Pemanfaatan Peninggalan Arkeologis Kolonial di Kota Bengkulu


Oleh: Aryandini Novita

I. Pendahuluan
Kedatangan bangsa Eropa di Bengkulu meninggalkan banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang sangat berpotensial untuk dimanfaatkan, antara lain sebagai obyek wisata. Peninggalan arkeologis tersebut secara umum dapat dikategorikan sebagai bagian dari komponen kota pada masa lalu, seperti bangunan pertahanan, bangunan pemerintahan, bangunan religi, dan bangunan hunian. Secara kronologis, peninggalan-peninggalan arkeologis kolonial di Bengkulu memiliki rentang waktu yang sangat panjang, yaitu sejak berkuasanya bangsa Inggris hingga pemerintahan Hindia-Belanda.

Bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Bengkulu adalah Belanda, tepatnya pada tahun 1624. Meskipun demikian, Belanda baru diperbolehkan mendirikan kantor dagangnya pada tahun 1664, setelah diadakan penandatanganan perjanjian dengan Kerajaan Selebar (tahun 1660). Pada tahun 1670, terjadi perselisihan antara Belanda dengan Selebar yang mengakibatkan Belanda harus angkat kaki dari Bengkulu. Setelah Belanda meninggalkan Bengkulu, bangsa Eropa lainnya yang melakukan hubungan dagang di wilayah tersebut adalah Inggris.

Kedatangan Inggris di Bengkulu pada tahun 1685 ini ditunjang oleh sebuah peristiwa, di mana Banten saat itu telah menandatangani perjanjian dengan Belanda yang isinya memberikan hak monopoli perdagangan kepada Belanda. Selain itu, pihak Bengkulu sebenarnya juga berkeinginan untuk mengadakan hubungan dagang dengan Inggris, terbukti dengan dikirimnya undangan untuk berdagang di wilayah tersebut kepada pusat perdagangan Inggris di Madras.

Usaha monopoli perdagangan lada di Bengkulu yang dilakukan Inggris adalah melalui perjanjian dengan penguasa Selebar. Isi perjanjian tersebut berisi ketentuan bahwa Selebar harus memberikan konsesi kepada Inggris berupa tanah di dekat pelabuhan Kota Selebar dengan tujuan agar dibangun gudang¬-gudang penyimpanan dan bangunan-bangunan lain yang berhubungan dengan kegiatan dagang mereka.

Kekuasaan Belanda di Bengkulu secara de facto dan de jure dimulai pada tahun 1824, yang ditandai dengan ditandatanganinya Traktat London (17 Maret 1824). Traktat London berisi tentang serah terima daerah koloni antara Inggris dan Belanda. Bengkulu sebagai koloni Inggris ditukar dengan Malaka, koloni Belanda di semenanjung Malaya. Akhir masa kekuasaan Belanda terjadi pada tahun 1942, dengan pengalihan kekuasaan di Bengkulu ke tangan Jepang.

II. Sumber Daya Arkeologi di Kota Bengkulu
Hasil penelitian arkeologi menunjukkan bahwa dalam menata Kota Bengkulu, bangsa Inggris mengatur penempatan ruang kota berdasarkan pada basis perekonomiannya, yaitu pelayaran dan perdagangan. Hal ini terlihat dari penempatan kawasan pemerintahan yang berada ± 500 m dari tepi Pantai Teluk Bengkulu (Novita, 1998: 29). Setelah pergantian kekuasan dari pihak Inggris kepada pemerintah Hindia-Belanda, terlihat pemerintah Hindia-Belanda tetap meneruskan fungsi dari komponen-komponen Kota Bengkulu seperti sediakala, namun dengan penambahan beberapa komponen yang disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu.

Secara keseluruhan, peninggalan-peninggalan arkeologis kolonial yang masih dapat ditemukan di Kota Bengkulu adalah:

1. Benteng Marlborough
Secara umum, Benteng Marlborough mempunyai denah yang ber¬bentuk segi empat. Benteng ini mempunyai bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya berupa bangunan yang terpisah dan berdenah segi tiga. Benteng Marlborough mempunyai parit keliling yang mengikuti denah benteng. Parit tersebut juga memisahkan bangunan induk dengan bangunan depan. Kedua bangunan tersebut dihubungi oleh sebuah jembatan (Novita, 1997).

Pada bangunan depan, terdapat pintu masuk yang berbentuk lengkung sempurna. Bangunan ini tidak mempunyai ruangan, hanya berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung. Pada dinding lorong tersebut, terdapat 4 buah nisan, 2 buah nisan berasal dari masa Benteng York dan yang lainnya berasal dari masa Benteng Marlborough. Pada nisan-nisan tersebut, tertera nama George Shaw-1704; Richard Watts Esq-1705; James Cune-1737; Henry Stirling–1774 (Novita, 1997).

Pada bagian atas bangunan ini, terdapat tembok keliling yang mempunyai celah-celah berbentuk segi tiga yang berfungsi sebagai celah intai. Pada bagian belakang bangunan, terdapat 3 buah makam dengan nisan yang terbuat dari batu tetapi sudah tidak dapat dibaca lagi (Novita, 1997).

Bastion-bastion Benteng Marlborough terdapat di sudut utara, selatan timur, dan barat. Bastion-bastion ini berdenah segi lima, di bagian atasnya terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai. Lantai bagian ini terbuat dari tegel berglasir coklat. Pada bastion selatan masih terlihat sisa rel meriam yang berbentuk lingkaran. Pada dinding sisi utara bastion selatan dan timur menempel 8 buah cincin besi yang masing-masing berjarak 1 m (Novita, 1997).

Pada bastion-bastion ini, terdapat beberapa ruangan, yaitu pada bastion utara dan bastion barat. Ruangan di dalam bastion utara terdiri dari 2 kamar. Langit-langit ruangan ini berbentuk lengkung dan memiliki lubang berdiameter 80 cm yang menembus sampai bagian atas bastion. Ruangan di dalam bastion barat mempunyai 2 kamar yang berfungsi sebagai penjara yang letaknya saling berhadap-hadapan. Pada salah satu penjara yang letaknya lebih rendah, terdapat lorong yang di langit-langitnya terdapat lukisan binatang yang terbuat dari arang (Novita, 1997).

Di dalam Benteng Marlborough, juga terdapat beberapa bangunan, yaitu di antara bastion utara dan timur, di antara bastion selatan dan barat, dan di antara bastion selatan dan timur. Bangunan di antara bastion utara dan timur mempunyai denah persegi panjang dan terbagi dua yang dipisahkan oleh lorong menuju pintu belakang benteng. Bangunan di sebelah kiri terdiri dari 3 ruang, sedangkan bangunan di sebelah kanan terdiri dari 4 ruangan. Pada umumnya, jendela-jendela pada bangunan ini berbentuk persegi panjang. Pada bagian atas bengunan ini terdapat atap yang berbentuk pelana dan pada bagian belakangnya terdapat lorong selebar 1 m (Novita, 1997).

Bangunan diantara bastion selatan dan barat berdenah persegi panjang dan terbagi dua yang dipisahkan oleh lorong yang menuju pintu gerbang utama. Pintu utama tersebut berbentuk lengkung dan dihiasi oleh tiang semu. Bangunan sebelah kiri terdiri dari 3 ruangan yang disekat oleh tembok. Umumnya jendela dan pintu bangunan ini berbentuk lengkung. Pada ruangan ketiga terdapat pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dengan ruang dalam bastion barat (Novita 1997).

Bangunan sebelah kanan terdiri dari 7 ruangan yang disekat dengan tembok. Seperti pada bangunan di sebelah kiri, umumnya jendela dan pintunya berbentuk lengkung. Pada salah satu ruangan terdapat lukisan kompas dan tulisan berbahasa Belanda yang dibuat dengan cara menggoreskannya di tembok. Bagian atas bangunan antara bastion selatan dan barat ini tidak beratap, tetapi berupa lantai yang diberi tegel berglasir coklat. Pada bagian ini, terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai (Novita, 1997).

Bangunan di antara bastion timur dan selatan berdenah persegi panjang dan berupa 1 ruangan yang panjang. Jendela-jendela dan pintu pada bangunan ini berbentuk lengkung. Bagian atas bangunan tidak memiliki atap, tetapi berupa lantai yang diberi tegel berglasir coklat. Sama seperti bangunan di antara bastion selatan dan barat, pada bagian atas bangunan ini terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai. Pada bagian depan bangunan ini, terdapat sebuah sumur yang berdiameter 1 m. Dinding sumur ini terbuat dari bata dengan pola ikat dinding Inggris (Novita, 1997).

Lingkungan sekitar Benteng Marlborough merupakan daerah pemukiman. Terlihat keberadaan benteng ini lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Keletakan benteng berada di ± 18 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara benteng, terdapat sebuah bukit kecil yang dikenal dengan nama Tapak Padri. Berdasarkan pengamatan dari bukit tersebut, wilayah perairan Bengkulu dapat teramati sampai P. Tikus. Hal ini juga ditunjang berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of South East Asia in The India Ofice Library, yang menerangkan bahwa bukit ini digunakan juga oleh Inggris (EIC) untuk mengawasi perairan di sekitar Benteng Marlborough (Novita, 1997).

2. Tugu Thomas Parr
Tugu Thomas Parr terletak di sebelah tenggara dan berjarak 170 m dari Benteng Marlborough. Keletakan geografis tugu ini adalah 03o47‘19,16" LS dan 102o15‘04,1" BT. Tugu ini berupa bangunan monumental untuk memperingati residen EIC yang tewas dibunuh rakyat Bengkulu (Novita, 1997).

Tugu ini berdenah segi 8 dan mempunyai tiang-tiang bergaya corintian. Pintu masuk pada tugu ini terdapat di bagian depan dan sisi kanan dan kiri. Bentuk dari pintu masuk ini adalah lengkung sempurna dan tidak mempunyai daun pintu. Pada salah satu dinding di ruang dalam tugum terdapat sebuah prasasti, tetapi pada saat ini sudah tidak dapat dibaca lagi. Bagian atas tugu mempunyai atap yang berbentuk kubah (Novita, 1997).

Berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of Sotut East Asia in The India Office Library, terlihat di lokasi tugu ini terdapat Gedung Pemerintahan dan Gedung Dewan EIC. Pada saat ini, sisa-sisa kedua bangunan tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi karena lokasi tersebut sudah merupakan kawasan pertokoan dan pusat pemerintahan Dati I Bengkulu (Novita, 1997).

3. Kompleks Makam Jitra
Kompleks makam ini berjarak 640 m di sebelah timur Benteng Marlborough dengan keletakan geografis 03o47‘37,1" LS dan 102o15‘12,2" BT. Kompleks makam ini berada di tengah-tengah pemukiman. Pada kompleks makam ini, terdapat 15 buah makam dengan bentuk makam yang berupa bangunan monumental. Pada beberapa bangunan, terlihat ada lebih dari 1 nisan, umumnya terdapat 2 sampai 4 nisan. Berdasarkan pembacaan terhadap nisan-nisan yang terdapat di kompleks makam ini, diketahui bahwa kronologi dari nisan-nisan tersebut berkisar antara tahun 1775 sampai 1940 (Novita, 1997).

Dari pengamatan terhadap kronologi nisan, diperkirakan bahwa kompleks makam ini juga digunakan ketika Belanda menguasai Bengkulu. Hal ini terlihat dari nama dan bahasa yang terdapat pada nisan-nisan tersebut. Pada nisan-nisan yang tertua sampai awal abad XIX, tercantum nama-nama orang Inggris dan keterangan-keterangan lainnya ditulis yang dalam Bahasa Inggris; sedangkan pada nisan-nisan yang lebih muda, nama-nama yang tercantum adalah nama-nama orang Belanda dan keterangan-keterangan lainnya yang ditulis dalam bahasa Belanda (Novita, 1997).

4. Permukiman Cina
Permukiman Cina terletak di sebelah selatan dan berjarak 190 m dari Benteng Marlborough. Secara geografis, permukiman ini berada di 03o47‘15,9" LS dan 102o15‘02,6" BT. Berdasarkan data sejarah, kawasan ini merupakan pemukiman Cina sejak masa kolonial Inggris. Keterangan ini mendukung keberadaan peninggalan-peninggalan arkeologis di kawasan tersebut yang berupa rumah tinggal yang mempunyai arsitektur Cina (Novita, 1997).

Terhitung ada 20 buah rumah tinggal yang berarsitektur Cina di kawasan ini. Rumah¬-rumah tersebut umumnya memanjang ke arah belakang, bertingkat 2, dan mempunyai atap melengkung. Terlihat juga rumah-rumah tersebut memakai hiasan terawangan yang terdapat di atas jendela yang berfungsi sebagai ventilasi yang umum pada arsitektur Cina (Novita, 1997).

5. Gedung Pengadilan
Bangunan bekas gedung pengadilan kuno ini berada di tengah kota lama, di pinggir pantai pada ketinggian 3, 20 m di atas permukaan air laut. Jarak dari tepi laut kurang lebih 110 m. Letak bangunan ini dekat dengan Benteng Marlborough, kira-kira 50 m ke arah timur. Di belakang bangunan bekas gedung pengadilan ini terdapat pusat pertokoan. Di halaman depan terdapat kantor kelurahan, sedangkan di samping kanan dan kiri merupakan satu kesatuan terdapat gedung yang sekarang dipakai sebagai gudang semen, bangunannya membentuk huruf U. Belum diketahui secara pasti tahun pendirian bangunan tersebut (Darmansyah, 2002).

Berdasarkan laporan tentang Bengkulu oleh Van Der Vinne, seorang pejabat kolonial Belanda tahun 1843, disebutkan:

Di dekat Benteng Marlborough terdapat Kampung Cina yang dilintasi oleh jalan yang buruk karena tidak terawat. Di jalan tersebut sering dijumpai kerbau dan sapi, di sisi kanan jalan ada rumah sakit, di belakang rumah sakit ada rumah tahanan. Di sisi kiri jalan terdapat raad huis (Balai Kota). Raad huis bertingkat dua, bagian bawah dipakai untuk kantor Ambtenar dan ruang atas untuk Sidang Pangeran (Pangheran). Di depan raad huis terdapat taman yang luas dan bagus, terdapat taman gubernuran dan tempat tinggal asisten residen. Di tengah taman ada rumah kecil yang indah digunakan untuk Gereja dan sekolah.

Atas dasar keterangan dari Van der Vinne ini, kemungkinan yang disebut dengan raad huis adalah bangunan gedung pengadilan kuno tersebut, sebab gedung pengadilan kuno ini juga bertingkat dua dan merupakan satu-satunya gedung pengadilan peninggalan kolonial yang ada di Kota Bengkulu (Darmansyah, 2002).

Pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1 930-an, gedung ini dipakai untuk kantor HPB (Hoofd van Plaatschelijke Berstuur) atau pemerintahan kota, kantor demang, dan Landraat (pengadilan). Sedangkan bangunan di sebelah kanan gedung disebut lout regi, yang dipakai untuk gudang garam, gudang sebelah kiri disebut opium regi yang dipakai untuk gudang candu (Darmansyah, 2002).

6. Kantor Pos
Gedung kantor pos terletak di sekitar areal gubernuran diapit oleh Pasar Baru dan tugu Thomas Parr. Gedung ini berjarak sekitar 300 m dari Benteng Marlborough. Melihat model dan gaya bangunannya, diperkirakan bangunan ini dibangun pada akhir abad ke-XIX dan awal abad ke-XX di masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini diperkuat oleh laporan Van Der Vinne tahun 1843, yang tidak menyebutkan keberadaan bangunan ini di Bengkulu pada saat itu (Darmansyah, 2002).

Bangunan bergaya Eropa ini tidak berkaki, dengan dinding polos. Bentuk pintu persegi panjang berbahan kayu yang tebal, bentuk jendela persegi panjang berbahan kayu dan kaca, berdaun tunggal, terdapat ventilasi. Atap bangunan berbentuk limas. Bahan pondasi adalah batu, bahan dinding adalah batu, bata dan kayu, sedangkan bahan bingkai pintu adalah kayu. Pola bangunannya adalah geometris (Darmansyah, 2002).

7. Rumah Pengasingan Bung Karno
Rumah Pengasingan Bung Karno saat ini berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka. Rumah ini pada awalnya adalah rumah tinggal orang Cina yang bernama Tan Eng Cian, yang bekerja sebagai penyalur bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno menempati rumah tersebut dari tahun 1938 hingga tahun 1942. Rumah ini berjarak sekitar 1,6 km dari Benteng Malborough. Rumah yang berada dalam koordinat 0,3o 47l 85,1ll Lintang Selatan 102o15l 41,7ll Bujur Timur ini berada di ketinggian 64 m di atas permukaan laut (Darmansyah, 2002).

Melihat gaya bangunannya, rumah ini diperkirakan dibangun pada abad ke-XX. Denah bangunan ini adalah empat persegi panjang. Bangunan ini tidak berkaki. Dindingnya polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan bentuk persegi panjang. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada ventilasi terdapat kisi-kisi berhias. Bentuk atap limas (Darmansyah, 2002).

Luas bangunan rumah ini adalah 162 m2, dengan ukuran 9 x 18 m dan mempunyai halaman. Luas tanah keseluruhan adalah 40.434 m2 . Pada saat ini, luasnya tinggal 10.000 m2 sebab halaman depan terpotong untuk pelebaran jalan (Darmansyah, 2002).
8. Rumah Yayasan St. Carolus
Rumah Yayasan St. Carolus berfungsi sebagai kantor yayasan katholik yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Bangunan ini berlokasi di Jalan Todak Pasar Baru, Bengkulu. Ciri-ciri dari bangunan ini antara lain bentuk pintu masuknya persegi panjang, bentuk jendela membulat, dan terdapat ventilasi udara. Pada bangunan tersebut, terdapat tanda kontraktor yang membangunnya, yaitu:

ARCH.EN.INGRS.BUR:
FER MONT – CUYPERS

Tanda ini berarti bangunan tersebut dirancang dan dibangun oleh Biro arsitek Fermont & Ed. Cuypers. Biro arsitek Fermont & Ed. Cuypers berdiri pada tahun 1910. Biro arsitek yang berkantor di Weltevreden (suatu daerah di Batavia) ini menjadi biro arsitek terbesar di Hindia Belanda antara tahun 1919-1930-an. Hampir semua gedung misi katholik, yang tersebar di kota-kota besar di Hindia Belanda, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan, dirancang oleh biro arsitek ini (Darmansyah, 2002).

Pada dekade tahun 1 930-an, berkembang gaya arsitektur kolonial modern dengan ciri menonjol adalah volume bangunan berbentuk kubus dengan atap limas dan dinding berwarna putih. Ciri-ciri bangunan tersebut sesuai dengan bentuk bangunan Yayasan Katolit St. Carolus (Darmansyah, 2002).

9. Masjid Jamik Bengkulu
Masjid Jamik Bengkulu berlokasi di Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka. Masjid ini berada pada koordinat 03o 47l 32ll Lintang Selatan dan 102o 15l 44,3ll Bujur Timur. Masjid ini berada pada ketinggian 20 m di atas permukaan laut. Berjarak 1,2 km dari Benteng Marlborough (Darmansyah, 2002).

Pada abad XIX, bangunan masjid berbentuk sederhana dengan bangunan berbahan kayu dan beratap rumbia. Pada awal abad ke-XX, masyarakat membangun masjid tersebut menjadi lebih baik dengan cara swadaya. Bagian dinding diganti dengan tembok, dan bagian atap diganti dengan seng, sekaligus memperluas masjid tersebut. Pada tahun 1938, bangunan masjid didesain ulang oleh Bung Karno dengan biaya ditanggung oleh masyarakat sendiri. Bung Karno sebagai arsitek bangunan tersebut tidak merubah secara keseluruhan, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dirubah dan ditambah. Bagian dinding masjid ditinggikan 2 meter, dan bagian lantai ditinggikan 30 cm. Bung Karno memberikan ciri khas pada bagian atap dengan membentuk atap limasan kerucut dengan memberikan celah pada pertengahan atap sebagai sentuhan arsitektur tersendiri. Pada beberapa bagian bangunan ditambah tiang dengan ukiran dan pahatan berbentuk sulur¬-sulur di bagian atasnya dan dicat dengan warna emas (Darmansyah, 2002).

10. Makam Sentot Alibasyah
Sentot Alibasyah adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi di Sumatra Barat. Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi, akhirnya Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu (Darmansyah, 2002).

Makam Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara. Makam ini terletak pada koordinat 03o 47l 20,7ll Lintang Selatan dan 102o 15l 48,4ll Bujur Timur. Pada masa kolonial Belanda, letak makam ini berada agak di luar kota. Saat ini, karena adanya perluasan kota, makam ini berada di dalam kota (Darmansyah, 2002).

Pada makam Sentot, tertulis tanggal pemakaman 17 April 1885. Makam ini berada di ketinggian 38 m di atas permukaan laut. Berjarak sekitar 1,2 km dari Benteng Marlborough. Bangunan cungkup makam Sentot Alibasyah bergaya bangunan “tabot” dan memiliki keistimewaan, yaitu di dalam cungkup tidak memperlihatkan adanya nisan kubur, sebagaimana biasanya kuburan Muslim di Indonesia. Cungkup ini berukuran 570 x 420 cm, dan berdenah empat persegi panjang dengan pilar-pilar pada beberapa bagian cungkup. Bagian pusat (makam) juga berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 327 x 184 cm (Darmansyah, 2002).

III. Pembahasan
Dalam UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Sampai saat ini, terlihat di beberapa daerah di Indonesia masih cenderung hanya mempromosikan keadaan alam dan hasil budaya yang tak teraba (intangible), seperti seni pertunjukan atau adat istiadat suatu suku bangsa saja. Padahal di samping obyek-obyek wisata tersebut, peninggalan budaya materi juga merupakan aset yang sangat potensial untuk dijadikan obyek wisata karena para wisatawan dapat melihat gaya arsitektur masa lalu yang merupakan bagian dari lembaran sejarah bangsa, khususnya di Kota Bengkulu. Selain itu, peninggalan budaya materi tersebut juga adalah warisan budaya yang merupakan hasil proses sejarah yang berlangsung di daerah setempat.

Pada dasarnya, pariwisata dikembangkan oleh banyak negara sebagai salah satu alternatif dalam pembangunan ekonominya. Berkenaan dengan hal itu, melihat keadaan geografis Kota Bengkulu yang terletak di tepi pantai Samudera Indonesia dan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis yang cukup beragam serta adanya perayaan tabot yang merupakan tradisi tahunan yang selalu dirayakan oleh masyarakat setempat, maka tidak dapat disangkal lagi jika pariwisata dapat dijadikan aset yang sangat potensial untuk dijadikan salah satu sumber pendapatan daerah.

Keberadaan peninggalan arkeologi tersebut menjadi kurang berarti jika tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Pengalihan fungsi bangunan-bangunan tua menjadi bangunan fasilitas umum dapat dilakukan sepanjang tidak mengalami perubahan bentuk dan sebelumnya dilakukan studi kelayakan terhadap bangunan tersebut. Selain itu, di wilayah obyek-obyek wisata budaya selayaknya dilakukan pemintakatan menjadi beberapa mintakat, yaitu mintakat inti, penyangga, dan pengembang. Mintakat inti adalah peninggalan arkeologis itu sendiri yang merupakan obyek utama dari tujuan wisata, mintakat penyangga merupakan wilayah di sekeliling situs yang berfungsi untuk menekan konsentrasi arus pengunjung ke zona inti sehingga kelestarian situs tetap terjaga, serta mintakat pengembangan merupakan lahan fasilitas yang sebagian besar arealnya digunakan untuk pembangunan prasarana dan sarana pengunjung (Kasnowihardjo, 2001: 19).

Sangat disadari dalam pengembangan wisata budaya perlu diadakannya kerja sama lintas sektoral, karena itu diperlukan suatu konsep strategi dan program yang terkoordinasi karena pada dasarnya pemanfaatan peninggalan arkeologis sebagai obyek wisata berkaitan erat dengan kelestarian peninggalan tersebut. Pemahaman kaidah-kaidah arkeologi dalam pemanfaatan peninggalan arkeologis yang dijadikan obyek wisata pada dasarnya merupakan rambu-rambu dalam pengelolaan obyek wisata tersebut karena selain dapat menambah sumber pendapatan, pemerintah daerah setempat atau pihak pengelola seharusnya juga melestarikan warisan budaya bangsa.

IV. Penutup
Pemanfaatan peninggalan arkeologis untuk dikembangkan menjadi obyek wisata mempunyai keuntungan yang cukup banyak karena selain berekreasi para wisatawan juga dapat mengetahui sejarah daerah tersebut. Pemanfaatan ini dapat dijadikan sumber pendapatan daerah setempat. Selain itu, pemanfaatan tersebut juga merupakan media untuk menyebarluaskan informasi budaya masa lalu kepada masyarakat luas. Melalui penyebarluasan ini selayaknya masyarakat akan lebih mengetahui sejarah daerah setempat yang juga merupakan bagian dari lembaran sejarah budaya bangsa.

Daftar Pustaka
Darmansyah. 2002. Survei Bangunan Kolonial Pada Masa Kolonial Belanda (1 825-1942) di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. (tidak diterbitkan).

Kasnowihardjo, Gunadi. 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Novita, Aryandini. 1997. Laporan Penelitian Arkeologi Kolonial di Kotamadya Bengkulu. (tidak diterbitkan).

Undang-Undang RI No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan

t.p. 2003. Konsepsi Pembangunan Kepariwisataan Indonesia. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
__________
Sumber: www.budpar.go.id/filedata/3074_1038-wisatabkl1.pdf
Foto : http://matanews.com