Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur Sebagai Objek Wisata:


Oleh: Muhammad Taufik dan Sumijati Atmosudiro.
Program Studi Arkeologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Abstarct
The management Borobudur temple as a cultural tourism object is a new development of cultural management in Indonesia. From colonial pe¬riod until the beginning of the independence of Indonesia, management of cultural preservation covered only on conservation and protection aspects. By the end of 20th century, a paradigm in management of cultural preserva¬tion has developed into benefit tourism actracties. The use of cultural preser¬vation as one of tourism object intended to increase income the social economic community surround it. This is called as Cultural Resource Management (CRM).

The use of Borobudur temple as tourism object has positive and nega¬tive impact to the temple and the community suround it. Borobudur temple attracts attention of billions tourists to visit it. Their visit cause direct damage such as vandalism activities (scratching, rubbish, climbing, and stealing temple‘s component), olso indirect damage such as worn out and cracking of temple‘s stone component.

Beside of visitor factor, the damage of Borobudur temple caused by con¬servation activities such as brushing of the stone blocks, which may cause falling of particles in stone. It should be known that the stone blocks of Borobudur temple experience degradation caused by natural factor for a many of time.

Because of that, the effort to minimalize impact of using Borobudur temple as tourism object should be thought and implemented immediately. Those efforts are visitor management, building management, and the use of right conservation methods.

Pengantar
Dijadikannya Candi Borobudur sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia telah memberikan sumbangan yang tidak kecil pada peningkatan devisa negara. Pengunjung Candi Borobudur Baru tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan jumlah pengunjung di satu pihak dapat menambah pendapatan negara dan masyarakat di sekitarnya, tetapi di lain pihak juga dapat mengancam kelestarian candi ini. Candi yang dibangun kira-kira abad VIII pada masa pemerintahan wangsa Sailendra ini telah kurang lebih 1260 tahun berada di alam terbuka, artinya bahan bangunan yang terbuat dari batu andesit itu juga telah mengalami proses degradasi (pelapukan) oleh faktor waktu dan alam.

Meningkatnya jumlah pengunjung ke Candi Borobudur akan memberikan dampak kurang baik bagi upaya pelestarian warisan budaya. Oleh karena itu, perlu dibuat wilayah peredam yang dapat menghambat pengunjung agar tidak naik bersama-sama ke candi, yaitu dengan membuat taman wisata di lingkungan candi. Keberadaan taman wisata diharapkan membuat pengunjung akan tersebar ke berbagai penjuru taman. Dengan tersebarnya pengunjung akan mengurangi beban yang ditanggung oleh bangunan candi (Tanudirjo, 1993-1994).

Ada dua faktor utama penyebab terjadinya degradasi pada bangunan candi, yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor dari dalam biasanya disebabkan oleh keroposnya bangunan itu sendiri, seperti konstruksi dan bahan penyusunnya. Faktor dari luar adalah pengaruh lingkungan biotik, abiotik, dan khernis. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biotik adalah tumbuhnya tanaman tingkat tinggi ( ilalang, perdu, pohon-pohon besar ) dan tanaman tingkat rendah (lumut, jamur, jamur kerak, dan algae). Selain itu, kerusakan juga disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Kerusakan disengaja seperti corat-coret, pencurian, pengotoran, batu penyusun jatuh karena dipanjat, sedangkan kerusakan tidak disengaja seperti terjadinya keausan batu pada lantai bangunan dan kerontokan. Kerontokan terjadi akibat pembersihan gulma pada batu candi dengan menggunakan sikat.



Candi Borobudur sebagai Objek Wisata
Keputusan menjadikan Candi Borobudur sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang penting di Indonesia karena keberadaan bangunan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang melekat padanya yaitu nilai ekonomi, estetika, asosiatif, informasi (Subroto, 2003), historis, dan arkeologis (Soetomo, 1996).

Nilai ekonomi (economic value) berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai objek budaya yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Jika suatu peninggalan budaya dijadikan objek wisata budaya, maka akan memberikan dampak ekonomi pada lingkungan sekitarnya, terutama pada peningkatan penghasilan masyarakat dan menambah devisa negara.

Nilai estetika (aesthetic value) adalah nilai keindahan yang dapat menarik dan atau mendorong wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. W.O.J. Nieuwenkamp beranggapan bahwa bentuk candi Borobudur itu pada dasarnya merupakan bentuk bunga padma (lotus). Maka jika dilihat dari atas tingkat Kamadhatu dan Rupadhatu dapat disamakan dengan kelopak-kelopak dari bunganya, sedangkan tingkatan Arupadhatu, tempat stupa-stupa itu berada, dianggap sama dengan putik¬putik sarinya.(Subroto, 2003).

Nilai asosiatif (associative value) adalah asosiasinya dengan lingkungan atau bangunan-bangunan lain yang ada di sekitarnya, atau sumber-sumber lain seperti mata air, serta tinggi rendah lokasi candi. Keberadaan Sungai Elo dan Sungai Progo yang dianggap suci oleh umat Buddha di Indonesia diasosiasikan dengan Sungai Gangga dan Sungai Jamuna di India. Selain itu, Candi Borobudur diyakini juga seperti bunga teratai di tengah danau.

Nilai informasi (information value), berhubungan dengan aspek teknologi, filsafat, agama, etika, dan norma. Nilai informasi Candi Borobudur dapat diamati dari aspek filosifi dari bentuk bangunan candi, latar belakang keagamaan, pendidikan etika, dan norma yang diajarkan di dalam penggambaran relief-relief candi.

Nilai historis (historic value) adalah nilai kesejarahan yang dimiliki suatu objek atau peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan objek tersebut. Nilai historis bangunan Candi Borobudur dapat diketahui, baik dari sumber tertulis, seperti prasasti dan karya sastra, maupun sumber tak tertulis, misalnya gaya bangunan, seni area, dan unsur-unsur bangunan lainnya.

Nilai arkeologi (archaeological value) adalah nilai yang berkaitan dengan kekunaan yang meliputi bentuk arsitektur, tahapan pembangunan, dan temuan artefak di sekitarnya. Bentuk arsitektur Candi Borobudur adalah perpaduan antara arsitektur Indonesia asli yang ditandai dengan empat tingkat berundak menyerupai punden yakni ciri khas bangunan yang diperuntukkan bagi pemujaan roh nenek moyang (Soekmono, 1982) dengan arsitektur India yang dicirikan oleh bentuk stupa sebagai puncaknya. Stupa sendiri adalah prototip dari makam raja yang berbentuk kubah dari timbunan bata atau tanah yang disebut "tumulus" (Brown, 1976).



Pengunjung Candi Borobudur
Pengunjung Candi Borobudur dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Berdasarkan laporan tahunan Balai Studi dan Konservasi Borobudur, lima tahun pertama di era delapan puluhan, rata-rata kunjungan ke Candi Borobudur berkisar antara 1.000.000 - 1.500.000 orang. Memasuki tahun sembilan puluhan, terjadi kenaikan jumlah pengunjung yang sangat besar yaitu 1.750.000 - 2.500.000 orang. Puncak kunjungan pada tahun sembilan puluhan ini terjadi pada tahun 1997 dengan jumlah kunjungan mencapai 2.750.000 orang. Di penghujung tahun sembilan puluhan situasi politik dan keamanan Indonesia kurang baik yang disebabkan oleh gerakan reformasi untuk mengganti kepemimpinan nasional. Akibat dari gerakan tersebut adalah tidak adanya jaminan keamanan, kepastian hukum, dan kenyamanan berusaha. Kenyataan di atas juga berpengaruh pada jumlah pengunjung Candi Borobudur. Masyarakat takut mengadakan perjalanan karena di berbagai media massa diberitakan bahwa kondisi keamanan di Candi Borobudur pada waktu itu sangat memprihatinkan. Kelakuan pengasong yang memaksa wisatwan untuk membeli dagangannya, munculnya preman-preman di tempat parkir, dan terjadinya penodongan membuat orang takut untuk berwisata ke Candi Borobudur bahkan di tempat-tempat wisata lainnya seperti Candi Prambanan. Jumlah wisatawan hanya 1.500.000-an orang, sama dengan jumlah wisatawan pada tahun delapan puluhan.

Kenyataan itu tidak berlangsung terlalu lama karena pada tahun 2000 terjadi lonjakan pengunjung mencapai 2.750.000 orang. Keberanian orang datang berkunjung ke Candi Borobudur mulai pulih kembali karena jaminan keamanan mulai terjaga.

Aksi teroris, yang terjadi di penghujung tahun 2001 dan 2002, tampaknya tidak terlalu berpengaruh pada jumlah pengunjung Candi Borobudur sampai pada tahun 2003. Pada tahun-tahun ini, jumlah pengunjung Candi Borobudur menembus angka dua jutaan, bahkan tahun 2001 jumlah pengunjung candi Borobudur di atas 2.500.000 orang.

Dampak Pemanfaatan Candi Borobudur sebagai Objek Wisata
Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran wisatawan ke Borobudur telah membawa dampak positif yang sangat besar pada masyarakat sekitarnya seperti peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapangan kerja baru walaupun juga terdapat dampak negatif seperti menipisnya nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Borobudur.

A. Dampak terhadap Masyarakat di sekitarnya
Ada tiga macam dampak pariwisata terhadap masyarakat di sekitar Candi Borobudur yang diteliti, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Dari tiga macam dampak tersebut, dampak ekonomi merupakan dampak yang relatif paling mudah untuk diketahui.

Dampak ekonomi dalam konteks penelitian ini adalah aktivitas-aktivitas baru untuk memperoleh penghasilan atau sarana untuk bertahan hidup, yang muncul sebagai akibat adanya perubahan pemanfaatan Candi Borobudur setelah dilaksanakannya pemugaran. Aktivitas untuk memperoleh penghasilan ini dapat berupa pola-pola baru, misalnya tukar-menukar barang ataupun jasa seperti munculnya rumah-rumah makan, hotel, pengasong, dan industri kerajinan.

Jika ada dampak ekonomi positif seperti dikemukaan di atas, tentu saja ada juga dampak negtifnya. Dampak negatif terjadi pada beberapa orang yang tanahnya harus dibebaskan untuk pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur. Sebagian dari mereka ada yang dapat ditampung sebagai karyawan taman wisata tersebut, sebagian lagi mendapat prioritas untuk memperoleh tempat berjualan atau membuka usaha di sekitar taman wisata, sedangkan sebagian yang lain hanya memperoleh ganti rugi. Mereka yang termasuk dalam kategori terakhir inilah yang tampak memperoleh dampak negatif.

Berbeda dengan dampak ekonomi yang tampak begitu jelas, dampak sosial pemanfaatan Candi Borobudur tidak begitu mudah dipaparkan. Jika aspek sosial dari dampak didefinisikan sebagai aspek relasi-relasi sosial dan pola-pola perilaku dari warga masyarakat, maka dampak sosial ini dapat diketahui dengan memperhatikan data tentang relasi-relasi dan pola-pola perilaku tersebut.

Relasi-relasi baru yang muncul pascapemugaran atau setelah dijadikannya Candi Borobudur sebagai objek wisata seperti paguyuban tukang andong, paguyuban pengasong, paguyuban pengkios, bahkan dalam tataran yang lebih besar muncul beberapa Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM) seperti MAPAN, PATRA PALA, dan lain-lain.

Dampak sosial negatif pemanfaatan Candi Borobudur untuk pariwisata tidak begitu tampak di desa tempat penelitian. Dampak sosial negatif justru paling jelas terlihat di kawasan Taman Wisata Candi Borobudur sendiri. Kehadiran ratusan pengasong dan penjual jasa ini tidak hanya mempunyai kemungkinan merusak bagian taman dan membahayakan kelestarian Candi Borobudur itu sendiri, bahkan juga merusak citra pariwisata Indonesia khususnya di Borobudur.
Dampak budaya yang merupakan perubahan pada sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, norma, serta aturan-aturan yang ada dalam suatu masyarakat, sebagai hasil dari terjadinya perubahan-perubahan tertentu di dalamnya, merupakan dampak yang relatif paling sulit untuk diketahui. Dampak budaya ini tidak dapat begitu saja diamati, dan tidak selalu dapat dipaparkan dengan jelas oleh warga masyarakat yang diteliti. Namun demikian, hal itu dapat diketahui dengan memperhatikan berbagai perilaku dan interaksi sosial, serta bebagai bentuk ekspresi simbolis lainnya, misalnya munculnya berbagai macam bentuk kesenian baru.

Perubahan bidang kesenian belum sepenuhnya dapat dikatakan ada kaitannya dengan pemanfaatan Candi Borobudur sebagai objek pariwisata. Untuk jenis kesenian tertentu yang muncul setelah pemugaran, dapat terlihat jelas kaitannya dengan pemanfaatan candi dan meningkatnya kegiatan pariwisata di Desa Borobudur. Misalnya kesenian kroncong, cokekan, slawatan/rebana, dan kesenian dayak.

B. Dampak terhadap Candi
Kebijakan pemanfaatan Candi Borobudur tentu saja membawa dampak langsung terhadap bangunannya. Seperti halnya dengan dampak terhadap masyarakat di sekitarnya, bangunan candi juga mengalami dampak positif dan dampak negatif.

Keputusan pemerintah menjadikan Candi Borobdur sebagai objek wisata budaya membawa dampak positif terhadap bangunan dan situsnya, perlindungan dan pelestarian sumber daya budaya ini semakin diperhatikan. Pemintakatan (zonasi) yang dilakukan di situs Candi Borobudur merupakan salah satu upaya untuk melindungi Candi Borobudur dari kerusakan baik yang disebabkan oleh faktor manusia dan binatang maupun fatktor alam. Candi Borobudur dibagi menjadi tiga zone yaitu; Zone I adalah zone inti yang di dalamnya tidak boleh didirikan bangunan kecuali pos penjagaan, zone II adalah zone penyanggah berfungsi sebagai sabuk hijau pengaman, dan zone III adalah zone pengembangan yang diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi dan perkantoran pengelola objek.

Dampak negatif yang dapat ditemukan di Candi Borobudur setelah Candi itu dijadikan objek wisata adalah vandalisme, sampah, keausan batu-batu candi, kerontokan, retakan, dan rembesan air. Kegiatan vandalisme banyak jenisnya seperti memanjat-manjat dinding candi dan stupa, pencungkilan relief, corat-coret, dan peledakan. Sampah yang ditemukan di Candi Borobudur berupa kertas pembungkus, sisa makanan, plastik, puntung rokok, kotoran manusia, daun, biji-bijian, buah-buahan, pecahan botol, kaleng minuman, dan abu. Sampah yang ukurannya kecil dapat masuk ke sela-sela batu yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan pada saluran air. Selain dapat menyumbat saluran-saluran air, sampah berupa biji-bijian seperti biji jeruk, rambutan dan salak dapat tumbuh di sela-sela batu Candi Borobudur.

Di Candi Borobudur, ditemukan beberapa batu penyusun yang mengalami keausan tersebar pada lantai dan tangga candi. Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa di Candi Borobudur ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan (Sutantio, 1985), sedangkan hasil pengamatan di tahun 2000 jumlah batu yang mengalami keausan menjadi 1.383 blok batu (Sadirin, 2002), berarti terjadi peningkatan kerusakan sebesar 582 blok batu. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi keausan sebesar 36 blok batu. Terjadinya keausan pada batu candi disebabkan oleh gesekan antara pasir yang menempel pada alas kaki pengunjung dengan bate candi.

Hasil percobaan yang dilakukan oleh Sukronedi dan teman pada tahun 2000 menunjukkan bahwa akibat penggosokan yang dilakukan pada saat pembersihan gulma pada batu-batu candi, menyebabkan kerontokan pada bate yang berbeda-beda tergantung pada alat yang digunakan. Pada percobaan tersebut, digunakan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda-beda yakni 3 cm, 2 cm, dan 1 cm. Luas bidang yang digosok adalah 100 cm2, tekanan penggosokan rata-rata 5 kg/cm2, serta lama penggosokan 10 menit dengan jumlah gosokan 100 kali gosokan.
Penggunaan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda juga menghasilkan kerontokan yang berbeda pula. Sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 3 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 8,76 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 2,75 ml, sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 2 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 9,45 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 3,25 ml, dan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 1 cm menghasilkan kerontokan 18,52 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 6,25 ml (Sukronedi, 2000; 32)

Hasil observasi lapangan, sampai Desember 2003, menemukan retakan-retakan yang terjadi pada batu-batu Candi Borobudur sebanyak 1.536 batu. Penyebab keretakan dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi beban yang harus ditanggung Candi Borobudur yang terdiri atas beban stabs dan beban dinamis, serta tumpuan tidak merata.

Salah satu faktor penting penyebab kerusakan Candi Borobudur adalah masalah air, terutama yang merembes pada batu-batu candi. Oleh karena itu, pemugaran yang dilakukan pada tahun 1973-1983 adalah kegiatan untuk mengatasi masalah air. Meskipun demikian, sampai sekarang masih dijumpai adanya rembesan air pada dinding candi. Hasil observasi, sampai dengan tahun 2002, ditemukan 112 lokasi rembesan yaitu 81 lokasi pada dinding lorong tingkat satu, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat dua, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat tiga, dan 19 lokasi pada dinding lorong tingkat empat (Sadirin, 2002).

Upaya Penanggulangan Dampak Negatif
Upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi dampak negative yang timbul akibat pariwisata di Candi Borobudur adalah mengoptimalkan fungsi zone II dengan cara sebagai berikut.

Di setiap pintu masuk Taman Wisata Candi Borobudur, dipasang papan pengumuman yang isinya melarang wisatawan membawa makanan, alat tulis, dan benda tajam ke atas monumen kecuali minuman yang kemasannya dapat didaur ulang seperi air mineral. Larangan membawa barang selain minuman ke atas candi bertujuan untuk menghindari terjadinya kegiatan vandalisme dan pengotoran (sampah). Pelanggaran atas peraturan ini akan dikenai sanksi membayar denda berupa uang. Besarnya denda akan diatur dalam undang-undang berupa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh DPRD atas usulan Pemerintah Daerah dengan merujuk Undang-Undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Pintu loket karcis dan pintu masuk diperbanyak agar pengunjung tidak terlalu lama antri untuk mendapatkan tiket tanda masuk, tujuannya adalah untuk menghindari tumpukan pengunjung di depan pintu masuk terutama pada waktu ramai pengunjung dengan demikian, mobilisasi pengunjung akan lancar sehingga pengunjung tidak berombongan naik ke monumen.

Setelah membeli karcis, pengunjung dipersilahkan melalui pintu masuk yang di belakangnya dibangun teater terbuka dengan layar lebar. Film yang diputar diupayakan ada kaitannya dengan Candi Borobudur mulai dari sejarah pembangunan sampai pada pemanfaatannya. Bagi wisatawan asing disediakan ear phone dengan empat pilihan bahasa, yaitu bahasa Ingris, Prancis, Jepang, dan Mandarin.

Kebanyakan wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur adalah mereka yang berasal dari luar daerah Borobudur. Mereka ke Borobudur menggunakan berbagai macam kendaraan dan membutuhkan waktu dalam perjalanan. Selama dalam perjalanan para wisatawan tersebut tentu merasakan kelelahan, untuk itu di sepanjang jalan menuju monumen Candi Borobudur dibangun tempat-tempat duduk di bawah pohon yang rindang sebagai tempat istirahat melepas lelah sebelum naik ke monumen.

Pada waktu puncak-puncak kunjungan, seperti liburan sekolah dan liburan hari raya, di kiri-kanan jalan utama menuju monumen diadakan pertunjukan kesenian tradisional khas Borobudur seperti kesenian Kobro Siswa, Topeng Hitam (kadang-kadang disebut kesenian Dayak), dan Kesenian Jatilan, tujuannya menahan sejenak pengunjung agar tidak langsung naik ke candi. Dengan demikian, beban akibat banyaknya pengunjung dapat terkurangi.

Dibangun fasilitas baru di dalam kompleks Taman Wisata Candi Borobudur seperti akuarium atau kebun binatang dengan mengoleksi binatang-binatang yang sama dengan yang terdapat pada relief candi dengan desain yang sangat menarik agar pengunjung tertarik untuk melihatnya sebelum naik ke monumen Candi Borobudur.

Diatur jam kunjungan termasuk di dalamnya jumlah pengunjung yang ideal yang menaiki candi dalam waktu yang sama. Tujuannya adalah agar pengunjung dapat menikmati keindahan candi tanpa harus berdesak-desakan, disamping itu, juga dapat mengurangi beban yang ditanggung candi.

Beberapa upaya mengatur pengunjung di atas dimaksudkan untuk membatasi pengunjung (wisatawan) agar tidak bersamaan naik ke monumen. Pembatasan pengunjung tersebut dimaksudkan untuk membatasi beban dinamis yang harus ditanggung Candi Borobudur. Makin banyak pengunjung yang naik ke Candi Borobudur dalam waktu yang bersamaan, makin berat beban yang ditanggung oleh candinya. Makin berat beban makin besar kemungkinan terjadinya keretakan batu-batu penyusun candinya.

Kerusakan Candi Borobudur tidak semata-mata diakibatkan oleh pengunjung, tetapi juga diakibatkan oleh faktor alam dan penerapan metode konservasi yang kurang tepat pada saat pemugaran dan pasca pemugarannya. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam tentu saja tidak bisa dihindari, tetapi kerusakan yang disebabkan oleh penerapan metode konservasi yang keliru tentu bisa diatasi.

Beberapa contoh penerapan metode konservasi yang keliru di Candi Borobudur adalah pembersihan batu dengan sikat ijuk tanpa memperhatikan panjang bulu sikatnya, pemasangan bahan kedap air yang tidak maksimal, dan dibuatnya jalan setapak di sekeliling monumen. Tujuannya untuk mengarahkan pengunjung agar tidak menginjak rumput yang di tanam di halaman candi. Jalan setapak yang mengelilingi candi itu dibuat dari pasir dan tanah liat. Namun, kenyataannya, pengunjung tidak terlalu tertarik untuk berjalan di tempat yang telah disediakan itu, bahkan mereka merasa tidak nyaman karena berdebu. Untuk menghindari kerusakan yang lebih lanjut, di bawah beberapa upaya yang perlu dilakukan.

Berkaitan dengan pembersihan batu-batu candi, sebaiknya digunakan sikat ijuk yang panjang bulunya 2 cm yang dapat membersihkan dengan hasil 100%, kern batuan candinya tidak terlalu banyak, yaitu 9,45 x 10 g/cm-3,25 cm3, berbeda dengan sikat ijuk yang panjang bulu sikatnya cm atau 3 cm. Sikat ijuk 1 cm (panjang bulu sikatnya) dapat membersihkan 100%, tetapi rontokannya sangat besar, yaitu 18,52 x 10 g/cm2 atau 6,25 cm3, sedangkan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 3 cm tidak memberikan hasil maksimal.

Dipasang karpet (keset) dari karet di depan tangga candi yang dimulai dari anak tangga paling bawah sampai pintu masuk atau keluar zone 1. Karpet (keset) tersebut berguna untuk mengikis pasir yang melekat pada alas kaki pengunjung.

Jalan setapak yang terbuat dari tanah liat dan pasir di sekeliling Candi Borobudur saat harus dibongkar, dikembalikan seperti semula, yaitu halaman rumput.

Berkaitan dengan rembesan air pada dinding candi, upaya yang perlu dilakukan adalah membongkar dinding candi yang rembes tersebut kemudian mengolesi atau mengganti kembali bahan kedap air yang pernah dipasang pada waktu pemugaran.

Kesimpulan
Pemanfaatan sumberdaya budaya Candi Borobudur telah membawa dampak positif ataupun negatif baik terhadap masyarakat di sekitarnya maupun candinya. Dampak positif terhadap masyarakat dapat dilihat dari peningkatan ekonomi dengan munculnya berbagai lapangan kerja baru seperti perhotelan, rumah makan, fotografer, dan pedagang asongan. Di bidang sosial budaya, dampak positif dapat dilihat dengan munculnya relasi-relasi baru dalam masyarakat seperti terbentuknya paguyuban andong wisata, becak wisata, munculnya kelompok-kelompok kesenian, bahkan pada tataran yang lebih besar muncul beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti PATRA PALA dan MAPAN. Dampak negatif dari pemanfaatan Candi Borobudur untuk pariwisata tidak begitu terlihat di desa Borobudur dan sekitarnya, namun mulai ditengarai dan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya seperti cara berpakaian dan pergaulan anak-anak muda meniru cara bergaul dan berpakaian orang-orang barat. Oleh karena itu, mereka mulai membentuk suatu yayasan yang dinamai Masyarakat Peduli Borobudur (MAPAN).

Berkaitan dengan dampak positif kegiatan pariwisata terhadap monumen Candi Borobudur adalah upaya perlidungan dan pelestarian sumberdaya budaya semakin diperhatikan. Upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan adalah peningkatan yang bertujuan melindungi Candi Borobudur dari kegiatan vandalisme. Selain itu, dana untuk kegiatan teknis konservasi yang selama ini berasal dari dana APBN, mulai tahun 2004 direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menyediakan dana untuk pelestarian Candi Borobudur. Sementara itu, dampak negatif juga terjadi di monumen Candi Borobudur akibat pariwisata dan kegiatan pelestarian seperti vandalisme, sampah, keausan, kerontokan, rembesan air, dan keretakan.

Daftar Pustaka
Ahimsa, Shri Heddy dan Muhammad Taufik. 2002. Dampak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Candi Borobudur Pasca Pemugaran. Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Magelang.

Brown, Percy, 1976. Indian Architecture, Budhist and Hindu Period. Toraporevala Sons & Co. Bombay.

Sadirin, Hr. 2002. Evaluation on Conservation of Monument and Site. Makalah. Disampaikan pada UNESCO Meeting on Evaluation of Borobudur Temple Past Restoration, 23-25 Oktober. Borobudur, Magelang.

Soetomo, Sugiono, 1996. "Konservasi Kota Lama Semarang dalam Prospek Pembangunan Kota". Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pemugaran dan Konservasi Benda Cagar Budaya, 23-24 September di Borobudur, Magelang.

Subroto, Ph. 2003. "Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar Untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan". Makalah dalam Rapat Penyusunan Kebujakan Pemanfaatan BCB, April 2003, Cisarua, tidak dipublikasikan.

Sukronedi. 2000. "Efektivitas Pemberantasan Gulma pada Bataan Secara Fisik. Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Borobudur".

Susantio Julianto.S. 1985. "Pengunjung dan MasaIah Konservasi Candi Borobudur: Sebuah Penelitian Pendahuluan". Skripsi Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jakarta.

Tanudirjo, Daud Aris. 1993-1994. "Kualitas Penyajian Warisan Budaya kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur." Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
__________
Muhammad Taufik adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor Balai Konsevasi Peninggalan Borobudur Magelang.

Sumijati Atmosudiro adalah Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber :www.journal.lib.unair.ac.id
Foto :
http://3.bp.blogspot.com
http://www.ridhocyber.web.id
http://niceceu.blogsome.com