilang ôkebebasan pribadi berhenti dimana kebebasan umum itu mulai. Kelihatannya itu intuitif dari kecil, tingkat pendidikan rendah sudah dimasukan nilai-nilai itu, mengapa? Apa ada suatu esensi yang lebih demokratis pada masyarakat di Amerika dari pada yang di Timur?
Sebetulnya pendidikan mengenai multi culturalism di negara bagian California itu telah dilakukan sejak tahun 70-an, lalu di negara-negara bagian lain tahun 80-an, 90-an dan sebagainya. Saya terakhir di negara bagian Indiana, di sana sekarang sudah mulai dimasukan pengajaran mengenai multiculturism, dan sudah berjalan kira-kira lima tahunan. Adanya pengajaran ini antara lain membuat orang Amerika menjadi tidak rasis, bahwa orang lain yang berbeda juga berhak untuk hidup seperti kita. Nah, kalau berhak untuk hidup seperti kita, lalu tatanannya seperti apa? Tatanannya adalah hukum yang kita taati bersama, kita hormati bersama.
Apakah kita boleh berharap bahwa kita akan mengatasi soal-soal yang sangat serius dalam pluralisme, dalam integrasi bangsa, dengan satu kesadaran yang tinggi, atau kita memang dalam proses cerai berai ? Soalnya kalau kita ikuti contoh Bapak yang di Amerika, itu memerlukan suatu kegiatan dengan political will, strategi hukum dan segala macam. Di Indonesia dari mana kita akan menemukan kekuatan semacam itu kira-kira?
Kalau kita ingat HAM, itu dulu juga tidak ada, kan sama. Nah kita bisa melakukan bahwa masyarakat-masyarakat kecil, komuniti-komuniti kecil juga punya hak untuk hidup. Hidup menurut kebudayaannya yang bersangkutan. Jadi jangan mentang-mentang kita kuat seperti orang Jawa, atau orang Padang di Mentawai kan kuat, atau orang Melayu di Riau kan kuat, lalu masyarakat-masyarakat terasing dihabisi. Mereka dianggap sebagai yang tidak berharga dan harus diislamkan atau di Kristenkan, serta bukan dengan suka rela.
Seperti ini sebaiknya mulai diindahkan, dan itu didalam undang-undang PBB ada hak-hak sepert itu yang harus dilindungi oleh negara yang bersangkutan. Indonesia menandatanganinya. Satu hal berkaitan dengan ini adalah kalau kita perhatikan, antara lain kalau kita lihat di Indonesia, di Rusia dan Yugoslavia, begitu kekuasaan yang otoriter tidak ada lagi, maka masing-masing mau berkuasa, masing-masing bentrok dan sebagainya, timbul kerusuhan, masing-masing mau mendapatkan kue yang besar Tapi kalau kita lihat apa yang terjadi di Afrika Selatan itu berbeda.
Sebenarnya itu juga masyarakat majemuk, tapi Mandela mempunyai suatu kemampuan untuk memaafkan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih, dan Kennedy juga mempunyai kemampuan sosial untuk melakukan ini. Membangun golongan minoritas dan mendamaikan golongan dominan untuk dapat hidup bersama. Itu dituangkan dalam undang-undang. Tapi di Rusia dan Yogoslavia tidak ada tokoh seperti itu. Nah ini saya kira yang harus kita pikirkan, mungkin barangkali kita dapat melakukannya dengan antara lain memberikan konsesi hak budaya komuniti didalam undang-undang otonomi daerah.
Jadi ini jelas suatu upaya bangsa, upaya nasional, dimana kita harus sangat solider dan dengan kekuatan besar, bagaimana tempatnya otonomi daerah didalam usaha untuk mempersatukan bangsa ini, apa dia tidak menimbulkan fragmentasi dalam prosesnya?
Otonomi daerah kalau salah-salah bisa menghasilkan fragmentasi, disorganisasi dan kemudian menjadi disintegrasi. Apa yang harus diperhatikan bahwa di daerah-daerah masyarakat yang utama adalah masyarakat suku bangsa, yang biasanya mayoritas pemeluk sesuatu agama walaupun ada minoritasnya yang agama lain.
Di dalam prinsip kesukubangsaan masing-masing suku bangsa di Indonesia, ada satu unsur terpenting yang saya namakan originalitas. Apakah originalitas ini seharusnya tidak dimasukan didalam peraturan atau dalam semacam etika dasar dari terbentuknya otonomi, bahwa sesuatu warga masyarakat otonomi daerah sebetulnya adalah mereka yang dilahirkan di tempat itu. Karena pada dasarnya kita ini tidak ada yang asli. Sebetulnya kita semuanyan hanya migran, hanya saja siapa yang lebih dulu, siapa yang lebih berkuasa. Misalnya dikepulauan Riau Bangka, orang Cina datang terlebih dahulu dari pada orang Melayu. Karena mereka bekas perompak atau kapal terdampar itu ada disitu.
Begitu juga orang Cina di Kalimantan Barat, tapi mereka masih saja digolongkan sebagai pendatang padahal ngomong Chinanya sebagian besar sudah tidak bisa. Ini saya kira satu unsur utama yang menjadi landasan dasar etika terbentuknya otonomi daerah untuk menghindarkan adanya diskriminasi dan sebagainya. Jadi yang namanya warga sesuatu wilayah adalah mereka dilahirkan disitu, tidak peduli asalnya dari mana. Ini baru kita bisa menuju pada masyarakat Indonesia yang kita harapkan, yang berkebudayaan majemuk, bukan yang masyarakat majemuk tapi mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam, yang Bhineka Tunggal Ika.
Seperti Bapak katakan HAM tidak ada sekarang ada, kesadaran mengenai pluralisme mulai ada. Ini muncul karena reformasi, karena rezim itu tumbang, atau sudah ada kesadaran pada kantong-kantong masyarakat Indonesia?
Kesadaran itu ada, mengenai keberadaan ada dalam pengetahuan mereka. Hanya kemudian kalau itu ada kaitannya dengan kepentingan masing-masing pribadi, maka kesukubangsaan dimanipulasi. Mengatakan itu bukan asli. Berbagai kerusuhan yang sekarang terjadi juga demikian, ôitu bukan orang sini, itu orang luar.
Padahal dia lahir dan besar di situ. Ambil contoh dalam kasus kerusuhan di Kalimantan Barat antar Madura dan Melayu. Ada orang Madura yang kalau dipulangkan ke Madura, dia harus tinggal di mana? Karena dia lahir dan besar disitu, dan sudah tiga generasi. Ini yang harus kita pikirkan bersama.
Sumber: http://www.perspektifbaru.com