Penafsiran Kembali Nasionalisme dan Pendewasaan Masyarakat

Oleh : Wahyudi Kumorotomo

Salah satu kekhawatiran yang muncul setelah bangsa Indonesia sejak tahun 1998 mengalami transisi menuju ke arah sistem politik yang demokratis ialah munculnya etno-nasionalisme yang mengarah kepada cerai-berainya negara kesatuan. Setelah rakyat terbebas dari represi oleh rejim otoritarian yang telah berlangsung selama puluhan tahun di bawah pemerintah Orde Baru, seketika muncul berbagai tuntutan yang dilandasi oleh sentimen etnis dan kedaerahan. Tuntutan kemerdekaan muncul di mana-mana setelah lepasnya Timor-Timur dari bumi pertiwi. Beruntung bahwa untuk sebagian kekhawatiran akan adanya “balkanisasi” dan disintegrasi oleh gerakan separatis itu tidak terjadi. Tetapi isu putra daerah masih menjadi sesuatu yang tiba-tiba menjadi sangat peka dalam pemilihan gubernur, bupati atau walikota. Tuntutan akan adanya pemekaran daerah yang dilandasi oleh identitas etnis juga masih terus berlangsung.

Setelah satu windu gerakan reformasi, sebagian besar masyarakat semakin kecewa dengan arah demokratisasi yang tengah terjadi. Keterbukaan politik, kebebasan berpendapat, dan mekanisme politik yang tercipta sejauh ini tampaknya belum mampu menjawab esensi demokratisasi yang sesungguhnya. Demokratisasi ternyata telah “dibajak” oleh sekelompok elit sehingga yang muncul adalah oligarkhi sedangkan kebebasan politik yang dimiliki oleh rakyat terkadang tidak dapat tersalur dengan efektif untuk kepentingan publik. Ekses demokratisasi yang setengah matang itu muncul dalam bentuk kekerasan politik (mobocracy), politik uang, premanisme, serta pragmatisme yang kelewat batas. Ekses semacam itu terkadang bukan saja melibatkan unsur aparat birokrasi, tetapi juga oleh sebagian elemen yang sesungguhnya diharapkan untuk dapat menjadi modal bagi berkembangnya masyarakat madani.

Tulisan ini bermaksud mengangkat isu-isu di seputar masalah yang sekilas tampak tidak berhubungan, yaitu nasionalisme dan kedewasaan berpikir masyarakat di era yang lebih demokratis. Tetapi masalah inilah yang dalam jangka panjang akan menentukan keutuhan dan identitas Indonesia sebagai bangsa yang berkarakter dan sekaligus bermartabat. Di sini tidak akan diungkapkan kesimpulan yang utuh atau solusi yang menyeluruh terhadap masalah-masalah ini. Sebaliknya, yang akan dimunculkan mungkin justru sejumlah pertanyaan yang perlu didiskusikan dan diperdebatkan secara terbuka.

Rasionalitas dalam wacana “kepribadian bangsa”
Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki begitu banyak pemikir yang memungkinkan rumusan tentang kepribadian bangsa akan membangkitkan nasionalisme yang kokoh. Ketika sejumlah mahasiswa Stovia merintis terbentuknya Boedi Oetomo menjelang tahun 1982, rumusan kebangsaan Indonesia sudah sangat kuat sehingga mampu membangkitkan semangat self-determination yang luar biasa. Para pemimpin bangsa itu sudah mampu menciptakan apa yang oleh Ben Anderson sebagai imagined communities. Kesetiaan tokoh pada tujuan nasional demikian kental sehingga latar-belakang orang tidak lagi menentukan. Pada saat orang punya tujuan dan semangat yang sama, ikatan dogma menjadi tak penting lagi.

Demikian pula pada tahun 1945, ketika Mr. Supomo bersama 62 orang pendiri bangsa membentuk komite persiapan kemerdekaan (termasuk diantaranya Sukarno, Mohammad Hatta, Rajiman Widyodiningrat, Wakhid Hasyim, Mohammad Yamin, dsb), dasar-dasar kesatuan bangsa telah mampu diletakkan dengan kokoh di atas prinsip-prinsip keharmonisan sosial, solidaritas, dan perasaan akan nasib dan tujuan yang sama. Konsep “negara integralistik” yang secara ideologis menyatukan filosofi individualisme seperti dikemukakan Hobbes, Locke, Spencer, Rousseau, dan para filsuf Barat dengan filosofi sosialisme seperti dikemukakan oleh Marx, Engels, dan Lenin sudah sedemikian bagus dirumuskan oleh para pendiri bangsa ketika itu, sekalipun dalam situasi perjuangan dengan fasilitas yang serba terbatas. Kesemuanya dilandasi oleh semangat untuk bebas dari penjajahan dan untuk tegak berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kata lain, semangat demokrasi yang bersifat universal sudah diletakkan sejak awal berdirinya bangsa Indonesia yang merdeka.

Akan tetapi, keinginan sebagian pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan dan ketiadaan mekanisme yang wajar untuk membatasi kekuasaan terkadang telah membelokkan konsep-konsep awal tentang negara integralistik tersebut. Ketidaksabaran Sukarno terhadap demokrasi parlementer akhirnya mengakibatkan munculnya konsep demokrasi terpimpin yang menumbuhkan benih¬benih otoritarianisme, justru dengan mengatasnamakan negara integralistik. Tampak jelas bahwa konsep yang sama, jika ditafsirkan secara sepihak dan tanpa disertai dengan wacana publik yang rasional akan mengakibatkan pergeseran makna atau bahkan penjungkirbalikan konsep itu sendiri.

Kemudian, selama lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru, Suharto seringkali menggunakan istilah-istilah filosofis asli bangsa Indonesia seperti gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, dan sebagainya untuk membuat justifikasi bagi pembatasan kegiatan partai politik, mobilisasi warga desa atau penetrasi aparat negara ke dalam pelbagai kegiatan otonom masyarakat. Konsep nasionalisme seperti yang terdapat dalam negara integralistik berubah menjadi “negara kesatuan” dengan pengertian yang sangat sempit yang mengarah kepada keseragaman dan depolitisasi sistematis. Nasionalisme dalam situasi di mana kultur negara sangat mendominasi dan tidak ada satu pun mekanisme rasional yang mampu menjadi pembanding seperti ini jelas tidak mampu mengakomodasi kultur lokal yang sangat beragam. Setelah tumbangnya Orde Baru, segera terlihat betapa kultur lokal yang kuat di daerah-daerah seperti Aceh, Papua, Luwu, dan lain-lain bangkit menunjukkan resistensi terhadap dominasi pusat. Memang tidak semua resistensi kultur lokal itu menghasilkan gerakan separatisme. Tetapi menjadi jelas di sini bahwa wacana tentang kepribadian bangsa yang tidak mengakomodasi keberagaman kultur lokal justru akan mengancam semangat nasionalisme itu sendiri.

Setelah reformasi, kebijakan untuk memberikan otonomi daerah yang luas adalah suatu keniscayaan. Kebijakan ini bukan dimaksudkan untuk membiarkan semangat kedaerahan muncul menjadi ancaman disintegrasi atau mengaburkan semangat nasionalisme ke dalam fragmen-fragmen etnisitas yang sempit. Justru sebaliknya, dengan pengakuan atas keragaman budaya dan karateristik daerah, perasaan senasib dan kemungkinan untuk menyepakati kembali adanya tujuan bersama akan dapat dibangkitkan. Sejarah mencatat bahwa tidak ada negara yang tercerai-berai karena pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah dan memberikan partisipasi kepada rakyat secara luas. Sebaliknya, justru banyak terjadi gerakan separatisme karena pemerintah pusat yang represif dan tidak mengakomodasi keragaman etnik dan budaya.

Gagasan tentang kebebasan dan rasionalitas di dalam menafsirkan kepribadian bangsa akan menjadi modal dasar nasionalisme yang tiada habisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip ini bersifat universal. Emmanuel Kant menulis bahwa “Orang harus bebas agar mampu melaksanakan kekuasaannya secara berguna. Orang tidak bisa mematangkan akalnya sendiri kecuali melalui pengalamannya. Untuk itu, dia harus bebas. Sehingga otonomi manusia adalah ujung yang esensial dari kehidupan politik”. Sementara itu Mikail Aflaq, salah satu pendiri partai Ba’ath di Iraq juga berpikiran serupa tentang kebebasan dan nasionalisme. Aflaq menambahkan bahwa cinta-kasih kepada sesama juga merupakan unsur penting dari kepribadian bangsa. Kecuali itu dia juga mengatakan bahwa nasionalisme tidak akan mungkin bentrok dengan agama atau etnisitas karena di dalamnya terdapat unsur solidaritas (asabiyya) yang luas dan universal.
Tetapi yang jauh lebih penting di dalam upaya pembentukan nasionalisme dan kepribadian bangsa ialah memastikan bahwa gagasan-gagasan besar dari para pemikir itu tidak diselewengkan oleh para tokoh yang bisa membelokkannya untuk kepentingan jangka-pendek. Di sinilah pentingnya rasionalitas di dalam setiap pengembangan wacana kepribadian bangsa. Rasionalitas menghendaki bahwa kebenaran tidak boleh menjadi monopoli seseorang atau golongan tertentu. Rasionalitas menghendaki bahwa inter-subjektivitas dari konsep kebangsaan harus terbuka untuk didiskusikan, dikritik atau dievaluasi sehingga akan lebih teruji dari waktu ke waktu.

Mendewasakan dengan mengutamakan integritas
Setelah nasionalisme dapat diperkuat melalui pengakuan atas keragaman budaya, etnisitas dan dan adat kedaerahan, isu strategis berikutnya ialah bagaimana mengajak kepada semua unsur masyarakat untuk berpikir progresif tentang demokrasi. Setelah sekian tahun gerakan reformasi berlangsung di Indonesia, semakin banyak orang yang kecewa dengan mengatakan bahwa demokrasi ternyata menghasilkan kekacauan sosial. Bagi kalangan birokrasi pemerintah, demokrasi membuat frustrasi karena proses pembuatan keputusan menjadi semakin sulit dan berbelit-belit. Bagi kalangan usahawan, demokrasi dianggap hanya menambah biaya tambahan (overhead cost) karena semakin banyaknya kepentingan politik yang harus dilayani. Sementara itu rakyat pada umumnya bahkan belum melihat manfaat dari demokrasi karena upaya pemulihan ekonomi di era demokratis ternyata tidak menghasilkan perbaikan yang berarti bagi taraf hidup mereka. Kini, semakin banyak orang yang beranggapan bahwa demokrasi mengakibatkan politisasi di mana-mana. Demokrasi mengakibatkan “terlalu banyak politik”, menurut istilahnya.

Tetapi kiranya perlu diperhatikan sebuah analisis yang dikemukakan oleh Hans Antlov, bahwa situasi kekacauan politik setelah tumbangnya Orde Baru itu sama sekali bukan karena terlalu banyak politik, tetapi justru karena “kurangnya politik” (not enough politics). Karena sebelumnya masyarakat sudah terbiasa dengan represi, keseragaman, dan penafsiran yang harus selalu sama tentang sebuah aspek pembuatan keputusan, maka ketika represi itu dihilangkan, masyarakat menjadi kehilangan arah. Sekian lama para pemangku kepentingan (stake-holders) telah kehilangan keterampilan untuk bernegosiasi, melakukan kompromi, dan membuat keputusan secara kolektif. Akibatnya, kebanyakan mereka telah kehilangan “keterampilan politiknya”.

Oleh sebab itu, yang diperlukan sekarang ini agar masyarakat lebih dewasa di dalam keterlibatan politiknya adalah sebuah sistem pendidikan politik yang didukung oleh semua unsur. Yang dimaksud dengan keterlibatan politik dalam hal ini adalah segala sesuatu yang memungkinkan adanya sentuhan masyarakat terhadap proses politik. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari partisipasi di dalam Pilkada atau Pemilu, penyampaian aspirasi kepada institusi yang tepat, penafsiran tentang berita politik di media massa, hingga hal-hal yang sederhana tetapi sangat menentukan mengenai bagaimana mereka harus bersikap ketika ditawari berbagai bentuk iming-iming politik (political gimmick).

Dukungan semua unsur dalam hal ini bukan sekadar lembaga-lembaga pemerintah yang membidangi masalah-masalah sosial, kebangsaan, maupun kemasyarakatan, tetapi juga unsur-unsur media massa, Ornop (Organisasi Non¬Pemerintah), perguruan tinggi, tokoh intelektual, budayawan, tokoh agama, dan sebagainya. Sistem pendidikan politik yang integratif akan memungkinkan semua pihak memiliki sistem kontrol internal sehingga sumber-sumber konflik politik yang mengarah kepada kekerasan fisik, pertikaian antar kelompok, serta dendam antar golongan dapat diminimalkan. Menurut Anthony Giddens, potensi untuk melakukan kekerasan (violence) sesungguhnya dimiliki oleh semua lembaga dan organisasi, termasuk organisasi yang paling absah seperti negara (state). Satu-satunya yang dapat mengontrol kekerasan itu ialah adanya mekanisme kewaspadaan (surveillance) yang berasal dari kelompok-kelompok di dalam sistem yang pluralis. Dalam hal ini, keberadaan masyarakat madani (civil society) seharusnya akan dapat melakukan fungsi kewaspadaan itu dengan baik.

Modal sosial yang utama dari kewaspadaan dan kontrol terhadap sistem politik yang mengalami proses transisi ialah adanya integritas. Betapapun, integritas akan membuat bahwa prinsip-prinsip non-violence akan sangat dihargai. Orang akan lebih mengutamakan rasionalitas dan argumen yang sehat ketimbang kekerasan fisik. Premanisme, pemaksaan kehendak melalui penggerudukan atau kekerasan massa, atau cara-cara main hakim sendiri akan dapat dikurangi. Integritas juga akan mengakibatkan bahwa setiap interaksi politik dilandasi oleh nilai-nilai moral yang tinggi. Orang tidak akan begitu mudah memilih seorang calon bupati yang korup hanya karena mendapatkan kain sarung, sembako atau sejumlah uang. Prinsip one man one vote akan dapat diterapkan dengan baik. Terlebih lagi, integritas akan membawa setiap proses politik akan berjalan ke arah tujuan akhir yang bernilai, yaitu kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua orang. Kendatipun indikator makro ekonomi Indonesia telah mulai bangkit, ternyata indikator itu tidak tercermin di dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat secara riel. Ini terjadi karena masyarakat sendiri telanjur memilih orang-orang di kalangan legislatif, eksekutif maupun judikatif yang kurang memiliki integritas. Ini terjadi karena masyarakat belum belajar berdemokrasi dengan mengutamakan integritas.

Hendaknya dipahami bahwa pembinaan karakter masyarakat melalui peningkatan integritas harus dilakukan secara menyeluruh. Pendewasaan harus menyentuh segi-segi spiritual, bukan hanya hal-hal yang menyangkut ritual. Dalam hal ini mungkin perlu dikaji benar antara persoalan religiositas dengan persoalan etis. Religiositas terkadang dinilai secara dangkal sehingga bahkan mengabaikan nilai¬nilai yang lebih fundamental secara etis seperti integritas dan kejujuran. Ini bukan merupakan hal yang mudah. Tetapi inilah yang harus senantiasa diupayakan untuk mewujudkan bangsa yang bermartabat.

Rata PenuhReferensi
Albert Hasibuan, Titik Pandang untuk Orde Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996)
Anthony Giddens, The Nation-State and Violence (Berkeley: University of California Press, 1987)

Arief Budiman, Barbara Hatley dan Damien Kingsbury, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1999)

Hans Antlöv, The Making of Democratic Local Governance in Indonesia, (Jakarta: Ford Foundation, 2002)

Jim Schiller & Barbara Martin-Schiller (eds.), Imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture (Athens: Ohio University Press, 1997)

M.H. Songge, “Akar dan Solusi Ketegangan Etno-Religious di Indonesia Kontemporer: Perspektif Sosial-Politik”, dalam Harmoni, Vol.1/1, 2002

Philip J. Eldridge, Non-Governmental Organisations and Democratic

Participation in Indonesia (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1995).

Sumber :
Paper disajikan dalam diskusi tentang “Isu-isu Strategis Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, bertempat di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, 10 Oktober 2006.

Penulis adalah staff pengajar Fisipol UGM, Yogyakarta.