Cagar Budaya Prasasti Astana Gede


Cagar Budaya Astana GedeTerletak di Desa/Kecamatan Kawali, kurang lebih 21 km arah utara kota Ciamis.

Di sini terdapat beberapa buah Batu Bertulis (Prasasti) yang merupakan cikap bakal bukti keberadaan kerajaan Sunda yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana.

Salah satu dari batu bertulis tersebut bertuliskan "Mahayunan Ayunan Kadatuan" yang dijadikan sebagai motto juang kabupaten Ciamis.

Selain batu-batu prasasti terdapat pula peninggalan lainnya berupa:

1. Seperangkat batu disolit, yakni batu tempat pelantikan raja yang disebut Palangka.
2. Batu telapak kaki dan tangan dengan garisBatu telapak kaki retak-retak menggambarkan kekuasaan dan penanggalan (kalender).
3. Tiga buah batu menhir:

a. Batu Panyandaan,
b. Batu Panyandangan,
c. Batu Pamuruyan (alat untuk bercermin).

Prasasti Astana Gede
Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa Barat, terutama pada prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti. Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14 berdasarkan nama raja.

Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.

Isi teks Prasasti Kawali
* Alihaksara diplomatis

Teks di bagian muka:
1. nihan tapa kawa-
2. li nu sang hyang mulia tapa bha-
3. gya parĕbu raja wastu
4. mangadĕg di kuta ka-
5. wali nu mahayuna kadatuan
6. sura wisesa nu marigi sa-
7. kuliling dayĕh. nu najur sakala
8. desa aja manu panderi pakĕna
9. gawe ring hayu pakĕn hebel ja
10. ya dina buana

Teks di bagian tepi tebal:
1. hayua diponah-ponah
2. hayua dicawuh-cawuh
3. inya neker inya angger
4. inya ninycak inya rempag

Alihbahasa
Teks di bagian muka:
Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa beliau Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.

Teks di bagian tepi tebal:
Jangan dimusnahkan!
Jangan semena-mena!
Ia dihormati, ia tetap.
Ia menginjak, ia roboh.

Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, perhatian sangat besar ditujukan terhadap keberadaan dan kelestarian Nusa Gede. Sebagai bentuk penghargaan kepada Dr. Koorders, ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863, Nusa Gede berubah nama menjadi Pulau Koorders.

Bahkan, pada 21 Februari 1919 area Situ Lengkong dengan Nusa Gede atau Nusa Panjalu atau Nusalarang-nya dinyatakan sebagai kawasan cagar alam yang benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di dalamnya.

Koorders pada zamannya, dikenal sebagai seseorang yang menaruh perhatian besar pada botani. Bersama perkumpulannya yang diketuai, dirinya memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Dibantu TH Valenton seorang ahli botani, pekerjaan mengumpulkan herbarium dan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.

Karen Koorders dan Valenton serta rekannya, akhirnya berhasil memberikan sumbangan yang tidak kecil pada dunia ilmu pengetahuan mengenai tumbuhan. Kemudian hasil penelitian tersebut dituangkan dalam bukunya, "Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java", sebuah buku tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.

Astana Gede Dijadikan Tempat Wisata
Sebagai kawasan cagar alam yang berada dalam pengawasan KPH Ciamis, Nusalarang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati berbagai jenis flora.

Saat memasuki kawasan, pengunjung sudah disambut pepohonan rotan (Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Semakin masuk ke dalam, pengunjung akan melihat pepohonan besar kileho (Sauraula Sp), kihaji (Dysoxylum) dan kikondang (Ficus variegata).

Selain jenis flora, di kawasan Nusa Gede juga dapat ditemui berbagai jenis fauna, sebut saja antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Sementara Elang jambul putih hanya sesekali mendatangi Nusa Gede.

Belakangan menurut keterangan Wawan, salah seorang petugas Perhutani KPH Ciamis, populasi kalong di daerah itu bertambah dengan berdatangannya kawanan kalong dari Astana Gede Kawali.

Kawanan kalong yang bersarang di situs tersebut dikabarkan sudah lebih dulu hijrah ke Situ Lengkong, jauh sebelum terjadi bencana angin ribut melanda situs Astana Gede Kawali. Situs Astana Gede Kawali dipercaya mempunyai hubungan sejarah dengan situs Panjalu di Nusalarang.

Selain menikmati keindahan alam Situ Lengkong dan Nusa Gede, dan menyaksikan flora dan faunanya, wisatawan yang datang dapat mengunjungi pulau tempat makam leluhur masyarakat Panjalu yang menjadi perintis penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Nusa Gede atau Nusa Larangan merupakan pemakaman raja-raja Panjalu dan keturunannya sampai Bupati Panjalu terakhir, Dalem Tjakranegara III. Berdasarkan gambar dan buku klasiran desa tahun 1937, luas Situ Lengkong mencapai 69,98 hektare dan Nusa Gede hanya 9,25 hektare.

Pemilik keturunan terakhir Situ Lengkong, Demang Prajadinata, dikabarkan meninggal di Mekah. Namun, sebelum berangkat pada tahun 1908, beramanat agar Situ Lengkong dijadikan tanah hak kulah. Air dan ikannya dizariahkan, sedangkan pemeliharaannya diserahkan ke pemerintah desa.

Di kalangan warga adat Panjalu atau keturunanannya, Situ Lengkong berdasarkan kisah-kisah lisan yang beredar selama ini tidaklah dengan sendirinya terbentuk. Situ tersebut terbentuk sebagai bagian dari proses pengislaman yang dirintis Prabu Borosngora, anak kedua dari Prabu Sanghyang Tjakradewa.

Berdasarkan Babad Panjalu, Prabu Borosngora disebut sebagai buyut Sanghyang Ratu Permanadewi, Ratu Kerajaan Soko Galuh yang membawa ajaran karahayuan (kemakmuran). Karena dipimpin seorang wanita, kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Panjalu. Dalam bahasa Sunda, berarti laki-laki.

Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar. Namun sayang, dalam perjalanan selanjutnya, kerajaan tersebut pernah masuk menjadi bagian Kesultanan Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Kawali sehingga menjadi Kabupaten Ciamis sekarang.

Upacara Nyangku
Selain merupakan objek wisata, sebagai bekas kerajaan, Panjalu sebenarnya masih memiliki daya tarik lainnya berupa upacara nyangku. Upacara itu setiap tahun diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis terakhir bulan Maulud.

Nyangku yang berasal dari bahasa Arab yanko artinya sama dengan membersihkan. Dalam upacara tersebut, pedang hadiah dari Sayidina Ali dan barang pusaka lainnya seperti cis, keris, dan tombak dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Bumi Alit untuk dibersihkan.

Prosesi upacaranya dilanjutkan dengan membawa barang-barang pusaka tersebut ke Nusalarang, lalu kembali ke balai desa untuk dibersihkan. Menjelang tengah hari, barang-barang pusaka itu disimpan kembali ke tempat asalnya.

Bagi masyarakat Panjalu, nyangku memiliki makna yang lebih luas. Dan sesuai dengan ajaran leluhur mereka, setiap langkah dalam upacara tersebut memiliki makna tersendiri yang bertujuan meningkatkan kebahagiaan lahir-batin keturunan Panjalu.(dd)

Sumber :
http://sis.smkn1-cms.sch.id
http://id.wikipedia.org
http://www.mail-archive.com