Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam
Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh". Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 803 tahun (tahun 2008 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.
Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan "Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin".
Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :
Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme.
Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
Awal Penetapan Kota Banda Aceh
Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja hingga saat ini.
Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7.58.53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad terakhir ini.
Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh .Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan reknstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Lambang Daerah
Lambang daerah Kota Banda Aceh ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Praja Kuta Raja Nomor 3 Tahun 1962.
Makna yang terkandung didalam lambang tersebut terdiri atas tujuh unsur, yaitu:
1. Pancasila
* Lima warna yang terdapat didalam lambang daerah yaitu: kuning, hijau, hitam, merah dan putih.
* Puncak mesjid dengan latar belakang Gunongan yang semuanya berjumlah lima puncak.
* Lima buah sudut dibagian atas perisai.
2. Kebudayaan dan Keagamaan
* Kebudayaan dan keagamaan yang dilambangkan dengan Gunongan dan Kubah Mesjid.
3. Kemakmuran
* Kemakmuran yang dilambangkan dengan lada dan padi.
4. Kepahlawanan
* Kepahlawanan yang dilambangkan dengan rencong yang terhunus.
5. Pendidikan
* Pendidikan dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan tugu Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam.
6. Pelindung
* Pelindung atau pembela rakyat yang dilambangkan dengan perisai.
7. Keagungan
* Keagungan yang dilambangkan dengan warna kuning.
Letak Geografis
Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 050 16' 15" - 050 36' 16" Lintang Utara dan 950 16' 15" - 950 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut
Kota Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan, 17 Mukim, 70 Desa dan 20 Kelurahan. Berikut tabel luas wilayah dalam hitungan Km2 dan nilai persentasinya dari masing-masing Kecamatan
Sumber : Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2008 (BPS Kota Banda Aceh)
Demografi
Kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh setelah musibah gempa dan tsunami menjadi berkurang bila dibandingkan kondisi kepadatan penduduk sebelum peristiwa tersebut. Bencana tsunami merenggut korban jiwa sekitar 50 ribu jiwa, banyak menelan korban jiwa terutama di daerah-daerah yang terkena dampak langsung tsunami.
Tahun 2007 jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebesar 219.659 jiwa berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Pada tahun 2006 dan 2007 rasio jenis kelamin penduduk Kota Banda Aceh sudah diatas 100, hal ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan.
Tabel Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio pada Tahun 2007
( Diurutkan berdasarkan rasio sex jumlah penduduk per kecamatan )
Sumber : Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2008 (BPS Kota Banda Aceh)
Klimatologi
Klimatologi Kota Banda Aceh memiliki suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,50 C sampai 27,50 C dengan tekanan 1008 – 1012 milibar. Sedangkan untuk suhu terendah dan tertinggi bervariasi antara 18,00 C hingga 20,00 C dan 33,00 C hingga 37,00 C.
Kelembaban udara di Kota Banda Aceh sangat bervariasi tergantung pada keadaan iklim pada umumnya. Kelembaban udara dari data tahun 1998 berkisar antara 75% - 87%. Kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Kecepatan angin bertiup antara 2 – 28 knots. Sebagai gambaran dapat diamati grafik perkembangan kondisi klimatologis Kota Banda Aceh selama setahun yang meliputi curah hujan rata-rata bulanan; suhu udara rata-rata; maksimum dan minimum; tingkat kelembaban relatif rata-rata; maksimum dan minimum; serta kecepatan angin rata-rata; maksimum dan minimum. Grafik
Kota Banda Aceh dibelah oleh Krueng Aceh yang merupakan sungai terpanjang di kawasan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Terdapat tujuh sungai yang melalui Kota Banda Aceh yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area), sumber air baku, kegiatan perikanan, dan sebagainya. Wilayah Kota Banda Aceh memiliki air tanah yang bersifat asin, payau dan tawar. Daerah dengan air tanah asin terdapat pada bagian utara dan timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari timur ke barat. Sedangkan wilayah yang memiliki air tanah tawar berada di bagian selatan kota membentang dari kecamatan Baiturrahman sampai kecamatan Meuraxa. Tabel berikut, menjelaskan nama-nama sungai dan luas daerah resapannya. Klimatologi Kota Banda Aceh memiliki suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,50 C sampai 27,50 C dengan tekanan 1008 - 1012 milibar.
Litologi
Kondisi tanah yang umumnya terdapat di Kota Banda Aceh secara umum dan khususnya di daerah pesisir ini didominasi oleh jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK) dan Regosol dengan tekstur tanah antara sedang sampai kasar.
Sebagai hasil erosi partikel-partikel tanah diendapkan melalui media air sungai atau aliran permukaan pada daerah rendah. Pada daerah pesisir terjadi endapan di tempat-tempat tertentu seperti Krueng Aceh dan anak-anak sungai lainnya, seperti pada belokan sungai bagian dalam. Hasil sedimentasi oleh aliran permukaan setempat dijumpai sebagai longgakan tanah pada bagian tertentu.
Geomorfologi
Daerah pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi menjadi :
1. Dataran terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja
2. Pesisir pantai wilayah barat di sebagian Kecamatan Meuraxa
Sedangkan daerah yang termasuk pedataran sampai dengan elevasi ketinggian 0 hingga lebih dari 10 m, kemiringan lereng 0 - 2 % terletak antara muara-muara sungai dan perbukitan. Dari kondisi geologi Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari Banda Aceh hingga Lampung. Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun dan merupakan daerah rawan gempa dan longsor.
Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan di Barat dan Timur kota, yaitu patahan Darul Imarah dan Darussalam, sehingga Banda Aceh adalah suatu daratan hasil ambalasan sejak Pilosen membentuk suatu Graben. Ini menunjukkan ruas-ruas patahan Semangko di Pulau Sumatera dan kedudukannya terhadap Kota Banda Aceh, dan kedua patahan yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di sebelah Tenggara, sehingga dataran Banda Aceh merupakan batuan sedimen yang berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya. Gambar berikut menjelaskan struktur patahan semangko yang melintasi wilayah Kota Banda Aceh.
Struktur Patahan Semangko
Topografi
Kota Banda Aceh merupakan dataran rawan banjir dari luapan Sungai Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian hingga 50 m di atas permukaan laut. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah Barat dan Timur dengan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut.
Bentang Alam Kota Banda Aceh
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar 219.659 jiwa berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS. Pada tahun 2006 dan 2007 rasio jenis kelamin penduduk kota Banda Aceh sudah diatas 100. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio Kota Banda Aceh Tahun 2007
(Sumber: Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2008)
(klik) Berikut sekilas wajah Walikota Banda Aceh dari masa ke masa
Tokoh Kota Banda Aceh
Ali Hasymi
Nama aslinya Muhammad Ali Hasyim Alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun. Anak kedua dari 8 orang bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri. Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah. Dalam usaha memulihkan keamanan daerah, Pemerintah pernah mengangkatnya sebagai gubernur Aceh periode 1957-1964 dan Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968.
Ali Hasjmy gemar membaca dan mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya. Beberapa karya sastranya, Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1937); Dewan Sajak (sajak, 1938). Beberapa novel ciptaannya ; Bermandi Cahaya Bulan (1938). Cetak ulang oleh Bulan Bintang 1979), Dewi Fajar (1943), Nona Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah Merah (1977). Buku lainnya bersifat analisa sastra seperti Rubai Hamzah Fansury karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang 1978). Sebuah naskah yang akan diterbitkan adalah Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa (sastra). Karya tulis lainnya antara lain, Di Mana Letaknya Negara Islam (Singapura, 1976), Yahudi Bangsa Terkutuk (1970), Dustur Dakwah Menurut Al Quran (1973), Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta 1973), Iskandar Muda Meukuta Alam (Biografi, Jakarta, 1976), 59 (1977),
Sejarah Perkembangan Hukum Islam (1970), Cinta Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980). Pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Aceh. Selain itu ia juga pernah memangku jabatan Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Hasjmy pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Penahanan berlangsung dari September 1953 sampai Mei 1954. Tapi tahanan ini istimewa. Antara lain boleh bawa makanan dari luar. Banyak orang tahanan dan petugas penjara beroleh kopi, rokok dari Hasjmy. Yang paling menyenangkan mendengar berita akan dibebaskan. Seorang hukuman, bernama Bedjo menceritakan mimpinya semalam bahwa Hasjmy akan dibebaskan. Kendati mimpi dianggap Hasjmy bohong, ia senang sekali. Sehingga Hasjmy dengan senang hati memberinya rokok, kopi dan bahkan uang. Suatu pagi Pak Bedjo bercerita lagi, bahwa dalam mimpinya ia melihat Hasjmy menjadi Raja Aceh. Saya tak percaya, tapi senang, tulis Hasjmy. Sebulan kemudian, Hasjmy dikirim ke Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta dia dibebaskan dan dipindahkan ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Riwayat Hidup
Siapa yang tidak mengenal A. Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan, dan politikus. Ia lahir di Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki.
Ali Hasjmy merupakan anak kedua Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai negeri. A. Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun (lahir pada Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1). Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche School Montasie Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah (menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas). Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat, dan menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Pada masa mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda. Sejak tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik yang kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1941, bersama sejumlah teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI berubah menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai pemimpinnya.
Ali Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.
Selain aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964); dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas permintaannya sendiri. Penunjukan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara. Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa) Darussalam. Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).
Sultan Iskandar Muda
Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu, Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa kejayaan yang sangat gemilang.
Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1). Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal. Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer. Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda dengan kalimat: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Sultan kemudian menjawabnya dengan kalimat berikut: “I am the mighty ruler of the religions below the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)”.
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala).
Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara. Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
Pemikiran
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, maski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. Pertama, bidang hukum yang diserahkan kepada syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. Kedua, bidang adat-istiadat yang diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat, bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf. Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir, hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Qur‘an dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah qiyas dan ijma‘, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan, adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.
Karya
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James 1 pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk surat terbesar sepanjang sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh sebagai kekuatan utama di dunia.
Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di samping kebijakan reformatifnya, juga ditandai dengan luasnya cakupan kekuasaannya. Pada masanya, wilayah Kerajaan Aceh telah mencapai pesisir barat Minangkabau dan Perak.
Penghargaan
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, misalnya sebagai nama jalan di Banda Aceh. Nama Iskandar Muda telah diabadikan sebagai nama Kodam-1
Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id
Logo : http://acehdesain.files.wordpress.com
Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh". Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 803 tahun (tahun 2008 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.
Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan "Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin".
Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :
Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme.
Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
Awal Penetapan Kota Banda Aceh
Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja hingga saat ini.
Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7.58.53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad terakhir ini.
Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh .Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan reknstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Lambang Daerah
Lambang daerah Kota Banda Aceh ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Praja Kuta Raja Nomor 3 Tahun 1962.
Makna yang terkandung didalam lambang tersebut terdiri atas tujuh unsur, yaitu:
1. Pancasila
* Lima warna yang terdapat didalam lambang daerah yaitu: kuning, hijau, hitam, merah dan putih.
* Puncak mesjid dengan latar belakang Gunongan yang semuanya berjumlah lima puncak.
* Lima buah sudut dibagian atas perisai.
2. Kebudayaan dan Keagamaan
* Kebudayaan dan keagamaan yang dilambangkan dengan Gunongan dan Kubah Mesjid.
3. Kemakmuran
* Kemakmuran yang dilambangkan dengan lada dan padi.
4. Kepahlawanan
* Kepahlawanan yang dilambangkan dengan rencong yang terhunus.
5. Pendidikan
* Pendidikan dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan tugu Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam.
6. Pelindung
* Pelindung atau pembela rakyat yang dilambangkan dengan perisai.
7. Keagungan
* Keagungan yang dilambangkan dengan warna kuning.
Letak Geografis
Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 050 16' 15" - 050 36' 16" Lintang Utara dan 950 16' 15" - 950 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut
Utara | Selat malaka |
Selatan | Kecamatan Darul Imarah Dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar |
Timur | Kecamatan Barona jaya Dan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar |
Barat | Kecamaan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar |
Kota Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan, 17 Mukim, 70 Desa dan 20 Kelurahan. Berikut tabel luas wilayah dalam hitungan Km2 dan nilai persentasinya dari masing-masing Kecamatan
No. | Kecamatan | Luas Wilayah (Km2) | Persentase (%) |
1. | Meuraxa | 7.258 | 11,85 |
2. | Jaya Baru | 3.780 | 6,16 |
3. | Banda Raya | 4.789 | 7,80 |
4. | Baiturrahman | 4.539 | 7,40 |
5. | Lueng Bata | 5.341 | 8,70 |
6. | Kuta Alam | 10.047 | 16,37 |
7. | Kuta Raja | 5.211 | 8,49 |
8. | Syiah Kuala | 14.244 | 23.21 |
9. | Ulee Kareng | 6.150 | 10,02 |
Jumlah | 61.359 | 100,00 |
Demografi
Kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh setelah musibah gempa dan tsunami menjadi berkurang bila dibandingkan kondisi kepadatan penduduk sebelum peristiwa tersebut. Bencana tsunami merenggut korban jiwa sekitar 50 ribu jiwa, banyak menelan korban jiwa terutama di daerah-daerah yang terkena dampak langsung tsunami.
Tahun 2007 jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebesar 219.659 jiwa berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Tabel Jumlah Penduduk, Rata-Rata Kepadatan Penduduk Per Desa dan
Rata-Rata Kepadatan Penduduk Per Km2 Kota Banda Aceh Tahun 2007
( Diurutkan berdasarkan jumlah penduduk per kecamatan )
Rata-Rata Kepadatan Penduduk Per Km2 Kota Banda Aceh Tahun 2007
( Diurutkan berdasarkan jumlah penduduk per kecamatan )
No. | Kecamatan | Jumlah Penduduk | Rata-Rata Kepadatan Penduduk | |
Per Desa | Per Km2 | |||
1. | Meuraxa | 3.719 | 232 | 0,51 |
2. | Jaya Baru | 15.317 | 1.701 | 4,05 |
3. | Banda Raya | 29.363 | 2.936 | 6,13 |
4. | Baiturrahman | 4.989 | 1.098 | 9,03 |
5. | Lueng Bata | 23.083 | 2.564 | 4,32 |
6. | Kuta Alam | 43.746 | 3.976 | 4,35 |
7. | Kuta Raja | 4.639 | 773 | 0,89 |
8. | Syiah Kuala | 30.867 | 3.086 | 2,17 |
9. | Ulee Kareng | 27.936 | 3.104 | 4,54 |
Jumlah | 219.659 | 2.440 | 3,58 |
Pada tahun 2006 dan 2007 rasio jenis kelamin penduduk Kota Banda Aceh sudah diatas 100, hal ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan.
Tabel Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio pada Tahun 2007
( Diurutkan berdasarkan rasio sex jumlah penduduk per kecamatan )
No. | Kecamatan | Jenis Kelamin | Sex Rasio | ||
Laki-Laki | Perempuan | Jumlah | |||
1. | Meuraxa | 1.966 | 1.753 | 3.719 | 112,2 |
2. | Jaya Baru | 8.097 | 7.220 | 15.317 | 112,1 |
3. | Banda Raya | 15.522 | 13.841 | 29.363 | 119,1 |
4. | Baiturrahman | 21.668 | 19.321 | 40.989 | 112,1 |
5. | Lueng Bata | 12.202 | 10.881 | 23.083 | 112,0 |
6. | Kuta Alam | 23.088 | 20.621 | 43.746 | 111,9 |
7. | Kuta Raja | 3.013 | 2.187 | 4.639 | 137,8 |
8. | Syiah Kuala | 15.473 | 14.550 | 30.867 | 175,1 |
9. | Ulee Kareng | 14.767 | 13.169 | 27.936 | 112,1 |
Jumlah | 116.116 | 103.543 | 219.659 | 112,4 |
Klimatologi
Klimatologi Kota Banda Aceh memiliki suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,50 C sampai 27,50 C dengan tekanan 1008 – 1012 milibar. Sedangkan untuk suhu terendah dan tertinggi bervariasi antara 18,00 C hingga 20,00 C dan 33,00 C hingga 37,00 C.
Kelembaban udara di Kota Banda Aceh sangat bervariasi tergantung pada keadaan iklim pada umumnya. Kelembaban udara dari data tahun 1998 berkisar antara 75% - 87%. Kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Kecepatan angin bertiup antara 2 – 28 knots. Sebagai gambaran dapat diamati grafik perkembangan kondisi klimatologis Kota Banda Aceh selama setahun yang meliputi curah hujan rata-rata bulanan; suhu udara rata-rata; maksimum dan minimum; tingkat kelembaban relatif rata-rata; maksimum dan minimum; serta kecepatan angin rata-rata; maksimum dan minimum. Grafik
Kota Banda Aceh dibelah oleh Krueng Aceh yang merupakan sungai terpanjang di kawasan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Terdapat tujuh sungai yang melalui Kota Banda Aceh yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area), sumber air baku, kegiatan perikanan, dan sebagainya. Wilayah Kota Banda Aceh memiliki air tanah yang bersifat asin, payau dan tawar. Daerah dengan air tanah asin terdapat pada bagian utara dan timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari timur ke barat. Sedangkan wilayah yang memiliki air tanah tawar berada di bagian selatan kota membentang dari kecamatan Baiturrahman sampai kecamatan Meuraxa. Tabel berikut, menjelaskan nama-nama sungai dan luas daerah resapannya. Klimatologi Kota Banda Aceh memiliki suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,50 C sampai 27,50 C dengan tekanan 1008 - 1012 milibar.
Litologi
Kondisi tanah yang umumnya terdapat di Kota Banda Aceh secara umum dan khususnya di daerah pesisir ini didominasi oleh jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK) dan Regosol dengan tekstur tanah antara sedang sampai kasar.
Sebagai hasil erosi partikel-partikel tanah diendapkan melalui media air sungai atau aliran permukaan pada daerah rendah. Pada daerah pesisir terjadi endapan di tempat-tempat tertentu seperti Krueng Aceh dan anak-anak sungai lainnya, seperti pada belokan sungai bagian dalam. Hasil sedimentasi oleh aliran permukaan setempat dijumpai sebagai longgakan tanah pada bagian tertentu.
Geomorfologi
Daerah pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi menjadi :
1. Dataran terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja
2. Pesisir pantai wilayah barat di sebagian Kecamatan Meuraxa
Sedangkan daerah yang termasuk pedataran sampai dengan elevasi ketinggian 0 hingga lebih dari 10 m, kemiringan lereng 0 - 2 % terletak antara muara-muara sungai dan perbukitan. Dari kondisi geologi Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari Banda Aceh hingga Lampung. Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun dan merupakan daerah rawan gempa dan longsor.
Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan di Barat dan Timur kota, yaitu patahan Darul Imarah dan Darussalam, sehingga Banda Aceh adalah suatu daratan hasil ambalasan sejak Pilosen membentuk suatu Graben. Ini menunjukkan ruas-ruas patahan Semangko di Pulau Sumatera dan kedudukannya terhadap Kota Banda Aceh, dan kedua patahan yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di sebelah Tenggara, sehingga dataran Banda Aceh merupakan batuan sedimen yang berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya. Gambar berikut menjelaskan struktur patahan semangko yang melintasi wilayah Kota Banda Aceh.
Struktur Patahan Semangko
Topografi
Kota Banda Aceh merupakan dataran rawan banjir dari luapan Sungai Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian hingga 50 m di atas permukaan laut. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah Barat dan Timur dengan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut.
Bentang Alam Kota Banda Aceh
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar 219.659 jiwa berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS. Pada tahun 2006 dan 2007 rasio jenis kelamin penduduk kota Banda Aceh sudah diatas 100. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan.
No. | Kecamatan | Jumlah Penduduk | Rata-rata Kepadatan Penduduk Per Desa | Rata-rata Kepadatan Penduduk Per KM2 |
1 | Meuraxa | 3.719 | 232 | 0,51 |
2 | Jaya Baru | 15.317 | 1.701 | 4,05 |
3 | Banda Raya | 29.363 | 2.936 | 6,13 |
4 | Baiturrahman | 40.989 | 1.098 | 9,03 |
5 | Lueng Bata | 23.083 | 2.564 | 4,32 |
6 | Kuta Alam | 43.746 | 3.976 | 4,35 |
7 | Kuta Raja | 4.639 | 773 | 0,89 |
8 | Syiah Kuala | 30.867 | 3.086 | 2,17 |
9 | Ulee Kareng | 27.936 | 3.104 | 4,54 |
Jml | 2007 2006 2005 2004 | 219.659 178.380 177.881 265.098 | 2.440 1.982 1.999 3.020 | 3,58 2,91 2,90 5,00 |
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio Kota Banda Aceh Tahun 2007
No | Kecamatan | Jenis Kelamin | Sex Rasio | ||
Laki-Laki | Perempuan | Jumlah | |||
1 | Meuraxa | 1.966 | 1.753 | 3.917 | 112,2 |
2 | Jaya Baru | 8.097 | 7.220 | 15.317 | 112,1 |
3 | Banda Raya | 15.522 | 13.841 | 29.363 | 119,1 |
4 | Baiturrahman | 21.668 | 19.321 | 40.989 | 112,1 |
5 | Lueng Bata | 12.202 | 10.881 | 23.080 | 112,0 |
6 | Kuta Alam | 23.088 | 20.621 | 43.746 | 111,9 |
7 | Kuta Raja | 3.013 | 2.187 | 4.639 | 137,8 |
8 | Syiah Kuala | 25.473 | 14.550 | 30.867 | 175,1 |
9 | Ulee Kareng | 14.767 | 13.169 | 27.936 | 112,2 |
Jml | 2007 2006 2005 2004 | 116.116 94.334 94.052 135.424 | 103.543 84.046 83.829 129.674 | 219.659 178.380 177.881 265.098 | 112,4 112,2 112,2 104,4 |
(klik) Berikut sekilas wajah Walikota Banda Aceh dari masa ke masa
Tokoh Kota Banda Aceh
Ali Hasymi
Nama aslinya Muhammad Ali Hasyim Alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun. Anak kedua dari 8 orang bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri. Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah. Dalam usaha memulihkan keamanan daerah, Pemerintah pernah mengangkatnya sebagai gubernur Aceh periode 1957-1964 dan Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968.
Ali Hasjmy gemar membaca dan mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya. Beberapa karya sastranya, Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1937); Dewan Sajak (sajak, 1938). Beberapa novel ciptaannya ; Bermandi Cahaya Bulan (1938). Cetak ulang oleh Bulan Bintang 1979), Dewi Fajar (1943), Nona Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah Merah (1977). Buku lainnya bersifat analisa sastra seperti Rubai Hamzah Fansury karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang 1978). Sebuah naskah yang akan diterbitkan adalah Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa (sastra). Karya tulis lainnya antara lain, Di Mana Letaknya Negara Islam (Singapura, 1976), Yahudi Bangsa Terkutuk (1970), Dustur Dakwah Menurut Al Quran (1973), Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta 1973), Iskandar Muda Meukuta Alam (Biografi, Jakarta, 1976), 59 (1977),
Sejarah Perkembangan Hukum Islam (1970), Cinta Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980). Pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Aceh. Selain itu ia juga pernah memangku jabatan Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Hasjmy pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Penahanan berlangsung dari September 1953 sampai Mei 1954. Tapi tahanan ini istimewa. Antara lain boleh bawa makanan dari luar. Banyak orang tahanan dan petugas penjara beroleh kopi, rokok dari Hasjmy. Yang paling menyenangkan mendengar berita akan dibebaskan. Seorang hukuman, bernama Bedjo menceritakan mimpinya semalam bahwa Hasjmy akan dibebaskan. Kendati mimpi dianggap Hasjmy bohong, ia senang sekali. Sehingga Hasjmy dengan senang hati memberinya rokok, kopi dan bahkan uang. Suatu pagi Pak Bedjo bercerita lagi, bahwa dalam mimpinya ia melihat Hasjmy menjadi Raja Aceh. Saya tak percaya, tapi senang, tulis Hasjmy. Sebulan kemudian, Hasjmy dikirim ke Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta dia dibebaskan dan dipindahkan ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Riwayat Hidup
Siapa yang tidak mengenal A. Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan, dan politikus. Ia lahir di Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki.
Ali Hasjmy merupakan anak kedua Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai negeri. A. Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun (lahir pada Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1). Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche School Montasie Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah (menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas). Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat, dan menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Pada masa mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda. Sejak tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik yang kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1941, bersama sejumlah teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI berubah menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai pemimpinnya.
Ali Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.
Selain aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964); dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas permintaannya sendiri. Penunjukan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara. Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa) Darussalam. Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).
Sultan Iskandar Muda
Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu, Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa kejayaan yang sangat gemilang.
Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1). Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal. Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer. Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda dengan kalimat: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Sultan kemudian menjawabnya dengan kalimat berikut: “I am the mighty ruler of the religions below the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)”.
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala).
Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara. Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
Pemikiran
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, maski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. Pertama, bidang hukum yang diserahkan kepada syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. Kedua, bidang adat-istiadat yang diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat, bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf. Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir, hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Qur‘an dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah qiyas dan ijma‘, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan, adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.
Karya
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James 1 pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk surat terbesar sepanjang sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh sebagai kekuatan utama di dunia.
Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di samping kebijakan reformatifnya, juga ditandai dengan luasnya cakupan kekuasaannya. Pada masanya, wilayah Kerajaan Aceh telah mencapai pesisir barat Minangkabau dan Perak.
Penghargaan
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, misalnya sebagai nama jalan di Banda Aceh. Nama Iskandar Muda telah diabadikan sebagai nama Kodam-1
Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id
Logo : http://acehdesain.files.wordpress.com