Oleh: Edwin Fiatiano
Abstract
Although various tourism objects and attractions ofered in Indonesia, still overseas tour leaders often complain about tourism objects and attractions because their packages have never changed. As a result, the number of visiting foreign tourists based on the entrance decreased to 10.31%. To anticipate such predicament, government carried out massive promotion nationally and internationally. The act of promoting will be efective when it is performed by the accompaniment of well-prepared tourism objects. However, there are still problems regarding the package system. One of the solutions that can be taken as a way out is giving more attention to tourism product style, tourism facility packaging, and tourism service.
Sejak dipopulerkannya istilah pariwisata oleh Presiden Soekarno pada Musyawarah Nasional Tourism ke-2 di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12-14 Juni 1958 (Musanef, 1996: 9), pemerintah semakin optimis bahwa pembangunan pariwisata dapat mendongkrak devisa negara. Tapi, dalam perjalanannya, pendapatan dari sektor pariwisata tidak semulus yang direncanakan. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot, walaupun rupiah mengalami depresiasi yang mengakibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah namun tetap tidak dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dapat dilihat di Tabel Statistik Kunjungan Wisman ke Indonesia Tahun 2005, dengan berdasarkan pintu masuk.
Berdasarkan tabel di atas, terlihat turunnya total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 10,31 % dan hanya tiga pintu masuk yang menerima kunjungan wisatawan mancanegara di atas 1.000.000 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia kurang menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih terkonsentrasinya pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Untuk menyiasati masalah tersebut, pemerintah melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi-promosi wisata di dalam maupun di luar negeri.
Sebenarnya, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat bila dibarengi dengan kesiapan DTW yang dipromosikannya. Sampai sekarang, DTW tertentu saja yang siap menerima kunjungan wisatawan. Sehingga sebaik apapun bentuk promosi yang dilakukan oleh pemerintah, tidak akan membawa hasil yang signifikan bila tidak dibarengi oleh pengemasan produk pariwisata di DTW. Faktor ini akan menimbulkan kekecewaan wisatawan karena kenyataan di lapangan berbeda dengan janji promosi yang mereka lihat dan dengar.
Produk Pariwisata
Menurut Spillane (1994: 14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga hal: (1) Penampilan yang eksotis dari pariwisata; (2) Adanya keinginan dan kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang; dan (3) Memenuhi kepentingan politis pihak yang berkuasa dari negara yang dijadikan daerah tujuan turisme. Dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan (Mill, 2000: 21). Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berhubungan dengan mobilitas, dengan istilah kepariwisataannya disebut tur, yaitu suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk bersenang-senang (Nuriata, 1992: 11).
Berdasarkan aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang menjadi syarat mutlak, yaitu: (1) Harus ada komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata; (2) Komplementaritas antara kebutuhan wisatawan dan jasa pelayanan wisata; (3) Transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal wisatawan ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997: 23).
Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994: 29), sistem pariwisata menunjukkan bahwa pariwisata berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area, yaitu area yang menghasilkan dan area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan tiket, operator tur, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan promosi dari persaingan kawasan tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, darat, dan air yang membawa turis ke/dan/dari adalah ketiga bagian tersebut. Sedangkan area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan, dan pelayanan wisata. Atas penegasan tersebut, jelas bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh, dirasakan, atau dinikmati wisatawan, semenjak ia meninggalkan rumah di mana biasanya ia tinggal, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya, dan kembali ke rumahnya (Yoeti, 1996: 172).
Ditambahkan oleh Baud-Bovy (Yoeti, 2002: 128), produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi wisatawan, yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya yang terdapat pada suatu DTW, fasilitas yang terdapat di suatu DTW, dan transportasi yang membawa dari tempat asalnya ke suatu DTW tertentu. Bagaimana kalau seorang wisatawan yang melakukan perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar hotel dicari ketika berada di kota yang dikunjungi, makan dipilih di mana yang mereka suka, hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di DTW yang dikunjungi) dapat disebut sebagai produk industri pariwisata?
Dalam hal ini, Yoeti (2002: 128) menjelaskan bahwa wisatawan membeli secara terpisah (buy separately) yang langsung membeli kepada unit-unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk airline (tiket), hotel (kamar), restourant (food and beverages), entertainment (cultural performance), tourist attractions (natural and cultural resources).
Dari uraian tersebut, semakin jelas bahwa produk industri wisata merupakan produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraksi wisata (tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations), dan hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi wisatawan, produk industri pariwisata itu tidak lain adalah suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan negara asal, selama di DTW yang dikunjungi, hingga ia kembali pulang ke tempat asalnya.
Berkaitan dengan produk pariwisata, menurut Marrioti (dalam Yoeti, 1996: 172-173), manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu: (1) Tourist resources, yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata; dan (2) Tourist service, yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktivitas yang dapat dilakukan, sementara itu pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersial.
Wisatawan akan melakukan perjalanan wisata bila terdapat hubungan antara motif melakukan wisata dengan daerah yang dituju. Sedangkan perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat tersebut, seperti pesawat terbang, kereta api, kapal laut, dan kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat bila di area yang menjadi DTW tidak dilengkapi sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi, hiburan, tempat perbelanjaan, dan sarana transportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-tempat wisata lainnya. Agar perjalanan wisata ke DTW dapat terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan.
Mengemas Fasilitas
Langkah awal yang dianjurkan oleh Kotler, Bowen, dan Makens (2002: 251) dalam mengemas produk pariwisata adalah membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli khas yang mungkin membutuhkan produk, atau disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dan memilih satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan setiap DTW adalah mengemas produknya disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan mancanegara yang dibidiknya. Untuk mendukung tindakan tersebut, DTW harus mengembangkan posisi bersaing dalam produk pariwisatanya dengan DTW lainnya, atau disebut sebagai kegiatan menetapkan posisi.
Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia yang ditawarkan, akan tetapi di beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada perubahan (Yoeti: 1997: 58). Hal ini perlu diperhatikan karena Tour Leader adalah perwakilan dari operator tur yang mempromosikan dan membawa wisatawan datang ke DTW. Jika obyek yang dipromosikan masih pada atraksi yang terbatas, maka suatu saat dia akan menghentikan promosi daerah tersebut dengan memilih DTW lainnya.
Harus disadari bahwa wisatawan melakukan perjalanan wisata ke suatu DTW tertentu adalah untuk mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang aneh dan belum pernah disaksikannya. Wisatawan biasanya lebih menyukai sesuatu yang berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara yang biasanya ditempati. Yoeti (1997) menyarankan bahwa mengemas produk pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena kemasan ini selalu lebih menarik daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak asli (artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama, dan tidak menguntungkan bagi bagi promosi kepariwisataan jangka panjang di Indonesia. Bukan hanya soal keasliannya, tetapi semua pelayanan yang diberikan kepada wisatawan hendaknya memiliki style yang beda dari yang lain tetapi tetap memuaskan wisatawan. Style produk sangat diperlukan dalam mengemas DTW, tujuannya ialah untuk memperbaharui dan menguasai pasar (to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat menjamin penjualan. Dikatakan oleh Yoeti (1997: 59), product style dalam kepariwisataan dianggap baik dengan syarat-syarat: (1) Obyek harus menarik untuk disaksikan maupun dipelajari; (2) Mempunyai kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain; (3) Prasarana menuju ke tempat tersebut terpelihara dengan baik; (4) Tersedia fasilitas something to see, something to do, dan something to buy; (5) Kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal lain yang dianggap perlu.
Bila produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap sama oleh wisatawan, maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata sedemikian rupa, sehingga dengan adanya obyek tersebut beserta segala fasilitas yang tersedia dapat menjadikan suatu DTW yang menarik untuk dikunjungi. Untuk mendukung pengemasan product style sistem pariwisata, maka perlu diadakan survey terhadap obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. Hadinoto (1996: 69-70) menjelaskan bahwa survei diadakan untuk menggolongkan obyek dan atraksi wisata menjadi: (1) Penggolongan jenis kepariwisataaan, berupa destination tourism (untuk wisatawan yang tinggal lama) dan touring tourism (untuk wisatawan yang tinggal sebentar); (2) Penggolongan atraksi, berupa atraksi utama (core attraction), atraksi pendukung (supporting attraction); (3) Penggolongan jenis atraksi yang terdiri dari resource-based attraction dan user-oriented attraction.
Pada penjelasan di atas, yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi, transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang digunakan dalam tur ke beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau liburan. Atraksi terletak di dekat rute perjalanan, di persimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing kelompok pengunjung. Aktivitas hampir pasif karena waktu yang hampir terbatas, adanya jadwal perjalanan tertentu.
Distribusi geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination tourism adalah geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan di satu titik destinasi, yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang (Hadinoto, 1996: 29-30). Mengemas obyek dan atraksi wisata agar sesuai dengan bentuk touring tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang tinggal sebentar, sebaliknya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama, obyek dan atraksi wisata dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian dari konsep touring karena obyek tersebut tidak didukung oleh sarana yang dapat menahan wisatawan lama dalam jangka waktu. Sedangkan pengemasan berdasarkan konsep destination tourism dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, dan Pantai Senggigi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang mamu menahan wisatawan untuk beberapa lama, seperti hotel, restoran, dan tempat hiburan.
Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi wisata sebagai obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada DTW di Bali, yang inti atraksinya adalah Danau Kintamani dengan pendukungnya adalah kesenian Tari Barong, kerajinan perak, Pasar Sukowati, pemandian tirta empul, dan sejenisnya. Jarak antara obyek inti dan obyek pendukungnya berdekatan sehingga dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya dirancang berbentuk lingkaran (cycle) sehingga wisatawan dapat kembali ke tempat keberangkatan semula.
Dalam menata obyek dan atraksi wisata, penyelenggara di DTW lebih mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar negeri, misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, dan Gunung Bromo. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang lokal berekreasi, misalnya Air Terjun Sedudo, dan Kolam Renang Selecta. Penggolongan atraksi pertama disebut dengan resource-based attraction, sedangkan penggolongan kedua disebut sebagai user-oriented attraction.
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang, misalnya dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan sangat penting karena wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya memerlukan sarana penginapan di DTW yang mereka kunjungi. Perencanaan pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarang akan berdampak pada lama tinggal (length of stay) wisatawan di DTW, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif, dan lokasi (Soekadijo, 1997: 95).
Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang terpenting adalah: (1) Bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan adalah bak mandi rendam (bathtub); (2) Semua fasilitas di dalam hotel harus berfungsi dengan baik; (3) Penempatan fasilitas yang terdapat di dalam hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah wisatawan untuk mempergunakan; (4) Fasilitas-fasilitas yang digunakan di dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau bermutu.
Sedangkan syarat pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya, terutama mengenai kegiatan aktornya, yaitu apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya harus dapat diandalkan, dengan adanya kemudahan untuk dihubungi dan selalu siap dalam membantu kesulitan wisatawan. Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor tersebut harus bebas dari kesalahan.
Agar hotel dapat memberikan jasa dengan baik, di samping fasilitas dan pelayanannya, faktor menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus dikeluarkan oleh wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus rencanakan dengan cermat karena merupakan salah satu bahan pertimbangan wisatawan untuk berwisata ke suatu DTW.
Di samping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi harus dapat mengangkat citra lingkungan di mana hotel tersebut berdiri. Jangan sampai berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif di lingkungan masyarakat.
Dalam merencanakan kawasan, sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan juga syarat sentralitas akomodasi. Maksudnya, lokasi sarana akomodasi diusahakan berada di tengah-tengah atau berdekatan dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di sini harus diartikan berdasarkan kenyamanan, waktu, dan biaya untuk mencapainya. Meskipun jaraknya jauh, kalau dapat dicapai dalam waktu singkat dan nyaman dengan biaya murah, makan jarak itu adalah dekat. Sebaliknya, jarak yang dekat menjadi jauh kalau untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan perjalanan yang tidak enak dan dengan biaya mahal. Persyaratan sentralitas perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan aktivitas wisatawan yang sebagaian besar waktunya untuk mengunjungi obyek dan atraksi wisata. Bila jarak antara atraksi wisata dengan akomodasi berjauhan, akan menyebabkan wisatawan mengalami kelelahan. Akibatnya, wisatawan tidak betah tinggal lama di DTW tersebut. Apabila persyaratan sentralitas itu menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi wisata, maka sarana itu juga dituntut memenuhi syarat untuk mudah ditemukan dan mudah dicapai. Lokasi yang amat tepat adalah dekat terminal-terminal angkutan, bandar udara, stasiun kereta api, dan pelabuhan. Sedangkan lokasi lainnya dapat berada di sepanjang jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang terletak di sepanjang jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawan.
Mengemas obyek dan atraksi wisata serta sarana akomodasi yang baik belum cukup untuk mendatangkan wisatawan ke DTW bila tanpa adanya kemudahan aksesibilitas menuju ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas wisatawan dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana transportasi baik melalui darat, udara, dan laut. Dalam mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana jasa kendaraan angkutan itu dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu diselenggarakan antara tempat pemberangkatan (point of departure) dan tempat tujuan (point of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata wisatawan, transportasi di DTW harus memiliki fasilitas yang berkualitas, pelayanan yang sempurna, dan keramahtamahan. Mengemas ketiga hal yang telah dijelaskan di atas kurang lengkap bila tidak tersedia jasa pendukung lain, seperti restoran, bengkel, SPBU, katering, dan tempat hiburan. Sebagai contoh, jika jalan dan kendaraan menuju ke obyek dan atraksi wisata sudah bagus, maka orang masih akan berpikir apakah ia berani mengadakan perjalanan. Soalnya, di tengah perjalanan pengendara perlu makan, kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar, dan kalau ada kerusakan mesin kendaraan memerlukan bengkel. Tanpa jasa-jasa pendukung, kegiatan pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten.
Penyempurnaan pengemasan patut diperhatikan dalam penataan lima jenis komponen DTW (Hadinoto, 1996: 36), berupa: (1) Gateway atau pintu masuk (pintu gerbang), seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dan terminal bis; (2) Tourist centre atau pusat pe¬ngembangan pariwisata (PPP), yang dapat berupa suatu kawasan wisata (resort) atau bagian kota yang ada; (3) Attraction atau atraksi kelompok satu atau lebih; (4) Tourist corridor atau pintu masuk wisata, yang menghubungkan gateway dengan tourist centre, dan dari tourist centre ke attraction; (5) Hinterland atau tanah yang tidak digunakan untuk empat komponen tersebut.
Wisatawan lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP di mana ia menemukan akomodasi dan semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti restoran, toko cenderamata, biro perjalanan wisata, dan persewaan kendaraan. Dari PPP ia mengadakan perjalanan wisata ke atraksi wisata, melewati koridor wisata. Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati pemandangan indah dan kehidupan rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut sebagai hinterland. Hinterland ini perlu tetap menarik, dan tidak diubah menjadi bangunan tinggi, pabrik, dan sebagainya. Penetapan lokasi sebagai PPP wajib memperhatikan sarana akomodasi, tempat hiburan, toko cenderamata, jarak menuju ke atraksi wisata tidak boleh terlalu jauh, dan armada transportasi perlu dibenahi dalam segi kuantitas, kua¬litas, dan pelayanan, karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan ke obyek dan atraksi wisata yang hendak dikunjunginya.
Mengemas Pelayanan
Pengemasan fasilitas-fasilitas produk pariwisata yang baik tidak akan cukup menarik wisatawan bila tidak diberi roh. Pelayanan adalah roh yang akan menggerakkan aktivitas pariwisata sebab yang dibeli oleh wisatawan adalah pelayanan sejak dia berangkat, datang ke DTW, dan kembali lagi ke tempat asal. Menurut Sugiarto (1999: 36), pelayanan adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lainnya) yang tingkat pemuasnya hanya dapat dirasakan orang yang sedang melayani maupun yang dilayani.
Berkaitan dengan memberikan pelayanan, yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan wisatawan. Agar wisatawan terpuaskan selama melakukan perjalanan wisata, maka jasa-jasa pariwisata harus dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya, jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan wisatawan secara konsisten (Tjiptono, 2002: 60).
Berkaitan dengan memperlihatkan kualitas jasa, yang berperan sangat penting adalah contact personnel atau orang-orang yang terlibat dalam pariwisata, seperti pegawai pemerintah daerah, masyarakat, dan industri jasa. Mereka inilah aktor-aktor utama yang dapat memuaskan wisatawan. Sehingga upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan adalah dengan cara setiap orang yang terlibat melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul (service excellence), seperti disarankan Elhaitammy (Tjiptono, 2002: 58), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan berupa; kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi. Maksudnya, pelayanan atau jasa menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk mencapai tingkat unggul, setiap orang harus memiliki keterampilan tertentu, di antaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) wisatawan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan wisatawan secara tepat. Mengemas pelayanan yang unggul bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi, bila hal tersebut dapat dilakukan, maka DTW yang menyelenggarakan pariwisata akan dapat meraih manfaat yang besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas wisatawan yang besar. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung komponen pariwisata yang terlibat, seperti pemerintah daerah, masyarakat, dan industri jasa. Wujud dukungan yang harus dilakukan oleh komponen pariwisata adalah bekerja sama dan berkomitmen dalam membangun pariwisata.
Komitmen dan Kerja Sama
Industri pariwisata bukan suatu industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai komponen-komponen yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan dengan sempurna bila komponen-komponen tersebut melebur menjadi satu dan saling mendukung satu dengan lainnya. Komponen-komponen kepariwisataan yang berperan dalam penyelenggaraan sistem industri pariwisata secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu pemerintah, jasa-jasa kepariwisataan, dan masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata. Kewajiban pemerintah daerah adalah merencanakan, membangun, mengorganisasikan, memelihara, dan mengawasi secara bersama dengan pemerintah daerah lainnya dalam segala sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah berserta instansi-instansinya, industri jasa, dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk duduk bareng bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas paket-paket wisata.
Tindakan itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya pada satu area saja dan dilakukan secara tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak dan waktu yang fleksibel. Dengan adanya kerja sama dan komitmen, akan terbentuk kemitraan yang saling mengisi. Maka, aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang menghubungkan antara atraksi wisata yang satu dengan yang lainnya sudah tertata, terhubung dengan baik, dan dari segi keamanan dapat dikoordinasikan secara bersama. Kegiatan promosi dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah daerah dan swasta.
Demikian pula jika terdapat kekurangan-kekurangan, baik dalam sarana dan sumber daya manusia yang kurang terampil, pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator, bantuan dana, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain. Sedangkan industri jasa harus memberikan pelayanan yang unggul dalam diferensiasi dan inovasi produk. Sebab, dengan memberikan pelayanan yang excellent dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk, wisatawan tidak akan pernah bosan untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di DTW. Demikian pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut berpatisipasi yang diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan aman yang berupa keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan wisatawan.
Di samping itu, masyarakat harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata, berpartisipasi bersama-sama pemerintah daerah dalam memelihara sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata, dan ikut andil mendukung kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah tersebut dengan tidak lupa memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta pelayanannya.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Pariwisata Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Hadinoto, Kusudianto. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwsata. Jakarta: UI Press.
Kotler, Philip, John Bowen, dan James Makens. 2002. Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan I. Jakarta: Pren-hallindo.
Mill, Robert Christie. 2000. The Tourism International Business. Jakarta: Raja Grafika Persada.
Musanef. 1996. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Nuriata, Tata. 1992. Perencanaan Perjalanan Wisata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekadijo. 1997. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugiarto, Endar. 1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: Gremedia Pustaka Utama.
Spillane, James J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen Jasa. Yogyakarta: ANDI.
Witt, Stephen F, dan Luiz Motinho. 1994. Tourism Marketing and Management Handbook. British: Prentice Hall International.
Yoeti, Oka A. 1995. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
-----. 1997. Perencanaan dan Pen gembangan Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
-----. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Pradnya
Paramita.
_________
Edwin Fiatiano, Program Studi D3 Pariwisata FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Sumber: www.journal.unair.ac.id
Abstract
Although various tourism objects and attractions ofered in Indonesia, still overseas tour leaders often complain about tourism objects and attractions because their packages have never changed. As a result, the number of visiting foreign tourists based on the entrance decreased to 10.31%. To anticipate such predicament, government carried out massive promotion nationally and internationally. The act of promoting will be efective when it is performed by the accompaniment of well-prepared tourism objects. However, there are still problems regarding the package system. One of the solutions that can be taken as a way out is giving more attention to tourism product style, tourism facility packaging, and tourism service.
Sejak dipopulerkannya istilah pariwisata oleh Presiden Soekarno pada Musyawarah Nasional Tourism ke-2 di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12-14 Juni 1958 (Musanef, 1996: 9), pemerintah semakin optimis bahwa pembangunan pariwisata dapat mendongkrak devisa negara. Tapi, dalam perjalanannya, pendapatan dari sektor pariwisata tidak semulus yang direncanakan. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot, walaupun rupiah mengalami depresiasi yang mengakibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah namun tetap tidak dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dapat dilihat di Tabel Statistik Kunjungan Wisman ke Indonesia Tahun 2005, dengan berdasarkan pintu masuk.
Berdasarkan tabel di atas, terlihat turunnya total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 10,31 % dan hanya tiga pintu masuk yang menerima kunjungan wisatawan mancanegara di atas 1.000.000 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia kurang menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih terkonsentrasinya pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Untuk menyiasati masalah tersebut, pemerintah melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi-promosi wisata di dalam maupun di luar negeri.
Sebenarnya, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat bila dibarengi dengan kesiapan DTW yang dipromosikannya. Sampai sekarang, DTW tertentu saja yang siap menerima kunjungan wisatawan. Sehingga sebaik apapun bentuk promosi yang dilakukan oleh pemerintah, tidak akan membawa hasil yang signifikan bila tidak dibarengi oleh pengemasan produk pariwisata di DTW. Faktor ini akan menimbulkan kekecewaan wisatawan karena kenyataan di lapangan berbeda dengan janji promosi yang mereka lihat dan dengar.
Produk Pariwisata
Menurut Spillane (1994: 14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga hal: (1) Penampilan yang eksotis dari pariwisata; (2) Adanya keinginan dan kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang; dan (3) Memenuhi kepentingan politis pihak yang berkuasa dari negara yang dijadikan daerah tujuan turisme. Dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan (Mill, 2000: 21). Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berhubungan dengan mobilitas, dengan istilah kepariwisataannya disebut tur, yaitu suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk bersenang-senang (Nuriata, 1992: 11).
Berdasarkan aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang menjadi syarat mutlak, yaitu: (1) Harus ada komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata; (2) Komplementaritas antara kebutuhan wisatawan dan jasa pelayanan wisata; (3) Transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal wisatawan ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997: 23).
Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994: 29), sistem pariwisata menunjukkan bahwa pariwisata berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area, yaitu area yang menghasilkan dan area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan tiket, operator tur, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan promosi dari persaingan kawasan tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, darat, dan air yang membawa turis ke/dan/dari adalah ketiga bagian tersebut. Sedangkan area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan, dan pelayanan wisata. Atas penegasan tersebut, jelas bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh, dirasakan, atau dinikmati wisatawan, semenjak ia meninggalkan rumah di mana biasanya ia tinggal, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya, dan kembali ke rumahnya (Yoeti, 1996: 172).
Ditambahkan oleh Baud-Bovy (Yoeti, 2002: 128), produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi wisatawan, yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya yang terdapat pada suatu DTW, fasilitas yang terdapat di suatu DTW, dan transportasi yang membawa dari tempat asalnya ke suatu DTW tertentu. Bagaimana kalau seorang wisatawan yang melakukan perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar hotel dicari ketika berada di kota yang dikunjungi, makan dipilih di mana yang mereka suka, hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di DTW yang dikunjungi) dapat disebut sebagai produk industri pariwisata?
Dalam hal ini, Yoeti (2002: 128) menjelaskan bahwa wisatawan membeli secara terpisah (buy separately) yang langsung membeli kepada unit-unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk airline (tiket), hotel (kamar), restourant (food and beverages), entertainment (cultural performance), tourist attractions (natural and cultural resources).
Dari uraian tersebut, semakin jelas bahwa produk industri wisata merupakan produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraksi wisata (tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations), dan hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi wisatawan, produk industri pariwisata itu tidak lain adalah suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan negara asal, selama di DTW yang dikunjungi, hingga ia kembali pulang ke tempat asalnya.
Berkaitan dengan produk pariwisata, menurut Marrioti (dalam Yoeti, 1996: 172-173), manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu: (1) Tourist resources, yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata; dan (2) Tourist service, yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktivitas yang dapat dilakukan, sementara itu pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersial.
Wisatawan akan melakukan perjalanan wisata bila terdapat hubungan antara motif melakukan wisata dengan daerah yang dituju. Sedangkan perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat tersebut, seperti pesawat terbang, kereta api, kapal laut, dan kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat bila di area yang menjadi DTW tidak dilengkapi sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi, hiburan, tempat perbelanjaan, dan sarana transportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-tempat wisata lainnya. Agar perjalanan wisata ke DTW dapat terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan.
Mengemas Fasilitas
Langkah awal yang dianjurkan oleh Kotler, Bowen, dan Makens (2002: 251) dalam mengemas produk pariwisata adalah membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli khas yang mungkin membutuhkan produk, atau disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dan memilih satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan setiap DTW adalah mengemas produknya disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan mancanegara yang dibidiknya. Untuk mendukung tindakan tersebut, DTW harus mengembangkan posisi bersaing dalam produk pariwisatanya dengan DTW lainnya, atau disebut sebagai kegiatan menetapkan posisi.
Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia yang ditawarkan, akan tetapi di beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada perubahan (Yoeti: 1997: 58). Hal ini perlu diperhatikan karena Tour Leader adalah perwakilan dari operator tur yang mempromosikan dan membawa wisatawan datang ke DTW. Jika obyek yang dipromosikan masih pada atraksi yang terbatas, maka suatu saat dia akan menghentikan promosi daerah tersebut dengan memilih DTW lainnya.
Harus disadari bahwa wisatawan melakukan perjalanan wisata ke suatu DTW tertentu adalah untuk mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang aneh dan belum pernah disaksikannya. Wisatawan biasanya lebih menyukai sesuatu yang berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara yang biasanya ditempati. Yoeti (1997) menyarankan bahwa mengemas produk pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena kemasan ini selalu lebih menarik daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak asli (artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama, dan tidak menguntungkan bagi bagi promosi kepariwisataan jangka panjang di Indonesia. Bukan hanya soal keasliannya, tetapi semua pelayanan yang diberikan kepada wisatawan hendaknya memiliki style yang beda dari yang lain tetapi tetap memuaskan wisatawan. Style produk sangat diperlukan dalam mengemas DTW, tujuannya ialah untuk memperbaharui dan menguasai pasar (to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat menjamin penjualan. Dikatakan oleh Yoeti (1997: 59), product style dalam kepariwisataan dianggap baik dengan syarat-syarat: (1) Obyek harus menarik untuk disaksikan maupun dipelajari; (2) Mempunyai kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain; (3) Prasarana menuju ke tempat tersebut terpelihara dengan baik; (4) Tersedia fasilitas something to see, something to do, dan something to buy; (5) Kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal lain yang dianggap perlu.
Bila produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap sama oleh wisatawan, maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata sedemikian rupa, sehingga dengan adanya obyek tersebut beserta segala fasilitas yang tersedia dapat menjadikan suatu DTW yang menarik untuk dikunjungi. Untuk mendukung pengemasan product style sistem pariwisata, maka perlu diadakan survey terhadap obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. Hadinoto (1996: 69-70) menjelaskan bahwa survei diadakan untuk menggolongkan obyek dan atraksi wisata menjadi: (1) Penggolongan jenis kepariwisataaan, berupa destination tourism (untuk wisatawan yang tinggal lama) dan touring tourism (untuk wisatawan yang tinggal sebentar); (2) Penggolongan atraksi, berupa atraksi utama (core attraction), atraksi pendukung (supporting attraction); (3) Penggolongan jenis atraksi yang terdiri dari resource-based attraction dan user-oriented attraction.
Pada penjelasan di atas, yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi, transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang digunakan dalam tur ke beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau liburan. Atraksi terletak di dekat rute perjalanan, di persimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing kelompok pengunjung. Aktivitas hampir pasif karena waktu yang hampir terbatas, adanya jadwal perjalanan tertentu.
Distribusi geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination tourism adalah geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan di satu titik destinasi, yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang (Hadinoto, 1996: 29-30). Mengemas obyek dan atraksi wisata agar sesuai dengan bentuk touring tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang tinggal sebentar, sebaliknya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama, obyek dan atraksi wisata dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian dari konsep touring karena obyek tersebut tidak didukung oleh sarana yang dapat menahan wisatawan lama dalam jangka waktu. Sedangkan pengemasan berdasarkan konsep destination tourism dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, dan Pantai Senggigi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang mamu menahan wisatawan untuk beberapa lama, seperti hotel, restoran, dan tempat hiburan.
Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi wisata sebagai obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada DTW di Bali, yang inti atraksinya adalah Danau Kintamani dengan pendukungnya adalah kesenian Tari Barong, kerajinan perak, Pasar Sukowati, pemandian tirta empul, dan sejenisnya. Jarak antara obyek inti dan obyek pendukungnya berdekatan sehingga dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya dirancang berbentuk lingkaran (cycle) sehingga wisatawan dapat kembali ke tempat keberangkatan semula.
Dalam menata obyek dan atraksi wisata, penyelenggara di DTW lebih mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar negeri, misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, dan Gunung Bromo. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang lokal berekreasi, misalnya Air Terjun Sedudo, dan Kolam Renang Selecta. Penggolongan atraksi pertama disebut dengan resource-based attraction, sedangkan penggolongan kedua disebut sebagai user-oriented attraction.
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang, misalnya dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan sangat penting karena wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya memerlukan sarana penginapan di DTW yang mereka kunjungi. Perencanaan pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarang akan berdampak pada lama tinggal (length of stay) wisatawan di DTW, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif, dan lokasi (Soekadijo, 1997: 95).
Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang terpenting adalah: (1) Bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan adalah bak mandi rendam (bathtub); (2) Semua fasilitas di dalam hotel harus berfungsi dengan baik; (3) Penempatan fasilitas yang terdapat di dalam hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah wisatawan untuk mempergunakan; (4) Fasilitas-fasilitas yang digunakan di dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau bermutu.
Sedangkan syarat pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya, terutama mengenai kegiatan aktornya, yaitu apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya harus dapat diandalkan, dengan adanya kemudahan untuk dihubungi dan selalu siap dalam membantu kesulitan wisatawan. Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor tersebut harus bebas dari kesalahan.
Agar hotel dapat memberikan jasa dengan baik, di samping fasilitas dan pelayanannya, faktor menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus dikeluarkan oleh wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus rencanakan dengan cermat karena merupakan salah satu bahan pertimbangan wisatawan untuk berwisata ke suatu DTW.
Di samping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi harus dapat mengangkat citra lingkungan di mana hotel tersebut berdiri. Jangan sampai berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif di lingkungan masyarakat.
Dalam merencanakan kawasan, sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan juga syarat sentralitas akomodasi. Maksudnya, lokasi sarana akomodasi diusahakan berada di tengah-tengah atau berdekatan dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di sini harus diartikan berdasarkan kenyamanan, waktu, dan biaya untuk mencapainya. Meskipun jaraknya jauh, kalau dapat dicapai dalam waktu singkat dan nyaman dengan biaya murah, makan jarak itu adalah dekat. Sebaliknya, jarak yang dekat menjadi jauh kalau untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan perjalanan yang tidak enak dan dengan biaya mahal. Persyaratan sentralitas perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan aktivitas wisatawan yang sebagaian besar waktunya untuk mengunjungi obyek dan atraksi wisata. Bila jarak antara atraksi wisata dengan akomodasi berjauhan, akan menyebabkan wisatawan mengalami kelelahan. Akibatnya, wisatawan tidak betah tinggal lama di DTW tersebut. Apabila persyaratan sentralitas itu menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi wisata, maka sarana itu juga dituntut memenuhi syarat untuk mudah ditemukan dan mudah dicapai. Lokasi yang amat tepat adalah dekat terminal-terminal angkutan, bandar udara, stasiun kereta api, dan pelabuhan. Sedangkan lokasi lainnya dapat berada di sepanjang jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang terletak di sepanjang jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawan.
Mengemas obyek dan atraksi wisata serta sarana akomodasi yang baik belum cukup untuk mendatangkan wisatawan ke DTW bila tanpa adanya kemudahan aksesibilitas menuju ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas wisatawan dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana transportasi baik melalui darat, udara, dan laut. Dalam mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana jasa kendaraan angkutan itu dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu diselenggarakan antara tempat pemberangkatan (point of departure) dan tempat tujuan (point of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata wisatawan, transportasi di DTW harus memiliki fasilitas yang berkualitas, pelayanan yang sempurna, dan keramahtamahan. Mengemas ketiga hal yang telah dijelaskan di atas kurang lengkap bila tidak tersedia jasa pendukung lain, seperti restoran, bengkel, SPBU, katering, dan tempat hiburan. Sebagai contoh, jika jalan dan kendaraan menuju ke obyek dan atraksi wisata sudah bagus, maka orang masih akan berpikir apakah ia berani mengadakan perjalanan. Soalnya, di tengah perjalanan pengendara perlu makan, kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar, dan kalau ada kerusakan mesin kendaraan memerlukan bengkel. Tanpa jasa-jasa pendukung, kegiatan pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten.
Penyempurnaan pengemasan patut diperhatikan dalam penataan lima jenis komponen DTW (Hadinoto, 1996: 36), berupa: (1) Gateway atau pintu masuk (pintu gerbang), seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dan terminal bis; (2) Tourist centre atau pusat pe¬ngembangan pariwisata (PPP), yang dapat berupa suatu kawasan wisata (resort) atau bagian kota yang ada; (3) Attraction atau atraksi kelompok satu atau lebih; (4) Tourist corridor atau pintu masuk wisata, yang menghubungkan gateway dengan tourist centre, dan dari tourist centre ke attraction; (5) Hinterland atau tanah yang tidak digunakan untuk empat komponen tersebut.
Wisatawan lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP di mana ia menemukan akomodasi dan semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti restoran, toko cenderamata, biro perjalanan wisata, dan persewaan kendaraan. Dari PPP ia mengadakan perjalanan wisata ke atraksi wisata, melewati koridor wisata. Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati pemandangan indah dan kehidupan rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut sebagai hinterland. Hinterland ini perlu tetap menarik, dan tidak diubah menjadi bangunan tinggi, pabrik, dan sebagainya. Penetapan lokasi sebagai PPP wajib memperhatikan sarana akomodasi, tempat hiburan, toko cenderamata, jarak menuju ke atraksi wisata tidak boleh terlalu jauh, dan armada transportasi perlu dibenahi dalam segi kuantitas, kua¬litas, dan pelayanan, karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan ke obyek dan atraksi wisata yang hendak dikunjunginya.
Mengemas Pelayanan
Pengemasan fasilitas-fasilitas produk pariwisata yang baik tidak akan cukup menarik wisatawan bila tidak diberi roh. Pelayanan adalah roh yang akan menggerakkan aktivitas pariwisata sebab yang dibeli oleh wisatawan adalah pelayanan sejak dia berangkat, datang ke DTW, dan kembali lagi ke tempat asal. Menurut Sugiarto (1999: 36), pelayanan adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lainnya) yang tingkat pemuasnya hanya dapat dirasakan orang yang sedang melayani maupun yang dilayani.
Berkaitan dengan memberikan pelayanan, yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan wisatawan. Agar wisatawan terpuaskan selama melakukan perjalanan wisata, maka jasa-jasa pariwisata harus dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya, jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan wisatawan secara konsisten (Tjiptono, 2002: 60).
Berkaitan dengan memperlihatkan kualitas jasa, yang berperan sangat penting adalah contact personnel atau orang-orang yang terlibat dalam pariwisata, seperti pegawai pemerintah daerah, masyarakat, dan industri jasa. Mereka inilah aktor-aktor utama yang dapat memuaskan wisatawan. Sehingga upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan adalah dengan cara setiap orang yang terlibat melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul (service excellence), seperti disarankan Elhaitammy (Tjiptono, 2002: 58), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan berupa; kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi. Maksudnya, pelayanan atau jasa menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk mencapai tingkat unggul, setiap orang harus memiliki keterampilan tertentu, di antaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) wisatawan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan wisatawan secara tepat. Mengemas pelayanan yang unggul bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi, bila hal tersebut dapat dilakukan, maka DTW yang menyelenggarakan pariwisata akan dapat meraih manfaat yang besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas wisatawan yang besar. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung komponen pariwisata yang terlibat, seperti pemerintah daerah, masyarakat, dan industri jasa. Wujud dukungan yang harus dilakukan oleh komponen pariwisata adalah bekerja sama dan berkomitmen dalam membangun pariwisata.
Komitmen dan Kerja Sama
Industri pariwisata bukan suatu industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai komponen-komponen yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan dengan sempurna bila komponen-komponen tersebut melebur menjadi satu dan saling mendukung satu dengan lainnya. Komponen-komponen kepariwisataan yang berperan dalam penyelenggaraan sistem industri pariwisata secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu pemerintah, jasa-jasa kepariwisataan, dan masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata. Kewajiban pemerintah daerah adalah merencanakan, membangun, mengorganisasikan, memelihara, dan mengawasi secara bersama dengan pemerintah daerah lainnya dalam segala sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah berserta instansi-instansinya, industri jasa, dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk duduk bareng bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas paket-paket wisata.
Tindakan itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya pada satu area saja dan dilakukan secara tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak dan waktu yang fleksibel. Dengan adanya kerja sama dan komitmen, akan terbentuk kemitraan yang saling mengisi. Maka, aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang menghubungkan antara atraksi wisata yang satu dengan yang lainnya sudah tertata, terhubung dengan baik, dan dari segi keamanan dapat dikoordinasikan secara bersama. Kegiatan promosi dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah daerah dan swasta.
Demikian pula jika terdapat kekurangan-kekurangan, baik dalam sarana dan sumber daya manusia yang kurang terampil, pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator, bantuan dana, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain. Sedangkan industri jasa harus memberikan pelayanan yang unggul dalam diferensiasi dan inovasi produk. Sebab, dengan memberikan pelayanan yang excellent dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk, wisatawan tidak akan pernah bosan untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di DTW. Demikian pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut berpatisipasi yang diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan aman yang berupa keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan wisatawan.
Di samping itu, masyarakat harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata, berpartisipasi bersama-sama pemerintah daerah dalam memelihara sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata, dan ikut andil mendukung kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah tersebut dengan tidak lupa memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta pelayanannya.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Pariwisata Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Hadinoto, Kusudianto. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwsata. Jakarta: UI Press.
Kotler, Philip, John Bowen, dan James Makens. 2002. Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan I. Jakarta: Pren-hallindo.
Mill, Robert Christie. 2000. The Tourism International Business. Jakarta: Raja Grafika Persada.
Musanef. 1996. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Nuriata, Tata. 1992. Perencanaan Perjalanan Wisata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekadijo. 1997. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugiarto, Endar. 1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: Gremedia Pustaka Utama.
Spillane, James J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen Jasa. Yogyakarta: ANDI.
Witt, Stephen F, dan Luiz Motinho. 1994. Tourism Marketing and Management Handbook. British: Prentice Hall International.
Yoeti, Oka A. 1995. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
-----. 1997. Perencanaan dan Pen gembangan Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
-----. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Pradnya
Paramita.
_________
Edwin Fiatiano, Program Studi D3 Pariwisata FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Sumber: www.journal.unair.ac.id