Jejak Sejarah Tangerang

Oleh : Wahidin Halim

Awal mula berdirinya bebrapa kerajaan dan kota besar di bumi ini umumnya diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaries. Demikian halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Romus, kakak beradik yang dibesarkan oleh seekor srigala. Demikian juga juga diceritakan tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan keturunan dewi matahari, yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang.

Tetapi tidak jika kita berbicara sejarah Tangerang, yang tidak bisa dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang.

Sungai Cisadane membujur dari selatan didaerah pegunungan ke utara di daerah pesisir. Sungai ini amat berperan penting dalam kehidupan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini. Yang berubah hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman kerajaan Tarumanegara (abad ke-15) hinggga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19), sungai ini berperan sebagai sarana lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir.

Disamping itu, sungai Cisadane juga menjadi sumber penghidupan manusia yang bermukim di sepanjang DAS ini. Antara lain untuk mengairi areal persawahan dan perikanan di daerah dataran rendah bagian utara Tangerang.

Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada, beras, kayu, dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sebaliknya, keperluan hidup penduduk pedalaman seperti garam, kain, gerabah, dan lain-lain, dapat didatangkan daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sementara, peranan kedua dapat meningkakan produksi pertanian, terutama produksi beras, selain untuk mencegah bahaya banjir.

Sejatinya, pada awal abad ke-16, zaman kerajaan Sunda, Tangerang tampil sebagai kota pelabuahn bersama-sama Banten dan Sunda Calapa sebagaimana tertulis dalam Summa Oriental karangan Tome Pires, orang Portugis yang memuat laporan kunjungan dari 1512-1515. Dokumen tersebut menurut A. Heuken SJ, ahli sejarah Jakarta, adalah dokumen tertua yang menyebut nama ini. Sunda Calapa atau Chia liu-pa (menurut Ma Huan, muslim China yang menulis laporan pelayaran armada Laksamana Zeng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad ke XV) adalah nama pelabuhan tertua di Jakarta.

Yang berbeda diantara ketiga pelabuhan di Tangerang, Banten dan Jakarta itu hanyalah tingkatan kualitas dan kuantitas kegiatannya. (sunda) Calapa menjadi pelabuhan paling sibuk ketika itu lantaran lokasinya paling dekat dan dapat berhubungan langsung melalui jlan darat dan jalan air (Sungai Ciliwung) dengan Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan Sunda. Selain itu, (Sunda) Calapa menjadi pusat kota pelabuhan Kerajaan Sunda.

Dibawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan kota pelabuhan paling barat Pulau Jawa. Posisi Banten juga sangat strategis, setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511 lantaran Selat Sunda dan pesisir barat Sumatera menjadi jalur utama perdagangan.

Sedangkan Pelabuhan Tangerang termasuk pelabuhan yang sepi hingga menempati peringkat paling bawah kesibukannya, karena lokasinya berada diantara dan berdekatan dengan Banten dan (Sunda) Calapa. Lokasi ketiga kota pelabuhan berada disekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota pelabuhan Banten, Sungai Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan Calapa.

Selanjutnya, sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Calapa (berubah menjadi Jayakarta sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527) mengembangkan diri menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan. Didukung oleh Cirebon dan Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat penyebaran agama Islam, pemerintahan, dan perniagaan laut (maritim) di Tatar Sunda bagian barat dan Sumatera bagian selatan. Puncak keemasan Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkhadir (1596-1651) dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).

Sedangkan, Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan Pakuan Pajajaran ke dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, setelah jatuh ke dalam kekuasaan kompeni Belanda pada 1619 dan namanya diganti dengan Batavia, berhasil mengembangkan diri. Mula-mula Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat perdagangan Kompeni (VOC) di Nusantara, kemudian sejak tahun 1800 menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Semenjak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia berlangsung persaingan perdagangan yang keras. Di satu pihak, Kompeni Belanda mendesakkan keinginan untuk melakukan monopoli perdagangan diwilayah Kesultanan Banten. Namun di pihak lain, Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan Negara. Saking kerasnya persaingan itu, alhasil berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya knflik senjata. Mula-mula pada 1652, berbentuk konflik senjata secara tertutup, namun kemudian pad 1659 berbentuk perang terbuka. Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang menjadi daerah pertahanan sekaligus medan pertempuran serta rebutan antara Banten dan Batavia.

Dalam perkembangan berikutnya, pihak Banten membangun benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru muncul nama Tangerang.

Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama serdadu sewaan yang berasal dari kalangan orang Nusantara sendiri, dan taktik adu-domba (devide et impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh ketangan kekuasaan Kompeni Belanda. Mula-mula pada 1569, daerah sebelah timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan Kompeni, kemudian tanah di sepanjang Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai ke muara dan daerah sebelah selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra Hindia) ditetapkan masuk ke wilayah Batavia (1684).

Akhirnya pada 1809, Kesultanan Banten dihapuskan serta seluruh wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu, berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daeah tapal batas antara Banten dan Jakarta, karena seluruhnya berada dibawah kuasa pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan jalan bagi perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah rebutan antara Banten dan Batavia, Tangerang kemudian menjadi daerah partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi sepetak tanah di Tangerang dikuasai oleh pihak partikelir secara perseorangan dan perusahaan.

Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari orang Belanda dan orang China. Disamping menguasai tanah garapan dan lingkungannya, mereka juga mneguasai penduduk yang bermukim di lahan itu. Penduduk setempat berkewajiban menggarap tanah milik tuan tanah dengan upah kecil, padahal mereka pun harus membayar berbagai pajak dan pungutan lainnya.

Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat kesejahteraan tuan tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain itu, tuan tanah lebih berkuasa daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah mandor yang bertindak sebagai jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah. Keberadaan dan fungsi jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala umum dan ciri khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian membentuk struktur dan karakter masyarakat tersendiri dilingkungan tanah partikelir.

Pendidikan sekolah hampir tak tersentu oleh bagian terbesar penduduk pribumi. Mereka mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam secara individual, atau pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan kedudukan orang keturunan China dan jawara dalam masyarakat Tangerang demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan peristiwa selama revolusi kemerdekaan pada tahun 1945-1949.

Pada masa itu orang-orang keturunan China di daerah ini pernah menjadi sasaran amuk rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah terhadap mereka karena dicurigai membantu pihak kolonial. Pernah pula dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan jawara yang berjiwa merah dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik Indonesia. Mereka mendirikan negara di dalam negara.

Pada mulanya, penduduk Tangerang boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banter., Bogor dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangerang sebelah barat.

Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni Belanda di bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis dan budaya Melayu Betawi. Dinamakan demikian, karena mereka berbicara dalam bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sosialnya dan bertempat tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi bagi Kota Batavia. Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling Kota Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir sebelah timur dan daerah pedalaman timur Tangerang.

Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang China dalam jumlah banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah Tangerang, sebagai dampak dari pemberontakan orang-orang China di Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah partikelir. Keturunan orang China ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah pesisir Tangerang sebelah timur.

Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Betawi. Dari pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang bercirikan Melayu Betawi dan China yang kini populer disebut budaya Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain.

Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan budaya di Tangerang terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan China serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa.

Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda, kedudukan Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat dan struktur pemerintahan. Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai salah satu kota pelabuhan dalam lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota pelabuhan berada di bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung kepada raja Sunda.

Ketika Tangerang berada di bawah kuasa Kesultanan Banten sejak 1526, sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat pemerintahannya berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa sekarang. Tatkala sebagian daerah ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak 1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini dipimpin oleh seorang komandan militer Belanda.

Namun, ketika seluruh daerah ini berada di bawah kuasa Kompeni Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai sejak 1682, pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk pribumi.

Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh di Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Tingkat dan struktur pemerintahan di daerah Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah wilayah administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan) yang kemudian disebut Keresidenan Batavia.

Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah seorang Asisten Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda. Selanjutnya sejak tahun 1860-an, daerah ini berstatus afdeling yang disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh Asisten Residen. Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak 1880-an) masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk; lalu ditambah dengan Distrik Curug.

Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut demang, kemudian berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan demikian di Tangerang berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).

Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga dengan ibu kota pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah strategis. Dengan demikian, tingkat dan struktur pemerintahannya dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga pendidikan militer (Seinendojo).

Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R Atik Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.

Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat sambutan hangat dari para pemimpin dan masyarakat Tangerang. Wujudnya terdiri atas dua bentuk.Pertama, menegakkan kemerdekaan dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang yang me-nunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke bawah.

Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan melawan pihak asing dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah kembali dan pihak yang mau mendirikan negara sendiri yang tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia. Terjadilah revolusi kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa ditegakkan di Tangerang.

Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa Republik Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini. Kabupaten ini jadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta perkembangan Kota Tangerang yang meningkat pesat, status pemerintahan di Kota Tangerang sendiri ditingkatkan. Tadinya kota itu adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif. Kota Tangerang yang memiliki luas wilavah 17.729,794 hektar dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang.

Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten 'I'angerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sementara itu, dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.

Sumber : http://images.pabukon.multiply.multiplycontent.com