Arsitek Kota Bandar Islam Banten Lama : Analisis Data Piktorial dan Foto Udara dengan Sistem Integraph Plotting Computer

Oleh : Halwany Michrob

I. Pendahuluan
Dewasa ini masih banyak peninggalan kota lama yang bernilai arsitektur memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh H. William Sallers (1984), runtuhan/ sisa-sisa bangunan dalam kota kuno itu, mungkin akan memperlihatkan suatu kualitas khusus yang kukuh menandai masanya, atau kualitas tertentu/spesifikasi tersebut berupa rancang bangun yang sama sekali tidak lazim, kualitas keterampilan manusia pembuatnya atau dalam rinciannya, atau kualitas itu berupa bentuk-bentuk yang amat langka ditemukan pada bentuk-bentuk umum.

Menurut Sailers batasan menjadi tidak perlu atau bukan masalah, karena setiap sumber sejarah akan memiliki variasi yang tinggi terhadap sumber-sumber lainnya. Bahkan dalam satu komponen kota kuno akan tumbuh sumbangan-sumbangan rancang bangun yang berasal dari berbagai ras atau etnik.

Kevin Lynch menyatakan antara lain bahwa ada beberapa teori normatif mengenai bentuk kota-kota kuno serta alasan-alasannya. Teori¬teori normatif tersebut pada dasarnya merupakan metafora mengenai apa sebenarnya definisi sebuah kota dan bagaimana cara bekerjanya komponen-komponen kota tersebut.

Lynch melihat kecenderungan bahwa kota-kota pertama yang tumbuh itu pada mulanya berakar dari pertumbuhan pusat-pusat seremoni atau tempat-tempat suci yang dapat dijelaskan kaitannya terhadap kekuatan-kekuatan alam, serta mengendalikannya bagi keuntungan manusia. Para petani desa memberikan sumbangannya kepada kota secara sukarela. Redistribusi kekuasaan dan sumber-sumber daya material dilakukan oleh komponen-komponen kelas penguasalkekuasaan dari tangan yang satu ke tangan yang lain seiring dengan pertumbuhan kota yang semula berasal dari pusat-pusat keagamaan. Konsekwensi teori normatif yang diajukan oleh Lynch bahwa kota adalah setiap pemukiman permanen yang hams berwujud model magis dari jagad raya dan Tuhan.

2. Pengamatan Kota Lama Banten
Di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Barat terdapat peninggalan kota lama yang menarik untuk dibahas, yaitu Banten Lama. Dari bukti¬bukti sejarah yang ditinggalkan, terungkap bahwa daerah tersebut yang perkembangannya kini amat lambat. Dulu, di tempat ini ternyata pernah menjadi kota pelabuhan internasional dari sebuah kerajaan Islam yang makmur, yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dari berbagai negara. Kota tersebut lahir pada abad XVI, mengalami kejayaan yang kemudian runtuh pada abad XIX, kota lama itu kini disebut Banten Lama.

Dari pen inggalan Banten Lama, dapat diperoleh gambaran mengenai perkembangan kota tersebut yang dilihat sebagai obyek arsitektur yang senantiasa berubah. Perkembangan kota terutama ditinjau dari perkembangan dan perubahan elemen-elemen primemya dengan latar belakang non fisik. Obyek ini dapat dimanfaatkan untuk metnpelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya. Semuanya itu tidak lepas dari pengaruh "luar", terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan ideologi Kerajaan Banten, pada waktu itu.

Apabila dilihat dari nilai sejarah dan arkeologi, Banten Lama memiliki beberapa keistimewaan yang cukup menarik perhatian. Banten Lama baik sebagai pusat kota maupun sebagai bandar utama. Kerajaan Banten mulai berkembang sejak abad XII dan mungkin lebih tua lagi hingga akhir abad XVI Masehi. Tiba-tiba pada permulaan abad XIX Banten ditinggalkan penduduknya karena faktor politik, yakni kerasnya sikap penguasa Belanda di Batavia terhadap elit dan rakyat Banten, bahkan sampai membakar habis Surosowan. Selama lebih dari satu setengah abad kemudian, Banten Lama kehilangan identitasnya sebagai sebuah kota yang pernah besar dan mashur, tenggelam sebagai desa kecil yang tidak berarti, kecuali memiliki sebuah fungsi sebagai pusat peziarahan (Halitany Michrob, 1984).

Situs Arkeologi Banten Lama, memiliki monumen-monumen asitektur yang merupakan produk "tamaddun" Banten Islam. Semula kerajaan ini berpusat di Banten Girang, kemudian berpindah ke kawasan pantai dan mengalami puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, meskipun pada awal pendiriannya kota Banten Lama dirintis oleh Sultan Hasanuddin dan putranya.

Situs Arkeologi Banten Lama, ternyata telah menjadi kawasan pemukiman komunitas nelayan, pertanian pra-Islam, yang botch jadi telah berkembang sejak Banten memasuki proto-sejarah atau tingkat kelt idupan masa pra-sejarah akhir.

Di dalam mengamati fenomena arkeo-arsitektur Islam pada umumnya di Asia Tenggara khususnya, dan 'anti khusus lagi fenomena yang sama di Situs Arkeologi Banten Lama, muncul sejumlah permasalahan yang dalam kajian ini dibatasi pada permasalahan arkeo¬arsitektural Situs Arkeologi Banten Lama pada dimensi ruang, waktu dan budaya. Kajian ini memang diarahkan pada kajian arkeo-arsitektural, yang dalam analisis nantinya akan diupayakan penyelesaian permasalahnnya melalui penerapan teknik pemanduan pelbagai jenis peta, mulai dari yang paling sederhana sampai pada yang paling rum it dan eksak dengan pengolahan Computerized.

Tentu saja dalam mendekati pengamatan arkeo-arsitektur Banten, diperlukan pendekatan multi disiplin yang tetap berada dalam kerangka arkeologi sejarah text aided archeology, di mana untuk kasus Banten teknik pendekatan tersebut dianggap amat memadai, mengingat tersedianya dalam jumlah besar berupa :

(1) data tulis, dokumen, arsip, surat-surat ketetapan
(2) peta-peta kuno dari masa ke masa, termasuk yang resen seperti foto udara/satelit, maupun hasil-hasil analisis petalintegraphic technique atas bantuan komputer (Halwany Michrob, 1987).
(3) struktur bangunan
(4) satuan lingkungan yang terubah/diubah oleh perilaku budaya manusia jalan kuno tanpa pengerasan, sawah/ladang, tasik,
(5) artefak, baik artefak teknomik, sosioteknik dan idioteknik (Bioford, 1962).

Pengamatan Banten Lama sebagai bekas kota kuno, tak mungkin hanya dilihat atau ditinjau dari satu segi misalnya dari sejarah perkembangannya. Sebuah kajian reseu mengenai Banten melihat perkembangan kota Banten dari tahap awal, yakni (1) tumbuhnya Banten sebagai kota pelabuhan semata-mata karena perdagangan lada, dan (2) Banten sebagai pusat kota dalam artian politik, ekonomi dan militer, terutama sejak Banten diislamkan (Chijst, 1881). Kami cenderung untuk memilih pendekatan holistik atau sistematik untuk memahami pengamatan dan memecahkan permasalahan Banten.

3. Struktur Permasalahan
1. Di Situs Arkeologi Banten Lama terdapat sejumlah bukti arkeo¬arsitektural Islam sebagai salah satu komponen pembentuk Kota Islam Banten Lama, yang memperlihatkan kecenderungan menguatnya sintesis antara unsur pra-Islam dan Islam. masalahnya:

a. apakah benar dan sejauh manakah komponen-komponen pembentuk Kota Islam Banten Lama adalah paduan unsur pra Islam dan Islam ?

b. apakah susunan gejala himpunan komponen Kota Bandar Is¬lam Banten Lama memang, sinambung dengan tradisi arsitektural pra-Islam, dan sehingga karenanya, dapat dibenarkan adanya asumsi bahwa internasionalisasi Islam di Nusantara hanya berlaku pada segi normatif ajaran, sementara penampilan kulturalnya tetap berakar pada tradisi pra-Islam ?

c) sementara itu pula, kota-kota awal di dunia Islam pada umumnya, sebagian besar memilih komponen dan tata letak yang hampir serupa dan hanya berbeda pada tingkat "kerampingan dan kefasihan", lantas apakah fenomena penyusunan komponen kota dan tata letaknya pada Kota Bandar Islam Banten Lama merupakan sintesis kedua pola, ataukah benar-benar merupakan penerapan pola dimiliki kota-kota Islam awal sampai ke yang terdekat, dengan kawasan pusat penyeberangan Islam ?

d) ataukah apa yang terdapat kemungkinan bahwa pola-pola tersebut merupakan universum dengan penyesuaian setempat ?

2. Bukti-bukti arkeologis di Situs Banten Lama baik yang berupa monumen-monumen arsitektur maupun reliek-reliek dan sisa-sisa kegiatan yang tersebar luas, tentu bukannya merupakan produk dari satu-satunya proses budaya, lalu, apakah proses-proses perkembangan tersebut dapat ditentukan atau paling tidak dikenali batas-batasnya ?

3. Mungkinkan salah satu teknik pendekatan (misalnya Intergraph plot¬ting computerizes system) dapat digunakan untuk memecalikan permasalahan di atas secara lebih akurat dan mem i liki presisi yang tinggi bagi penarikan berbagai generalisasi empirik ?

Ruang Lingkup
Kajian arkeo-arsitektural Situs Banten Lama ini atas dasar alasan¬alasan obyektif„ dibatasi ruang lingkupnya, yakni :
a. wilayah kajian ialah Arkeologi Banten Lama, mulai dari Banten Girang di pedalaman sebelah selatan sampai dengan pantai Teluk Banten yang termasuk kawasan Situs Arkeologi Banten Lama.

b. wilayah Kota Islam Banten adalah seluruh Situs Arkeologi Banten Lama tidak termasuk Banten Girang.

c. fenomena arkeo arsitektural yang dijadikan sasaran kajian adalah seluruh monumen arsitektural mulai dari Banten Girang sampai Situs Arkeologi Banten Lama yang berkronologi masa Kesultanan Banten, karena setelah itu maka dianggap termasuk sasaran kajian kota kolonial Banten Lama.

Kerangka Petnikiran
Kota dan arsitektur yang mengisinya, merupakan tempat pertama di mana materi-materi sesuatu lingkungan diubah atau dibentuk oleh manusia, sekaligus sebagai satuan ruang pemusatan industri) dan komunitas masyarakat berakar. Sejarah arsitektur dalam beberapa segi juga berarti sebagai sejarah perkotaan. Keanekaan dan perubahan¬perubahan dalam sektor arsitektur, dalam banyak hal mencerminkan keanekaan dan perubahan-perubahan rekayasa manusia "kota" dalam menjalani sejarahnya.

Masa lalu adalah himpunan ingatan, baik bagi perorangan maupun bagi masyarakat. Lingkungan yang dibentuk atau dibangun merupakan bagian esensial dari keseluruhan hasil yang dapat dicapai oleh para pembangunan the builders. Konstruksi merupakan teknikalitas berikut komponen-komponen tersebut, meliputi : tokoh/peristiwa, ukuran, harmoni, gaya, bahan, orientasi, design dan kesejarahannya (Franc, 1988: 8-9).

Di dalam memahami produk-produk arsitektural, terutama ketika seseorang mengamati bangunan bagaimanapun kompleksnya, tentunya akan mencoba untuk memvisualisasikan hubungan antara bagian secara berurutan. Dalam kenyataannya, misalnya : pola mukim menetap, penemuan tanah liat bakar dalam teknologi wadah dan elemen bangunan, seringkali bukan merupakan peristiwa-peristiwa yang beriringan dan berurutan.

Pada tingkat analisis himpunan-himpunan, maka sesuatu situs kota diasumsikan mem iliki komponen-komponen yang tidak harus setingkat dan semasa, ada daur ulang (recycling), ada peredaran literal (literal- cycling), ada yang diubah, diganti atau dibuat/dibanpain yang baru, seperti biasa berlaku dalam asumsi-asumsi toponomik (MB. Schiffer, et al., 1975;Schiffer 1972). Schiffer selanjutnya menyatakan bahwa :

archaeological remains are a distorted reflection of post behav ioral system" (1976:12).

Berpijak pada pemikiran-pemikiran dasar itulah, maka dipandang semakin tepat pendekatan holistik yang diterapkan dalam memahami permasalahan arkeo arstitektur Banten. Pertama-tama tentu konsepsi dasar apa yang kira-kira dapat dioperasikan untuk menganalisis data faktual serta jembatan-jembatan argumentatif' yang bagaimana, yang dapat menjembatani konsep, data dan penafsirannya.

Dalam khasanah ilmu keislaman, juga ada usaha-usaha untuk merumuskan peradaban. Terdapat sejumlah istilah yang dianggap pernah mengacu pada peradaban (MAJ. Beg. 198-1: 26-35). Istilah-istilah itu antara lain : "untran (tanah/ rumah-rumah yang ditinggali oleh penduduk dalam keadaan maju), bunyan (bangunan gedung atau struktur), hadlarah (kehidupan menetap. atau suatu ilayah/distrik/kota/desa yang diolah), dan terakhir niadatnivah (peradaban). Istilah terakhir diperkenalkan Syekh Mohammad Abduh pada ham pir seribu tahun lalu. Banyak ahli yang tak dapat mengerti bagaimana istilah inadaniyah itu kemudian berevolusi menjadi tantadchtn.

Banten Lama adalah bekas kota dengan tamaddun Islam, terlepas dari tipe kotanya yang kota pantai, bandar dagang, atau lainnya. Konsep Islam mengenai kota pemukiman.

3. Karakteristik Kota Islam Banten
Kota-kota Islam juga memiliki karakteristik sesuai dengan pola-pola dan mekanisme penduduknya dalam mengelola alam dan sumberdaya alam. Kota Islam tertua. adalah kota yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW., yang dengan misi kerasulannya, membentuk dan membangun kota atas dasar Konsep utnah dalam tata uk-huirah Sebagai designer dan arsitek kota, Rasulullah juga menyediakan data bagi ilmu arkeologi, yang masih dapat dikaji lagi dengan sumber-sumber tulisan, terutama hadist-hadist yang menggambarkan pengertian kota baik secara langsung, maupun tak langsung.

Ciri utama kota-kota Islam adalah kehadiran unsur-unsur arsitektural mesj id institut kefakihan, istana, pasar, (dan kemudian) tem bok pertahanan lapangan, bangunan audiensi, pelabuhan dan sebagainya. Etnisitas penduduk kota-kota Islam juga semakin beragam, akibat meningkatnya aktivitas perdagangan regional maupun internasional.

Situs Arkeologi Banten Lama memiliki monumen-monumen arsitektur yang merupakan produk "tamaddun" Banten Islam yang bermula berpusat di Banten Girang dan kemudian berpindah ke kawasan pantai dan mengalami puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, meskipun awal pendirian kota Banten Lama dirintis oleh Sultan Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf.

Situs Arkeologi Banten Lama, ternyata telah menjadi kawasan pemukiman komunitas nelayan-petani pra-Islam, yang boleti jadi berkembang sejak Banten memasuki proto-sejarah atau tingkat kehidupan masa prasejarah akhir.

Situs Arkeologi Banten Lama, atau wilayah budaya Banten merupakan salah satu wilayah yang dalam perjalanan sejarahnya, berkali¬kal i mengalami pasang surut. Ayunan berjalan sejarah Banten dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik bersifat alami, maupun prilaku kultural masyarakatnya (Halwany Michrob, 1991.1). Banten setelah mengalami puncak perkembangannya mengalami "collapse" legalitas ekonomi, militer dan akhir politik (Michrob, 1990).

Fungsi Banten Lama sebagai kota antara lain tampak dari kompleksitas masyarakat, yang menurut Richard H. Hall mengandung pengertian adanya diferensiasi masyarakat balk secara horizontal maupun vertikal, menyebarnya aktivitas melalui pemisahan pusat-pusat otoritas (spatial dispertion) sebagai salah satu masyarakat kompleks (1963: 9-17).

Dalam konteks budaya Banten, maka masyarakat kompleks penghuni tamaddun kota Banten, secara arkeologis antara lain tampak dari berbagai indikator, seperti :

(1) 33 toponimi pemukiman berdasarkan peta L, Serrurier tahun 1902, yang mengacu pada keberagamaan (horizontal dan vertikal) pola¬pola susunan masyarakat, mulai dari pengelompokkan menurut jabatan/pangkat dalam birokrasi, jenis-jenis profesi, ras/etnik, dan sekaligus penafsiran pengorganisasiannya:
(2) keberagamaan pola penggunaan/tata guna lahan dalam sejarah perkembangan Kota Banten Lama;
(3) variabelitas temuan yang mencapai lebih dari 120 jenis spesimen;
(4) perubahan-perubahan tata ruang kota Banten yang berhasil diamati melalui teknik overlay terhadap peta kuno, baru, foto udara dan kaj ian lapangan (Halwany Michrob, 1987);
(5) pola-pola penggunaan mata uang;
(6) keberagaman fasilitas/bangunan publik;
(7) keberagaman produk literer
(8) keberagaman produk arsitektur
(9) keberagaman produk teknologi;
(10) pola-pola distribusi dan redistribusi barang dan jasa melalui penganalisaan terhadap pasar, pabean, alat transportasi, pergudangan, pabrikasi dan sebagainya.

Tata ruang kota Banten, balk seperti diperlihatkan pada gambar¬gambar "artist", data arsitektur dan data arkeologi, memang secara sederhana akan kita beri pengertian sebagai kota bandar dengan ciri menonjol pada aktivitas perdagangan. Tetapi pusat kotanya Surosowan tentu tidak demikian•halnya. Apakah tata ruang kota inti yang Islam 1k tersebut, merupakan duplikasi sebagian konsep Islam mengenai kota, yakni Madinah sebagai kota pertama Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW.. ataukah pengembangan lebih lanjut dari rancang bangun pra-Hindu yang menyebar di pelosok-pelosok Banten.

4. Arsitektur dan Teknologi di Perkotaan Banten Lama
Dimulai dari sebuah desa nelayan dengan pelabuhannya yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Hindu Budha Pajajaran, Banten berkembang menjadi sebuah ibu kota sebuah kerajaan Islam Banten pada abad XVI, mengalami jaman keemasan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, dan kemudian jatuh ke dalam kekuasaan kompeni Belanda, akh irnya pada abad XIX Kerajaan Banten hancur. Kini Banten berstatus sebagai sebuah desa.

Pada saat mengakhiri penghujung abad XVI Masehi, Banten telah berkem bang menjadi suatu pusat budaya tinggi (tanzaddun) Islam yang berwibawa di Asia Tenggara. Salah satu unsur dominan dalam tainaddan itu adalah kehadiran dan berkembangnya arsitektur.

Kota Banten sebagai sub-sistem pemukiman tumbuh merambat dengan istana tetap sebagai orientasi, balk yang bersifat sakral maupun profan. Didukung oleh teknologi yang semakin diperinci dan diperluas, untuk menghasilkan produk arsitektural yang memenuhi kebutuhan, sekaligus ekspresi seni, lambang status dan kenyamanan penghuni atau pemakainya.

Pola-pola ekonomi atraktif semakin tergantikan oleh pola-pola dom Man dan maintenan, komunitas Banten Lama pada masa keemasannya bukan lagi hanya sekedar memanfaatkan, tetapi juga mengolah, mempertinggi nilai tambah, menyebarkan dan mengendalikan pengamanan aliran produksi dan distribusinya. Teknologi tanah liat bakar berkembang terutama untuk memenuhi kebutuhan komponen-komponen arsitektural, maupun komponen produksi bahan keperluan hidup sehari¬hari. Teknologi olah logam juga berkembang, dan bukan hanya memenuhi keperluan-keperluan peralatan kecil, tetapi juga senjata dan bahkan meriam-meriam diperoleh bukti dari cumber sejarah, bahwa pemusatan industri strategis di sekitar istana tak lain untuk memudahkan kontrol kerajaan, sungguh membuktikan pernyataan terakhir ini.

Perniagaan antar pulau dan antar negara, serta hubungan-hubungan yang melampaui batas kontinen, menyebabkan keharusan dikembangkannya sistem dan teknologi transportasi kelautan, untuk melayani kelancaran lintas barang, orang dan jasa. Pelabuhan Karangantu serta unit-unit pembuatan kapal tradisional di sekitarnya memperlihatkan kesinambungan akar sejarah.

Segi-segi kehidupan yang bersifat profan tumbuh dalam aliran yang deras, namun tak mungkin menghapus esensi bahwa daulah Banten yang bercorak Islam, yang bersandar pada tatanan ideal Ilahiah. Karya-karya arsitektur, seni kaligrafi, seni pahat nekropolis, seni permainan, khasanah sastra Banten dan sebagainya tak lepas dari pada napas keislaman, sebagai prima-causa tumbuhnya daulah Banten sejauh bukti yang dapat dikaji dari Banten Lama. napas keislaman itu berpusat pada medan normatif, sementara ekspresi kulturaInva tetap memperlihatkan kesinambungan trad isi.

Kompleksitas produk arsitektur Banten Lama, memperlihatkan pula kompleksitas kebutuhan dan kepentingan yang pernah berkembang pada masa puncak keemasannya. Istana Surosowan, Istana Kaibon. Mesjid Agung. Gedung Tiamah, Jembatan Rante, Mesjid Pecinan. Klenteng2. Cina, Benteng Speelwijk, Pelabuhan Karangantu dengan sarana dok pergudangannya, Waduk Tasik Ardi dengan saluran serta instalasi penyaringannya, keseluruhannya itu merupakan indikasi bahwa komplesitas produk arsitektural memang merupakan salah satu parameter tainaddiai, sejak tumbuh, berkembang, memuncah dan akhirnya surut.

Keberakaran dan kesinambungan akar tradisi pada peradaban Banten, disebabkan karena kemutlakan kebudayaan Islam tidaklah mengakibatkan sikap tidak toleran pada ada istiadat etnik pemeluknya, terhadap bahasa dan kesustraannya, tetapi seperti dikemukakan oleh Ismail R. Al-Faruqi (1989:13) ialah bahwa Islam harus dibedakan dari adab (adat istiadat daerah), yang meskipun dibiarkan tetap hidup dan bahkan diterima secara hukum tetap harus selalu dijaga agar Islam berada pada ternpatnya yang sesuai.


Dengan menggunakan tipologi kota-kota Indonesia menurut Peter J.M. Nas, maka Banten termasuk katagori kota Indonesia Awal, dalam bentuk kota kerajaan yang bersifat Incorporative mem iliki karakteristik, (1) berkembangnya perdagangan regional dan internasional, (2) kontrol terhadap tenaga kerja dan hak kota atau penguasa terhadap sebagian • hasil panes, dan (3) keabsahan dari kewenangan penguasa (1986:33). Analisis arsitektural untuk menjelaskan sejarah perkembangan arsitektural Banten, harus pula memasukkan aspek-aspek tersebut di atas sebagai satuan analisis.

Struktur, konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi komponen¬komponen kota Banten, tentunya tidak terlepas dari berbagai peristiwa ideologi (keagamaan), politik (lokal, regional dan internasional), ekonomi (pasang, surut kontrol sumber daya), kebudayaan kontak antar etnis/ras), serta mem pertahankan keamanan. Secara garis besar dikelompokkan ke dalam:

1525 - 1659
Sosialisasi Islam, serangan-serangan lokal (ke Banten Girang, ke Pakuan, ke Sunda Kelapa, dari Cirebon), pendirian kota pemerintahan Islam (8 Oktober 1926) sebagai alternatif Banten Girang yang ditinggalkan, serta berkembangnya hubungan dagang inteniasional dengan Cina. Jepang, Asia Tenggara, India, Persi, Arab, Syria, Turki, Portugis, Inggris, Spanyol, Denmark dan Belanda.

1659 - 1685
Perkembangan/pertumbuhan kota Banten (penguatan Benteng, pengerasan/perluasan jalan, pembuatan waduk, penyaringan air, saluran irigasi, drainase, pengubahan tembok Surosowan dan tembok kota dip.; penghancuran kota Banten dan restorasi kota.

1685 - 1888
Stabilitas sementara dalam berbagai bidang kehidupan, di bawah ancaman keunggulan teknologi perang Kompeni VOC, konflik dan disintegrasi akibat politik adu domba oleh Kompeni VOC, dan kehancuran total Banten, pemindahan adm in istrasi pemerintahan ke Serang, kontrol politik yang ketat, tanam paksa, letusan gunung Krakatau, pergolakan-pergolakan lokal yang dipimpin oleh para ulama dan wabah penyakit/epidemik.

5. Penutup
Disain arsitektur kota Banten khususnya pada bagian inti kota, dimana terdapat istana, masjid, alun-alun, pasar, tempat tinggal para pejabat kerajaan, jaringan air dan sebagainya, masih memperlihatkan berbagai seni yang sinambung dengan konsep kota, yang pernah dianut pada masa-masa sebelum Islam berakar sebagai sistem norma.

Disain arsitektur kota Banten, beserta komponen-komponen pembentuknya, sekaligus mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan (hablutn minallah), interaksi antar manusia/masyarakat (habluni minanna.․) serta interaksi dengan lingkungan berikut upaya-upaya rekayasanya (habluni min nafsihi). Sistern normatif Islam i, menetapkan manusia-manusia penghuni kota Banten, secara diamentral berbeda dengan konsep yang dianut sebelum Islam, di mana para penghuni kota dibedakan dalam sistem hierarki yang didasarkan pada kastanya sejak manusia itu dilahirkan ascribed) dan bukan atas dasar usaha dan hasil¬basil yang dilakukan (achieved).

Keberagaman disain arsitektural kota Banten sebagai sub-sistem pemukiman manusia, memperlihatkan pula konglomerasi ciri dan komponen pembentuk, yang didasarkan oleh : akar tradisi/selera etnik penghuninya, standar Thidup layak dan kenyamanan" sesuai dengan sta¬tus dan kemampuan yang dicapai berkat usahanya. dan juga sistem religi yang dianutnya.

Inti kota Banten yang bercorak Islam, menempatkan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, atas dasar konsep tazkiyah, yakni penyucian diri dan masyarakat, yang menjadikan peradaban yang dikembangkan oleh komunitas kota Banten, menjadi lebih agung, lebih mulia dan lebih berkualitas.

Di luar inti kota Banten disain inti kota juga memperlihatkan ekslusivisme para penghuninya, yang kadangkala didasari oleh alasan¬alasan obyektif terhadap efisiensi ruang, terutama untuk memperkecil biaya-biaya operasional dalam Ulnas barang, jasa dan orang. Lay-out yang sempurna persegi serta munculnya bangunan bertingkat, betapapun sederhananya, mengacu pada konsep efisiensi segi ruang.

Rumah tinggal, pemukiman, kelompok pemukiman dan akhirnya kota, merupakan perancangan (designing) di mana seluruh aktivitas manusia berawal dan bermuara. Karelia itu perubahan-perubahan, keanekaan serta perkembangannya, dianggap mengacu pula pada kompleks segi-segi kebutuhan obyektif, selera, struktur masyarakat, struktur politik, trend ekonomi. populasi dan religi. Proses perancangan kota, didahului oleh proses perencanaan, tetapi yang sering terjadi adalah perkembangan di luar perencanaan ataupun perancangan Kota yang diinginkan. Perkembangan kota sebagai proses, lebih seringkali terasa akibat dan produknya, ketimbang penyadaran terhadap proses yang dikehendaki dalam perencanaan dan perancangannya. Silang slur fondasi¬fondasi yang teramati dari beratus lubang ekskavasi, bukanlah semata¬mata mengacu pada fase-fase dalam panah waktu, tetapi sekaligus menunjukkan proses dan produk, yang tidak selaras dengan perencanaan dan perancangan.

Dalam kontek arkeologi sejarah, maka kota Banten yang dirancang atau terbentuk sedemikian rupa, sekaligus menunjuk pula pada realitas sosial yang hidup atau pernah hidup di Banten (sosiofact), kecenderungan sistem religi yang dianut penghuninya (ideofact), serta teknologi adaptasi manusia penghuni kota Banten dalam menyesuaikan diri terhadap alam lingkungan maupun untuk memenuhi kebutuhan yang senantiasa tak terpuasi (technofact). Ekozona-ekozona seperti yang tertampakkan dalam pola Clustering, memperlihatkan pula kecenderungan manusia untuk menghimpun dalam kelompoknya di tengah alam lingkungan yang diubahnya. Kota Banten didisain sedemikian rupa pada masa keemasannya, sebagai pusat lintas informasi teknik dan ilmu pengeta¬huan, yang memungkinkan bagi Banten sebagai kota, sebagai pusat tamaddun Islami yang pernah disegani.

Memelihara, melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan sisa¬sisa monumen arsitektural kota Banten bukanlah dan sebaiknya memang bukan untuk sekedar memuaskan romantisme dan obsesi kesejarahan di tengah kekurangmampuan menghasilkan "pengulangan sejarah kegemilangan", tetapi sebaliknya justru diarahkan pada pemantapan dan pengembangan identitas serentak dengan upaya mengaktualisasikannya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang paling mendasar dan faktual di masa kini. Pemeliharaan peninggalan kesejarahan, mengacu pada upaya menaikkan nilai tambah dari yang pernah dimiliki di masa lain.

Disain arsitektural yang pernah berkembang pada masa keemasan Kesultanan Banten, secara fungsional merupakan asset tak tern ilai bagi kajian kesenian tinggi, rincian satuan dan ukuran dalam konsep ruang, aspek-aspek religi yang diserap balk langsung maupun tak langsung, lambang-lambang, filsafat dan sebagainya.

Telaah sejarah dan arkeologi sebagai disiplin keilmuwan, menawarkan pilihan-pilihan terbatas di antara sejumlah peluang besar. Salah satu pilihan itu adalah kearifan sejarah. Ironi dan parodoks sejarah kota, seringkali memperlihatkan bahwa kota adalah tempat berhim¬punnya harta kekayaan, tetapi "kemiskinan". Arah ini yang didiskusikan dalam mengembangkan pemanfaatan kota Banten sebagai salah satu obyek wisata budaya yang khas di tanah air kita.

Duftar Pustaka
Ambary, Hasan M., (1980), Tinjauan Tentang Penelitian Perkotaan Banten Lama", PIS-I 1977, P4N, Jakarta, 443-469.

Ambary, Hasan M.,H. Michrob dan John N. Miksic, (1988), Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten, Direktorat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jakarta.

Carter, Harold, (1983), An Introduction to Urban Historical Geography, Edward Arnold. London.

Cortesao, Armanda, (1944), The Suma Oriental of Tome Pires, The Haklut Society, London.

De Graaf, H.J., dan Th. G. Th., Pigeaud, (1989), Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa; Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.


Dj aj ad in i ngrat, Hoese in, (1983), Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Penerbit PT. Djambatan, Jakarta.

Galion, A.B. dan S. Eisner, (1980), The Urban Pattern Fourth Edition, D. van Nostrand Company, New York.

Lynch, Kavin, (1985), Good City Form, Massachussetts Institute of Tech¬nology, USA

Lynch, Kavin, (1987, Good City Form, The MIT Press, fifth printing, London.

Michrob, Halwany, (1984a), Laporan Pemugaran &men Lama 1983¬1984, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Banten.

, (1987), A Hypothetical Reconstruction of The Islamic City of Banten, Indonesia, Upenn, Philadelphia, USA.

, (1989), Catalan Sejarah Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Bunten, Kadinda Serang, Serang.

, (1991), "Korelasi Kebutuhan dan Suplai Produk Metalurgi terhadap Kondisi Sosial Politik, Kesultanan Banten", Analisa Hasil Penelitian Arkeologi (AHPA),Kuningan.

Michrob, H. dan A.M. Chudari (1989), Catalan Masa Lahr Banten, Saudara, Serang.

Michell, George, (1978), Architecture of Islamic World, Thames and Hudson, London.
Mundardjito, Hasan M. Ambary dan Hasan Djafar, (1978), "Laporan Penelitian Arkeologi Banten, 1976", Berita Penelitian Arkeologi No.18, P4N, Jakarta.

Rossi, Aldo, (1982), The Architecture of The City, The MIT Press, Lon¬don.

Serrurier, L., (1902), Kaar van Oud-Bantem in Geroudheid", begracht door wiljen Mr. L. Serrurier (met eene inleideng van Dr. H. Brendes), TBG No.45 :257-262.

Schiffer, Michael B., (1972), Archaeological contex and systematic contec", American Antiquity, vol 37 : 156-165.

Sellers, William, (1984), Protecting Historic Properties, Bradywine Conservancy Inc. Pennsylvania.

Tainter. Joseph A., (1988), The Collapse of Complex Society, Cambrige University Press, New York.

Tjandrasasmita, Uka et al, (1975), Sejarah Nasional Indonesia III (Ed. Sartono Kartodirdja et al), Dept. P&K, Jakarta.

Tjandrasasmita, Uka, Hasan M. Ambary & Halwany Michrob, (1987), Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama, Yayasan Pembangunan Banten, Serang.

Tjandrasasmita, Uka, (1981/1982), Sultan Ageng Tirtayasa, Dept, P & K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta.

Weber, Max, (1966), The City, The Free Press, New York.

Wright, A. dan O.T. Breakspear, (1909), Twentieth Century Impressions of Netherlands India, Llod's Greater Britain Publishing Com¬pany, Ltd. London.

Sumber :
Sutjatingsih Sri, 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan