Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya

Oleh : Timoticin Kwanda

Abstract
The centers of many cities are among our most valued built environments, since they are the oldest, sometimes reaching back hundreds of years. The old center of Surabaya also known as the lower city has been developed since the sixteen century. The long history of the lower city is established by the existence of various buildings that built with various architectural styles at different periods, starting from 1870s to 1940s. At the same time, the lower city is also a place of intense conflict between historic buildings and new buildings, for example at the time of property booming in 1990s, new constructions such as shopping centers, hotels, and offices have demolished these historic buildings.

To protect the historic buildings, conservation efforts have been implemented by the city government of Surabaya through issuing the Mayor‘s decree of 1996 and 1998 that listed 163 buildings and sites to be protected. However, it is not optimal to conserve the character of the lower city, since conservation of cultural heritage is not only protecting one or some buildings, but also conserving the urban fabric, such as city‘s distinctive land use patterns, various architectural styles, and daily social activities form the character of a city to be different and unique.

This study has shown that the lower city consisting of Eropean quarter, Chinese, and Arab (Ampel) quarter have potential to be maintained and developed, such as intact land use pattern and roads network, various architectural styles, and lifely social activities, especially at the Ampel quarter. On the other hand, there are some problems have to be solved and improved, such as new construction that damage the character of the area, unsupported building uses (warehouses) for maintenance, and uniform building uses that cause a “decease” area during the evening.

Pendahuluan
Pusat-pusat kota merupakan lingkungan buatan yang sangat berharga, karena mereka adalah bagian tertua dari kota dengan sejarah panjang ratusan tahun yang lalu. Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang, Kota Surabaya juga memiliki suatu pusat kota lama yang dikenal juga dengan nama Kota Bawah (beneden stud) yang telah berkembang sejak abad lokasinya berada di sekitar kawasan Jalan Kembang Jepun, Ampel, dan Jalan Rajawali/Veteran.

Sejarah panjang Kota Bawah ini terbukti dengan kehadiran berbagai bangunan-bangunan yang didirikan pada periode yang berbeda, yaitu mulai tahun 1870-an sampai dengan tahun 1940-an dengan langgam arsitektur yang beragam pula, sehingga membuat pusat kota ini memiliki karakter yang khas.

Namun pada saat yang sama, Kota Bawah ini juga menjadi tempat konflik antara bangunan bersejarah dengan pembangunan bangunan baru. Pada saat ledakan properti di tahun 1990, pembangunan baru seperti pertokoan, hotel, dan perkantoran marak dikembangkan di kawasan ini dengan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah. Pembangunan terhenti sejenak dengan terjadinya Property Crash di tahun 1997, namun seiring dengan perturnbuhan ekonomi makro yang semakin membaik, maka pada tahun 2001 pembangunan baru pada kawasan ini kembali marak. Sejarah berulang kembali, pembangunan baru dimulai lagi dan melenyapkan bangunan-bangunan bersejarah seperti pada kasus-kasus penghancuran pasar Wonokromo, rumah sakit Mardi Santosa, dan stasiun kereta api Semut.

Upaya untuk melindungi bangunan-bangunan bersejarah ini telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya dengan menerbitkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya tahun 1996 dan tahun 1998, yang berisi tentang 163 bangunan dan situs yang harus dilindungi. Namun, upaya ini belum maksimal untuk melindungi karakter kawasan ini, karena upaya pelestarian pusaka budaya tidak hanya melindungi satu atau beberapa bangunan saja, tetapi juga rnempertahankan struktur kota/kawasan (urban fithrtc), yang meliputi pola penggunaan lahan (fungsi bangunan), langgam arsitektur, dan aktifitas kehidupan masyarakat yang membentuk karakter suatu kawasan menjadi berbeda dan unik.

Tulisan ini mencoba untuk mengetahui sejauh mana perubahan fisik dan aktivitas masyarakat yang terjadi pada Kota Bawah Surabaya sampai saat ini, sebagai akibat dart pembangunan baru pada kawasan ini, serta potensi dan masalah yang ada untuk dapat dipertahankan, dikembang¬kan, diatasi dan diperbaiki untuk masa yang akan datang.

Sejarah Singkat Kota Bawah Surabaya
Pada abad ke-18, berdasarkan perjanjian tanggal 11 November 1743 antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja Paku Buwono II dari Mataram, VOC merniliki kedaulatan penuh atas Kota Surabaya. Kedaulatan ini menjadi titik awal perkembangan Kota Bawah Surabaya. [1] Pada awal abad ke-19, Kota Bawah Surabaya terus berkembang dimana tembok kota dan kanal dibangun mengelilingi kota.

Dibawah ketentuan undang-undang Wijkenstelsel, pada tahun 1843 kota bawah dibagi dalam dua wilayah permukiman berdasarkan etnis yaitu permukiman orang Eropa berada di sisi Barat Jembatan Merah dan permukintan masyarakat Timur Asing (Vreande Oosterlingen) berada di sisi Timur yang terdiri dart permukiman masyarakat Tionghoa (Chineesche Karnp), Arab (Arabische Kamp) dan permukiman masyarakat Pribumi yang menyebar di sekitar human orang Tionghoa dan Arab. Pada kawasan Eropa terletak Balai Kota pertama yang telah musnah, menghadap langsung ke arah Jembatan Merah. Meskipun setelah tahun 1920-an undang-undang Wijkenstelsel tersebut dihapuskan, kebijakan ini berbekas pada segregasi kawasan hunian bagi orang Eropa, Arab dan Tionghoa, dan masih terilihat dengan jelas saat ini terutama pada karakter bangunannya yang berbeda.

Seperti kota-kota benteng di dunia pada saat itu, sampai pada awa 1 abad ke-19 batas Kota Bawah sangat jelas sekali dibatasi oleh tembok kota. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada kota-kota besar di Hindia Belanda, seperti Jakarta dan Surabaya setelah peng¬hapusan Cultuurstelsel di tahun 1870. Tahun 1870 sering dianggap sebagai permulaan dari tahap baru perkembangan era kolonial, di mana kota-kota bertumbuh pesat dengan kehadiran kantor-kantor perdagangan perusa¬haan-perusahaan dari Belanda, seperti di Kota Surabaya. Sebagai akibat perkembangan kota yang pesat, maka pada tahun 1871, tembok kota dihan¬curkan dan permukiman baru berkembang ke arah Selatan di kawasan Balai Kota sekarang yang dikenal juga sebagai kota atas. Sampai saat ini, batas Kota Atas masih dapat terlihat dari pola jalan yang mengikuti pola tembok kota yaitu:

• Untuk kawasan barat adalah Jalan Indrapura (Westerbuitenweg) pada batas sisi utara dan barat serta Jalan Kebonrejo (Regentstraat) pada batas sisi selatan,

• untuk kawasan timur adalah Jalan Benteng (Citatielweg)-Danal(arya (Pekoelen)-Pegirian pada batas sisi utara dan Jalan Kapasar. Lor-Sumbo pada batas timur serta Jalan Stasiun Kota (Stationsweg Kota) pada batas sisi selatan.

Batas Kota atas Surabaya berupa tembok kota pada tahun 1865 yang diproyeksikan pada peta kota tahun 1940, menunjukan lokasi permukiman masyarakat Eropa, Tionghoa dan Arab dan batas Kota Bawah sekarang pada peta tahun 1999 (kanan).

Kawasan Eropa
Kawasan Eropa terletak di sisi timur Kalimas dengan dua (2) jalan utama yang membelah kawasan menjadi bagian utara dan selatan dari sisi barat ke timur sampai pada Balai Kota pertama (jembatan Merah) yaitu Hereenstraat ((Jalan Rajawali) dan jalan yang sejajar dengan Kalimas dari utara ke selatan yaitu Willemskade, tempat ini kemungkinan bekas tempat berlabuh (Jalan Jembatan Merah, dan Societeitstraat (Jalan Veteran). Pada sisi barat kawasan dibatasi oleh jalan utama bemama Wester-buitenweg Jalan Indrapura) pada bagian utara dan barat dan di bagian selatan ka¬wasan adalah Regentstraat Galan Indrapura dan Kebonrejo).

Pada umumnya bangunan-bangunan umum, seperti perkarttoran dan perdagangan yang dibangun antara tahun 1870-an dan 1930-an terletak di sisi kanan-kiri jalan utama Hereenstraat dan sisi kiri Willemskade dan Societeitstraat seperti pola penataan kota di Belanda di mana bangunan menghadap ke arah sungai. Sedangkan perumahan masyarakat Eropa terle¬tak dibelakang jalan-jalan utama terdapat tiga (3) ruang terbuka yang membentuk struktur kawasan, yaitu Willemsplein (sekarang taman Jayengrono ex. Terminal Jembatan Merah) yang menghubungkan dua (2) jalan utama yaitu Hereenstraat dan Willemskade. Kedua, ruang terbuka yang menhubungkan Willemskade dengan Paradestraat (Jalan Niaga) dan Roomsche Kerkstraat (Jalan Cendrawasih) adalah Paradeplein (sekarang halaman Polwiltabes dan pom bensin). Ruang terbuka ketiga adalah Comedieplein di sisi barat gedung HVA (sekarang PT. Perkebunan XI) yang sekarang telah berubah menjadi pemukiman.

Potensi Kawasan Eropa
Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastis pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan Yang ada, karena penmbangunan jalan baru atau pelebaran jalan mau tidak mau akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada. Sedangkan potensi yang ada pada kawasan ini adalah:

Keanekaragaman gaya arsitektur
Pada kawasan ini, secara garis besar keanekaragaman gaya arsitek¬tur telihat dari perkembangan arsitektur dalam empat (4) periode, antara lain:

• Indische Empire Style (1870-1900)
• Khas Belanda (1900-1910)
• Eklektisisme (1910-1925)
• Amsterdam School, De Stijl danilieuwe Zakelijkheid (1920-1942).

Indische Empire Style (neo-klasik), 1870 -1900
Arsitektur neo-klasik di Hindia Belanda dimulai dengan kedatangan Willem Daendels yang pernah menjadi seorang jenderal pada pasukan Napoleon dan ditunjuk sebagai Gubemur-Jenderal di Hindia Belanda (1808-1811). Dia memperkenalkan pengaruh gaya Empire yang kuat pada dua bangunan utama di Kota Jakarta sekarang, yaitu Istana Daendels (sekarang gedung Departemen Keuangan, 1809-1828), dan klub tertua di Asia Tenggara, Harmonie (1810) yang dihancurkan pada tahun 1985. Gaya arsitektur ini menjadi populer dikenal dengan lndische Empire Style dan berkembang subur di seluruh Pulau Jawa.

Di Surabaya, satu contoh yang bagus dari gaya neoklasik ini adalah gedung kediaman Gubernur Jawa Timur. Bangunan yang didirikan pada tahun 1870 ini memiliki veranda dengan proporsi klasik lengkap dengan kolom-kolom Dorik yang mengelilingi tampak depan bangunan, dan juga berakar pada arsitektur Jawa dengan teras depan sebagai respon pada kondisi iklim setempat dan bentuk atap limasan Jawa pada setiap ruangan dalam. Beberapa bangunan dengan langgam ini masih hanyak ditemukan pada kawasan ini seperti gedung Polwiltabes dan sebuah rumah di Jalan Sikatan.

Gaya arsitektur Belanda dalam tangan para profesional, 1900-1910
Pada akhir abad ke-19, perkembangan produksi dan pasar, perbaikan komunikasi, dan kondisi yang lebih aman secara hukum sebagai dasar untuk investasi. Di kota-kota seperti Surabaya, respon perkembangan arsitektur terhadap pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda ini adalah pembangunan bangunan-bangunan umum, seperti perkantoran, pergu¬dangan dan pabrik, bank, kantor asuransi, pelayaran dan kereta api, jasa pos, termasuk juga bangunan sosial, seperti sekolah, rumah sakit, gereja, klub dan sejenisnya. Hampir semua arsitek gedung-gedung ini adalah arsitek profesional yang dididik di Belanda, misalnya di Surabaya antara lain adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, F.J.L. Ghijsels, C. Citroen, Prof. Schoemaker dan Prof. W. Lemei.

Sebagaimana mereka terdidik di Belanda, maka hasil karya-karya mereka di Hindia Belanda juga merupakan pengaruh dari perkembangan arsitektur di Belanda. Beberapa karakter arsitektur Belanda pada arsitek¬tur kolonial adalah penggunaan gevel, dormer (jendela di atap), menara yang menyatu pada gedung, terutama menara segi empat yang ramping dengan atap lancip yang pendek. Satu contoh karakter arsitektur Belanda ini adalah De Algemeene Verzekerings Maatschappij (sekarang kantor PT. Aperdi) yang dirancang oleh Berlage dan M.J. Hulswit di tahun 1900. Peng¬gunaan gevel, dormer, dan menara yang menyatu pada gedung juga ditemukan pada bangunan-bangunan lain, namun dengan bentuk menara yang lebih sederhana disesuaikan dengan ten gaya arsitektur modem pada waktu itu, sebagai contoh adalah/Borsumij (sekarang gedung Bank Mandiri) yang didesain oleh Citroen pada tahun 1935.

Eklektisisme, 1910 – 1925
Pada tahun 1908, banyak cabang-cabang Javache Bank dibuka di kota¬kota besar disamping kantor pusat di Jakarta, biasanya dirancang berdasarkan gaya neo-renaissance oleh Hulswit-Fermont dan Ed. Cuypers, perusahaan konsultan arsitektur terbesar dan paling dikenal oleh masyarakat Belanda di Hindia Belanda dari tahun 1910-1942. Di Surabaya, Javache Bank dirancang oleh Hulswit-Ed. Cuypers pada tahun 1912 adalah bangunan satu lantai dengan lantai dasar, dengan menara yang ringan dan lubang ventilasi, bentuk pediment klasik yang diubah terletak pada ujung tampak depart, kolom-kolom yang menopang jendela yang masuk (niche) dan tiga jendela dormer, memberi kesan tampilan gaya Empire yang kuat pada bangunan ini. Bentuk kolom pada gedung ini adalah lonik dengan motif dan jendela lengkung. Motif-motif ukir candi Jawa digunakan pada bangunan ini. Karya ini juga dianggap sebagai suatu contoh langgam elektisisme, suatu bangunan dengan penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas.

Contoh lainy adalah kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), sekarang adalah kantor PT. Perkebunan XI (Hulswit, Fermont and Cuvpers, tahun 1921- 1924). Lantai pertama dan kedua dikelilingi oleh koridor berkolom dengan kepala kolom dan lengkungannya bermotif bunga membentuk tulisan Islam. Bentuk atapnya yang berlapis dua ada¬lah suatu bentuk ekspresi lokal selain sebagai suatu pemecahan terhadap kondisi iklim. Bangunan ini dibangun dengan sangat baik, sehingga sampai saat ini kondisi bangunan masih hampir sama.

De Amsterdamse School, De Stijl dan De Nieirtve Zakelijkheid,1920-1942
Pada awal abad ke-20, perkembangan gerakan modern dalam arsi¬tektur Belanda diwakili oleh dua aliran yaitu aliran romantik dan Am¬sterdam dan pendekatan rasional dari Rotterdam. Sekitar tahun 1912, gerakan yang pertama ini muncul dikenal sebagai aliran Amsterdam, prinsip gerakan ini berkenaan dengan suatu model yang ambisius dan dekoratif, biasanya dengan bahan alami. Pada tahun 1917, gerakan yang kedua, De Stijl didirikan dan dinamakan menurut nama majalah De Stijl dengan editor seoarng pelukis, desainer, dan penulis Belanda, bernama Theo van Doesburg. Karakter arsitektur ini adalah asimetri, elemen geo¬metri yang sederhana, atap datar, penggunaan eksklusif garis-garis hori¬zontal dan vertikal, dicat dengan wama netral seperti putih atau abu-¬abu muda. Satu contoh yang bagus dan De Stijl di Surabaya, sebagai ba¬sil dari pengaruh gaya asimetri Wright, adalah kantor Gubemur Jawa Timur yang dirancang oleh W. Lemei pada tahun 1931.

Kemudian di tahun 1920, terdapat tren baru yang dikenal luas sebagai De Nieuwe Zakelijklteid (obyektivitas baru), Het Nieuwe Boawcz uiau Fungsionalisme. Di Surabaya, satu contoh De Nieuwe Zakelijkheid ini diwakili oleh gedung Borsuntij (sekarang Bank Mandiri). Contoh lain adalah Internationale Crediet-en Handelsverereeniging Rotterdam yang dirancang oleh F.J.L. Ghijsels di tahun 1929). Bangunan kantor 2,5 lantai ini adalah suatu kantor perusahaan perbankan dan perkebunan, berbentuk simetris dengan persilangan elemen horizontal dan vertikal, pelindung sinar matahari yang dalam untuk jendela, sepasang menara dan balkon yang masuk pada kedua ujung depan bangunan. Sebuah slo¬gan terkenal Ghijsels: "Simplicity is the Shortest Path to beauty" sungguh-¬sungguh tercermin dalam desain bangunan ini. Hampir semua detail-detail interiornya merupakan sambungan dari sistem strukturnya sendiri, tanpa suatu dekorasi yang tidak perlu.

Karya lain dari langgam ini adalah Koloniale Bank, sekarang kantor PT. Perkebunan XII yang dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker pada tahun 1927-1928 (gambar 5). la merupakan salah seorang tokoh yang paling penting tentang gaya intemasional seperti Art Deco dengan bentuk lengkungnya, terutama pada bangunan Villa Isola (tahun 1932) di Bandung. Gedung ini mendemonstrasikan penekanan Schoemaker pada kekuatan garis-garis horizontal yaitu penataan berbagai pintu dan jende¬la serta artikulasi elemen-elemen vertikal.

Selain bangunan-bangunan yang telah dibahas sebelumnya, pada kawasan Eropa ini relatif masih banyak bangunan-bangunan lain yang mewakili berbagai langgam arsitektur yang ada di Surabaya, sebagai potensi kawasan ini.

Masalah Kawasan Eropa
Masalah-masalah yang terjadi pada kawasan ini antara lain adalah:
1. Perubahan fungsi bangunan dan karakter kawasan
Perubahan fungsi bangunan banyak terjadi pada kawasan ini, yang memprihatinkan adalah perubahan fungsi yang tidak mendukung peme¬liharaan gedung misalnya penggunaan untuk gudang yang akan semakin merusak gedung. Sedangkan perubahan karakter kawasan relatif besar terjadi pada jalan utama yaitu Jalan Rajawali dengan adanya beberapa pembangunan baru, seperti Plasa Jembatan Merah (ex. bangunan gudang), hotel Ibis, bank BRI dan bank BCA di Jalan Veteran. Sangat disayangkan bahwa pembangunan beberapa bangunan baru ini malah merusak karakter kawasan Eropa, seperti bank BRI, BCA dan Plasa Jembatan Merah. Bangunan bank BRI yang terletak di jalan Rajawali ini memiliki ketinggian masa yang sama dengan bangunan lama di sampingnya, namun terlihat sangat kontras dengan bahan, warna bangunan dan tampilan fasade yang berbeda dimana bentuk pembukaan dan atap datar yang kontras dengan atap sejenis perisai yang berjendela. Demikian pula terlihat pada tampilan dua bangunan berikutnya yaitu Plasa Jembatan Merah (1992) dan bank BCA yang terlihat kontras antara bangunan lama dengan banguan baru, disebabkan oleh tinggi, bahan dan warna bangunan, serta tampilan fasade yang sangat berbeda.

Sedangkan hotel Ibis merupakan salah satu contoh yang baik tentang pembangunn bangunan baru yang harmonis dengan lingkungan lama¬nya. Salah satu contoh bangunan baru yang dirancang secara harmoni dengan bangunan sekitarnya adalah hotel Ibis yang terletak di jalan Rajawali. Hotel ini dahulunya adalah sebuah kantor perdagangan swasta Belanda, Geo Wehry & Co. (1913-an) dan bagian belakang bangu¬nan berfungsi sebagai gudang. Tampak depan dart gedung lama masih dipertahankan dan tampilan bangunan baru yang serasi dengan bangu¬nan-bangunan lama di sekitarnya, baik dalam hal skala, warna dan bahan bangunan, sehingga karakter lingkungan Jalan Rajawali kelihatan tidak mengalami banyak perubahan.

2. Aktifitas masyarakat
Setelah masa kemerdekaan, tentunya kehidupan masyarakat Eropa tidak terlihat lagi pada kawasan Mi. Pada saat ini, aktivitas perdagangan dan perkantoran yang dominan pada kawasan ini di pagi hingga sore hari. Pudarnya fungsi human pada kawasan ini membuat kawasan ini menjadi "kota mati" pada malam hari. Pola penggunaan bangunan yang multi fungsi seperti perdagangan, rekreasi dan hunian diharapkan akan mehidupkan aktifitas masyarakat pada kawasan ini sepanjang hari.

Kawasan Tionghoa
Permukiman Tionghoa Surabaya terletak di sisi Timur Kalimas di¬mana bangunan-bangunan utama perdagangan terletak di Jalan Han¬delsstraat, sekarang jalan Kembang Jepun. Sedangkan kawasan permu¬kiman terletak di belakang kawasan perdagangan Kembang Jepun, seperti di Jalan Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Orang Tionghoa sudah ada di Surabaya sejak zaman Mojopahit di abad ke-15, jauh sebelum Belanda menguasai Surabaya pada tahun 1746. Mereka bermukim secara kelompok ditepi Kali Mas, di daerah sekitar Jalan Coklat yang kemudian terkenal dengan daerah Pecinan atau ‘Chineesche Kamp‘ (kampung Cina).
Pada saat itu, klenteng bukan hanya sebagai tempat berlangsung¬nya kehidupan keagamaan, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya khidupan sosial masyarakat Tionghoa yang berpusat di jalan Tepekong (sekarang jalan Coklat), yaitu sebuah kelenteng tertua di Surabaya ber¬nama Hok An Kiong yang dibangun sekitar tahun 1800-an. Bentuk atap¬nya yang khas serta penggunaan warna merah yang dorninan menjadi salah satu ciri khas arsitektur Cina.
Potensi Kawasan Tionghoa

Potensi yang ada pada kawasan ini adalah:
1. Pola penggunaan lahan
Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastic pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang ada, misalnya pembangunan jalan baru dan pelebaran jalan yang akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.

2. Keanekaragaman gaya arsitektur
Pada jalan utama Kembang Jepun, terdapat berbagai arsitektur bangunan perdagangan (rumah toko) yang umumnya berlanggarn arsitektur kolonial Belanda. Selain kelenteng Hok An Kiong (1800-an), beberapa bangunan penting lainnya pada kawasan permukiman adalah rumah tinggal pemuka masyarakat Tionghoa pada waktu itu yaitu Mayor The dan keluarga kava Han yang bergaya arsitektur Cina dengan bentuk atap yang khas. Khusus untuk rumah tinggal keluarga Han, gaya eklektisisme terlihat dengan pemakaian berbagai elemen arsitekur seperti teras depan dan kolom klasik.

Keluarga ‘The‘ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal pada abad ke-18 dan ke-19 di Surabaya. Keluarga ini berasal dari propinsi Fujian di Cina Selatan. Banyak keturunan dan keluarga ini menduduki jabatan Mayor, Kapten maupun Letnan pada masyarakat Tionghoa di Surabaya. Untuk memudahkan kontrol atas masyarakat Tionghoa, Pemerintah Kolonial Belanda biasanya menunjuk tokoh-tokoh masyarakat setempat yang diberi jabatan dengan pangkat Mayor, Kapten atau Letnan. Rumah tinggal ini sekarang menjadi rumah sembayang yang ramai dikunjungi sebagai tempat reuni keluarga ‘The‘ pada hari raya tahun baru Imlek, dan perayaan Cing Bing.

Meskipun sudah lama bermukim di Jawa, tetapi banyak kebudayaan dan adat istiadat orang Cina yang masih dipertahankan. Salah satunya adalah pendirian rumah sembayang keluarga, yang disebut sebagai ‘Tjoh-tjhoe‘ atau rumah abu bagi keluarga terkemuka. Rumah sembahyang keluarga marga Han berada di Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Keluarga ‘Elan‘ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal di Surabaya pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut Claudine Salmon (1991), banyak anggota keluarga Han yang menjadi pejabat dan tokoh masyarakat pada masa kolonial. Tidak diketahui persis kapan bangunan ini didirikan, tetapi pada abad ke-19 bangunan ini sudah ada.

Masalah kawasan Tionghoa
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh kawasan ini adalah:
Karakter kawasan dan fungsi bangunan
Secara fisik perubahan banyak terjadi pada jalan utama Kembang Jepun, di mana tampilan bangunan ash telah ditutupi dengan berbagai papan iklan dan pembangunan baru seperti bank Mapion, dan bank BCA di jalan Slompretan dan bangunan baru lainnya di Jalan Karet yang telah merubah karakter kawasan ini. Selain itu, relatif banyak bangunan yang telah berubah fungsi menjadi gudang, dan penghuni pada kawasan per¬mukiman ini sudah berpindah ke kawasan-kawasan permukiman baru di timur dan barat Kota Surabaya. Sebagai contoh, saat ini hanya tersisa dua (2) keluarga yang tetap tinggal di kawasan ini, sebagai akibat pada ma‘am hari kawasan ini menjadi kawasan yang mati.

Kawasan Arab
Kampung Arab Surabaya terletak di sisi utara permukiman masya¬rakat Tionghoa di mana kawasan ini umumnya adalah perumahan. Kawasan ini pada sisi barat dibatasi oleh Kalimas dan Oosterkade Kali¬mas (sekarang Jalan Kalimas Timur) dan pada sisi timur dibatasi oleh Jalan Nyamplungan dan jalan Danakarya. Jalan utama lainnya pada kawasan ini adalah Jalan K.H. Mansyur yang membentang dari utara ke selatan.

Masjid Sunan Ampel adalah sebagai pusat kegiatan di kawasan ini bukan saja bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bagi banyak masyarakat muslim yang datang untuk berziarah. Jalan yang paling ramai di kawasan ini adalah jalan Ampel Suci dimana para pedagang dan pembeli bertemu sepanjang jalan menuju ke Masjid Sunan Ampel. Masjid Sunan Ampel yang terletak di Kampung Ngampel (Ampel) ini diduga merupakan masjid tertua di Surabaya. Sekitar tahun 1414, Raden Rachmad keponakan dari istri Raja Majapahit yang berasal dari Champa, bemama Wikrama¬wardhana (1389-1428) datang ke Surabaya. Raden Rachmad yang waktu itu masih berumur 20 tahun diberi tempat oleh raja di desa Ngampel. Ia kemudian menyiarkan agama Islam kepada penduduk di sekitar Ngampel, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel, dan wafat pada tahun 1467 di Ngampel. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid. Pada tahun 1870-1872, komplek masjid ini diperbaiki dan didirikan sebuah masjid besar yang dinamakan masjid Sunan Ampel. Berabad abad ke¬mudian, komplek masjid Sunan Ampel ini telah mengalami beberapa kali perluasan.

Potensi Kawasan Arab
Potensi pada kawasan ini antara lain:
1. Struktur kawasan: pola fungsi lahan dan pola jalan
Penataan lingkungan ini berpusat pada masjid Ampel, sehingga perkampungan yang ada mempunyai orientasi ke arah dalam. Hal inilah yang menyebabkan kawasan Ampel terkesan tertutup dari lingkungan di luar kawasan tersebut. Pola penggunaan lahan pada kawasan sec.ira umum tidak banyak berubah yaitu sebagai permukiman kampung dengan arsitektur rumah tinggal yang beragam terutama pada jalan atau gang-gang yang menuju ke arab masjid Ampel.

Salah satu keunikan lain dari kawasan ini adalah jaringan jalan yang rumit, terdiri dari beberapa gang yang saling berhuhungan antara satu dengan yang lainnya. Penataan gang seperti ini tidak ditemukan dalam tatanan kampung-kampung lainnya di Surabaya. Apabila terdapat orang luar yang masuk ke lingkungan ini tentunya akan mengalami kebingu - ngan karena ia akan merasa seolah-olah masuk dalam suatu labirin. Gang-gang dalam kampung tersebut juga memiliki nama-nama yang khas Arab, seperti Ampel Suci, Ampel Magfur, dan Ampel Masjid.

2. Keanekaragaman gaya arsitektur
Dari wujud kebudayaan fisik yaitu karya arsitektur berupa mesjid dan kelompok makam Sunan Ampel. Mesjid ini bercirikan arsitektur tradisional Jawa dengan kolom klasik. Pintu gerbang makam merupakan modifikasi dari pintu gerbang zaman Majapahit (Hindu). Lamanya penjajahan Belanda berpengaruh juga pada gaya arsitektur yang ada pada kawasan ini, terutama pada Jalan K.H. Mansyur dan Jalan Nyamplungan.

Di Jalan KH. Mansyur, bangunan-bangunan yang berkembang dengan tipologi yang berbeda-beda sesuai zamannya. Sejak awal abad ke-20 atau tepatnya pada tahun 1925 di sepanjang jalan ini dijumpai banyak bangunan yang berarsitektur Eropa Klasik dan Arab yang dibangun oleh pendatang, baik dari pendatang Arab maupun orang asing lainnya.

3. Aktivitas masyarakat
Kampung Ampel memiliki potensi sebagai kampung wisata dan tempat ziarah serta pada bagian pasar Ampel dapat dijumpai tempat-tempat penjualan cindera mata khas timur tengah seperti, minyak wangi, buah kurma, sajadah, jilbab-jilbab dengan warna yang beraneka ragam, permadani, dan sebagainya berupa barang untuk keperluan ibadah.

Masjid Ampel dan Makam Sunan Ampel serta makam-makam pe-muka agama lainnya cukup dikenal, karena selain memiliki nilai-nilai religius yang tinggi dengan sendirinya ia jgua memiliki nilai historis yang tinggi.

Banyak sekali wisatawan baik dari mancanegara ataupun dari dalam negeri yang sangat tertarik untuk mengunjungi Ampel dengan alasan utama untuk berziarah.

Pintu Gapura menuju ke makam Sunan Ampel (kiri), masjid Ampel lama (tengah atas), hotel Kemajuan/eks kompleks perwira Belanda tahun 1928 (tengah ba¬wah), ruko tipikal bergaya Arab (kanan atas), dan bangunan arsitektur Belanda dengan gevel (kanan bawah).

Masalah kawasan Arab
Masalah yang ada pada kawasan ini adalah kondisi bangunan. Seca¬ra umum, kondisi bangunan yang ada di kawasan Ampel terbagi menjadi dua, yaitu yang masih terawat dengan baik dan yang sama sekali tidak terawat. Yang masih terawat baik terutama adalah bangunan yang ber¬fungsi sebagai rumah tinggal, sedangkan yang tidak terawat kebanyakan berfungsi bukan rumah tinggal, yaitu seperti gudang.

Kesimpulan
Hasil studi ini menunjukkan bahwa, Kota Bawah yang terdiri dan kawasan Eropa, Tionghoa, dan kawasan Arab (Ampel) memiliki potensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan, seperti pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang relatif masih utuh, keanekaragaman langgarn arsitektur, serta aktivitas kehidupan masyarakat yang kental terutama pada kawasan Ampel. Di lain pihak, terdapat masalah-masalah yang harus diatasi dan diperbaiki, seperti pembangunan bangunan baru yang merusak karak¬ter kawasan, perubahan fungsi bangunan (pergudangan) yang tidak men¬dukung pemeliharaan bangunan, serta pola penggunaan bangunan yang relatif seragam mengakibatkan kawasan menjadi "mati" pada malam hari.

Berdasarkan pada potensi dan masalah yang ada, maka penetapan kawasan Kota Bawah ini sebagai kawasan pusaka budaya merupakan suatu langkah awal yang diperlukan untuk melindungi kawasan ini secara utuh (urban fabric). Sedangkan, revitalisasi kawasan ini sebagai langkah lain untuk menghidupkan kembali aktivitas masyarakat agar karakter kawasan ini dapat tetap terpelihara dengan baik.

Daftar pustaka
Broeshart, A.C. 1994. Soerabajn; Beeld van een stad. Purmerend: Asia Maior.

Charter. 1987. Charter for the conservation of historic towns and urban areas. Wa¬shington, D.C.: the American ICOMOS.

Ebbe, Katrinka dan D. Hankey. 1999. Case study of Ningbo, China; Cultural heritage conservation in urban upgrading. Washington, D.C.: The World Bank.

Ebbe, Katrinka dan Lee J. Harper. 2000. Cultural heritage management and urban development; Challenge and opportunity. Beijing: International Conference Proceedings.

International Charter. 1964-1965. International charter for the conservation and restoration of monu¬ments and sites. Venice: the Greek ICOMOS.

Neill, William J.V. 2004. Urban planning and cultural identity. London: Routledge.

Piagam Pelestarian. 2003. Piagam pelestarian pusaka Indonesia. Ciloto: Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, Indonesia International Council on Monuments and Sites, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Principles. 2000 Principles for the conservation of heritage sites in China. Chengde: China ICOMOS.

Recommendation. 1976. Recommendation concerning the safeguarding and contemporary role of historic areas. Nairobi: UNESCO.

Salmon, Claudine. 1991. ‘Theklan family of East Java entrepreneurship and politic 18th-19(h centuries‘, Archipel 41:53-87.
Vines, Elizabeth. 2003. Streetwise Asia; A practical guide for the conservation and revita-lization of heritage cities and towns in Asia. Washington, Dr.: The World Bank.
__________
Timoticin Kwanda adalah Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra – Surabaya

________________________________________
[1] Sebutan Kota Bawah (benedenstad) dipergunakan untuk membedakan dengan Kota Atas (bovenstad) yang berkembang kemudian di tahun 1920-an yang berpusat pada kawasan Balaikota sekarang.

Sumber :indie-indonesie.nl