Selamat datang kembali sang “Timur”

Oleh : R. Supanggah

Tidak diragukan lagi bahwa Negara Negara atau bangsa bangsa Timur, termasuk Indonesia terkenal dengan kepemilikan keseniannya yang kaya, beragam dan berkwalitas tinggi. Cina, Korea, Jepang, Thailand, Khmer, Myanmar, Vietnam dan Indonesia adalah beberapa contoh bangsa bangsa atau Negara yang kaya akan kesenian yang berkwalitas tinggi dan telah eksis sejak ribuan tahun yang lalu. Seperti kita ketahui bahwa Cina diakui pernah menjadi pusat kehidupan seni budaya tinggi sejak ribuan tahun sebelum masehi. Kesenian kesenian dari bangsa bangsa timur juga telah memberi sumbangan yang begitu besar terhadap perkembangan seni budaya, termasuk kesenian modern dunia, sejak dulu sampai sekarang. Banyak genre kesenian (contoh musik) “baru” di dunia internasional mendapat pengaruh dari kesenian kesenian bangsa timur. Karya karya baru seperti itu masih terus dan terus saja dilahirkan. Debussy, Olivier Messian, Steve Reich, Lou Harrison, John Cage, Philip Glass dan lain lain adalah nama nama besar, pelopor dan pencipta genre baru dalam dunia musik yang selalu melakukan inovasi yang memberi warna baru terhadap perkembangan dunia musik dunia. Mereka sangat akrab dan banyak “menggunakan” unsur seni (musik) budaya Indonesia dalam karya karyanya,

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jelas merupakan moment yang sangat penting, indah, bersejarah dan sekaligus sangat menentukan bagi perkembangan kehidupan bangsa Indonesia pada masa masa selanjutnya, - kehidupan manusia dalam berbagai bidang kegiatan; politik, ekonomi, social, ilmu pengetahuan, hankam dan kebudayaan, termasuk kesenian. Kemerdekaan Indonesia adalah salah satu ujud keberhasilan bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari kekuasaan dan cengkeraman politik dan ekonomi Belanda (baca : barat), yang telah menguasai Indonesia sekitar 350 tahun. Pembebasan tersebut tersebut terlihat terutama dalam system pemerintahan , politik, hankam dan ekonomi. Bangsa Indonesia bebas untuk menentukan sendiri bentuk pemerintahan,system atau pranata sosial dan hukum kenegaraannya . Dengan tekad dan kepercayaan dirinya yang tinggi, Indonesia ingin mengisi kemerdekaan mengantarkan Negara dan rakyatnya untuk hidup lebih sejahtera, setara dengan bangsa bangsa atau negara lainnya yang lebih maju. Modernisasi dalam segala bidang adalah salah satu cara yang ditempuhnya untuk menggapai tujuan tersebut. Ilmu pengetahuan, teknologi dan industri menjadi prioritas pambangunan Indonesia. Pendidikan, termasuk pendidikan kesenian, dengan demikian menjadi bagian dari hajadan besar tersebut sekaligus menjadi sarana penting untuk mewujudkan cita cita tersebut.
Pasca merdeka.

Sebagai Negara yang baru saja lahir merdeka, Indonesia masih mencari format yang pas untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan segala pernik pernik permasalahannya. Beberapa tokoh yang sempat mengenyam pendidikan di dalam maupun di luar negeri yang (nota bene) pada waktu itu menggunakan system pendidikan belanda, banyak yang menjadi ujung tombak dan memegang kendali pemerintahan. Demikian pula dalam bidang pendidikan, - termasuk pendidikan kesenian. Lembaga pendidikan kesenian formal pertama diselenggarakan pada awal awal masa kemerdekaan menggunakan nama Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) dan Konservatori Tari Indonesia (KONRI) dibuka pada tahun1950. Dari nama sekolah jelas terlihat bahwa system pendidikan yang diacu adalah system pendidikan kesenian barat, walaupun materi yang diajarkan adalah karawitan atau tari adalah kesenian timur, kesenian yang bersumber pada seni kraton. Kesenian kraton digunakan sebagai materi ajar utama karena dianggap sebagai kesenian standard, mapan dan berkwalitas. Penyelenggaran pendidikan kesenian formal a la konservatori kemudian dianggap sebagai satu hal yang mungkin paradoksal. Bererapa orang menganggap bahwa ketika belanda menguasai Indonesia, mereka dianggap sebagai tidak sempat menyentuh kehidupan kesenian kebudayaan , - karena terlalu asyik dengan mengurusi politik (kekuasaan) dan uang (kekayaan) saja-, namun setelah mereka telah meninggalkan Indonesia, justru kita sendiri, secara formal dan resmi mengundang dan menyerahkan diri, rela untuk dijamah oleh system mereka. Ujud, system, cara dan selera mereka kita undang masuk untuk “ngerjain” kehidupan/perkembangan kesenian kita, kesenian Indonesia.

Jer basuki mawa bea, demikian kata orang Jawa. Modernisasi, telah membawa berkah sekaligus minta pengorbanan pada kita. Sayangnya, bidang bidang humaniora menjadi salah satu sasaran pengorbanan. Ketika prioritas pembangunan kita ditekankan pada pembangunan fisik, maka dana dan energi dicurahkan untuk bidang politik, iptek dan ekonomi, sedangkan sektor pendidikan, kebudayaan serta kesehatan menjadi prioritas yang ke sekian. Kata kesejahteraan lebih dimaknai sebagai kesejahteraan lahir, kesejahteraan ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh berbagai kegiatan dan jumlah anggaran serta fasilitas yang disediakan oleh pemerintah maupun instansi instansi non pemerintah untuk berbagai bidang kegiatan. Dana yang disediakan untuk sector pendidikan dan kebudayaan misalnya, tak lebih dari 5 persen dari APBN. Sedangkan anggaran untuk kesenian lebih parah lagi, hanya sebagian kecil dari anggaran pendidikan yang kecil itu.

Orientasi
Salah satu hal penting yang menandai kehidupan kesenian di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perubahan orientasi kesenian. Kesenian yang tadinya lebih berorientasi pada kraton (kerajaan) dan atau adat, system kepercayaan serta religi tertentu, kemudian bergeser berorientasi pada pemerintahan republik dan pada aktivitas manusia yang sifatnya lebih sekuler, profan, hiburan dan komersial. Banyak jenis kesenian yang kehilangan tempat, kesempatan hadir, bahkan kesempatan hidup di masyarakat. Berbagai jenis kesenian telah kehilangan fungsi, kegunaan dan maknanya di masyarakat. Bedaya srimpi di lingkungan kraton, makyong pada masyarakat bangsawan di Riau, wayang orang di berbagai tobong, wayang gedhog di kraton Surakarta, gamat di Sumatra, seblang di Banyuwangi, Gareng Lameng di perbatasan Kabupaten Maumere dan Larantuka, Flores dan sebagainya misalnya, semakin surut hidupnya. Disadari bahwa beberapa bentuk kesenian yang meredup tersebut sebenarnya memiliki kekuatan dan kualitas (seni) yang sangat tinggi sehingga dirasa sangat sayang bila mereka lenyap.

Beberapa usaha terus dilakukan oleh pemerintah (dan masyarakat) untuk tetap menjaga kehidupan kesenian tersebut. Re-vitalisasi, refungsinonalisasi, re-orientasi, re-generasi, pelestarian, pembinaan, pengembangan, re-formasi kesenian adalah istilah istilah kegiatan dari berbagai fihak yang sangat biasa terdengar di telinga kita. Semua jenis kegitan tersebut jelas memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia, namun berbicara tentang hasil, memang belum menunjukkan sesuatu yang signifikan.

Barat - Timur
Seiring dengan perjalanan Indonesia pasca merdeka, timbul berbagai permasalahan kehidupan kesenian, antara lain dapat kami sebutkan sebagai berikut :

Perkembangan kehidupan kesenian di Indonesia cenderung di dominasi oleh kesenian kesenian hiburan komersial. Kesenian pop dan kesenian yang menawarkan kenikmatan indrawi lahiriah bergerak maju menggeser kehidupan kesenian yang berorientasi pada kesehateraan batin, kesenian yang memberikan refleksi, perenungan hidup, kritik social atau yang mengantarkan manusia lebih dekat kepada yang Maha Kuasa justru kurang mendapat perhatian. Sebelum kemerdekaan kesenian ini hadir sangat sering dan dekat dengan kita, walau jenis kesenian yang disebut belakangan ini tidak menghasilkan uang. Modernisasi dan industrialisasi memiliki peran yang luar biasa dalam mengubah sosok kesenian Indonesia. Industri intertainmen menentukan bentuk dan kehidupan kesenian dengan membangun selera masyarakat akan kesenian. Cita rasa masyarakat akan kesenian (juga dalam hal lain seperti mode dan makanan) dibentuk oleh image yang dibuat oleh industri. Lihat pada beberapa contoh program tayangan di televisi maupun produksi rekaman audio visual di Indonesia. Sony music, MGM, Hollywood, Bollywood, ASTRO, Punyabi bersaudara, Mtv adalah beberapa contoh industri intertainment yang paling mendominasi dan menentukan kehidupan kesenian di Indonesia, bahkan dunia. Penilaian seni berdasarkan rating. Belum ada keseimbangan yang wajar dalam kehidupan kesenian di Indonesia.

Kekaryaan seni, kemasan seni, program kesenian yang dibuat di Indonesia dengan demikian juga mengacu seperti apa yang dibuat di “barat”. Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Broadway-an, Komedi musical a laLydo atau Moulin Rouge atau Broadway, sinetron, operette,aneka gossip pergunjingan kehidupan artis, pemberian award, dan sebagainya. Di Indonesia, kalau orang berbicara musik, hampir dipastikan adalah musik yang “berbau” barat, sedangkan gamelan, talempong, zurdam, kecapi, semar pagulingan, musik Al Suwardi, I Nyoman Winda, I Gede Manik, Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra, Elizar Koto, Basri Pasila, dan sebagainya jelas tidak masuk dalam perbincangan tersebut. Demikian pula ketika kita berbicara tentang dance, dipastikan bahwa tarinya Sardono, Miroto, Retno Maruti, Mugiyono, Eko Supriyanto, Andi Ummu, I Wayan Sija, Pak Kalkul, Ibu Reneng, Ibu Rasinah dan sebagainya jelas juga tidak masuk dalam pembicaraan tersebut, walau reputasi mereka telah mendunia dan memberi sumbangan yang luar biasa dalam mengarumkan nama bangsa dan Negara di dunia internasional.

Kegiatan revitalisasi, pelestarian , pembinaan atau pengembangan kesenian yang dilakukan oleh pemerintah ,sayangnya juga dirancang dan diarahkan untuk menghasilkan uang. Pariwisata adalah koridor yang sekarang ini digunakan pemerintah untuk membina kehidupan kesenian di Indonesia. Hal tersebut makin jelas kelihatan dengan diurusnya kesenian secara formal dalam departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sampai saat ini kebijakan departemen cenderung masih memberlakukan kesenian sebagai obyek dan atau sarana kepariwisataan dalam menarik devisa, bukan pada menempatkan kesenian sebagai subyek dengan menempatkan kembali pada fungsinya yang primer yaitu sebagai sarana hayatan melalui garapan nilai rohani yang wigati, - mengantarkan manusia untuk lebih dekat pada Yang Kuasa atau yang memacu pada perenungan terhadap kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Ironis memang, kalau bukannya menyedihkan. Urusan seni dalam konteks komersial, - seni dalam fungsinya yang sekunder-, sudah terlalu banyak ditangani oleh swasta, dengan demikian pemerintah seyogyanya bahkan seharusnya mengurusi seni dalam fungsinya yang primer, yang utama. Hanya sangat sangat sedikit fihak swasta yang mau peduli dengan mensponsori kegiatan kesenian seperti ini. Alasannya klasik, tidak mendatangan keuntungan komersial. Untuk itulah pemerintah diperlukan dalam rangka menyehatkan kehidupan kesenian di Indonesia untuk mendapatkan komposisi atau perimbangan yang wajar.

Pendidikan kesenian formal di Indonesia, - seperti yang telah disinggung di bagian awal makalah ini -, sampai pada tahun 80-an berorientasi pada system pendidikan kesenian (conservatoire) di barat. Karakter yang menonjol pada system pendidikan kesenian cara barat adalah :

Menggunakan kurikulum mata pelajaran baku dengan durasi atau waktu pengajaran dan target yang pasti

Mempatkan unsur penguasaan teknik bermain/menyajikan seni sebagai satu hal yang terpenting. Penghayatan menjadi prioritas yang kesekian.

Belajar kesenian secara individu, baik cara maupun penyikapan terhadap alat atau materi yang dipelajarinya
Menggunakan metode atau cara pengajaran yang baku yang relatif ketat dalam pelaksanaannya.

Hubungan kerja antara guru dan murid adalah formal

Belajar dengan menggunakan system kelas. Murid belajar bersama sama dalam jumlah banyak dalam satu ruang kelas yang sama dan dengan materi yang sama, disajikan dengan cara atau interpretasi yang sama.

Menggunakan notasi sebagai alat utama dalam proses belajar mengajar.

Keluaran dari lembaga ini, dengan demikian, biasanya adalah seniman seniman yang memiliki karakter yang nyaris seragam, baku dan bila tidak disadarai dapat menjadi beku. Kelenturan dan kreativitas bisa sulit muncul dari siswa di lingkungan lembaga ini dengan system pengajaran seperti yang disebut di atas, kecuali bila mereka memiliki

Bekal kesenimanan yang cukup kuat sebelum masuk ke lembaga pendidikan formal. Murid yang berasal dari atau keturunan keluarga seniman biasanya lebih memenuhi persyaratan atau tuntutan ini.

Blater. Siswa banyak mengadakan aktivitas dan bergaul dengan banyak seniman dan masyarakat yang majemuk di luar “kampus”.

Peka terhadap lingkungan sosio kulturalnya Bakat yang tinggi.
Mulai awal 80-an muncul kesadaran (setidaknya di lingkungan Akedemi Seni Karawitan Indonesia ASKI, sekarang STSI Surakarta) akan adanya ketidak beresan, ketidak cocokan system konservatori untuk pendidikan kesenian Indonesia yang pada dasarnya memiliki karakter yang berbeda dengan kesenian “barat”

Persoalan barat – timur, utara – selatan sebenarnya telah terjadi dan relatif telah selesai sejak lama, yaitu sejak pergaulan budaya antar bangsa terjalin dan semakin luas dan intens (mulai abad 15). Dengan demikian hubungan dan akibat dari hubungan tersebut semestinya tidak perlu lagi dipermasalahkan. Keduanya telah saling bersapa, saling memperngaruhi, saling mengilhami, saling bekerja sama bahkan saling kawin sejak berabad abad yang lalu. Kesenian hibrida adalah hasil dari perkawinan tersebut. Persoalannya adalah, bahwa dalam sapa aruh ini, sering terjadi bahwa seni – budaya yang satu bisa mendominasi kalau bukannya menggusur yang lain. Ada pula kesenian yang satu menggusur atau mematikan yang lain. Sebenarnya, seni – budaya sering, memang dan seharusnya selalu berubah dan berkembang menuruti jaman, lingkungan dan kebutuhan masyarakatnya. Namun ketika perubahan ini terjadi dalam proses dan atau kondisi yang tidak sehat atau wajar, ditambah dengan ditumpangi oleh kepentingan tertentu, hubungan antar bangsa tersebut bisa menjadi masalah, seperti timbulnya konflik antar bangsa atau krisis identitas.dari budaya tertentu.

Kasus seperti itu sebenarnyalah tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa Negara lain, termasuk di beberapa Negara maju. Ketika dunia menjadi mengglobal, di mana batas politik dan administrasi antar bangsa dan Negara menjadi mengkabur, nampak bahwa bangsa atau Negara yang memiliki keunggulan dalam bidang politik, ekonomi dan teknologi cenderung potensial untuk mempengaruhi bahkan “menguasai” bangsa atau Negara lain. Itulah beberapa Negara berusaha berlomba lomba untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi dunia. Bangsa Jepang adalah contoh salah satu Negara termaju atau termodern di Asia dan juga di dunia yang pernah memiliki pengalaman pahit manis dalam menjadi bangsa “barat”. Ketika mereka kalah perang dari tentara sekutu gara gara bom atom pada tahun 45, orientasi mereka kemudian berubah drastis, - dari berorientasi ke kaisar (sebagai manusia titisan dewa matahari), bergeser ke teknologi. Dewa dikalahkan oleh teknologi? Memang begitu pendapat beberapa orang Jepang.

Karena itu pada masa masa pemerintahan Meiji, Jepang bekerja keras untuk mengejar ketinggalan mereka dalam bidang iptek dari barat. Semua yang dikerjakan , - yang diteliti, yang ditulis, yang diproduksi, yang dipublikasi di barat, kemudian dipelajari , diterjemahkan, ditiru, dikerjakan, dan dikembangkan di Jepang. Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, teknologi Jepang telah berhasil menyamai bahkan di beberapa kasus tertentu, mampu melampaui barat. Pembaratan Jepang bukan hanya pada bidang iptek, tetapi juga seni – budaya, termasuk life style, - perilaku manusianya. Gaya hidup, irama hidup, cara berpakaian , selera makan, kesenian yang ditonton dan dipelajari oleh orang Jepang, terutama di kota kota besar, hampir tidak ada bedanya antara yang di Jepang dengan yang di Amerika, yang di Tokyo dengan yang di New York. McDonald, Pizza Hut, Starbuck, Opera, Phantom of the Opera, Cats, Lionel Richie, Madonna, Julio Iglesias, King Lear, Mariah Carey, Robert de Niro, lebih populer dari teater Noh dan Kabuki atau musik Gagaku maupun Shakuhachi.

Banyak bangsa atau Negara lain iri kepada Jepang karena walaupun Jepang sudah begitu sangat maju dan modern, namun orang Jepang tetap dan mampu menjaga, mempertahankan dan mencintai tradisi mereka, termasuk seni dan budayanya. Ternyata anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Banyak seniman budayawan Jepang sendiri banyak yang merasa sangat sedih dan prihatin melihat situasi dan kondisi kehidupan seni budaya mereka di negaranya. Sejujurnya sekarang ini dapat dikatakan bahwa di Jepang hampir tidak ada lagi orang orang muda Jepang yang bisa menyayikan atau bermain musik atau menari tradisi mereka. Jarang ada yang bermain atau belajar biwa, shamisen, noh, kabuki Jepang. Bahkan sekolah formal untuk kesenian tradisional dapat dikatakan tidak ada. Sekolah sekolah atau fakultas kesenian di Jepang justru mengajarkan musik, tari atau teater barat. Atau, seperti juga di Indonesia, sekolah sekolah kesenian Jepang mengajarkan dan di memainkan alat alat Jepang dengan menggunakan cara pendekatan dan bemtuk kekaryaan barat.Kesenian tradisi mereka seolah tinggal seperti barang kerajinan yang dipajang di etalase atau sebagai iklan pariwisata.

Renaissance-si
Melihat gejala kebablasan seperti itu, seniman budayawan Jepang bangun. Mereka kemudian mempelopori suatu gerakan budaya untuk “lepas” dari barat dan kembali ke Timur. Mereka merasa kehilangan harta karun mereka yang paling berharga, kebudayaan dan identitas mereka. Tidak sedikit seniman seniman maestro membuka sekolah sekolah kesenian tradisional untuk masyarakat umum dengan persyaratan masuk, proses belajar mengajar dan metode pengajaran yang lebih terjangkau dan terbuka. Mereka ingin kembali menjadi orang Jepang, orang Asia, orang Timur, namun bukan lagi orang Jepang masa lalu, tetapi orang Jepang yang modern, - kontemporer, yang mengkini. Mereka kemudian banyak melakukan penelitian, penggalian kesenian tradisional, kesenian daerah lama, kesenian yang hampir atau bahkan sudah mati, untuk “dihidupkan”lagi. Toshi Tsuchitori misalnya menghidupkan kembali musik drum terakota yang pernah hidup 3000 tahun sebelum masehi. Revitalisasi. Hasil penelitian dipublikasikan dengan baik baik dalam bentuk buku maupun audio visual. Rekonstruksi dan re-formasi. Karya karya baru, modern dan atau kontemporer yang bebasis dari budaya lokal banyak dibuat, terutama oleh seniman seniman muda yang berbakat atau potensial. Mereka mencari dan terus mencari, berkarya dan terus berkarya. Mereka mencari format dan warna baru, juga sering bekerja dengan melakukan kolaborasi dan atau workshop dengan seniman seniman maestro, baik dari Jepang sendiri maupun luar negeri. Kolaborasi cenderung makin banyak dilakukan antara timur dengan timur, seniman Jepang dengan seniman Asia. Untuk hajadan seperti itu, di samping pemerintah, banyak juga foundation swasta yang membantu kegiatan semacam ini.

Kegiatan semacam ini, - kembali ke Timur, ini disambut baik oleh Negara Negara Asia lainnya, terutama mereka yang pernah mengalami pembaratan dalam kurun waktu yang cukup lama karena penjajahan atau efek samping dari aktivitas pe-modernisasi-an mereka. Singapura, Philipina, Korea, Taiwan, adalah contoh lainnya yang makin banyak melakukan studi, penelitian, kolaborasi, pembuatan karya seni yang menonjolkan kekuatan budayanya. Negara Negara yang tergabung dalam ASEAN juga sering bekerja sama dalam membuat karya serta kegiatan lainnya yang pada dasarnya berkeinginan untuk membuat kehidupan kesenian mereka semakin membaik. Dari kegiatan seperti ini, memunculkan nama nama seniman muda yang bereputasi dunia. Ong Keng Sen dari Singapura telah memprakarsai produksi teater modern kolaborasi seniman seniman dari 10 bangsa/negara Asia berjudul LEAR. Proyeknya yang sukses itu kemudian meroketkan namanya, Ia dipercaya untuk menjadi direktur tamu pada festival seni yang bergengsi di Berlin, di London, di Lincoln Center New York dan sebagainya. Kolaboran dia
seperti Boi G Sakti, Aida Reza, Fu Kuen dan yang lain juga tumbuh menjadi seniman dunia. Karya karya serupa muncul di beberapa Negara dan oleh banyak seniman yang lain.

Kebangkitan Asia juga berimbas di Indonesia. Seniman seniman muda mulai mendunia. Sebut saja nama nama Miroto, Boi G Sakti, Eko Supriyanto, Mugiyono, Bagawan Ciptoning, Dwiki Darmawan, Dedy Satya, dan sebagainya telah menunjukkan dirinya mampu menggantikan seniman seniman generasi Sardono dan generasi saya. Sutradara sutradara terbesar dunia semuanya tertarik dan pernah dan masih bekerja, berkolaborasi dengan seniman seniman Indonesia, menggunakan ceritera dan atau materi kesenian kebudayaan yang berbau Indonesia. Akhir abad 20 boleh dikatakan merupakan permulaan era kebangkitan seni budaya Timur, termasuk seni budaya Indonesia. Renaissance-nya kesenian timur.Kooptasi barat, kelompok tertentu dari bangsanya sendiri, ekonomi atau politik yang berlebihan biasanya menyadarkan seniman untuk bangkit menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Semoga pertanda yang menggembirakan ini tidak melenakan kembali perkembangan kesenian kebudayaan kita. Selamat datang kembali sang Timur.

Sumber :
Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema “Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17—18 Mei 2006