Candi Agung Gumuk Kancil

Jejak Perjalanan Rsi Markandiya di Lereng Gunung Raung Candi Agung Gumuk Kancil Jejak Perjalanan Rsi Markandiya di Lereng Gunung Raung

PERKEMBANGAN agama Hindu di Bali tidak lepas dengan sosok Maha Rsi Markandiya, tokoh spiritual abad ke-7 masehi. Sebelum hijrah ke Bali, Rsi Markandiya hidup dan memiliki pasraman di lereng Gunung Raung, Banyuwangi.

Hingga sekarang aura spiritual masih terasa di sekitar lokasi tersebut, terutama di lereng selatan. Ajaran Hindu pun tetap berkembang di kawasan tersebut. Zaman dulu di sepanjang lereng Raung dipercaya menjadi wilayah pasraman yang ditempati masyarakat Jawa Aga. Pasramannya dikenal dengan sebutan Diwang Ukir Damalung membentang dari Banyuwangi hingga Besuki, Situbondo.

Komunitas Hindu di lereng Raung tersebar di dua dusun, Sugihwaras dan Wono Asih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Dua dusun terpencil ini berlokasi di lereng selatan Raung. Untuk mencapai tempat ini bisa menggunakan kendaraan roda empat. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Banyuwangi ke arah barat. Komunitas Hindu juga ada di timur dan barat Raung, seperti di Songgon dan Kalibaru.

Dikisahkan, Rsi Markandya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandiya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. “Ini kisah tentang nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat) yang kami dapat dari Bali,” kata Hadi Pranoto, sesepuh Hindu Sugihwaras, Minggu (8/3).

Kemudian, Rsi Markandiya kembali ke Bali disertai sekitar 400 pengikut, mengangkut bale agung dari Raung. Sang Rsi juga membawa panca datu, lima jenis logam yang menjadi cikal bakal upacara di Bali. Di Bali bekas perjalanan Rsi Markandiya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang, Gianyar.

Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu. Jumlahnya sekitar 113 KK. Ada dua pura tua yang berdiri di tempat ini, Pura Giri Mulyo dan Pura Puncak Raung.
Kepastian bekas kehidupan Markandiya di lereng Raung diketahui warga sekitar tahun 1966. Saat itu Agama Hindu sedang berkembang setelah terjadi pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI. Pengikut ajaran kejawen memilih Hindu sebagai patokan sembahyang. Setelah itu, warga yang hidup di pinggir hutan Raung, tepatnya di Gumuk Kancil menemukan sebuah genta terbuat dari kuningan.

Sejak itu, sejumlah peralatan sembahyang lainnya sering ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan barang itu terbuat dari bahan kuningan. Warga juga banyak menemukan perabot rumah tangga seperti cangkir, uang kepeng, tempat tirta, kendi. Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam timbunan tanah.

Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan, terbuat dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan di tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu, sekitar lima kilometer arah timur lereng Raung.

Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandiya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. “Kami meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi,” kata Hadi Pranoto.

Sejak dulu Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum ada pura, pengikut kejawen sering bersembahyang di tempat ini. Para pemburu binatang pun sebelum berburu berdoa di sini.
Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa. Di candi setinggi 13 meter itu terdapat tiga arca utama, yakni arca Siwa Mahadewa di sisi timur, arca Rsi Markandiya dan Tri Murti di sisi barat. Di depan terdapat pintu utama candi untuk pemujaan.

Candi Agung Gumuk Kancil juga menjadi tempat pengikut kejawen untuk meditasi. Mereka juga banyak datang dari luar Kabupaten Banyuwangi. Sehari-harinya, candi ini dipelihara 11 KK umat Hindu yang bertempat tinggal di sekitar candi..-udi

Menjadi Tujuan Wisata Spiritual

LOKASI Candi Agung Gumuk Kancil mudah dijangkau. Kendaraan roda empat bisa langsung ke lokasi. “Kami berharap lokasi ini bisa menjadi kawasan wisata spiritual. Lokasinya bagus untuk tempat meditasi,” kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Glenmore, Sunarto, Minggu (8/3).

PHDI setempat memberlakukan jadwal khusus persembahyangn bersama di lokasi candi. Biasanya pada hari-hari besar dan saat piodalan. Sehari-harinya, ada seorang pemangku dan juru kunci yang merawat kompleks candi.

Candi Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah satu tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung. “Kami mendukung jika dijadikan wisata spiritual. Namun, kesuciannya harus tetap dijaga,” tambah Sunarto.

Selain Candi Agung Gumuk Kancil, banyak tempat lagi di sekitar Dusun Sugihwaras yang bisa dijadikan objek perjalanan spiritual. Seluruh lokasi ini diyakini bekas perkampungan kaum Jawa Aga pada masa Rsi Markandiya. Selain Candi Agung Gumuk Kancil sedikitnya ada tiga lokasi, yakni Partirtan Sumber Urip, Watu Gantung dan situs Candi Gumuk Payung. Empat lokasi ini letaknya terpisah, namun bisa ditempuh dalam sekali perjalanan.

Yang dirasakan paling mistis, Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.

Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. “Ini simbol kesucian air sungai Gangga di India yang kita hormati,” ujar Sunarto. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.

Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.

Lokasi Watu Gantung, satu kilometer arah utara dari mata air Sumber Urip. Untuk mencapainya harus berjalan kaki. Watu Gantung adalah batu yang menggantung. Tempat ini juga diyakini masih berkaitan dengan perjalanan Rsi Markandiya.
Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.

“Kami berharap tempat-tempat itu bisa menjadi saksi sejarah perjalanan ajaran Hindu,” kata Sunarto. Untuk melayani para pengunjung, di masing-masing lokasi ditempatkan pemangku dan penunjuk jalan yang siap melayani dan mendampingi pengunjung kapan pun. -udi

Peninggalan Rsi Markandiya
Disimpan Rapi

SUDAH banyak umat Hindu dari Bali yang mengunjungi kawasan spiritual di lereng Gunung Raung. Umumnya mereka datang dalam rombongan, naik bus atau kendaraan pribadi.
Banyaknya pengunjung pura dan candi menambah kegiatan baru bagi pemangku. Mereka harus siap mendampingi mereka kapan pun. Pengunjung tak sepenuhnya bersembahyang. Di antaranya, terutama di kalangan penganut kejawen, meminta nasihat spiritual kepada pemangku sambil berdiskusi dan bermeditasi. Ada juga yang melakukan kaulan. Jika kaulnya dikabulkan, biasanya mereka datang lagi untuk menggelar ritual.

Di masing-masing lokasi ditempatkan seorang pemangku. Mereka bertempat tinggal tak jauh dari lokasi tempatnya bertugas. “Ini adalah anugerah. Kami yang rata-rata sudah berusia tua ini, harus menjalankan tugas ini dengan ikhlas,” ujar Romo Satrah, pemangku Pura Giri Mulyo, Minggu (8/3).

Romo Satrah pemangku tertua di wilayah lereng Raung. Ia menyimpan banyak benda yang berkaitan dengan zaman Rsi Markandiya. Benda-benda itu ia dapatkan saat menggali lahan pertanian miliknya dan disimpannya dengan rapi hingga kini. -udi

Sumber : http://www.parisada.org
Foto : http://blambangan.web.id