Oleh: Bambang Budi Utomo
Seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, sebagai bangsa yang memiliki latar kesejarahan yang panjang, Indonesia mempunyai banyak benda tinggalan budaya masa lampau. Benda-benda tinggalan budaya tersebut ada yang terurus, tetapi ada pula yang tidak.
Untuk apa diteliti dan untuk apa harus diurus, dipelihara, dan dilestarikan? Pertanyaan semacam itu wajar diiucapkan, lebih-lebih dari orang awam.
Ada penjual dan ada pembeli. Punya barang, tetapi tidak punya uang, sementara itu ada yang mau membelinya, kenapa harus tidak terjadi transaksi?
Sejalan dengan melambungnya kebutuhan hidup, pergi pula rasa kecintaan terhadap pusaka warisan budaya. Barang-barang pusaka pun kalau bisa dijual mengapa tidak? Alasan perlu makan dapat mengalahkan peraturan perundangan yang berlaku.
Peristiwa hilangnya arca-arca di Museum Radya Pustaka Solo beberapa waktu lalu merupakan suatu peringatan bahwa benda cagar budaya alias BCB yang menjadi koleksi pribadi atau museum belum tentu aman. Di Indonesia banyak BCB yang menjadi koleksi pribadi konglomerat.
Layaknya John D Rockefeller yang membangun museum di Jerusalem, kolektor di Indonesia juga ikutan membangun museum untuk menempatkan koleksinya. Bedanya, kalau Rockefeller menghibahkan sebagian kekayaannya untuk yayasan museum guna kelangsungan dan pemeliharaan, konglomerat atau kolektor kita tidak.
Manakala kolektor tersebut bangkrut atau meninggal dunia, tidak mustahil BCB yang menjadi koleksinya sedikit demi sedikit terjual. Tidak terjual oleh sang kolektor yang bangkrut, bisa juga terjual oleh ahli warisnya. Dianggapnya BCB yang mereka koleksi merupakan barang investasi, yang kalau bangkrut atau perlu modal, bisa dijual semaunya.
Selain Museum Nasional, di Jakarta terdapat banyak museum yang menjadi tanggung jawab Dinas Permuseuman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pembinaannya oleh Direktorat Permuseuman Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Museum-museum itu ada yang dibentuk atas prakarsa pemerintah, ada juga atas prakarsa pribadi. Museum-museum tersebut antara lain Museum Fatahillah, Museum Keramik, Museum Wayang, Museum Tekstil, dan Museum Adam Malik yang sekarang sudah ditutup.
Peristiwa hilangnya sejumlah koleksi berharga, berupa buku-buku langka, pernah terjadi di Museum Fatahillah. Buku yang hilang itu berjudul Oud en Niew Oost-Indien, ditulis oleh Valentijn, terbitan tahun 1724-1726. Buku yang seluruhnya terdiri atas 8 jilid itu di seluruh dunia hanya ada beberapa kopi.
Satu kopi dari buku tersebut menjadi koleksi Museum Fatahillah, tetapi kini raib entah ke mana. Ironisnya, hilangnya tidak sekaligus, tetapi buku demi buku, berlangsung sejak 2005 hingga ketahuan hilang tahun 2006. Tidak lama setelah diketahui hilang, seseorang menghadiahkan fotokopi buku-buku tersebut kepada Museum Fatahillah. Peristiwa ini tidak dilaporkan kepada polisi, apalagi terungkap oleh pers.
Kasus lain menimpa prasasti Raja Sangkhara, yang merupakan salah satu koleksi penting Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro Nomor 29, Jakarta. Pada sekitar tahun 1980-an prasasti ini masih ada. Begitupun koleksi-koleksi seperti keramik, arca (batu dan logam), lukisan, dan ikon dari berbagai negara. Namun, sejak Museum Adam Malik ditutup tahun 2000 koleksi-koleksi itu tak diketahui lagi keberadaannya.
Contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa di tempat penyimpanan yang selama ini dianggap aman—seperti di museum—bagi keberadaan BCB, ternyata nasib artefak sejarah bangsa juga bisa raib. Bagaimana dengan keraton?
Selain sebagai pusat kegiatan budaya, keraton juga menyimpan koleksi warisan raja-raja pendahulu dari ”raja” yang sekarang. Namun, tak banyak orang tahu bahwa koleksi-koleksi BCB yang ”disimpan” di keraton pun bisa hilang jejaknya.
Salah satu keraton di Pulau Jawa, misalnya, dulu tercatat menyimpan tiga baju zirah (semacam rompi untuk perang). Namun, sekarang ternyata tinggal dua buah, yang menurut orang dalam keraton, satu buah dijual oleh ahli warisnya.
Dokumen penentu
Siapa yang mengatakan BCB itu tidak penting bagi bangsa ini? Banyak bangsa di dunia dalam usahanya menuntut batas wilayah berdasarkan latar sejarah, yang antara lain dari BCB dan dokumen-dokumen sejarah sebelum terbentuknya suatu negara.
Sebut saja Irak. Ketika menganeksasi Kuwait, mereka mengklaim pendudukan tersebut didasarkan atas latar sejarah kewilayahan.
Singapura dan Malaysia juga bersengketa memperebutkan sebuah pulau di perbatasan dengan Negara Bagian Johor. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan meninjau kembali dokumen sejarah ketika Inggris masih berkuasa dan ternyata pulau tersebut masih termasuk wilayah Kesultanan Johor.
Dalam lingkup provinsi atau kabupaten, pada masa pemekaran ini dokumen sejarah dapat menjadi penyelamat sengketa perbatasan. Masalah sengketa ini bisa saja terjadi di daerah pantai timur Sumatera di bekas wilayah Kesultanan Melayu. Sengketa dapat muncul apabila terjadi pemekaran wilayah yang menyangkut perbatasan. Hal itu karena biasanya, salah satu penentu batas wilayah adalah bekas wilayah kesultanan tempo dulu. Kalau dokumennya hilang, tentu saja sengketa tidak kunjung selesai.
Para sejarawan Indonesia menyimpulkan bahwa di Jawa Tengah pada abad VIII terdapat dua dinasti yang berkuasa dan berbeda agama, yaitu Dinasti Sanjaya beragama Hindu dan Dinasti Sailendra beragama Buddha.
Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto dari daerah Pekalongan dan Prasasti Raja Sangkhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, pendapat tersebut kemudian dapat direvisi. Di Jawa Tengah hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra. Raja-raja dinasti ini semula beragama Hindu yang memuja Siwa, kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha Mahayana.
Naskah-naskah sejarah atau dokumen sejarah, baik yang ditulis di kertas maupun dipahatkan pada batu atau logam, jelas merupakan BCB. Dokumen-dokumen ini ada yang disimpan ahli waris dan ada pula yang disimpan di museum-museum.
Namun, apakah dokumen-dokumen ini tinggal dengan aman di tempat yang selayaknya? Tidak mustahil benda-benda tersebut raib, seperti yang terjadi di Radya Pustaka. Orang awam tidak akan tahu benda-benda yang dipamerkan asli atau palsu. Tidak heran pula jika di Riau, saat ini banyak naskah Kesultanan Melayu yang dikuasai oleh pribadi sudah ”berpindah kewarganegaraan”-nya.
__________
Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
Sumber: http://cetak.kompas.com
Seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, sebagai bangsa yang memiliki latar kesejarahan yang panjang, Indonesia mempunyai banyak benda tinggalan budaya masa lampau. Benda-benda tinggalan budaya tersebut ada yang terurus, tetapi ada pula yang tidak.
Untuk apa diteliti dan untuk apa harus diurus, dipelihara, dan dilestarikan? Pertanyaan semacam itu wajar diiucapkan, lebih-lebih dari orang awam.
Ada penjual dan ada pembeli. Punya barang, tetapi tidak punya uang, sementara itu ada yang mau membelinya, kenapa harus tidak terjadi transaksi?
Sejalan dengan melambungnya kebutuhan hidup, pergi pula rasa kecintaan terhadap pusaka warisan budaya. Barang-barang pusaka pun kalau bisa dijual mengapa tidak? Alasan perlu makan dapat mengalahkan peraturan perundangan yang berlaku.
Peristiwa hilangnya arca-arca di Museum Radya Pustaka Solo beberapa waktu lalu merupakan suatu peringatan bahwa benda cagar budaya alias BCB yang menjadi koleksi pribadi atau museum belum tentu aman. Di Indonesia banyak BCB yang menjadi koleksi pribadi konglomerat.
Layaknya John D Rockefeller yang membangun museum di Jerusalem, kolektor di Indonesia juga ikutan membangun museum untuk menempatkan koleksinya. Bedanya, kalau Rockefeller menghibahkan sebagian kekayaannya untuk yayasan museum guna kelangsungan dan pemeliharaan, konglomerat atau kolektor kita tidak.
Manakala kolektor tersebut bangkrut atau meninggal dunia, tidak mustahil BCB yang menjadi koleksinya sedikit demi sedikit terjual. Tidak terjual oleh sang kolektor yang bangkrut, bisa juga terjual oleh ahli warisnya. Dianggapnya BCB yang mereka koleksi merupakan barang investasi, yang kalau bangkrut atau perlu modal, bisa dijual semaunya.
Selain Museum Nasional, di Jakarta terdapat banyak museum yang menjadi tanggung jawab Dinas Permuseuman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pembinaannya oleh Direktorat Permuseuman Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Museum-museum itu ada yang dibentuk atas prakarsa pemerintah, ada juga atas prakarsa pribadi. Museum-museum tersebut antara lain Museum Fatahillah, Museum Keramik, Museum Wayang, Museum Tekstil, dan Museum Adam Malik yang sekarang sudah ditutup.
Peristiwa hilangnya sejumlah koleksi berharga, berupa buku-buku langka, pernah terjadi di Museum Fatahillah. Buku yang hilang itu berjudul Oud en Niew Oost-Indien, ditulis oleh Valentijn, terbitan tahun 1724-1726. Buku yang seluruhnya terdiri atas 8 jilid itu di seluruh dunia hanya ada beberapa kopi.
Satu kopi dari buku tersebut menjadi koleksi Museum Fatahillah, tetapi kini raib entah ke mana. Ironisnya, hilangnya tidak sekaligus, tetapi buku demi buku, berlangsung sejak 2005 hingga ketahuan hilang tahun 2006. Tidak lama setelah diketahui hilang, seseorang menghadiahkan fotokopi buku-buku tersebut kepada Museum Fatahillah. Peristiwa ini tidak dilaporkan kepada polisi, apalagi terungkap oleh pers.
Kasus lain menimpa prasasti Raja Sangkhara, yang merupakan salah satu koleksi penting Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro Nomor 29, Jakarta. Pada sekitar tahun 1980-an prasasti ini masih ada. Begitupun koleksi-koleksi seperti keramik, arca (batu dan logam), lukisan, dan ikon dari berbagai negara. Namun, sejak Museum Adam Malik ditutup tahun 2000 koleksi-koleksi itu tak diketahui lagi keberadaannya.
Contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa di tempat penyimpanan yang selama ini dianggap aman—seperti di museum—bagi keberadaan BCB, ternyata nasib artefak sejarah bangsa juga bisa raib. Bagaimana dengan keraton?
Selain sebagai pusat kegiatan budaya, keraton juga menyimpan koleksi warisan raja-raja pendahulu dari ”raja” yang sekarang. Namun, tak banyak orang tahu bahwa koleksi-koleksi BCB yang ”disimpan” di keraton pun bisa hilang jejaknya.
Salah satu keraton di Pulau Jawa, misalnya, dulu tercatat menyimpan tiga baju zirah (semacam rompi untuk perang). Namun, sekarang ternyata tinggal dua buah, yang menurut orang dalam keraton, satu buah dijual oleh ahli warisnya.
Dokumen penentu
Siapa yang mengatakan BCB itu tidak penting bagi bangsa ini? Banyak bangsa di dunia dalam usahanya menuntut batas wilayah berdasarkan latar sejarah, yang antara lain dari BCB dan dokumen-dokumen sejarah sebelum terbentuknya suatu negara.
Sebut saja Irak. Ketika menganeksasi Kuwait, mereka mengklaim pendudukan tersebut didasarkan atas latar sejarah kewilayahan.
Singapura dan Malaysia juga bersengketa memperebutkan sebuah pulau di perbatasan dengan Negara Bagian Johor. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan meninjau kembali dokumen sejarah ketika Inggris masih berkuasa dan ternyata pulau tersebut masih termasuk wilayah Kesultanan Johor.
Dalam lingkup provinsi atau kabupaten, pada masa pemekaran ini dokumen sejarah dapat menjadi penyelamat sengketa perbatasan. Masalah sengketa ini bisa saja terjadi di daerah pantai timur Sumatera di bekas wilayah Kesultanan Melayu. Sengketa dapat muncul apabila terjadi pemekaran wilayah yang menyangkut perbatasan. Hal itu karena biasanya, salah satu penentu batas wilayah adalah bekas wilayah kesultanan tempo dulu. Kalau dokumennya hilang, tentu saja sengketa tidak kunjung selesai.
Para sejarawan Indonesia menyimpulkan bahwa di Jawa Tengah pada abad VIII terdapat dua dinasti yang berkuasa dan berbeda agama, yaitu Dinasti Sanjaya beragama Hindu dan Dinasti Sailendra beragama Buddha.
Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto dari daerah Pekalongan dan Prasasti Raja Sangkhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, pendapat tersebut kemudian dapat direvisi. Di Jawa Tengah hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra. Raja-raja dinasti ini semula beragama Hindu yang memuja Siwa, kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha Mahayana.
Naskah-naskah sejarah atau dokumen sejarah, baik yang ditulis di kertas maupun dipahatkan pada batu atau logam, jelas merupakan BCB. Dokumen-dokumen ini ada yang disimpan ahli waris dan ada pula yang disimpan di museum-museum.
Namun, apakah dokumen-dokumen ini tinggal dengan aman di tempat yang selayaknya? Tidak mustahil benda-benda tersebut raib, seperti yang terjadi di Radya Pustaka. Orang awam tidak akan tahu benda-benda yang dipamerkan asli atau palsu. Tidak heran pula jika di Riau, saat ini banyak naskah Kesultanan Melayu yang dikuasai oleh pribadi sudah ”berpindah kewarganegaraan”-nya.
__________
Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
Sumber: http://cetak.kompas.com