Pengembangan SDM Pariwisata Daerah: Agenda Kebijakan untuk Pembuat Kebijakan

Oleh: Hendrie Adji Kusworo dan Janianton Damanik

Abstract
The sustainability of the currently impressive growth of tour-ism industry in Indonesia is threathened by bureaucratic in-competence of the increasingly decentralized governance. The old-fashined bureaucracy responsible for dealing with tour-ism at the local level would be unable to meet high standard of tourism industry set out at international Ievel, unless human resource within local bureaucracy is qualitatively improves to meet the demand of international market. Local governments shlould put gear on improving tourism policy making by improving torurism-related bureaucracy.

Di tengah tuntutan yang semakin tinggi terhadap perlunya peningkatan kinerja sektor pariwisata agar dapat memenuhi pencapaian target-target ekonometrik, terasa bahwa pembenahan sumber daya manusia dan birokrasi belum kuat disuarakan. Terdapat kesan yang cukup rnenonjol bahwa perlahan kita terutama masih bertumpu pada aspek kuantitatif, yakni seberapa besar devisa, kesempatan kerja, kunjungan wisatawan, dan sebagainya (Brahman, 1996), sementara aspek kualitatif yang antara lain dilihat dari perubahan positif mutu sumberdaya manusia cenderung diabaikan. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan logika yang mendasari pembangunan pariwisata itu sendiri, bahwa target-target ekonomi tersebut hanya dapat dicapai jika persoalan sumberdaya manusia lebih dulu ditangani.

Meskipun diakui bahwa akhir-akhir ini perhatian pada perlunya pembenahan sektor sumber daya manusia semakin besar, kelemahan yang elementer paling tidak di tataran implementasi masih banyak ditemukan. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia sektor pariwisata terlalu berat sebelah ke penanganan front liners (industri). Harus diakui bahwa strategi ini memiliki keunggulan karena sasaran yang dipilih adalah menciptakan mute pelayanan yang sesuai dengan standar industri pariwisata internasional. Namun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa pembenahan sumberdaya manusia yang terfokus pada front liners tanpa memperhatikan sumberdaya birokrasi tidak dapat menghasilkan kualitas produk pariwisata yang sesuai dengan tuntutan pasar.

Sebaliknya, perhatian terhadap penyusunan strategi, persoalan-persoalan manajemen dan perencanaan kepariwisataan merupakan kebutuhan yang mendesak (bandingkan Inskeep, 1994) karena sesungguhnya di sinilah titik tolak perjalanan industri pariwisata itu. Hal imperatif bagi produk wisata apapun yang ditawarkan ke pasar internasional adalah bahwa produk tersebut dihasilkan oleh suatu analisis dan kebijakan mendalarn atas berbagai variabel permintaan, penawaran, dan lingkungan. Persoalan seperti itu, tentu saja tidak dapat dibebankan atau ditangani semata oleh sumberdaya manusia di tingkat front liners, melainkan oleh manajer dan perencana pembangunan kepariwisataan.

Oleh karena itu, pembicaraan tentang masalah pengembangan sumber daya manusia pariwisata, apalagi dalam konteks perdagangan bebas, seharusnya juga diarahkan pada pembenahan sumberdaya manusia di tingkat birokrasi. Berbagai kajian menunjukkan bahwa salah satu titik lemah pembangunan sektor pariwisata kita terletak pada kemampuan birokrasi yang jauh dari memadai, baik untuk menyusun perencanaan pengembangan program kepariwisataan, regulasi, sampai koordinasi lintas sektoral (Manajemen, 1987). Keterbatasan seperti jelas tidak akan mampu menghasilkan produk wisata yang berdaya saing tinggi di pasar internasional.

Sebagaimana akan diperlihatkan dalam pembahasan berikut, sektor pariwisata sebetulnya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan bahkan menjadi tumpuan harapan dalam pembangunan, khususnya dalam pengumpulan devisa. Kalau kita menyelami lebih jauh bagaimana perkembangan tersebut dicapai, kita sebetulnya tidak punya alasan untuk optimis bahwa tingkat perkembangan yang telah dicapai ini akan bisa kita pertahankan. Mengapa demikian? Basis pengembangan kebijakan kepariwisataan mengalami pergeseran. Di masa lalu kebijakan kepariwisataan dilakukan oleh dan dalam kendali ketat dari pemerintah pusat. Sehubungan dengan diimplementasikannya kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22 tahun 1999, kewenangan menyelenggarakan kebijakan kepariwisataan berada di tingkat lokal. Sementara itu, kesiapan birokrasi lokal untuk menyelenggarakan kebijakan pariwisata belum tertata dan dikembangkan secara optimal. Dalam hemat penulis, persoalan paling serius yang menghambat kinerja mesin pemetaan dalam menyelenggarakan kebijakan pariwisata adalah ketersediaan dan pendayagunaan Sumberdaya Manusia (SDM) pariwisata.

Pariwisata: Sektor yang Berkembang Pesat
Pemerintah Indonesia melalui amanat Garis-garis Besar Haluan Nenaga (GBHN) mengharapkan sektor pariwisata dapat memainkan peran strategik sebagai sumber pendapatan dan devisa nasional, pencipta kesempatan kerja dan berusaha, sekaligus sebagai media untuk melestarikan nilai-nilai budaya. Dalam aras pembangunan pariwisata terutama dilihat sebagai penggerak mesin ekonomi: pengumpul devisa, juru selamat dan paspor pembangunan (de Kadt, 1979; Lengkeek, 1997). Banyak studi menunjukkan bahwa pariwisata memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pendapatan pemerintah dan memiliki dampak ekonomi yang positif di beberapa negara (Latham, 1994).

Penetapan pemerintah di atas tidak terlepas dari perkembangan pariwisata nasional. Jika tahun pada tahun 1990 baru sekitar 2 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia dengan total pengeluaran US $ 2 milyar, maka enam tahun berikutnya angka itu naik 2,5 kali lipat atau 5 juta wisatawan mancanegara dengan total pengeluaran US $ 6 milyar (UNDP-KMNLH, 2000). Sementara pada tahun 1991 tercatat sekitar 72,1 juta wisatawan nusantara melakukan perjalanan dengan pengeluaran sekitar Rp 7,1 trilyun. Jumlahnya mengalami penmgkatan menjadi 100,4 juta perjalanan wisatawan nusantara pada tahun 1994 dengan total pengeluaran sekitar Rp 12,4 trilyun. Menjelang krisis ekonomi 1997, jumlah wisatawan nusantara mencapai 108,1 juta (Depparsenibud, 1999).

Meskipun sempat mengalami penurunan karena multi krisis yang terjadi sejak tahun 1997 dan tersendat serangan terhadap sarana pariwisata, pertumbuhan pariwisata di Indonesia nampaknya akan semakin besar dalam tahun-tahun mendatang. Studi yang belum lama dilakukan Pusat Studi Pariwisata UGM bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memperkirakan bahwa jumlah wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Indonesia pada tahun 2003 dan selanjutbya akan mencapai 6,46 juta (prediksi moderat) dengan pengeluaran Rp 65 trilyun. Sementara jumlah kunjungan wisatawan nusantara diperkirakan mencapai 141,54 juta (prediksi moderat) dengan pengelua ran sekitar 71 trilyun rupiah (Deparsenibud-PUSPAR UGM, 1999).

Seperti disinggung di atas, kontribusi lain pariwisata adalah penciptaan kesempatan kerja. Pada tahun 1992 WTI‘C (World Travel and Tourism Council) memperkirakan bahwa sektor pariwisata mempekerjakan sekitar 127 juta pekerja di dunia (WITC,1992 dikutip oleh Hawkins, 1994). Estirnasi WTD (World Tourism Organization) bahkan menunjukkan jumlah itu telah mencapai 200 juta atau satu dari setiap sepuluh pekerjaan yang tersedia (TIES, 2000). Di Indonesia, dengan menggunakan simulasi metode Na¬tional Satulite Account, WTI‘C bekerjasama dengan Wharton Economic Fore-casting Assocbtes (WEFA), memperkirakan angka awal jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata pada tahun 1997 sebesar 6,6 juta. Sedangkan skenario moderat proyeksi penyerapan tenaga kerja sektor pariwisata yang disusun oleh PUSPAR UGM berdasarkan tabel IO tahun 1995 menunjuk angka 8 juta peluang kerja yang tercipta pada tahun 1998. Diperkirakan jumlah akan mencapai 11,1 juta pada tahun 2003, yang terdiri dari 1,9 juta kesempatan kerja langsung dan 9,2 juta lainnya merupakan kesempatan kerja tidak langsung (Deparsenibud-PUSPAR UGM, 1999).

Tantangan: Pengembangan SDM
Kegiatan pariwisata, state of the art perkembangan pariwisata, apapun format dan modus pengelolaannya, merupakan sistem yang lahir dari interaksi terus menerus antara permintaan, penawaran dan lingkungan. Perubahan karakteristik psikografik dan demografik wisatawan merupakan faktor penting pada sub sistem permintaan. Dalam hal ini, minat, ekspektasi, preferensi, golongan umur, jenis kelamin wisatawan sangat mempengaruhi kecenderungan tingkat perkembangan pariwisata (Opaschowski, 1996). Di sisi lain, perubahan karakteristik produk pariwisata dan tourism product life cycle, merupakan penentu aspek penawaran. Sedangkan perubahan sosial, politik dan ekonomi merupakan faktor-faktor penting aspek lingkungan. Dalam hal ini berbagai kesepakatan internasional yang mengedepankan prinsip cross border supply, consumption abroad, commercial presence dan presence of natural person harus dibaca sebagai elemen lingkungan yang akan mempengaruhi kepariwisataan kita.

Ada kecenderungan yang cukup menonjol dalam kegiatan pariwisata internasional, yakni tuntutan terhadap standarisasi kualitas produk dan pelayanan wisata. Permintaan yang sangat tinggi dalam pasar wisata glo¬bal adalah produk-produk langka dan unik yang bermutu tinggi (high value production of unique commodities). Semakin besarnya jumlah eco-toutht dalam pasar wisatawan internasional dapat dijadikan petunjuk fenomena itu.

Untuk merespon kecenderungan tersebut, maka setiap daerah tujuan wisata (destinasi) dituntut untuk mampu meningkatkan mutu sumberdaya mania, karena sesungguhnya kualitas SDM inilah yang diyakini secara langsung akan menentukan mutu produk dan pelayanan wisata. Artinya, peningkatan kualitas SDM menjadi salah satu kunci untuk memenangkan persaingan global yang semakin kompetitif. Prasyarat untuk itu adalah sistem pendidikan dan pelatihan kepariwisataan yang mendukung (Priowanto, 2001), penyesuian, dan penerapan standar kompetensi tenaga kerja pariwisata (Parwoto, 2001).

Harus diakui, bahwa birokrasi merupakan salah satu stakeholder pembangunan pariwisata dan karena itu memiliki peran yang strategik untuk menenukan arah dan sasaran pembangunan pariwisata. Peran ini semakin sentral karena dalam era otonomi daerah kewenangan di dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan pariwisata diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Implikasinya tentu saja sangat luas, terutama pada kesiapan birokrasi di daerah dalam rnengimplementasikan kewenangan baru tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa keberhasilan pembangunan kepariwisataan nasional pada akhirnya sangat tergantung pada kemampuan birokrasi di daerah untuk mengelola sumberdaya pariwisata.

Namun masih terasa betapa kemampuan entitas birokrasi pariwisata daerah di dalam menjalankan peran strategisnya tersebut dalam perencanaan, implementasi dan manajemen pembangunan pariwisata masih terbatas. Hal ini disebabkan tidak saja oleh tugas dan kewenangan birokrasi pariwisata yang masih tumpang tindih dengan birokrasi terkait lainnya, melainkan juga terutama oleh realitas sistem rekrutmen dan promosi di lingkungan birokrasi pariwisata yang terlalu didasarkan pada persyaratan umum dan lebih menekankan aspek administratif-formal. Artinya aspek standar kompetensi yang imperatif bagi birokrasi kepariwisataan untuk dapat menjalankan peran dan fungsi sebagai pengambil keputusan di bidang terkait dan dengan demikian menjadi kunci keberhasilan pembangunan pariwisata daerah (bandingkan Hendarti, 2001), sampai sekarang belum menjadi kriteria pemilihan pegawai dan staf di lingkungan birokrasi pariwisata.

Aksentuasi pada standar kompetensi dalam rangka rekrutmen dan promosi aparatur birokrasi pariwisata sebenarnya mempunyai pijakan yang kuat baik secara teoritik maupun di tingkat praktis. Efektifitas birokrasi pariwisata yang antara lain dapat dilihat dari sejauhmana aparat birokrasi tersebut mampu menjalankan tugas yang dibebankan oleh lembaga, sesungguhnya dapat dicapai apabila sumberdaya manusia memiliki kompetensi di bidangnya. Dalam prakteknya terlihat bahwa banyak di antara aparatur birokrasi pariwisata yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan, keahlian atau bahkan referensi bidang pariwisata, sehingga pencapaian tujuan birokrasi sering terkendala. Sirkulasi aparatur dalam pemerintah daerah yang didasarkan pada kriteria eselonisasi jabatan dan dipandang memiliki relevansi yang rendah dengan tingkat kompetensi pada focus of interest birokrasi pariwisata, ikut menjadi penghambat bagi tercapainya optimalisasi tujuan lembaga tersebut di satu sisi dan pembangunan pariwisata daerah di sisi lain.

Apabila tidak segera mendapatkan penanganan, maka persoalan di masa depan akan memuncak karena bersarnya tuntutan kualitas berskala intemasional di satu sisi dengan keterbatasan kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan itu di sisi lain. Artinya, keterbatasan kualitas sumberdaya manusia di birokrasi pariwisata menjadi satu variabel penghambat bagi kemajuan pariwisata daerah, sebab mereka tidak mampu menjalankan peran dalam pengembangan pariwisata yang adaptif dengan permintaan pasar intemasional. Persoalan semakin kompleks dengan kecenderungan yang memperlihatkan semakin banyaknya sumberdaya manusia di dalam pasar tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam bidang kepariwisataan, namun kurang memiliki akses untuk ikut membangun birokrasi pariwisata daerah yang efektif.

Di tingkat individu, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah mampukah mereka semua merespon dan membaca kecenderungan baru perkembangan tersebut dan menjadikannya sebagai peluang? Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah apakah di tengah perubahan tersebut aparatur birokrasi telah siap menjadi profesional yang memiliki sikap dan perilaku sebagai entrepreneur yang bukan saja percaya diri, berorientasi tugas dan hasil, berani mengambil resiko, memiliki jiwa kepemimpinan, orisinil, memiliki prakarsa, memiliki intuisi yang kuat dan di atas semuanya memiliki kompetensi inti (core competencies)?

Tantangan berikutnya adalah tuntutan perubahan peran pemerintah. Sebagaimana yang dipelopori oleh Bank Dunia, prinsip-prinsip good governance yang berarti penerapan mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan negara dan masyarakat sipil serta industri dalam suatu usaha kolektif, merupakan tantangan baru entitas birokrasi pariwisata daerah. Dalam aras meskipun entitas birokrasi merupakan aktor penting dalam pembangunan pariwisata, perannya tidak belch dominan. Kewenangan yang dijalanan oleh birokrasi hams dirumuskan melalui konsensus bersama stakeholders lainnya. Kolektifitas yang terdiri dari berbagai aktor itulah yang terlibat bukan saja dalam membentuk tetapi juga mengontrol dan mematuhi kewenangan yang dirumuskan.

Dalam konteks baru tersebut birokrasi dituntut untuk selain menguasai substansi dan seluk beluk kepariwisataan, juga mampu menjamin proses yang mengakomodasikan kepentingan berbagai pemangku kepentingan (stakeholdc rs). Dengan kalimat lain, birokrasi diharuskan oleh peran barunya untuk tidak hanya mampu merumuskan kebijakan strategik dan operasional, tetapi juga menjadi dirigen yang piawai mengkoordinasi dan mensinkronisasi semua kegiatan kepariwisataan.

Dihadapkan pada kombinasi perubahan kecenderungan pariwisata internasional tersebut dengan perubahan paradigma penyelenggaraan negara menuju penyelenggaraan yang lebih demokratis di atas prinsip-prinsip good governance, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah birokrasi pariwisata daerah kita telah mampu menjadi fasilitator bagi industri pariwisata? Secara lebih khusus, pertanyaannya adalah mampukah birokrasi pariwisata daerah kita merumuskan kebijakan kepariwisataan yang tepat, menerapkan proses yang transparan, akuntabel, efektif dan efisien?

Di tingkat individual, secara spekulatif sebagian terbesar aparat birokrasi pariwisata daerah belum memenuhi tuntutan baru tersebut di atas. Bagaimanakah halnya di tingkat institusi?

Potret Potensi dan Kemampuan
Di tingkat institusi sebenarnya sudah ada gambaran yang lebih balk. Hal ini dapat dilihat dari kapabilitas daerah atau secara sempit diartikan birokrasi pariwisata di berbagai kabupaten dan kota di Indo¬nesia dalam menangani urusan kepariwisataan. Pada tahun 1999 Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya bekerjasama dengan PUSPAR UGM melakukan kajian terhadap kemampuan 196 kabupaten dan kota. Keseluruhan kabupaten dan kota itu berasal dari 24 provinsi di luar Lampung dan T. Datar dikumpulkan melalui instrumen kuesioner yang dikirimkan melalui kantor pos (mailed questionnaire) ke seluruh dinas pariwisata (Diparda). Dari seluruh daerah (kabupaten dan kota) di Indonesia ternyata hanya 196 saja yang mengembalikan kuesioner tersebut. Jumlah ini dapat dipandang memenuhi syarat representativeness karena setiap provinsi diwakili oleh minimal tiga kabupaten/kota.

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam studi itu adalah bagaimana kemampuan birokrasi pemerintah kabupaten dan kota (dengan memakai tolok-ukur terpenuhi) untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan perubahan perkembangan pariwisata global dan perubahan konfigurasi penyelenggaraan negara yang mengedepankan prinsip good governance. Lebih jauh juga ingin diketahui potensi wisata yang dimiliki daerah tersebut untuk mendukung perubahan-perubahan yang dimaksud.

Ada 10 indikator yang digtmakan dalam kajian Mi, yakni:
1. Kepemilikan dinas pariwisata
2. Kepemilikan peraturan daerah tentang pariwisata
3. Kepemilikan rencana tata ruang wilayah
4. Kepemilikan rencana induk pengembangan pariwisata daerah
5. Kepemilikan rencana pengembangan objek daya tarik wisata
6. Kepemilikan rencana Tapak
7. Median pegawai eselon III dan IV dinas pariwisata setempat dengan pegawai eselon III dan IV dinas pariwisata secara nasional
8. Median pegawai berpendidikan S1 dan S2 dinas pariwisata setempat dengan pegawai berpendidikan Sl dan S2 dinas pariwisata secara nasional
9. Median pegawai berpendidikan D3 dan sederajat dinas pariwisata setempat dengan pegawai berpendidikan D3 dan sederajat dinas pariwisata secara nasional
10. Median pegawai dinas pariwisata setempat yang berpendidikan pariwisata dengan pegawai dinas pariwisata secara nasional yang berpendidikan pariwisata (Deparsenibud dan PUSPAR UGM, 2000).

Meskipun sekilas hal ini ditujukan untuk mengukur kemampuan daerah secara umum, indikator di atas sesungguhnya juga menjadi cermin kemampuan birokrasi pariwisata, khususnya Diparda daerah itu sendiri. Dalam indikator kemampuan Diparda (kecuali indikator 1 sampai 3) sebenamya secara implisit termasuk kemampuan institusional untuk memobilisasi sumber-sumber wisata, mempromosikan produk dan daya tarik wisata, membangun jejaring, melakukan penyuluhan wisata, dan mendorong kesadaran serta peran-serta masyarakat.

Dengan melakukan pembobotan berdasarkan skala Guttman atas kesepuluh indikator tadi, maka disusun tiga kategori kemampuan birokrasi. Kategorisasi terhadap Kabupaten dan Kota yang mengembalikan kuesiner disajikan dalam Tabel 1. Dari Label ini terlihat bahwa daerah yang memiliki kemampuan tinggi maupun rendah tersebar di berbagai wilayah di Indonsia (tidak terkonsentrasi di kawasan tertentu).

Tabel 1 Daftar Kabupaten dan Kota Menurut Potensi dan Kemampuan Birokrasinya dalam Urusan Kepariwisataan

Kemampuan

Potensi

Tinggi

Sedang

Rendah

Tinggi

Toba Samosir, Medan,

Kota Palembang, Cianjur,

Pandeglang, Kab.

Bandung, Subang,

Tangerang, Karawang,

Jakarta Utara,

Probolinggo, Jember,

Surabaya, Yogya, Sleman,

Cilacap, Semarang,

Banyumas, Solo,

Minahasa, Makassar, Pare-

pare

Limapuluh Kota, Solok,

Padang Pariaman,

Kepulauan Riau, Muara

Enim, Tasikmalaya, Kota

Cirebon, Kab. Cirebon,

Sumedang, Kab.

Lumajang, Ponorogo,

Klaten, Tegal, Kebumen,

Boyolali, Purworejo,

Magelang, Sambas, Tana

Toraja, Biak,

Merauke, Yapen Waropen,

Maluku Tengah

Kampar, Kab. Blitar,

Kulon Progo, Purbalingga.

Brebes, Banjar, Kota

Bitung, Kolaka, Nabire,

Lombok Tengah

Sedang

Tapanuli Utara, Tapanuli

Selatan, Kota Bengkulu,

Kota Sukabumi, Serang,

Banyuwangi, Kab.

Malang, Karanganyar,

Wonosobo, Kota

Denpasar, Karangasem,

Buleleng, Sorong,

Sumbawa

Aceh Utara, Deli Serdang,

Pematang Siantar,

Pasaman, Padang,

Sawahlunto Sijunjung,

Agam, Kota P. Pinang,

Musi Rawas, Bangka,

Ogan Komering Ulu,

Ogan Komering Ilir,

Kuningan, Kota

Sukabumi, Bogor,

Purwakarta, Jakarta

Timur, Bondowoso,

Lamongan, Tuban, Kota

Kediri. Ngawi, Wonogiri,

Blora, Kota Magelang,

Jepara, Sukoharjo,

Banggai, Paso, Donggala,

Kota Gorontalo, Buton,

Kola Kendari, Gianyar,

Tabanan, Jembrana,

Bangli, Jaya wijaya,

Maluku Utara

Kota Sabang,

Payakumbuh, Pessr

Selatan, Padang Panjang,

Kota Solok, Tanah Datar,

Kab. Labat, Belitung,

Bengkulu Utara, Bkulu

Selatan, Rejang Lebong,

Majalengka, Jakarta Bara

Sumenep, Nganjuk,

Magetan, Kediri. Bantul,

Gunung Kidul

Pekalongan, Groboga

Rembang, Salatiga, Pati,

Rembang, Salatiga, Pati,

Batang, Demak, Barita

Selatan, Palangkaraya,

Tabalong, Tanah Laut,

Hulu Sungai Utara, Barib

Kuala, Pasir, Tarakan,

Berau, Maras, Takalar,

Luwu, Bima

Rendah

Kota Banda Aceh, Kota

Jambi, Balikpapan.

Aceh Trimur, Aceh

tengah, Aceh Barat.

Asahan, Kerinci, Kab.

Pasuruan, Kota

Probolinggo, Pacitan, Kota

Tegal, Kapuas, Kota

Waringin Barat.

Bengkayang, Sanggau,

Pontianak, Klungkung,

Badung, Dompu

Aceh Besar, Pidie,

Simeulue, Aceh Selatan,

Sawahlunto, Indragiri

Hilir, Bangko,

Tanjung Jabung, Bungo

Tebo, Musi Banyuasin,

Lebak, Pasuruan, Kota

Mojokerto, Gresik,

Pemalang, Barito Utara,

Kapuas Hulu, Hulu S.

Selatan, Hulu S. Tengah,

Bulungan, Buol Toli-toli,

Kab. Gorontalo, Mamuju,

Sinjai, Lombok Timur.



Tabel 2 Komposisi Kemampuan Daerah dan Potensi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Urusan Kepariwisataan



Potensi Birokrasi

Jumlah



Tinggi

Sedang

Rendah

Kemampuan

Daerah

Tinggi

22

(11,22 %)

23

(11,73 %)

10

(5,10 %)

55

(28,06 %)

Sedang

14

(7,14 %)

40

(20,40 %)

41

(20,91 %)

95

(48,46 %)

Rendah

3

(1,53 %)

17

(8,67 %)

26

(13,26 %)

46

(23,46 %

Jumlah

39

(19,89 %)

80

(40,81 %)

77

(39,28 %)

196

(100,00 %)


Pertama, bahwa hanya sebesar 28 persen dari 196 Diparda kabupaten/kota yang memiliki kemampuan tinggi dan sebagian besar atau 49 persen mempunyai kemampuan menengah, dan sebagian kecil atau 23 persen lainnya hanya berkemampuan rendah. Apabila standar kemampuan tinggi ini digunakan sebagai syarat institusional birokrasi kepariwisataan untuk memenangkan kompetisi global dan menjadi ukuran sukses penyelenggaraan good governance, maka terlihat betapa realitas objektif birokrasi pariwisata kita masih jauh dari kesiapan yang dibutuhkan. Artinya, hanya sebagian kecil daerah memiliki peluang yang relatif baik untuk menembus pasar global dan menjalankan good governance tadi.

Kedua, ternyata kemampuan birokrasi pariwisata tidak saja berbeda secara nasional tetapi juga di tingkat provinsi. Hal tampak dari data yang menunjukkan bahwa tidak semua kabupaten/kota dalam setiap provinsi terwakili dalam kelompok daerah yang kemampuan birokrasinya tinggi. Perbedaan tersebut diduga terkait dengan realitas sejauhmana sektor pariwisata memperoleh skala prioritas yang tinggi dalam pembangunan daerah setempat.

Ketiga, menarik untuk diamati bahwa tidak satupun dari 9 kabupaten dan kota di Provinsi Bali yang birokrasi pariwisatanya memiliki kemampuan tinggi. Bali, atau lebih khusus lagi kabupaten seperti Tabanan, Gianyar, Bangli, Jembrana, dan Buleleng, yang memiliki usia sejarah kepariwisataan cukup lama (Noronha, 1979; Vickers, 1996) ternyata kemampuan birokrasi Dipardanya masih di bawah beberapa kabupaten/kota di luar Bali yang sebaliknya justru tergolong "belum berpengalaman dalam bidang kepariwisataan" di tingkat nasional seperfi Cianjur, Subang, atau bahkan Pare-Pare. Fakta menjelaskan bahwa perjalanan sejarah kepariwisataan yang cukup panjang di suatu daerah ternyata belum dapat menjadi garansi bagi - atau paling tidak diikuti oleh - kemampuan birokrasi yang memadai dalam urusan kepariwisataan.

Keempat, dari 196 daerah tersebut hanya sekitar 20 person (n = 39) yang memiliki potensi tinggi di sektor kepariwisataan. Hal ini menunjukkan sebenarnya hanya seperlima daerah tingkat dua di seluruh Indonesia yang berpeluang besar memasuki persaingan global, khususnya dalam urusan kepariwisataan. Lebih khusus lagi, Batam yang selama ini merupakan salah satu pintu masuk utama wisatawan mancanegara ke Indonesia ternyata tidak masuk ke dalam kategori daerah yang mempunyai potensi tinggi dalam urusan kepariwisataan. Sebaliknya justru daerah yang sangat jarang disebut dalam wacana pariwisata nasional seperti Kota Bengkulu dan Kabupaten Serang terbukti berpontensi tinggi.

Kelima, ada kecenderungan bahwa potensi yang tinggi tidak berkorelasi positif dengan kemampuan birokrasi. Seperti ditampilkan dalam tabel di atas, hanya 22 daerah atau 11 persen yang memiliki potensi kepariwisataan tinggi sekaligus kemampuan birokrasi pariwisata yang tinggi pula. Di samping tiga daerah sebenarnya mempunyai potensi tinggi dalam sektor kepariwisataan namun kemampuan birokrasinya tergolong rendah. Kemudian sekitar 5 persen daerah mempunyai kemampuan birokrasi tinggi tetapi potensi kepariwisataannya rendah. Daerah yang baik potensi maupun kemampuannya sama-sama rendah tercatat sebesar 13 persen.

Penutup
Temuan di atas menunjukkan bahwa secara umum sumber daya di sektor pariwisata nasional dan lokal masih memiliki banyak kelemahan. Meskipun pada tingkat nasional kebijakan pembangunan kepariwisataan sudah lama menegaskan pentingnya kesiapan daerah, terutama dalam rangka otonomi, tampaknya realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Meskipun temuan ini tidak dapat dijadikan sebagai bahan untuk menggeneralisasikan keadaan birokrasi pemerintahan di daerah, setidaknya ia memberikan petunjuk bahwa di tengah kebutuhan profesionalisme birokrasi pemerintah untuk menyongsong era perdagangan bebas atas hampir semua komoditas dan pelaksanaan otonomi daerah, sesungguhnya tersembunyi persoalan besar yang mau tidak mau perlu mendapat penanganan serius.

Dalam konteks kemampuan birokrasi untuk menangani urusan kepariwisataan terbukti belum memadai. Meskipun belum ada informasi dari hasil studi yang komprehensif untuk menemukan alasan mengapa hal itu terjadi, secara hipotetik dapat diajukan penyebabnya, yakni faktor rekrutmen di kalangan birokrasi pariwisata. Diakui atau tidak, terbukti bahwa sebagian besar birokrat di lingkungan entitas birokrasi pariwisata daerah hampir tidak memiliki latar belakang kualifikasi pendidikan dan keahlian di bidang kepariwisataan. Sebagaimana umumnya di dunia birokrasi kita, rekrutmen dan karir pejabat sangat bergantung pada pangkat dan golongan, plus loyalitas pada atasan yang relevansinya dengan kompetensi amat kabur.

Oleh karena itu, bila benar sistem rekrutmen merupakan salah satu sebab masih terbatasnya kemampuan birokrasi memfasilitasi penyelenggaraan pariwisata daerah, maka menata sistem rekrutmen dan struktur baru merupakan keniscayaan. Penataan yang dimaksud bukan saja pada struktur organisasinya, melainkan struktur profesi birokrasi. Menetapkan standar kompetensi bagi aparatur birokrasi pariwisata di berbagai level semestinya juga menjadi agenda mendesak bagi peningkatan kapasitas SDM di tingkat birokrasi. Sambil tentu saja menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dengan modus dan materi yang relevan.

Di era otonomi daerah pemerintah daerah merniliki keperluan untuk mengagendakan peningkatan kemampuan birokrasinya. Hanya dengan pengagendaan dan kerja keras untuk meningkatan kemampuan kinerja kebijakan pariwisata yang sudah menggembirakan bisa dipertahankan.

Daftar Pustaka
Brohrnan, J, (1996). ‘New Directions in the Third World Tourism.‘ Annals of Tourism Research, Vol. 23 No. 1 Tahun 1996, hal. 48-70.

De Kadt, Emanuel, (1979). Tourism Passport to Development? Perspectives on the Social and Cultural Effects of Tourism in Developing Countries. Diterbitkan untuk the World Bank and Unesco oleh Oxford Uni¬versity Press, Washington D.C.

Deparsenibud-PUSPAR UGM, (1999). Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Parpostel Sampai Pelita VI dan Rencana Penyerapan Pelita VII pada Sektor Parsenibud. Laporan Penelitian.

Deparsenibud-PUSPAR UGM, (2000). Rencana Teknis Standar Klasifikrasi Otonomi Daerah Tingkat II Urusan Kepariwisataan. Laporan Penelitian.

Deparsenibud, (2000). Pariwisata Indonesia 1999. Ditjenpar-Departemen Pariwisata Seri dan Budaya Republik Indonesia.

Hendarti, T. (2001). Kebijakan Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Bidang Pariwisata.‘ Makalah dalam Seminar Pariwisata yang diselenggarakan oleh jogja Tourism Training Center di Yogyakarta, 21 Juli 2001.

Latham, J., (1994). ‘Forecast of International Tourism.‘ Tourism Recreation and Hospitality Management Vol. 6, John Willey and Sons, Chichester.

Lengkeek, Jaap, (1997). Tourism Development and Community Involvement. (bahan diskusi tidak dipublikasikan). Wageningen Agri-cultural University.

Noronha, R, (1979). ‘Paradise Reviewed : Tourism in Bali.‘ Dalam E. de Kadt, (ed). Tourism Passport to Development? Oxford: Oxford Uni¬versity Press.

Opaschowski, H., (1996). Tourismus Eine Systematische Einfuehrung. Leske+Bud rich: Opladen.
Parwoto, W., (2001). ‘Birokrasi dan Kebijakan Pariwisata Indonesia Menghadapi AFTA 2003.‘ Makalah dalam Seminar Pariwisata yang Diselenggarakan oleh Jogja Tourism Training Center di Yogyakarta, 21 Juli 2001.

Priowanto, G.H., (2001). ‘Birokrasi dan Kebijakan Pariwisata Indonesia Menghadapi AFTA 2003.‘ Makalah dalam Seminar Pariwisata yang Diselenggarakan oleh jogja Tourism Training Center di Yogyakarta, 21 Juli 2001.

TIES, The International Ecotourism Society, www.ecotour.org

UNDP-KMNLH, (2000). Agenda 21 Sektoral, Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral, Jakarta.

Vickers, A. (1996). Bali: A Paradise Created. Hongkong: Peripulus Edi¬tion.
___________
Hendrie Adji Kusworo adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Iimu Politik, Berta Kepala Pusat Studi Pariwisata pada UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta. Janianton Damanik adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Iimu Politik, Universitas Sumatra Utara, Medan.

Sumber: Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 6, No. 1, Juli 2002 dan dipublikasikan juga di http//i-lib.ugm.ac.id