Kerajaan Nusatembini Legenda Cilacap

Cerita sejarah tentang Kerajaan Nusatembini mengambil setting di wilayah sekitar Pulau Nusakambangan. Nusatembini diceritakan sebagai sebuah Kerajaan Siluman yang cukup besar. Kerajaan ini memiliki wilayah di sekitar pantai Cilacap hingga pulau Nusakambangan. Keraaan ini memiliki benteng alamiah berupa tanamana bambu hingga tujuh lapis (Baluwarti pring ori pitung sap). Penggambaran benteng alamiah dari pagar bambu lapis tujuh itu dapat ditafsirkan bahwa si pembuat cerita hendak mengatakan bahwa pertahanan kerajaan Nusatembini terebut cukup kuat. Selain itu juga menunjukkan bahwa tanaman Bambu Ori merupakan tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar atau pengamanan bagi masyarakat Cilacap terhadap gangguan keamanan.

Kerajaan Nusatembini dipimpin oleh seorang penguasa wanita (raja putri) berparas cantik bernama Brantarara. Kecantikan sang putri menarik perhatian para penguasa dari kerajaan lain untuk menjalin kerjasama hingga mempersuntingnya sebagai permaisuri. Akan tetapi untuk mempersunting sang putri tidaklah mudah, karena begitu ketatnya penjagaan dan pertahanan. Banyak raja yang gagal hanya sekadar untuk dapat memasuki wilayah istana kerajaan Nusatembini.

Cerita tentang keberadaan penguasa Kerajaan dari kaum hawa ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai simbol tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak politik. Dengan demikian pandangan yang mengangap bahwa dalam budaya Jawa kaum wanita dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria tidak terbukti dalam alam pikiran si pembuat cerita sejarah Kerajaan Nusatembini tersebut. Dalam kebudayaan Cilacap ada nilai yang menganggap bahwa wanita juga memiliki kekuatan memerintah, bahkan dalam cerita itu melampaui kemampuan laki-laki.

Persoalannya adalah kapan sesungguhnya asal cerita Kerajaan Nusatembini ini berasal. Penulis sejarah dan hari jadi Cilacap versi Pemerintah Cilacap mengatakan bahwa Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman pra sejarah. Hal itu katanya dibuktikan dengan adanya peninggalan dua rumpun bambu ori yang merupakan peninggalan benteng Kerajaan Nusatembini. Pada tahun 1970 peninggalan peninggalan yang dipercaya berasal dari masa pra sejarah itu masih ada yang berlokasi di kompleks dermaga Pelabuhan pasir Besi, akan tetapi pada sat ini peninggalan itu sudah hilang.

Menurut hemat kami, cerita tentang Kerajaan Nusatembini memang bukan mengambil zaman Islam, tetapi juga bukan pada masa pra sejarah. Zaman pra sejarah tidak dikenal konsep kerajaan, yang ada hanya Primus Interpares, dan umumnya laki-laki tertua. Konsep kerajaan baru muncul pada masuknya kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa latar belakang sejarah Kerajaan Nusatembini sesungguhnya adalah masa Hindu dan Budha di wilayah Cilacap.

Tafsir bahwa latar belakang cerita tentang Kerajaan Nusatembini Nusatembini adalah Hindu Budha didukung dengan cerita lain yang terkait dengan kerajaan tersebut. Cerita rakyat dalam masyarakat Cilacap menceritakan bahwa di sebelah barat dari Kerajaan Nusatembini adalah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Dalam catatan sejarah, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Hindu yang amat berkuasa di wilayah tatar Sunda. Oleh karena Kerajaan Nusatembini sezaman dengan Kerajaan Galuh, maka dapat dipastikan bahwa cerita tentnag adanya Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman perkembangan Hindu dan Budha.

Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran merupakan kerajaan besar. Berbeda dengan Nusatembini, penguasa Pakuan Pajajaran adalah seorang pria yang gagah berani. Pada masa pemerintahannya ia dicobai Tuhan dengan berkembangnya wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Akan tetapi rakyatnya menjadi sangat menderita karena banyak di antara mereka yang harus kehilangan anggota keluarga akibat ganasnya wabah penyakit tersebut. Raja Pajajaran ini berusaha mencari cara untuk memecahkan masalah yang sedang melanda negerinya. Segala usaha telah dilakukan untuk mengatasi wabah tersebut, tetapi sia-sia. Raja Merasa sedih melihat penderitaan yang menimpa rakyat di seluruh negerinya, dan semakin sedih lagi ketika putra dan putrinya juga terserang penyakit.

Ketika raja sudah hampir putus asa dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda negerinya, datanglah seorang pendeta (wiku). Pendeta tersebut menyampaikan maksud kedatangannya hingga terjadi dialog seperti kutipan berikut :

Pendeta : ”Gusti Prabu junjungan hamba, ampunilah hamba ini akan segala kelancangan hamba menghadap Gusti tanpa panggilan dan dengan segala kemurahan Gusti Prabu, kami mohonkan maaf atas segala kesalahan ini”.

Raja : ”Teramat gembira rasanya aku melihat kedatangan wiku saat ini sebab memang ada sesuatu yang kini tengah merisaukan pikiranku sebagai pimpinan pemerintahan di Kerajaan Pajajaran ini”.

Pendeta : ”Gusti Prabu Junjungan hamba, rasanya hamba memaklumi apa yang tengah Gusti hadapi pada saat ini karena adanya wabah penyakit yang menimpa para kawula Pajajaran. Sampai pula Tuanku Putri saat ini terserang wabah penyakit itu”.

Raja : ”Rasanya memang demikian wikut, bahwa kerisauanku dan kecemasanku masih amat mencekam. Tetapi apakah kiranya bapa wiku dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesemuanya ini?”

Pendeta : ””Gusti Prabu Junjungan hamba, kedatangan hamba ini bermaksud untuk menyampaikan adanya ”wisik” atau ilham yang telah hamba terima. Bahwasanya apa yang terjadi saat ini di lingkungan Kerajaan Pajajaran serta penyakit yang diderita oleh Tuanku Putri junjungan hamba, masih dapat disembuhkan dengan obat apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani”. Adapun obat itu hanya dapat diusahakan dari bagian timur Kerajaan Pajajaran ini. Di arah timur sanalah ada sebuah keratorn yang disebut Nusatembini dan disitulah obat obat tersebut akan didapatkan. Tetapi untuk mencapai daerah itu serta mendapatkannya tidak mudah, sebab lingkungan Kraton Nusatembini adalah sangat gawat. Maka seyogyanya Gusti Prabu Junjungan hamba mengutus para abdi dalem Pajajaran yang terpilih untuk menghadapi ratu putri yang memimpin keraton tersebut.

Haturkanlah segala maksud Gusti untuk memohon apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani” yang menjadi peliharaan sang ratu. Apabila usaha mendapatkan airmata Kuda Sembrani itu berhasil, maka hal itu akan menjadi obat serta tumbalnya (Penolak) Kerajaan Galuh Pajajaran dari segala mara bahaya yang bakal datang.

Raja Pajajaran merspon positif saran-saran dari sang wiku tersebut. Raja tersebut kemudian mempersiapkan diri untu kmenuju Nusatembini. Beberapa orang adipati yang berada di bawah kekuasan Pajajaran yang dianggap mampu ditugasi menuju kerajaan siluman diutus sang raja menuju Nusatembini. Petinggi utusan jatuh pada Patih Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang. Mereka mengerahkan prajurit pilihan agar segala rintangan di perjalanan dapat diatasi.

Setelah persiapan untuk berangkat menuju Kerajaan Nusatembini selesai, maka rombongan prajurit dari Pajajaran tersebut berangkat menuju kerajaan siluman di pantai selatan Cilacap tersebut. Meskipun berasal dari prajurit pilihan, perjalanan menuju Nusatembini ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati alam yang masih ganas berupa hutan belantara dan rawa-rawa yang membentang luas. Dalam situasi alam yang demikian pra prajurit Pajajaran dengan semnagat yang membara menuju Kerajaan Nusatembini agar memperoleh obat penyakit putri raja ” air mata kuda sembrani”.

Para prajurit utusan Pajajran tersebut akirnya sampai di wilayah Cilacap. Ketika sampai di wilayah Nusatembini mereka melihat adanya kekeuatan yan mengelilingi kerajaan tersebut yang amat kuat. Para prajurit berusaha memasuki istana kerajaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi kali ini usaha itu gagal karena adanya benteng rumpun bambu yang berlapis-lapis rapat yang mengellingi Kerajaan Nusatembini ibarat seperti pagar berlapis. Usaha untuk memasuki istana Nusatembini berkali-kali dicobanya, dan ternyata selalu gagal.

Kegagalan berkali-kali untuk memasuki Istana Nusatembini tidak membuat para prajurit Pajajaran putus asa. Dengan semangat membela sang Raja dan negaranya mereka selalu mencari cara untuk dapat memasuki Istana Nusatembini. Adipati Gobong, Adipati Sendang dan Patih Harya Tilandanu jalan lain diluar jalan perang. Mereka bersemedi untuk mendapatkan ilham dan jalan keluar agar dapat memasuki Istana Nusatembini. Setelah beberapa hari bersemedai akhirnya mereka memperoleh petunjuk gaib. Dalam petunjuk gaib itu dikatakan bahwa benteng bambu yang mengelilingi Nusatembini akan dapat dihancurkan denganmenggunakan peluru emas.

Setelah mendapatkan ilham tersebut para prajurit tata sunda utusan raja Pajajaran tersebut mengubah taktik dalam memasuki Istana Nusatembini. Mereka membuat peluru emas yang berasal dari uang emas untuk menghancurkan bambu yang mengelilingi keraton dengan raja perempuan tersebut.

Pembuatan peluru emas dilakukan oleh rombongan prajurit Pajajaran di lokasi yang tidak jauh dari Istana Nusatembini. Mereka singgah di suatu daerah di dekat istana tersebut selama berhari-hari. Selain memproduksi peluru emas, mereka juga mengatur siasat untuk melakukan penyerangan. Di daerah tempat persiapan penyerangan ini dikenal dalam cerita rakyat Cilacap sebagai daerah Donan. Satu daerah tempat Andon (bersinggah).

Setelh rencana penyerangan diatur secara matang, maka pada hari yang telah ditentukan rombongan prajurit Pajajaran melakukan serangan ke Istana Nusatembini. Serangan dilakukan oleh prajurit tangguh dengan menggunakan peluru emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peluru-peluru itu ditembakkan dan berjatuhan dekat atau di bawah rumpun bambu yang membentengi Istana Nusatembini. Para penduduk Nusatembini yang melihat peluru emas berjatuhan di bawah pepohonan bambu berusaha mengambil peluru-peluru yang bernilai ekonomi tinggi pada masa itu. Untuk dapat mengambil peluru tersebut mereka harus menebangi pohon bambu yang berlapis-lapis tersebut.

Prajurit Pajajaran menyadari makna peluru emas ternyata sebagai alat memancing penduduk dalam kerajaan untuk membuka isolasi kerajaan dengan menebang pohon bambu yang menjadi benteng kerajaan. Sedikit demi sedikit akhirnya Prajurit Pajajaran semakin dapat bergerak maju setelah dapat melewati rumpun-rumpun bambu ori yang ditebangi oleh penduduk setempat. Prajurit Pajajaran akhirnya berhasil memasuki dalam istana setelah berhasil melampaui tujuh lapis pagar bambu yang telah habis ditebangi penduduk yang tergiur pada peluru emas yang berjatuhan di bawah pohon bambu.

Certia tentang adanya peluru emas ini dapat ditafsirkan dua hal yang menyangkut fakta-fakta historis dibalik cerita itu. Pertama, konsep senjata api dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa latar belakang cerita itu adalah pada masa Kerajaan Pajajaran akhir menjelang berkembangnya agana Islam di Nusantara, kemungkinan abad ke-15 dan ke-16. Hal itu dapat dijelaskan karena senjata api diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan kemudian Belanda pada abad-abad tersebut. Kedua, kelemahan suatu negara sehebat apapun akan dapat dipatahkan dengan kekayaan. Emas yang merupakan simbol kekayaan yang bernilai ekoomi tinggi telah menggoda rakyat Nusatembini sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh pasukan asing.

Para prajurit Pajajaran akhirnya dapat memasuki Istana Kerajaan Nusatembini. Mereka bermaksud untuk menangkap sang ratu. Akan tetapi mereka mengalami kesulitan, sebab sang ratu memberikan perlawanan. Melihat bahaya yang mengancam, Raja Putri Nusatembini ini kemudian naik kuda sembrani terbang ke angkasa. Dengan suara lantang sang putri menantang para prajurit pendatang terebut, sembari berucap ”Hai prajurit Pajajaran, tunjukkan kesaktian dan kejantananmu, tangkaplah aku. Kalau dapat menangkap diriku, aku akan tunduk, Kerajaan Nusatembini aku serahkan kepadamu.” Melihat keperkasaan sang ratu, pra prajurit Pajajaran menjadi tercengang dan tidak segera melakukan perlawanan.

Di bagian lain diceritakan bahwa Patih Harya Tilandanu memasuki ruang dalam istana Nusatembini . Ketika sedang menjelajahi ruang-ruang tersebut, ia menemukan seorang wanita yang snagat cantik. Menurut keyakinan masyarakat setempat, putri terebut adalah Ratu Brantarara, Raja Putri Nusatembini. Sang Patih berusaha untuk mendekati wanita tersebut, tetapi belum sampai berhasil mendekat wanita itu lenyap dari pandangan matanya dan berubah menjadi ”golek kencana” (boneka emas). Sang Patih menjadi gemas dan berusaha untuk memegang golek tersebut, tetapi benda itu melejit dan mengenai tubuh sang patih hingga terjatuh. Boneka itu mengeluarkan warna berkilau yang menyebabkan sang patih mengalami kebutaan. Dengan adanya peristiwa itu, maka usaha utusan Pajajaran untuk mendapatkan air mata kud asembrani sebagai obat penyembuh putri raja mengalami kegagalan. Akan tetapi paa prajurit Pajajaran juga tidak berani kembali pulang ke Pajajaran dengan tangan hampa karena takut ancaman hukuman yang berat akibat kegagalannya.

Para prajurit Pajajaran kemudian menetap di daerah Nusatembini, termasuk Patih Harya Tilandanu. Bahkan Patih Harya Tilandanu ini meninggal dunia di Cilacap dan dimakamkan di Gunung Batur. Cerita Rakyat Cilacap mengatakan bahwa makamnya di desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Adipati Gobog juga menjadi penghuni menetap di wilayah Nusatembini. Mereka meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan makam Adipati Gobog. Lokasi makam itu sebelah selatan jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dengan pasar seleko. Nama Adipati Gobog sempat diabadikan menjadi nama jalan, sebelum berubah menjadi jalan Sudirman. Sementara itu Adipati Sendang, makamnya di Desa Donan.

Kadipaten Donan
Jika cerita tentang Kerajaan Nusatembini berasal dari masa Hindu Budha, maka cerita tentang Kadipaten Donan diperkirakan pada periode awal perkembangan Islam di Tanah Jawa. Donan tidak berlokasi di dekat pantai selatan Cilacap, tetapi di daratan bagian utara, sekarang masuk sekitar Kota Cilacap.

Dalam cerita itu dikatakan bahwa Donan pada mulanya merupakan daerah hutan. Daerah itu mulai dibuka menjadi daerah pemukiman migrasi orang-orang Banyumas. Salah satu kelompok pendatang adalah rombongan Raden Ronggosengoro utusan dari Adipati Mrapat, seorang menantu dari Adipati Wirasaba. Raden Songgosengoro beserta rombongannya akhirnya menetap di wilayah itu. Ia pandai memimpin rakyat dengan mengubah daerah Donan yang semula sepi menjadi pemukiman yang ramai. Ronggosengoro kemudian diangkat menjadi Adipati di Donan oleh Adipati Wirasaba.

Di bawah kepemimpinan Adipati Ronggosengoro daerah Donan secara berangsur-angsur berubah menjadi daerah yang ramai dan makmur. Penduduknya hidup dalam kecukupan, tidak kekurangan sandang maupun pangan. Keamanan terjamin sehingga penduduk tidak merasa cemas tinggal di wilayah Donan.

Kondisi Donan yang aman dan tenteram menjadi terusik ketika ada gangguan makhluk aneh ke wilayah Donan. Gangguan itu berupa seekor burung raksasa yang oleh orang setempat disebutnya sebagai ”Garuda Beri”. Burung raksasa ini konon sering menerkam hewan-hewan milik penduduk Donan. Bahkan juga menerkam manusia yang berusaha mempertahankan binatang kesayangannya yang hendak diterkam oleh si burung raksasa tersebut. Burung raksasa itu bersarang di Pulau Nusakambangan. Untuk mengatasi persoalan itu sang adipati berusaha mengerahkan segala kekuatan rakyatnya untuk membunuh binatang tersebut, tetapi selalu gagal.

Kegagalan menangkap binatang yang meresahkan masyarakat Donan tersebut mengusik sang adipati untuk mencari cara lain. Berkat petunjuk dari ahli nujumnya yang mengatakan bahwa burung tersebut dapat dimusnahkan dengan pusaka Kesultanan Demak, maka ia menghadap ke Kesultanan Demak untuk meminjam pusaka Demak yang bernama Kyai Tilam Upih. Permintaan sang adipati meminjam pusaka Demak tersebut ternyata dikabulkan oleh Sultan Demak. Sayang sekali setelah pusaka itu berhasil dipinjam, namun tidak seorang pun yang mampu menggunakannya dengan baik untuk membunuh Garuda Beri.

Oleh karena selalu gagal dalam memusnahkan binatang berbahaya itu, diceritakan bahwa Adipati Donan menggelar sayembara. Dalam sayembara tersebut sang Adipati menjanjikan hadiah putrinya bagi siapapun yang berhasil menangkap dan membunuh Garuda Beri tersebut.

Sayembara itu ternyata menarik perhatian para Adipati Anom di daerah lain. Mereka berdatangan untuk menunjukkan kesaktiannya dalam menangkap binatang berbahaya tersebut. Mereka berharap sekali dapat menangkap binantang itu karena hadiahnya yang cukup menggiurkan, seorang putri yang cantik jelita. Akan tetapi ternyata para adipati tersebut tak satupun yang berhasil menaklukan garuda Beri. Para petarung menjadi takut dan lari terbirit-birit akibat serangan ganas dari binatang siluman tersebut. Sebagian dari mereka mengalami cedera, dan sebagian lagi mengurungkan niatnya mengikuti sayembara.

Dengan kegagalan para Adipati Anom dalam mengikuti sayembara menangkap Garuda Beri, maka sang Adipati Donan menjadi putus harapan. Sang Adipati selalu merenung untuk mencari cara bagaimana mengalahkan binatang yang meresahkan rakyat Donan tersebut. Dalam suasana kesedihan tersebut datanglah seorang pemuda dengan wajah yang tampan dan halus perangainya. Pemuda itu adalah seorang perjaka ”Santri Undig” yang disebut pula sebagai Bagus Santri. Di hadapan Sang Adipati Donan, ia menyampaikan niatnya untuk mengabdikan diri di Kadipaten Donan, ia akan bekerja apa saja demi Donan dan akan melaksanakan titah baginda dengan penuh kepatuhan. Sang Adipati yang mendengar permohonan Bagus Snatri tersebut menyatakan tidak keberatan, bahkan menerimanya dengan senang hati dengan syarat ia sanggup membunuh binatang Garuda Beri yang telah meresahkan rakyatnya. Meskipun Bagus Santri mengetahui bahwa syaratnya cukup berat, namun tekadnya yang bulat membuat menerima tawaran Sang Adipati Donan tersebut.

Sesungguhnya Bagus Santri adalah seorang utusan dari Demak. Ia diutus Sultan demak untuk mengambil kembali pusaka Demak yang cukup ampuh, ”Cis Tilam upih” yang sudah lama tidak ada di istana. Dengan diterima menjadi hamba Adipati Donan dan berhasil menangkap Garuda Beri, maka ia berharap pusaka Demak tersebut dapat diambil kembali.

Santri Undig tidak serta merta menangkap Garuda Beri. Untuk sementara waktu ia harus tinggal di Kadipaten Donan untuk mempelajari situasi dan kondisi bahaya tersebut. Setelah beberapa waktu tinggal di Donan, ia menghadap sang Adipati untuk menyampaikan uneg-unegnya. Pertama, sebelum membunuh Garuda Beri, ia terlebih dahulu meminta dibuatkan ”lubang yang dalamnya setinggi manusia”. Kedua, ia meminta agar disediakan kain kain putih selebar hasta. Ketiga, ia diperkenankan meminjam pusaka Cis Tilam Upih. Kecuali permintaan ketiga, permintaan Bagus Snatri segera dikabulkan oleh sang adipati. Sementara itu permintaan ketiga baru bisa dikabulkan setelah ia berkali-kali meyakinkan sang adipati bahawa burung tersebut baru dapat dibunuh dengan Cis Tilam Upih.

Dengan dikabulkannya semua permintaan, Bagus Santri kemudian mempersiapkan untuk menangkap Garuda Beri. Setelah perlengkapan yang diperlukan tersedia, Bagus Santri mengambil air wudhu dan sholat sembari berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT dalam melaksanakan tugas berat tersebut. Dengan diniati memberantas kejahatan dan kekejaman, maka Bagus Santri memiliki motivasi yang kuat untuk membunuh Garuda Beri. Setelah bersembahyang dan membaca doa selamat, santri Undig mengenakan kain putih pemberian Adipati Donan. Kain putih itu digunakan untuk membungkus dirinya hingga tidak kelihatan badannya dan membentuk gumpalan putih. Dengan mengenakanpakaian itu, maka tidak tampak manusian jika dipandang dari jarak jauh. Dari kejauhan lebih mirip sapi dengan kulit putih. Berpakain seperti itu merupakan taktik Bagus Santri agar Garuda Beri yang melihat dari angkasa mengira benda putih yang terlihat adalah sapi dengan begitu garuda Beri akan segera menerkamnya. Dalam posisi seperti itu ia menuju ke tempat terbuka tempat dibangunnya sebuah pondok bertiang tinggi. Tidak jauh dari lokasi itu juga terdapat sebuah lubang setinggi manusia yang digunakan sebagai tempat untuk melawan Garuda Beri.

Peristiwa akan adanya pertarungan antara Bagus Santri dengan burung raksasa mengundang khalayak untuk melihatnya. Mereka melihat akan adanya pertarungan antara Garuda Beri dengan Bagus Santri. Para warga Donan dengan penuh ketegangan menantikan detik-detik terjadinya pertarungan tersebut.

Menunggu kedatangan makhluk aneh, Bgaus Santri bersila di panggok sambil bersemedi seraya memohon pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat berhasil menjalankan misi sucinya, menumpas Garuda Beri. Tidak lama kemudian, dari arah selatan (P. Nusakambangan) terlihat bayangan hitam yang terlihat di angkasa. Bayangan itu makin mendekati posisi Bagus Santri. Penduduk yang melihatnya menjadi ketakutan dan bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi. Garuda Beri kemungkinan menganggap bahwa gumpalan warna putih itu adalah seekor sapi atau kambing besar yang bisa dimangsa. Garuda Beri beberapa kali mengitari dan mengamati benda putih itu, hingga rupanya ia berkeyakinan bahwa yang dihadapi adalah magsa yang lezat. Dengan sigap Garuda Beri itu kemudian menyambar mangsanya., Bagus Santri yang berbalut kain putih. Sementara itu Bagus Santri sudah siap untuk memberikan perlawanan. Ketika Garuda Beri menukik ke bawah, Bagus Snatri masuk ke dalam lubang tanah yang telah dipersiapkan itu. Ketika cakar Garuda Beri berdiri di atas lubang, Bagus Santri dengan sigap menancapkan pusaka Cis Tilam Upih pada bagian paha dari burung raksasa itu. Burung itu meraung kesakitan dan terbang kembali ke angkasa.

Garuda Beri yang telah mengalami luka di bagian pahanya itu sudah tidak memiliki keseimbangan dalam mengayunkan tubuhnya di angkasa. Binatang itu kemudian hinggap di pohon ketapang yang amat besar di tepian sebuah pantai Cilacap. Pohon raksasa itu tidak mampu menahan beban berat dari tubuh burung raksasa itu hingga rantingnya bengkok hampir menyentuh tanah. Garuda beri hendak terbang kembali, dan kerena tubuhnya telah terluka parah maka ia hanya dapat melayang-layang pada ketinggian yang rendah. Goresan luka akibat tusukan pusaka Demak iyu menyebabkan daya tahan tubuh Garuda Beri menurun tajam dan akhirnya jatuh ke tepian anak sungai yang tidak jauh dari Sungai Donan bagian timur.

Orang percaya bahwa cerita tentang matinya Burung Garuda Beri ini dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa suatu tempat di Cilacap yang dikenal dengan nama ”Grumbul Ketapang Dengklok”. Artinya pemukiman tempat pohon ketapang yang begkok akibat tidak ampu menahan beratnya Burung Garuda Beri yang sedang sakit menjelang ajalnya.

Keberhasilan Bagus Santri membunuh Garuda Beri disambut sukacita di seluruh Kadipaten Donan. Sukacita terlihat sekali diraut wajah sang Adipati yang kemudian menekati Bagus Santri dan memluknya erat-erat. Sementara itu rakyat bersorak-sorai mengelu-elukan kepahlawanan Bagus Santri. Kegembiraan rakyat Donan bisa dipahami karena dengan terbunuhnya garuda Beri, maka rasa mencekam yang mereka rasakan tiap hari telah hilang. Sementara itu Sang Adipati juga merasa telah berhasil menyelamatkan penduduknya dari marabahaya.

Adipati Donan tidak ingkat janji, ia segera menyerahkan putrinya nan cantik jelita kepada Bagus Santri, akan tetapi Bagus Santri tidak segera menerima hadiah putri tersebut. Bagus Santri justru menyerahkan putri tersebut untuk menjadi istri Adipati Bagong, seorang Adipati di Limbangan. Alasan Bagus Santri tidak menerima sang putri karena Bagus Snatri belum berkeinginan menikah dan masih senang berkelana menyebarkan agama Islam.

Bagus Santri yang cukup cerdik tersebut ternyata adalah Sunan Kalijaga. Ia mendapat tugas dari Sultan Demak untuk mencari dan mengambil kembali pusaka Demak Cis Tilam Upih. dengan demikian, cerita tentang peristiwa di Kadipaten Donan tersebut adalah dapat dianggap sebagai masa awal penyebaran Islam di telatah Cilacap.

(Sumber: Buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap, oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006.)
http://pariwisata.cilacapkab.go.id