Islam di Nusantara dan Transformasi Kebudayaan Melayu

Oleh : Abdul Hadi W. M.

Sebenarnya apa yang disebut orang Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa sebagaimana dimengerti banyak orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Ke dalamnya melebur pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan India, disamping keturunan dari etnik Nusantara lain. Semua itu dapat terjadi karena selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk agama yang sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang Jawa atau Sunda.

Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak. Mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di mana pun berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam. Adat istiadat mereka juga relatif sama, karena didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu tidak mengherankan apabila Kemelayuan identik dengan Islam, dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka yang tidak mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya sangat diperlukan.

Setidak-tidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan kebudayaannya dengan Islam. Pertama, faktor perdagangan; kedua, perkawinan, yaitu antara pendatang Muslim dengan wanita pribumi pada tahap awal kedatangan Islam; ketiga, faktor politik seperti mundurnya kerajaan Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya; keempat, faktor kekosongan budaya pasca runtuhnya kerajaan Buddhis Sriwijaya di kepulauan Melayu; kelima, hadirnya ulama sufi atau faqir bersama tariqat-tariqat yang mereka pimpin; keenam, pengislaman raja-raja pribumi oleh para ulama sufi atau ahli tasawuf; ketujuh, dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam; delapan, mekarnya tradisi intelektual baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu sebagai dampak dari maraknya perkembangan Islam.

Faktor perdagangan telah sering dikemukakan. Agama Islam muncul di Nusantara disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari negeri Arab dan Persia sejak abad ke-8 dan 9 M. Dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada abad-abad berikutnya, terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut marak pula. Pada mulanya komunitas Islam tumbuh di kota-kota pesisir yang merupakan pelabuhan utama atau transit pada zamannya. Di sini tidak sedikit pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Semua itu merupakan cikal bakal berkembangnya komunitas Islam di Nusantara. Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian juga melibatkan penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain yang meleuk agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh di kalangan etnik pesisir ini.

Islam dan Kepulauan Melayu
Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13 – 17 M memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Khususnya tentang darimana agama ini datang dan siapa yang membawanya masuk. Begitu pula mengenai saluran-saluran komunikasi yang digunakan sehingga memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk Nusantara dalam waktu yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan agama ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.

Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998; Azyumardi Azra 1999).

Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Bersama mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi pengembara dengan pengikut tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992).

Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Dengan munculnya kerajaan-kerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga pendidikan, dapat didirikan. Semua itulah yang memungkin penyebaran agama Islam dan transformasi budayanya dapat dilakukan.

Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan Buddha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan politiknya. Abad ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa – Kediri dan Singasari – disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya (Wolter 1970).

Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan daerah-daerah taklukannya melepaskan diri dan muncul menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri, Aru, Pedir, Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Menjelang akhir abad ke-13 M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan bergabung di bawah imperium baru, Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit yang menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya Samudra Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan itu yang dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang utama di Selat Malaka.

Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Paramesywara yang masih muda, berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik, Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970).

Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama Buddha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan diperuntukkan hanya untuk kaum bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak awal dibuka untuk segenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah agama kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang.

Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917; Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar oleh maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki kecenderungan terhadap aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya dagang pun bangkit di kalangan etnik yang memeluk agama ini, terutama yang tinggal di pesisir.

Tahapan Perkembangan Islam
Agama Islam berkembang tahap demi tahap di kepulauan Nusantara, melalui jalan yang berliku-liku dan berbeda di daerah yang satu dengan yang lain. Masa-masa penyebarannya itu juga tidak berjalan serentak di wilayah yang berbeda-beda. Ketika di suatu kawasan baru berada dalam tahap pengenalan dasar-dasar dan pokok ajaran agama, di daerah lain telah memasuki fase pengenalan implikasi-implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam tentang Tauhid. Secara umum tahapan-tahapan perkembangan itu dari abad ke-13 s/d awal abad ke-20 dapat dibagi lima.

Tahap I, dari awal abad ke-13 M hingga pertengahan abad ke 15 M, dapat disebut tahapan pemelukan secara formal. Yang ditekankan ialah pengenalan dasar-dasar kosmopolitanis Islam, ketentuan dasar pelaksanaan syariat agama dan fiqih.

Tahap II, dari akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-16 M. Periode ini proses islamisasi kepulauan Melayu berjalan dengan pesat diikuti kian tersebarnya Islam ke berbagai pelosok Nusantara. Berkat meningkatnya tingkat pemahaman dan pendidikan yang diperoleh kaum Muslimin, ajaran Islam kian dipahami lebih mendalam. Memeluk agama Islam tidak sekadar formalitas. Di kepulauan Melayu dan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk. Kitab-kitab keagamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dalam bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam kian dilibatkan dalam penyebaran agama Islam. Pada masa ini kita menyaksikan semakin terintegrasinya kebudayaan Melayu dengan Islam.

Tahap III berlangsung pada abad ke-17 M, adalah tahapan penyempurnaan pemahaman ajaran Islam dan tradisi intelektualnya. Pada masa ini kita menyaksikan suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab Melayu meliputi bidang-bidang seperti fiqih ibadah dan muamalah, fiqih duali (ketatanegaraan), syariah, usuluddin, kalam, tasawuf falsafah dan tasawuf akhlaq, tafsir al-Qur’an, ilmu hadis, eskatologi, historiografi, tatabahasa (nahwu), retorika, ilmu ma`ani (semantik), estetika (balaghah), astromomi, ilmu hisab, perkapalan, ekonomi dan perdagangan, sastra dan seni, ketabiban, farmasi, dan lain-lain. Kemajuan yang dicapai di bidang intelektual ini mempermantap kedudukan dan perkembangan bahasa Melayu.

Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syariah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat dan fiqih. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa Indonesia.

Tahap V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada perjuangan politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan berdirinya organisasi seperti NU. Lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun umat Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak Pemilu 1955, namun bangunan budayanya masih tetap utuh.

Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara memeluk agama ini ialah watak dan semangat egaliternya, serta kehidupan pemeluknya yang awal yang terdiri dari para pedagang yang kaya, makmur dan terpelajar. Dengan memeluk agama ini penduduk pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status sosialnya. Misalnya dapat berpartisipasi dalam perdagangan regional dan antar pulau, serta dapat memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan di mana saja terdapat komunitas Muslim. Melalui cara itu pula mereka menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan dan naik martabatnya. Sudah menjadi kebiasaan di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ hadir pula para pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula madrasah. Pengajian-pengajian diselenggarakan secara intensif.

Penggunaan kesenian sebagai media dakwah merupakan daya tarik yang lain. Inilah yang dilakukan wali sanga di Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M yang tinggal lama di Malabar, Zainuddin al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-Mujahidin bahwa banyak penduduk India Selatan dan Nusantara tertarik memeluk agama Islam setelah menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan dinyanyikan. Terutama dalam peringatan Maulid Nabi (Ismail Hamid 1983). Yang dimaksud Zainuddin al-Ma`bari ialah pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan yang sejenis itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat Muslim tradisional di seluruh dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang digunakan para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi, seperti misalnya pembacaan Rawatib Syekh Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan lain-lain.

Kian meningkatnya jumlah Muslim pribumi dari berbagai etnik dalam jaringan dan kegiatan perdagangan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi. Mereka yang tinggal di kota-kota pelabuhan mulai banyak yang meninggalkan pasar tradisional, menjadi perantau dan pelayar yang tangguh. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi baik secara horisontal maupun secara vertikal. Etos dan budaya dagang juga berkembang. Ini bisa kita lihat pada etnik-etnik Pesisir yang telah lama memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai bagian dari dirinya seperti Minangkabau, Bugis, Makassar, Banjar, Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus etnik Bugis, Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang tangguh hinggga kini. Semua itu merupakan dampak dari kedatangan dan perkembangan Islam.

Pemakaian bahasa Melayu sebagai media penyebaran agama dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama sejak abad ke-16 M, memudahkan penduduk Nusantara di kota-kota pelabuhan memahami ajaran Islam dan sekaligus memudahkan orang-orang Islam dari berbagai etnik itu saling berkomunikasi dan berinteraksi. Ditambah lagi dengan kesamaan agama yang mereka anut. Sebagai dampaknya, sebagaimana terjadi pada akhir tahapan kedua nanti, bahasa Melayu mengalami proses islamisasi yang begitu deras. Yaitu dengan diserapnya ratusan kata-kata Arab dan Persia, yang tidak sedikit di antaranya adalah istilah-istilah tehnis ilmu-ilmu agama dan falsafah Islam. Derasnya proses islamisasi bahasa Melayu itu tampak secara menonjol dalam risalah dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, seorang cendikiawan sufi abad ke-16 M. Dalam karya-karyanya itu kita menjumpai lebih 2000 kata-kata Arab diserap dalam bahasa Melayu (Abdul Hadi W. M. 2000). Pemakaian huruf Arab Melayu juha meluas. Tidak hanya penulis kitab Melayu menggunakan huruf ini, tetapi juga penulis dari daerah lain di kepulauan Nusantara seperti Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Makassar, Banjar, Sasak, Minangkabau, Mandailing, Palembang, Bima, Ternate dan lain-lain.

Demikianlah segera setelah agama Islam berkembang pesat, segera pula agama ini memperlihatkan watak dan wajah kebudayaannya yang berbeda dari dua agama sebelumnya, Hindu dan Buddha yang lebih dahulu hadir di Asia Tenggara. Perbedaannya yang menyolok ialah: Pertama, dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak membingungkan penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks suci yang sukar dipelajari penganutnya yang awam. Kedua, ajaran ketuhahan dan sistem peribadatan Islam lebih sederhana dan jelas, serta mudah dipahami. Ia mengharuskan hubungan mesra antara penganutnya dengan Sang Khaliq tanpa perantaraan pendeta. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana telah dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat tertarik pada agama ini. Dengan masuk Islam mereka berpeluang besar menjadi pemimpin keagamaan dan masyarakat asal saja memenuhi syarat seperti memperoleh pendidikan yag juga terbuka kepada semua lapisan dan golongan masyarakat.

Kecuali itu para pendakwah Islam yang awal dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa perlu melakukan pendangkalan. Baru pada tahapan kedua implikasi rasional dan intelektual dari pokok-pokok ajaran Islam, seperti Tauhid, dilibatkan dalam mengomunikasikan ajaran Islam. Demikianlah penyampaian ajaran Islam dan jiwa kebudayaannya itu tahap demi tahap pada akhirnya sampai juga ke tujuannya (Braginsky 1998).

Karena yang penting memberikan dasar-dasar keimanan yang kuat, dan memperkenalkan kosmopolitanisme Islam sebagai pegangan hidup, pada tahap awal ini tidak dirasakan perlu menyertakan implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terlalu jauh sehubungan dengan konsep Tauhid yang merupakan ajaran sentral Islam (al-Attas 1972). Pengajaran dan ceramah tentang berbagai perkara berkenaan dengan keimanan dan ketaqwaan, atau yang bersangkut paut dengan rukun Islam dan rukun iman, dirasakan cukup memadai. Tentunya dengan menggunakan uraian yang mudah dicerna. Begitu pula ceramah yang berhubungan dengan ide-ide kemasyarakatan dalam Islam, disampaikan sesederhana mungkin.

Tidak diperlukannya uraian yang bercorak intelektual sebagian disebabkan karena pemahaman tentang Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk Nusantara masih kabur. Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertaka, maka kemungkinan akan terjadi kekaburan yang membingungkan (al-Attas 1972) Yang dapat dilakukan untuk mengikis pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam. Dasar-dasar kosmoplitanisme Islam itu antara lain ialah pandangan bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat.

Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M setelah penguasa setempat memeluk agama Islam dan kerajaannya terlibat dalam kegiatan perdagangan regional. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad ke-16 juga; di Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan Lombok, di Kalimantan Banjarmasin dan Pontianat, dan seterusnya pada abad ke-17 dan 18 M (Hasan Muarif Ambary 1998). Di kepulauan Melayu sendiri pusat-pusat kekuasan dan peradaban Islam yang lain juga muncul menyusul kemunduran Aceh Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain.

Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak ialah para wali dan sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka. Sumber-sumber sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini. Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis pada akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra Pasai dan penduduk negeri itu diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Gibb (1957) mengatakan kepada kita bahwa seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang mengunjungi negeri itu pada tahun 1345-6 M, memberitakan bahwa raja negeri itu sangat egaliter dan suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii dan para cendekiawan Persia dari Bukhara dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai salat Jumat sang raja biasa bertatap muka dan berbincang dengan orang kebanyakan sebelum kembali ke istana.

Tiga Lingkaran Pusat Peradaban
Faktor penting lain yang menyebabkan Islam berkembang pesat ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu Istana, Pesantren dan Pasar (Taufik Abdullah 1988, dalam Sidiq Fadil 1991). Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pun di pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.

Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra 1999).

Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah perdagangan, politik, sosial dan keagamaan. Di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren untuk disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.

Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin dan cendikiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (Fylstinsky 1971, melalui Braginsky 1998).

Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses islamisai memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan filosofis dari konsep Tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan terutama sekali pada tahapan ketiga nanti. Islam tidak cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan, maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di dalam jiwa, pikiran dan pandangan hidup penduduk Nusantara.

Pendalaman terhadap ajaran Islam pada tahapan kedua ini dilakukan dengan pengenalan konsep-konsep metafisika, epistemologi, etika dan estetika sufi. Pada masa ini ulama-ulama pribumi mulai mengambil alih peranan ulama dari luar, termasuk dalam struktur birokrasi pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang mahir menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan melalui karangan-karangan ilmiah dan sastra dalam bahasa lokal, khususnya bahasa Melayu dan Jawa, di samping dalam bahasa Arab. Tidak mengherankan apabila pada tahapan ini penulisan kitab keagamaan berkembang subur, khususnya di Aceh yang merupakan imperium Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M. Pada peralihan abad ke-16 dan 17 M, ketika tahapan kedua perkembangan Islam mencapai puncaknya, muncul sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan murid-muridnya, antara lain Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdat al-Wujud (‘kesatuan transenden wujud’)yang bercorak filosofis dan intelektual.

Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan supernatural. Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini kemudian dilanjutkan dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka dasar-dasar tradisi intelektual Islam pun telah diletakkan secara kokoh. Begitu pula dasar-dasar adab dan estetikanya.

Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan perdagangan.. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami` al-Bayt al-Rahman, sejak awal abad ke-16 M. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh Nusantara. Islam dan bahasa Melayu lantas muncul sebagai kekuatan integratif bagi etnik-etnik yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara.

Tasawuf dan Kebudayaan
Dalam konteks Indonesia dan transformasi Islam ke dalam kebudayaan Melayu, abad ke-17 M merupakan periode penting. Islam tampil sebagai faktor utama perekat etnik Nusantara yang bhineka. Peradaban ini membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas dan inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini didasarkan pula atas sendi-sendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga tidak mengherankan kelak apabila Gellner (1992) mengatakan, “Dari peradaban tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam), kelihatan hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang akan datang.”.

Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua tradisi yang saling melengkapi, terus dipertahankan dan dikembangkan, serta selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal dan kosmoplitannya di satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi ini menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitas penganutnya.

Yang pertama, tradisi besar yang terkandung dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika syariat memuat ketentuan-ketentuan hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan membangun tatanan masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka tasawuf mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang dan aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil seperti tercermin dalam mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di Indonesia telah benar-benar berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik. Dua tradisi ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan ortodoksi dan heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial dan anarki, hukum Tuhan dan adat istiadat bikinan manusia, kota dan desa (Gellner 1981).

Begitulah tahap II dan III perkembangan Islam di kepulauan Melayu sangat ditentukan oleh pesatnya perkembangan ilmu tasawuf dan syariat. Pada tahap kedua, derasnya proses islamisasi kepulauan Melayu itu ditandai dengan dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: Pertama, munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia; Kedua, munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang begtu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada konsep-konsep yang mendasari pemikirannya.

Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill Allah fi al-`ardh), sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di muka bumi’.

Berdasarkan anggapan ini penulis Taj al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang tidak adil tidak menimbulkan kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan apalagi dihormati. Ini karena mereka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan. Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Didukung oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja lantas tidak dapat berbuat sewenang-wenang (Abdul Hadi W. M. 2003).

Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Kitab-kitab yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di berbagai pusat penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung di kepulauan Melayu.

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemikiran ulama-ulama dan cendekiawan sufi terhadap kebudayaan, sangat banyak contoh bisa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan di sini. Dalam wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disembah’, ‘raja sebagai ulil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar al-Salam yang digunakan oleh raja-raja Nusantara untuk menyebut nama negerinya seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam, Brunei Dar al-Salam, dan lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka bumi. Gelar serupa digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung, Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai tambahan.

Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang demikian mempengaruhi pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’. Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan penulis kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat persinggahan sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau dunia ini tidak penting. Dunia menjadi penting karena di sini seseorang harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung halamannya dengan selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal ibadah (Abdul Hadi W. M. 2003).

Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh pemeluk agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang, semangat jihad, pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan diri. Hamzah Fansuri menerjemahkan kata-kata gharib (asing) menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan dengan konteks sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang dimulai dengan kedatangan para pedagang Arab dan Persia. Pada waktu bersamaan ia menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:

Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang

Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang yang menyadari bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi. Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.

Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan mendasari semangat sosialisme religius yang terpancar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang intipatinya adalah keadilan sosial dan pemarataan kesempatan berusaha. Semangat ini mendasari kehidupan masyarakat Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa) (Tirmingham 1972). Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak hanya membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh. Di lingkungan pedesaan para petani dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran, sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan kefakiran melahirkan semacam kolektivisme

Syariah dan Aktivisme Islam
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam.

Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin al-Raniri.

Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah Ibn `Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistik dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.

Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih, yang merupakan rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999).

Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil Ma`rifat Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.

Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur kegiatan perdagangan di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-Fatani, Nawawi al-Bantani, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.

Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan misalnya bahwa “Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam undang-undang Aceh: “Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian 2005).

Pola penerapan syariat dalam pemerintahan lokal dan pengintegrasian tasawuf ke dalam tradisi masyarakat Muslim sebagaimana berlaku di Aceh, juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan pesisir lain di kepulauan Nusantara seperti di Kalimantan, Sulawesi, Banten, Madura, Bima, dan lain-lain. Penerapan ini lebih ditekankan pada soal-soal yang berhubungan dengan kewajiban mempelajari agama dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi.

Kepustakaan
Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap

Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta: Paramadina.

——————— (2003). “Taj al-Salatin: Adab Pemerintahan Dari Nanggroe

Aceh Darussalam”. Dalam Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara.

Penyelenggara

Abdul Hadi W.M, Edwar Djamaris dan Amran Tasai. Jakarta: Pusat Bahasa.

——————— (2005). “Aceh dan Kesusastraan Melayu”. Dalam Aceh Kembali

Ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian

Jakarta.

Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur:

Universiti Malaya Press.

————————— (1972). Preliminary Statement on a General Theory of the

Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.

Azyumardi Azra (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan

Kekuasaan. Jakarta: Rosda.

Braginsky, V. I. (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu

Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

——————— (2004). Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri,

Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Drewes, G. W. J. (1978). An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague:

Martinus Nijhoff.

Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York:

Routledge.

Gibb, H. R. (1957). Ibn Batuta: Travels in Asia and Africa 1325-1354. London:

Routledge & Kegan Paul.

Hasan Muarif Ambary (1998). Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di

Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Ibrahim Alfian (2005). “Refleksi Gempa-Tsunami: Kegemilangan Dalam Sejarah Aceh”.

Dalam Aceh Kembali ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

Iskandar, Teuku (191987). “Shamsuddin as-Sumaterani Tokoh Wujudiyah”. Dalam

Tokoh-tokoh Sastera Melayu. Ed. Mohamad Daud Mohamad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ismail Hamid (1983). Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam.

Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Ismail R. Faruqi (1992). Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Ma Mahzar. Bandung: Pustaka.

John, A. H. (1961). “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. JSAH

2, July:10-23.

Kern, H. (1917). Versperiche geschifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff.

Muhammad Hatta (1979). Bung Hatta Berpidato, Bung Hatta Menulis. Jakarta: Mutiara.

Nicholson, R. A. (1982). The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism by

Ali Uthman al-Hujwiri. New Delhi: Taj Company.

Noordyn (1972). Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhratara.

Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh

Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol. 22. No. 3:260-8.

Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London:

Macmillan.

Ruslan Abdulgani (1995). Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia

Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies. The Hague & Bandung: Van Hoeve.

Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan

Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12 Bil 11, November.

Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan Strategi Kultural Pembinaan Umat”.

Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais. Jakarta: Media Dakwah.

——————- (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”.

Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi Tematos Dunia Islam. Jakarta 5 September.

Tirmingham, J. S. (1972). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan

Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford

University Press.

Wolters, O. W. (970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca, New York:

Cornell University.

Sumber : http://ahmadsamantho.wordpress.com