Warung Klangenan


Oleh: Djoko Poernomo

Penguji rasa di Warung SGPC Bu Wiryo 1959 di Yogyakarta tidak hanya seorang atau dua orang, melainkan ribuan orang. Mereka para mahasiswa yang setia menyambangi warung tadi sejak didirikan tahun 1959 hingga hari ini.

Kalau dirasa kurang enak atau sebab lain, Warung SGPC Bu Wiryo pasti sudah ditinggalkan para pelanggan. Nyatanya tidak. Bahkan semakin berkibar-kibar meski warung dengan menu sejenis terus saja berdiri di kota pelajar ini.

Semula warung dengan spesialisasi menu nasi pecel tersebut berdiri di sebelah timur kantor pusat tata usaha Universitas Gadjah Mada (UGM) di lingkungan Kampus Bulaksumur. Tetapi, akibat perluasan Fakultas Teknologi Pertanian, warung kemudian pindah ke arah utara ke Jalan Agro CT VIII, Sleman, berseberangan dengan kampus Fakultas Peternakan UGM.

Warung ini didirikan tahun 1959, 10 tahun setelah pendirian UGM, oleh pasangan suami-istri Dario dan Suyati yang memiliki nama keluarga Wiryosoenarto. Kala itu mereka belum memberi nama warung itu. Baru beberapa tahun kemudian, nama SGPC dilabelkan para pelanggan dengan menyebutnya SGPC, kependekan dari sega pecel. Satu menu spesial lain, sup, tak ikut disebut-sebut.

Oleh pengelola sekarang, Kelik Indarto (49), anak tertua Wiryosoenarto, di belakang nama SGPC kemudian diimbuhi potongan nama orangtuanya. Jadilah nama Warung SGPC Bu Wiryo 1959. Angka yang disebut terakhir adalah tahun pendirian.

Pasangan Dario-Suyati tidak keberatan dengan penamaan itu, terutama Suyati yang kemudian sendirian mengomando warung SGPC hingga akhir hayat tahun 1995.

Kecuali menempati rumah sendiri, perkembangan lain warung SGPC adalah diperkenalkannya musik guna memeriahkan suasana sekaligus membuat betah pelanggan. Ini merupakan upaya pribadi Kelik Indarto dua tahun terakhir. Meski demikian, menu utama masih seperti sediakala, yaitu sega (nasi) pecel dan sup.

”Lauknya juga masih seperti dulu, hanya terdiri dari tahu, tempe, dan telur ceplok. Harganya pas bagi kantong mahasiswa...,” tutur Sudadi (49), karyawan paling senior di SGPC. Sudadi—biasa dipanggil para pelanggan dengan sebutan Jon— bergabung sejak tahun 1979 dan hingga sekarang tidak pernah ganti profesi. Demikian pula 12 karyawan lain yang sebagian besar masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik.

Nostalgia
Warung SGPC pindah ke tempat baru tahun 1994. Jam buka di tempat lama, kata Sudadi, disesuaikan dengan jam buka kantor, pukul 06.00 hingga 16.00. Guna memenuhi permintaan pelanggan, jam layanan di tempat baru kemudian diperpanjang hingga pukul 21.00. Sepanjang tahun warung ini tak pernah tutup, kecuali hari pertama Lebaran.

”Pelanggan SGPC mayoritas mahasiswa dan karyawan UGM,” tambah Sudadi. Begitu kerapnya melayani pelanggan, pria asal Kulonprogo, DIY, ini hafal satu demi satu nama para pelanggan yang sekarang sudah “menjadi orang”, di antaranya Gubernur BI Boediono, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu, Juru Bicara Kepresidenan Andi Alifian Mallarangeng, calon presiden Rizal Mallarangeng, ditambah ratusan nama lain.

”Bapak-bapak tersebut, kalau pas pulang ke Yogya atau dinas ke Yogya, pasti meluangkan waktu ke sini. Tak hanya sendirian, tetapi mengajak anggota keluarga,” tutur Sudadi. Mereka menjadikan warung murah meriah ini sebagai klangenan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD yang selalu sarapan di SGPC Bu Wiryo, setiap kali mudik selalu mampir. ”Saya sering menggunakan warung ini untuk bernostalgia...,” ungkap Mahfud, pekan lalu, ketika kepergok di SGPC Bu Wiryo bersama keluarga.

Di sini, warung itulah, Mahfud pada tahun 1980-an bertemu dengan Zaizatun Nihayati yang kini menjadi istri dan telah memberinya tiga anak.

Menurut Mahfud, masakan di warung itu enak, sayurannya segar, bersih, serta suasananya bisa memancing selera. ”Tak terikat protokoler dan bebas bicara dengan semua kalangan,” tambah dia.

Di SGPC orang memang bebas bersuara. Malah beberapa aktivis mahasiswa menjadikan warung ini sebagai entry point berbagai unjuk rasa.

Ingar-bingar
Menurut Gutomo Priyatmono, Direktur Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Kompas, 17/9/2007), warung itu penuh sesak hingga sore hari bukan saja karena enaknya rasa pecel yang menjadi menu utama, tetapi karena menawarkan atmosfer Yogyakarta.

”Identitas Yogyakarta muncul di sana bukan karena cita rasa sambal pecelnya, tetapi karena persahabatan yang ditawarkan para penyaji sega pecel beserta jus tomat maupun es kunir asam. Persahabatan di sini bukan dalam arti sekadar kenal dan tahu, melainkan persahabatan yang mendudukkan pembeli merasa ‘hidup secara bersama-sama‘ dengan SGPC. Warung sega pecel itu membuat sekat di antara pengunjung dengan berbagai latar belakang dan status sosial menjadi cair,” tulisnya.

Hidup bersama-sama dapat digambarkan dengan hubungan penyaji SGPC yang aktif menyapa, menyilakan, melayani, dan menyajikan sega pecel untuk dinikmati para pengunjung. Sebaliknya, para pengunjung terus aktif menjadi penikmat.

Sumber : http://cetak.kompas.com
Foto : http://community.kompas.com