Tongkonan, Rumah Adat Toraja

Oleh : Tuti Nonka

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan.

Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.

Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.

Dalam paham orang Toraja, tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘, sedangkan alang adalah sebagai ‘bapak‘. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah,dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut ‘tangalok‘, berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian tengahdisebut ‘Sali‘, berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat meletakkan orang mati, juga dapur. Adapun ruangan sebelah selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Ruangan sebelah selatan ini juga dianggap sebagai sumber penyakit.

Mayat orang mati tidak langsung dikuburkan, tetapi disimpan di tongkonan. Sebelum dilakukan upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘. Supaya tidak busuk, mayat dibalsem dengan ramuan tradisional semacam formalin, yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Jika akan dilakukan upacara penguburan, mayat terlebih dulu disimpan di lumbung padi selama 3 hari. Peti mati tradisional Toraja disebut ‘erong‘, berbentuk babi untuk perempuan dan kerbau untuk laki-laki. Untuk bangsawan, erong dibuat berbentuk rumah adat.


Rumah Toraja di tengah alam yang permai.


Deretan lumbung padi.


Ukiran pada lumbung padi.

_______________
Tuti Nonka, Ir. MT., adalah novelis, dosen Pasca Sarjana Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Fotografer amatir dan peminat seni dan budaya (arsitektur tradisional) ini mempunyai hobby melakukan perjalanan dan menulis laporan perjalanannya pada blog miliknya http://tutinonka.wordpress.com/, pada rubrik “Jalan-jalan Yuuk