Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak balak maupun keberuntungan.
Hari semakin larut. Para ibu masih sibuk memasak kue dan menyiapkan perlengkapan sesaji di dapur. Berbagai jenis hewaan ternak telah terlelap tidur di kandangnya masing-masing. Di sisi lain, suara ramai namun damai di sepanjang jalan utama desa.
Laki-laki tua-muda, anak-anak, dan perempuan pun ikut membantu menyiapkan dan memasang hiasan perlengkapan upacara yang terdiri dari pala gumantung (buah-buahan yang bergantung, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga), pala kependhem (umbi-umbian dalam tanah, seperti ubi kayu, ketela, kacang tanah, kentang, talas, ganyong, jahe, dan lengkuas), dan pala kesampir (polong-polongan, seperti kacang panjang, kecipir, kara, dan bunci). Kesemuanya ditata dan dihias rapi sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan.
Itulah gambaran suasana yang terlihat pada awal sebuah upacara ritual kesuburan yang dilakukan masyarakat Using di Desa Alas Malang, upacara tersebut bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, penyemhuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari Tuhan Yang Maha Esa.
Keesokan hari, pemandangan di desa itu sungguh menakjubkan. Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.
Prosesi upacara diawali dengan selamatan di tengah jalan utama desa. Semua panganan diletakkan di atas tikar, lembar-lembar daun, nasi tumpeng di atas ancak (tempat yang terbuat dari batang daun pisang dan bambu). Lengkap dengan lauk pauk dan sayur yang ditata dalam takir (tempat yang terbuat dari daun pisang) serta masakan khas pecel pitik (ayam panggang yang diurap kelapa) telah siap. Seluruh elemen kampung terlibat, dari orang dewasa hingga anak-anak. Doa dipimpin oleh tokoh agama Kyai, kemudian nasi tumpeng dan kue dibagikan kepada para pengunjung dan warga setempat sebagai berkat. Tiap-tiap warga menyiapkan kue untuk para kerabat atau pengunjung yang datang.
Ritual Ider Bumi
Selanjutnya acara Ider bumi (prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung). Upacara bersama ini begitu unik dan menarik sekaligus memiliki dimensi dari masyarakat yang akar kepercayaan agraris dan spiritualnya masih kuat.
Acara ritual ini melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.
Pada acara Ider Bumi, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri (Dewi Padi) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Suasana kian meriah karena diiringi alunan musik tradisional khas Using yang hinggar binggar.
"I'm very happy to be here, I have never seen an exciting festival like this before," ungkap Starech, wisatawan Cekoslovakia yang berada di desa ini selama 3 hari pada upacara adat Kebo-Keboan Februari lalu. Hal serupa juga diungkapkan beberapa wisatawan asal Eropa.
Pada bagian akhir upacara adalah prosesi membajak sawah dan menanam bibit padi. Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak bala maupun keberuntungan. Kegiatan berakhir pada tengah hari. Sementara pada sore hari dan malam hari, kesenian tradisional disajikan, termasuk pementasan wayang kulit senuilam suntuk.
Lestarikan Budaya
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
"Kebudayaan berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
"Bagi yang senang berpetualang, alam Banyuwangi menyediakan goa-goa angker dan hewan liar di Alas Purwo, ombak yang spektakuler di Pantai Plengkung, kawah yang menakjubkan di Gunung Ijen, mengintip Penyu bertelur di Sukamade dan masih banyak lagi panorama alam lain seperti air terjun, sungai berkelok-kelok serta sejuknya udara perkebunan cengkeh, coklat, karet, dan kopi", tambahnya.
Tips Perjalanan
Kalau ingin berwisata budaya menyaksikan ritual Kebo-Keboan ini, datang saja ke Jawa Timur, tepatnya di Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Waktu kunjungan yang tepat pada setiap bulan Suro/Muharam (Kalender Islam), biasanya setelah panen padi atau menjelang musim tanam.
Sumber : http://liburan.info
Foto : http://2.bp.blogspot.com
Hari semakin larut. Para ibu masih sibuk memasak kue dan menyiapkan perlengkapan sesaji di dapur. Berbagai jenis hewaan ternak telah terlelap tidur di kandangnya masing-masing. Di sisi lain, suara ramai namun damai di sepanjang jalan utama desa.
Laki-laki tua-muda, anak-anak, dan perempuan pun ikut membantu menyiapkan dan memasang hiasan perlengkapan upacara yang terdiri dari pala gumantung (buah-buahan yang bergantung, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga), pala kependhem (umbi-umbian dalam tanah, seperti ubi kayu, ketela, kacang tanah, kentang, talas, ganyong, jahe, dan lengkuas), dan pala kesampir (polong-polongan, seperti kacang panjang, kecipir, kara, dan bunci). Kesemuanya ditata dan dihias rapi sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan.
Itulah gambaran suasana yang terlihat pada awal sebuah upacara ritual kesuburan yang dilakukan masyarakat Using di Desa Alas Malang, upacara tersebut bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, penyemhuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari Tuhan Yang Maha Esa.
Keesokan hari, pemandangan di desa itu sungguh menakjubkan. Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.
Prosesi upacara diawali dengan selamatan di tengah jalan utama desa. Semua panganan diletakkan di atas tikar, lembar-lembar daun, nasi tumpeng di atas ancak (tempat yang terbuat dari batang daun pisang dan bambu). Lengkap dengan lauk pauk dan sayur yang ditata dalam takir (tempat yang terbuat dari daun pisang) serta masakan khas pecel pitik (ayam panggang yang diurap kelapa) telah siap. Seluruh elemen kampung terlibat, dari orang dewasa hingga anak-anak. Doa dipimpin oleh tokoh agama Kyai, kemudian nasi tumpeng dan kue dibagikan kepada para pengunjung dan warga setempat sebagai berkat. Tiap-tiap warga menyiapkan kue untuk para kerabat atau pengunjung yang datang.
Ritual Ider Bumi
Selanjutnya acara Ider bumi (prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung). Upacara bersama ini begitu unik dan menarik sekaligus memiliki dimensi dari masyarakat yang akar kepercayaan agraris dan spiritualnya masih kuat.
Acara ritual ini melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.
Pada acara Ider Bumi, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri (Dewi Padi) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Suasana kian meriah karena diiringi alunan musik tradisional khas Using yang hinggar binggar.
"I'm very happy to be here, I have never seen an exciting festival like this before," ungkap Starech, wisatawan Cekoslovakia yang berada di desa ini selama 3 hari pada upacara adat Kebo-Keboan Februari lalu. Hal serupa juga diungkapkan beberapa wisatawan asal Eropa.
Pada bagian akhir upacara adalah prosesi membajak sawah dan menanam bibit padi. Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak bala maupun keberuntungan. Kegiatan berakhir pada tengah hari. Sementara pada sore hari dan malam hari, kesenian tradisional disajikan, termasuk pementasan wayang kulit senuilam suntuk.
Lestarikan Budaya
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
"Kebudayaan berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
"Bagi yang senang berpetualang, alam Banyuwangi menyediakan goa-goa angker dan hewan liar di Alas Purwo, ombak yang spektakuler di Pantai Plengkung, kawah yang menakjubkan di Gunung Ijen, mengintip Penyu bertelur di Sukamade dan masih banyak lagi panorama alam lain seperti air terjun, sungai berkelok-kelok serta sejuknya udara perkebunan cengkeh, coklat, karet, dan kopi", tambahnya.
Tips Perjalanan
Kalau ingin berwisata budaya menyaksikan ritual Kebo-Keboan ini, datang saja ke Jawa Timur, tepatnya di Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Waktu kunjungan yang tepat pada setiap bulan Suro/Muharam (Kalender Islam), biasanya setelah panen padi atau menjelang musim tanam.
Sumber : http://liburan.info
Foto : http://2.bp.blogspot.com