Pasar Johar Kampung Pedagang


Oleh: Sohirin
Semarang - Jika Anda berdiri di lantai dua Pasar Johar, angin sepoi-sepoi menyapu wajah. Angin itu menelusup di sela-sela dagangan dan pengunjung yang menyemut. Padahal suhu udara Kota Semarang sekitar 30 derajat Celsius. Inilah kemewahan yang bisa diperoleh di pasar tradisional terbesar di Semarang tersebut.

Sapaan angin sepoi itu bukan keluar dari mesin pendingin ruangan atau kipas angin yang hampir menghiasi setiap kios, melainkan angin yang berembus dari sela-sela atap bangunan pasar yang menjulang, berbentuk puluhan cendawan.

Adalah Herman Thomas Karsten, arsitek yang juga menjabat Kepala Kantor Biro Pembangunan Mclaine Point pada pemerintah kolonial Belanda di Semarang, yang dipercaya merancang arsitektur pasar induk tradisional yang dibangun pada 1937 tersebut.

Ciri khusus arsitektur Pasar Johar terletak pada atapnya yang berbentuk kolom-kolom bak cendawan. Atap yang satu dan lainnya tidak menyatu, tapi saling menaungi. Konstruksi ini memungkinkan udara masuk dari segala penjuru. Meski tanpa mesin penyejuk ruangan, udara segar bisa dinikmati pengunjung. "Semua arsitek karya Karsten selalu cross ventilations. Dengan demikian, udara dan cahaya bebas masuk dari segala penjuru," kata Andi Siswanto, arsitek dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Cross ventilations, Andi melanjutkan, selain menjadikan ruangan hemat energi, cocok untuk kawasan tropis seperti Indonesia. Sayang, kini padatnya pedagang serta ketidakdisiplinan memelihara tata ruang pasar membuat udara tak sesemilir dulu lagi. "Dulu, jangankan kipas angin, kipas dari kertas pun tak pernah kami gunakan," kata Soni Rohani, salah seorang pedagang generasi tertua pasar itu.

Ciri lain arsitektur Pasar Johar adalah adanya ruang kosong (void) di antara lantai satu dan dua, sehingga ada komunikasi visual antara lantai satu dan dua. Karena ruang kosong itu pulalah, pengunjung bisa melihat keunikan atap cendawan.

Tidak hanya aspek ekologi yang dijadikan pertimbangan dalam perencanaan Pasar Johar. Aspek sosiologis juga sangat diperhatikan Karsten. Menurut Andi, Karsten paham betul fungsi pasar dalam tradisi masyarakat Indonesia. Tidak seperti pasar di Eropa pada umumnya, yang hanya memfungsikan pasar hanya sebagai tempat transaksi pedagang dan pembeli. Di Indonesia, pasar tak sekadar tempat transaksi, tapi juga sebagai ruang terbuka tempat menampung para pedagang nonpermanen (tiban) yang berjualan pada acara tertentu.

Misalnya saat hari pasaran atau pada saat digelar acara tradisi, seperti Garebeg dan Dugderan. Apalagi letak Pasar Johar yang berhadapan dengan Masjid Agung Kauman selalu rutin digelar tradisi Dugderan menjelang tiba bulan puasa. Karena pertimbangan itu pula, sebagian los pasar Johar nyaris tanpa sekat. Tapi kini los terbuka itu menggunakan sekat kios pedagang.

Karsten juga sangat memperhatikan banyaknya perempuan yang menjadi pedagang atau sekadar menjadi buruh gendong. Untuk meringankan mbok-mbok gendhong memanggul bagor, dibuatlah lantai los pasar setinggi lutut orang dewasa. Tujuannya agar buruh gendong tak perlu mengangkat bagor terlalu berat sebelum digendong.

Pertimbangan kesehatan juga sangat diperhitungkan. Mungkin pengunjung tak sadar kenapa los pedagang sayur-mayur dan lauk-pauk ditempatkan di lantai dua? "Ternyata, lalat tidak mampu terbang tinggi. Dengan demikian, ikan dan daging bebas dari serbuan lalat," kata Andi.

Dari sisi material bangunan, Karsten memilih marmer berkualitas sebagai bahan pelapis permukaan dinding, meja utama, serta sebagian lantai. Sedangkan anak tangga dari batu andesit. Tak aneh, dengan bahan bangunan kualitas wahid, hingga usia 70 tahun lebih Pasar Johar masih kukuh berdiri.

Kemasyhuran Pasar Johar hingga ke seluruh Jawa. Pedagang tak cuma datang dari sekitar Semarang, tapi juga dari Solo, Klaten, dan Kudus. Mereka berdagang di Pasar Johar hingga turun-temurun. Bahkan pedagang dari luar Jawa ikut meramaikan. Dulu pedagang dari Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi bisa langsung membongkar kapalnya di Kali Semarang, yang melintas tepat di tepi Pasar Johar. Di atas kali itu ada Jembatan Berok, tak jauh dari Pasar Johar, yang berupa jembatan hidrolik. Saat ada kapal bongkar-muat di pasar Johar, jembatan bisa dibuka, lalu ditutup kembali. "Hingga awal 1970, kapal masih bisa masuk Kali Semarang. Sayang, sekarang sudah dangkal dan jembatan sudah tak bisa dibuka lagi," kata Suparobo, pensiunan TNI asli Semarang.

Selain sebagai tempat berdagang, Pasar Johar merupakan kampung besar tempat bertemunya pedagang dari berbagai daerah. Sumanto, 58 tahun, pedagang asal Klaten, Jawa Tengah, bercerita, setelah mengemasi dagangannya pada sore hari, saat malam datang, dia bersama pedagang lain asyik bercengkerama. Maklum, sebagian pedagang juga menjadikan Pasar Johar sebagai tempat tinggal. Suasana Pasar Johar pada malam hari sangat indah. Lampu gantung berderet di atas los bersinar terang. Tiang segi delapan yang menyangga atap berbentuk cendawan terlihat bak mercusuar. Udara malam yang berembus dari segala penjuru menyapu penat setelah seharian bekerja. "Johar tak hanya sebagai pasar, tapi kampung bagi kami," ucap Sumanto, mengenang.

Suasana tidur berderet sambil menikmati kemegahan Pasar Johar tinggal kenangan. Los dasaran terbuka tempat lapak digelar kini menjadi bangunan kios permanen. Atap-atap kios juga menghalangi lampu listrik yang sebagian sudah hilang.

Sebagaimana pedagang lainnya, Sumanto merasa Pasar Johar kian padat setelah pemerintah setempat mendirikan Pasar Yaik pada 1978, persis di sisi utara Pasar Johar. Kemudian menyusul pembangunan pasar di Kanjengan di sebelah selatan Pasar Johar. Sayang, ramainya kawasan Pasar Johar berbanding lurus dengan kesemrawutan yang kian parah ketika pemerintah kota membiarkan pedagang kaki lima merangsek masuk Pasar Johar. Teras Pasar Johar penuh dengan pedagang kaki lima. "Puncak kesemrawutan terjadi sejak 1985," kata Sony.
Kini kemegahan Pasar Johar nyaris tak bisa dinikmati. Selain berjubelnya sekitar 5.000 pedagang, limpahan air laut (rob) setinggi mata kaki mengepung Pasar Johar tiap sore sejak 1990. Bahkan saat purnama, rob mencapai betis orang dewasa. Kondisi inilah yang membuat Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip melontarkan ide revitalisasi Pasar Johar, yang dicurigai akan membongkar Pasar Johar. Pedagang menolak keinginan Sukawi.

Kini satu-satunya alasan kenapa tiap hari Pasar Johar dipenuhi pengunjung adalah karena tersedia semua kebutuhan masyarakat, dari sandang, pangan, hingga elektronik dengan harga relatif murah. Pasar Johar selalu menjadi tujuan bagi pembeli eceran ataupun grosiran. "Dulu Pasar Johar bisa dinikmati (bangunannya), sekarang hanya untuk belanja," kata Sukarman, 65 tahun, pembeli asal Boyolali yang kini menetap di Semarang.

Pukul empat sore, Selasa lalu, Markesi, salah seorang pedagang buah Pasar Johar di tepi Jalan Agus Salim, buru-buru mengangkat peti buahnya yang berisi jeruk dan peer. Rupanya, air rob mulai muncul dari lubang got. Ia pun melipat celananya setinggi betis.

Tak jauh dari tempatnya berjualan, terdengar suara bening si Walang Kekek, Waljinah, yang menyanyikan tembang legendaris Semarang Kaline Banjir. "Dulu Semarang memang kaline banjir, sekarang pasarnya yang banjir," ujar Markesi.
__________
Sohirin, Penikmat Wisata.
Sumber: www.korantempo.com
Foto : http://2.bp.blogspot.com