Tradisi Penguburan dalam Gua, Studi Kasus Gua-Gua di Wilayah Kalimantan


Oleh Bambang Sugiyanto
Pendahuluan
Dalam lintas sejarah kehidupan manusia, gua-gua dan ceruk payung dikenal sebagai salah satu tempat tinggal, baik secara tetap atau sementara, selain daerah terbuka lainnya. Pemanfaatan gua-gua sebagai tempat tinggal di Indonesia sudah dimulai sekitar lebih kurang 10.000 tahun yang lalu (Poesponegoro et.al., 1993). Gua atau ceruk pada masa ini mulai dikenal sebagai pusat aktivitas manusia untuk beberapa macam kegiatan, antara lain: tempat tinggal, lokasi kegiatan industri alat (batu, kayu atau tulang), dan lokasi penguburan.

Gua-gua dan ceruk payung sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan, panas dan dingin), dan juga dari gangguan dan serangan binatang-binatang buas serta ancaman dari kelompok manusia lainnya. Dalam periode penghunian gua, yang paling awal tampak bahwa gua dipergunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian pada kurun waktu berikutnya menjadikan gua sebagai tempat kubur dan tempat melaksanakan upacara-upacara ritual.

Pemanfaatan gua sebagai tempat penguburan menunjukkan adanya kecenderungan memilih bagian-bagian atau ruang-ruang yang lebih terisolasi, yaitu yang dekat dinding gua. Penguburan dalam gua pada umumnya dalam posisi rangka terlipat, yang menunjukkan adanya perlakuan khusus terhadap si mati. Sebagian ahli menganggap posisi rangka terlipat ini sebagai posisi tiruan kondisi bayi yang berada dalam rahim ibu, yang melambangkan suatu kelahiran kembali pada kehidupan sesudah mati (Soejono, 1977), sebagian lainnya mendasarkan pada alasan praktis, yaitu untuk mengatasi tempat penguburan yang sempit. Sistem penguburan terlipat agaknya mulai berkembang luas sejak awal Kala Holosen, antara lain ditemukan di Gua Lawa, Gua Sodong, Gua Marjan, Gua Gentong (Simanjuntak, 1999).

Di samping itu tampak adanya jenis penguburan langsung (primer) dan penguburan kedua (sekunder), baik yang menggunakan wadah kubur maupun yang tanpa wadah kubur. Wadah kubur yang sering ditemukan dalam penguburan di gua-gua antara lain: tempayan gerabah, tempayan keramik (guci), atau peti mati dari kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Kalimantan merupakan sebuah pulau besar yang ada di wilayah negara Indonesia, yang dikenal mempunyai sumberdaya alam berupa perbukitan batu kapur yang cukup melimpah. Sumberdaya alam tersebut terdapat terutama di sekitar daerah pegunungan yang ada, seperti di sekitar Pegunungan Meratus, Pegunungan Muller dan Pegunungan Schwanner. Menurut hasil penelitian pemantauan, kawasan perbukitan batu kapur di Kalimantan terbentuk secara acak dan terputus-putus. Kawasan perbukitan batu kapur yang sangat potensial terdapat antara lain: di Tanjung Mangkalihat, Binuang, Muara Uya dan lain-lain. Di kawasan perbukitan batu kapur seperti ini, biasanya banyak terdapat gua atau ceruk payung.

Sementara itu, gua dan ceruk payung yang ada di wilayah Kalimantan tampaknya banyak yang masih dipergunakan sebagai tempat penguburan tradisional oleh masyarakat setempat. Temuan berupa wadah kubur baik yang masih lengkap isinya maupun yang sudah kosong serta temuan tulang tengkorak pada gua dan ceruk payung jelas menunjukkan adanya kegiatan penguburan yang pernah dilakukan pada tempat tersebut. Hanya sayangnya sampai saat ini siapa pendukung tradisi penguburan gua belum dapat diketahui dengan jelas. Masyarakat yang ada di sekitar lokasi situs saat ini, banyak yang tidak (kurang) tahu tentang proses penguburan dalam gua. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran tentang proses penguburan yang mendekati kebenaran, diperlukan bantuan dari studi etnografi tentang tata cara penguburan tradisional yang masih dilakukan oleh masyarakat saat ini. Studi etnografi yang digunakan untuk membantu penafsiran data arkeologi biasa dikenal dengan etnoarkeologi.

Studi etnoarkeologi yang dimaksudkan adalah studi tentang bagaimana masyarakat menangani sebuah kematian dan memperlakukan mayat mulai dari persiapan sampai pada pelaksanaan penguburannya, bagaimana bentuk wadah kubur yang digunakan, bagaimana bekal kubur yang disertakan, di mana lokasi penguburannya, bagaimana pengaturan atau penjadwalan jenis penguburannya dan lain-lain. Semua keterangan itu merupakan data pembanding yang sangat berguna bagi pengungkapan dan penjelasan tentang sisa-sisa penguburan dalam gua-gua di wilayah Kalimantan.

Penguburan dalam Gua dan Ceruk Prasejarah
Secara umum, penguburan dalam gua dan ceruk payung dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok pertama penguburan langsung (primer) dan kelompok kedua penguburan tidak langsung (sekunder). Selain berdasarkan wadah kubur yang dipergunakan, jenis penguburan langsung (primer) dapat dibedakan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penguburan langsung (primer) tanpa wadah kubur dan penguburan langsung dengan wadah kubur. Sedang penguburan tidak langsung (sekunder) juga dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok penguburan tidak langsung (sekunder) tanpa wadah dan dengan wadah kubur. Wadah kubur yang dipergunakan pada umumnya berupa kotak kayu, kotak tembikar, tempayan gerabah atau tempayan keramik.

Pada umumnya di Indonesia, dikenal adanya penguburan langsung tanpa wadah kubur, dengan berbagai macam sikap dan posisi mayat. Posisi yang paling sering ditemukan adalah posisi mayat lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai macam sikap tangan (lurus di samping tubuh, menyilang diatas dada atau perut dengan telapak tangan menutupi daerah kemaluan, dan lainnya). Kemudian terdapat juga posisi mayat terlipat (duduk atau terbujur miring), dengan lutut menekuk di bawah dagu dan tangan terlipat di bagian kepala atau leher.

Khusus penguburan primer dengan wadah kubur berupa tempayan, biasanya mayat diatur dalam posisi terlipat sedemikian rupa, sehingga dapat dimasukkan dalam tempayan kubur. Cara memasukkan mayat tersebut harus hati-hati, dengan terlebih dahulu memotong bagian atas tempayan untuk mempermudah proses masuknya mayat. Setelah mayat dapat dimasukkan dalam tempayan, baru kemudian bagian atas yang terpotong tadi disambungkan lagi dan akhirnya tempayan tersebut ditutup oleh piring, periuk atau tempayan lain yang lebih kecil. (Poesponegoro et.al., 1993).

Sementara untuk penguburan yang menggunakan wadah kubur, antara lain terdapat di Gua Niah (Serawak). Di Gua Niah, selain penguburan langsung tanpa wadah, juga terdapat penguburan dengan wadah kubur berupa tempayan gerabah. Tempayan kubur yang terdapat di Gua Niah terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok yang digunakan sebagai tempat penguburan primer dan kelompok penguburan sekunder. Selain itu juga terdapat penguburan dengan menggunakan sepasang tempayan (tempayan ganda/setangkup) (Harrisson, 1968).

Memang dalam penghunian gua dan ceruk payung, kegiatan penguburan merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan kehidupan manusia, yang dipandang mempunyai nilai lain yang sangat penting. Pada masa-masa awal penghunian manusia di mana jumlah anggota kelompok yang menghuni gua belum begitu banyak, biasanya lokasi penguburan terdapat di bagian sudut gua yang agak kedalam dan cukup gelap. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan kemampuan yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan wawasan dalam mengarungi kehidupan.

Peningkatan pengetahuan ini berakibat langsung kepada pertambahan jumlah anggota kelompok, yang ujung-ujungnya membuat ruangan yang tersedia di gua atau ceruk payung terasa begitu sempit dan sesak. Terdesak oleh keperluan ruang kehidupan yang nyaman maka mereka mencoba mencari tempat tinggal yang baru yang dapat menampung kelebihan jumlah anggota kelompok. Peningkatan pengetahuan manusia ini juga berimbas langsung terhadap pandangan terhadap proses penguburan dan lokasi penguburan. Kemungkinan besar, lokasi penguburan yang dulunya menjadi satu dengan kegiatan kehidupan lainnya dengan relokasi tertentu, kemudian mulai sedikit demi sedikit dipindahkan ke tempat yang lain (gua atau ceruk yang lain). Sehingga kemudian muncul atau ditemukan ada gua-gua yang khusus berisi temuan berupa sisa-sisa aktivitas penguburan saja.

Penguburan manusia dalam gua-gua prasejarah pada awalnya sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primer) dengan posisi mayat telentang atau terlipat, dan mayat ditaburi dengan warna merah (oker). Pemberian bekal kubur yang pada awalnya tidak atau belum dikenal, sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipraktekkan baik pada penguburan tanpa wadah atau dengan wadah kubur. Bekal kubur yang sering disertakan berupa: manik-manik, beliung persegi, perhiasan (kerang, batu, dan lainnya), senjata, dan peralatan kehidupan (piring, periuk, kendi, botol dan lainnya).

Hasil penelitian terhadap gua dan ceruk antara di wilayah Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Nusa Tenggara, menunjukkan bahwa penguburan manusia dalam gua dapat dibagi dalam empat tahapan, yaitu:

• Tahap pertama
Penguburan langsung tanpa wadah kubur (primer), yaitu mayat langsung dikuburkan dalam tanah dengan posisi rangka telentang, miring terbujur atau miring terlipat.

• Tahap kedua
Penguburan langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik, dalam berbagai bentuk dan ukuran serta wadah kubur lainnya.

• Tahap ketiga
Penguburan tidak langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik.
• Tahap keempat

Penguburan tidak langsung tanpa wadah kubur, yaitu dengan menempatkan beberapa tulang-tulang khusus pada suatu tempat yang terpencil (susah dijangkau), seperti gua-gua dan ceruk payung yang terdapat pada dinding batu kapur yang cukup tinggi.

Pengamatan temuan sisa-sisa penguburan yang ada dalam gua atau ceruk payung, yang berupa rangka manusia baik yang utuh maupun yang tidak utuh, menunjukkan bahwa jenis manusia yang dikuburkan dalam gua-gua itu adalah: ras Australomelanesid dan Mongoloid. Dari prosentase temuan yang dilakukan terhadap posisi mayat yang ada, menunjukkan bahwa ras Australomelanesid cenderung mempergunakan posisi mayat telentang, sedang posisi terlipat sering menunjukkan manusia dari ras Mongoloid (Bellwood, 2000).

Konsep Kematian dan Penguburan Tradisional
Adanya penguburan dalam gua-gua dan ceruk payung menunjukkan adanya satu konsep kepercayaan tentang kematian yang berkembang pesat seiring dengan peningkatan teknologi dan kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan alam. Pemilihan lokasi penguburan yang berada di sudut-sudut bagian dalam gua yang cukup gelap, merupakan wujud dari perasaan takut mereka akan kekuatan dan pengaruh yang berasal dari luar kehidupan manusia (supranatural). Manusia pada masa ini, percaya dan yakin bahwa kematian itu bukanlah akhir dari satu kehidupan manusia, tetapi merupakan salah satu tahapan transisi kehidupan yang harus dilewati oleh roh si mati dalam perjalanan mencapai alam arwah.

Selama masa transisi, roh si mati tidak dapat berbuat apa-apa, dan sangat membutuhkan bantuan keluarga lainnya untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan perjalanan panjangnya. Keberhasilan perjalanan roh si mati dalam menuju alam arwah (surga) merupakan kewajiban ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya, dan keberhasilan itu berdampak baik pada kehidupan manusia terutama yang berkaitan dengan kesuburan tanaman, kesehatan dan kemakmuran.

Pandangan dan keyakinan inilah yang kemudian memunculkan adanya pemberian bekal kubur bagi keperluan si mati. Seperti diketahui, setelah meninggal, roh si mati harus mengadakan perjalanan panjang dan penuh rintangan menuju ke alam arwah. Perjalanan tersebut memerlukan persiapan yang matang dan perbekalan yang cukup sehingga nantinya tidak akan mengalami gangguan dan dapat sampai dengan selamat ke alam arwah.

Untuk keperluan perjalanan roh tersebut maka disertakan barang atau benda lain yang diperlukan selama perjalanan tersebut, seperti: makanan secukupnya, senjata, perhiasan dan lainnya. Pada awalnya, perlakuan terhadap mayat hanya berupa pemberian taburan warna atau sapuan cat merah (oker) pada rangka manusia yang dikuburkan, kemudian berkembang seperti di atas bahkan adapula yang menyertakan seekor binatang peliharaan atau seorang budak yang dimilikinya, untuk mengawal perjalanan menuju ke alam arwah.

Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara tegas dalam adat istiadat tradisional. Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari dua atau tiga tahap, yaitu: tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu kemudian.

Pada pelaksanaan penguburan pertama, biasa si mati (mayat) dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu (peti kubur, tempayan dan lain-lain). Sedang pada pelaksanaan penguburan kedua, biasa dilakukan setelah 2 – 3 tahun setelah penguburan dan disertai dengan pesta upacara yang sangat meriah (Tiwah, Ijambe, Marabia, Ngadatun, Mambatur dan Irau). Pada penguburan tahap ketiga, biasanya dilakukan setelah penguburan kedua, dengan mengambil tengkorak dan tulang jari-jari tangan untuk dipindahkan ke tempat lain yang susah dijangkau seperti celah-celah di tebing batu kapur yang curam atau di dasar sungai yang dalam. Pemindahan tengkorak ini dilakukan agar tidak dapat dirampok atau dicuri oleh musuh.

Pada penguburan pertama, wadah kubur yang digunakan oleh beberapa kelompok masyarakat tradisional di Kalimantan biasanya berupa sebuah peti mati dari kayu (ulin) atau sebuah tempayan baik gerabah maupun keramik (guci, tajau). Peti mati dari kayu ini mempunyai nama sesuai dengan masyarakatnya, seperti pada masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah disebut dengan keriring, di Kalimantan selatan dikenal dengan sebutan tebela dan di Kalimantan Timur dikenal dengan nama lungun (Hartatik, 2000; 2001), sedang untuk tempayan juga dikenal beberapa nama lokal seperti: tajau dan belanai (Kusmartono et.al., 2000).

Peti mati kayu tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian wadah dan bagian penutup. Bentuk peti mati dibuat mirip dengan bentuk perahu, dan kadang diberi hiasan naga pada bagian atas penutup. Hiasan naga ini dapat juga digunakan sebagai tanda arah/orientasi penguburan, dimana pahatan kepala naga selalu diarahkan ke arah hilir (Hartatik, 2000). Sedang untuk penguburan dengan wadah kubur berupa tempayan, juga sering dijumpai adanya hiasan gambar naga pada bagian leher atau badan tempayan. Informasi dari para sesepuh masyarakat, menyebutkan bahwa jenis tampayan yang digunakan bervariasi. Jenis tempayan yang bagus dan mahal hanya digunakan oleh kaum mampu, sedangkan orang biasa hanya menggunakan tempayan yang kualitasnya di bawahnya (biasanya polos tanpa hiasan) (Kusmartono et.al., 2000).

Lokasi penguburan yang dipilih oleh masyarakat sangat bervariasi. Ada yang menempatkan lokasi penguburan di sebuah lahan yang terletak tidak begitu jauh dengan lokasi permukiman (khusus untuk penguburan pertama/primer), sedang untuk penguburan kedua (sekunder) dapat juga menggunakan lahan yang sama atau memilih lokasi lain, seperti: di tengah hutan, dahan pohon besar, celah tebing-tebing batu, gua, ceruk atau dasar sungai yang dalam (Arifin, 1996).

Tradisi Penguburan dalam Gua-Gua di Kalimantan
Tradisi penguburan dalam gua yang ada di wilayah Kalimantan, antara lain terdapat di Liang Nyeloi, Gua Malui, Gua Kasali, Gua Tengkorak (Batu Sopang), Gua Tengkorak (Longkali), Gua Tengkorak (Muser), dan Gua Lungun Aji Bawo (Nitihaminoto et.al., 1999; Prasetyo et.al., 1995; Sugiyanto, 2004).

Liang Nyeloi, yang terletak di daerah perbukitan batu kapur di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kalimantan Tengah, merupakan sebuah gua yang digunakan sebagai tempat penguburan masyarakat tradisional. Jenis penguburan yang terdapat di dalam gua tersebut berupa penguburan dengan menggunakan keriring. Ada sejumlah buah keriring yang semuanya berisi rangka manusia utuh yang sudah agak rapuh. Jumlah keriring dan kondisi rangka manusia yang ada menunjukkan bahwa penguburan yang dilakukan di Liang Nyeloi adalah penguburan langsung (primer) dengan menggunakan wadah kubur keriring (Nitihaminoto et.al., 1999).

Gua Malui, yang terletak di Gunung Kapur di wilayah Kecamatan Haruai, merupakan sebuah gua yang didalamnya banyak ditemukan tulang tengkorak dan beberapa tulang manusia yang lain. Temuan tulang tengkorak ini menunjukkan bahwa gua Malui pernah digunakan sebagai lokasi penguburan kedua (sekundet), sesuai dengan kondisi temuan rangka yang tidak lengkap (Prasetyo et.al., 1995).

Gua Tengkorak, yang terdapat di Desa Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuah lubang gua pada dinding batu kapur dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Pada sudut dinding sebelah kiri dekat mulut gua terdapat sekelompok tengkorak manusia yang jumlahnya sekitar 36 buah dan beberapa tulang manusia lain yang jumlahnya tidak seberapa banyak (Sugiyanto, 2004). Jumlah tulang tengkorak yang ditemukan menunjukkan adanya aktivitas penguburan yang cukup sering, dan tampaknya juga merupakan sisasisa penguburan sekunder atau bahkan ada kecenderungan sebagai sisa-sisa penguburan ketiga.

Gua Tengkorak yang lain, terdapat di wilayah Kecamatan Longkali dan Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Kedua Gua Tengkorak itu juga dilaporkan mempunyai temuan tulang tengkorak manusia didalamnya, sama dengan yang ditemui di Gua Tengkorak yang terdapat di Desa Batu Kajang (Sugiyanto, 2004).

Gua Lungun Aji Bawo, yang terletak di Gunung batu kapur Belawung di Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuag gua yang didalamnya terdapat fragmen sebuah lungun bagian wadah yang cukup besar tanpa tutup. Lungun ini menurut keterangan penduduk setempat adalah kubur seorang tokoh yang bernama Aji Bawo. Legenda yang beredar di masyarakat Desa Muser, menceritakan bahwa tutup lungun itu dibawa dan digunakan oleh lawan Aji Bawo untuk menaklukan daerah-daerah lainnya (Sugiyanto, 2004).

Masyarakat Pendukung Tradisi Penguburan dalam Gua
Temuan sisa-sisa penguburan yang berupa wadah kubur lengkap dengan isinya dan sekelompok tulang tengkorak pada ruangan gua jelas menunjukkan bahwa gua-gua tersebut dulunya pernah digunakan sebagai lokasi penguburan oleh masyarakat tradisional. Tulang tengkorak yang ada memang belum sempat dianalisis dengan cermat, tetapi jika melihat morfologi bentuknya, jelas terlihat bahwa tengkorak tersebut merupakan tipa tengkorak manusia modern seperti yang ada sekarang.

Menurut wadah kubur yang digunkan jenis penguburan dalam gua di wilayah Kalimantan dapat dibagi dalam 2 kelompok : kelompok pertama : yang menggunakan wadah kubur keriring, lungun, atau tebela, dan kelompok kedua : yang tidak menggunakan wadah kubur. Sedang menurut kondisi temuan rangka manusia yang dikuburkan, dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok penguburan langsung (primer) yang diwakili oleh temuan keriring di Liang Nyeloi. Kelompok kedua merupakan jenis penguburan kedua (sekunder) dengan dan tanpa wadah kubur.

Sementara itu data etnografi memperlihatkan bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tradisional yang hidup di Kalimantan, memang masih melaksanakan sistem penguburan dengan menggunakan keriring, tebela, dan lungun serta tempayan sebagai wadah kubur pada penguburan pertama. Kemudiam untuk penguburan kedua (sekunder), dapat menggunakan wadah kubur yang sama atau langsung diletakkan dalam gua atau ceruk yang lokasinya cukup jauh dari pemukiman.

Sebagian besar kelompok masyarakat tradisional yang berdiam di pedalaman Kalimantan Timur masih banyak yang mempraktekkan sistem penguburan tradisional. Seperti masyarakat yang terdapat di Kecamatan Long Pujungan, Kerayan, dan Kayan Mentarang serta masyarakat Punan yang ada di daerah hulu dan sepanjang Sungai Sajau di Kabupaten Berau (Arifin, 1996b; Intan et.al., 1995).

Pada kelompok masyarakat yang ada di Long Pujungan, Kerayan dan Kayan Mentarang, biasanya menyelenggarakan penguburan kedua (sekunder) dengan satu upacara dan pesta kematian yang besar. Pada upacara penguburan tersebut, tulang tengkorak dan tulang lainnya yang penting diambil dan dibersihkan untuk kemudian dipindahkan ke wadah kubur yang baru. Wadah kubur yang digunakan untuk penguburan pertama dan kedua pada prinsipnya sama, dan yang membedakan hanya cara penguburannya saja. Pada penguburan pertama si mayat dimasukkan dalam wadah kubur, sedangkan pada penguburan kedua yang dimasukkan kembali dalam wadah kubur hanya tulang tengkorak dan beberapa tulang lainnya yang penting. Salah satu tempat yang dipilih sebagai tempat penyimpanan wadah kubur pada penguburan kedua ini adalah liang atau gua-gua yang terdapat di perbukitan batu kapur di sekitar pemukiman penduduk.

Sedangkan pada masyarakat Dayak Punan Benau yang berdiam gua-gua di pedalaman Kalimantan timur di wilayah Kabupaten Berau dan Kabupaten Bulungan, terdapat satu kebiasaan penguburan yang menempatkan mayat pada sebuah liang batu begitu saja tanpa mengenal adanya proes penguburan selanjutnya. Pada penguburan langsung ini mayat si mati hanya dibungkus dengan kain atau ditutupi dengan daun-daunan saja. Selanjutnya liang atau gua tersebut tidak pernah lagi ditempati oleh kelompok suku Dayak Punan, karena diantara mereka sangat takut dengan keberadaan hantu si mati (Intan et.al., 1995).

Penutup
Beberapa data di atas menunjukkan bahwa gua-gua yang terdapat di wilayah Kalimantan mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan kelompok masyarakat yang berdiam di pulau tersebut. Pengenalan dan pemanfaatan gua di Kalimantan sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Sejarah telah mencatat bahwa di bagian utara Kalimantan - yang masuk wilayah Serawak - ditemukan sebuah gua yang pernah dihuni manusia sekitar 40.000 - 30.000 tahun yang lalu. Kemudian di bagian lain yaitu di pegunungan kapur di wilayah Sabah juga terdapat himpunan gua-gua yang juga pernah dihuni manusia sekitar 30.000 - 25.000 tahun yang lalu. Sedang di bagian Kalimantan yang masuk wilayah negara Indonesia, bukti-bukti penghunian gua antara ditemukan pada Gua Babi dan Gua Kelelawar (Kalsel), Gua Kimanis, Gua Lubang Payau, Gua Mardua, dan Gua Iles Jenayang (Kaltim). Bukti-bukti kehidupan manusia dalam gua-gua ini belum semuanya dilakukan pengukuran tentang kronologinya, hanya Gua Babi yang sudah diukur dan sementara mendapatkan hasil sekitar 6.000 tahun yang lalu.

Tenyata sampai sekarang masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman Kalimantan yang memanfaatkan gua sebagai tempat untuk bertempat tinggal atau untuk melakukan suatu aktivitas kehidupan tertentu, seperti kegiatan penguburan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benau. Dalam hal ini tradisi penghunian gua dan pemanfaatan gua oleh kelompok masyarakat suku dayak yang hidup di pedalaman Kalimantan untuk sementara dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk keimnambungan budaya dari tradisi kehidupan manusia yang ada jauh sebelumnya.

Daftar Pustaka
Arifin, Karina, 1996, “Survei dan Penyelidikan Arkeologi di Empat Kecamatan di Pedalaman Kalimantan (Long Pujungan, Kerayan, Malinau dan Kayan Hulu)”, dalam Cristina Eghenter & Bernard Sellato (eds), Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, hlm. 397- 436.

-------------------, 1996, “Penelitian Etnoarkeologi Terhadap Praktek Penguburan Kedua dan Tipe Monumennya di Kayan Mentarang”, dalam dalam Cristina Eghenter & Bernard Sellato (eds), Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, hlm. 437 – 464.

Bellwood, Peter, 2000, Prasejarah Kepulauan Indo–Malaysia, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Harrison, Tom, 1968, A Niah Stone-Age Jar-Burial C14 Dated. SMJ 16: 64-66.
Hartatik, 2000, Penelitian Arkeologi Terhadap Bangunan Kubur Masyarakat Dayak Ngaju di Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng, Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, tidak diterbitkan.

Heekeren, H.R. van, 1972, The Stone-Age of Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff.

Intan, M. Fadhlan S., Arfian, & Rokhus D.Awe, 1995, Punan Benau: Masyarakat Tradisonal di Hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, Laporan Penelitian Bidang Arkeometri, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, tidak diterbitkan.

Kosasih, E.A., & Bagyo Prasetyo, 1995, Survei Gua-gua Prasejarah di Pegunungan Muller, Kaltim, Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin, tidak diterbitkan.

Nitihaminoto, Goenadi, & Bambang Sakti Wiku Atmojo, 1999, Survei Eksploratif DAS Barito Tahap I, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, tidak diterbitkan.

Poesponegoro, Marwati Djoened et.al., 1993, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1, Jakarta : P.N. Balai Pustaka.

Prasetyo, Bagyo dan Harry Widianto, 1995, Survei Arkeologi Situs-situs Prasejarah di Wilayah Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin, tidak terbit.

Simanjuntak, Truman, 1998, “Budaya Awal Holosen di Gunung Sewu”, dalam Berkala Arkeologi, Th. XIX Edisi No. 1/Mei, Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 1-20.
Soejono, R.P., 1977, Sistem Penguburan Prasejarah di Bali, Disertasi Doktoral Fakultas Sastra UI, belum terbit.

Sugiyanto, Bambang, 2004, “Penelitian Gua Prasejarah di Kabupaten Pasir, Provinsi Kalimantan Timur”, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 14, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.

Sulistyanto, Bambang & Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, 2000, “Penelitian Eksploratif DAS Barito Tahap I, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah”, dalam Laporan Penelitian Arkeologi, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, tidak terbit.

Widianto, Harry, Truman Simanjuntak & Budianto Toha, 1997, “Ekskavasi Situs Gua Babi, Kec. Muara Uya, Kab. Tabalong, Kalsel”, dalam Berita Penelitian Arkeologi, No. 1, Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin.
_________
Bambang Sugiyanto adalah Peneliti, Alumni Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sumber :http://arkeologi.palembang.go.id
Foto : http://kisahdoktermuda.files.wordpress.com