Oleh : Aswandi Syahri
Sebagai sebuah kawasan pemukiman di kawasan Tanjungpinang, usia Tanjung Unggat sudah tua. Nama kampung ini dicatat dalam kitab-kitab sejarah lama seperti Tuhfat al-Nafis dan Hikayat Negeri Johor. Kampung yang terletak di salah satu sisi muara Sungai Payung yang bermuara di Kuala Sungai Riau ini, pernah memainkan peranan yang penting dan tempat kediaman raja-raja Riau-Lingga sebelum Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman kaum kerabat Yang Dipertuan Muda Riau.
Akses jalan dari pusat kota lama Tanjungpinang ke Tanjung Unggat dan kawasan pemukiman di sekitar Sungai Payung telah pula mulai dibuka oleh pemerintan Belanda di Tanjungpinang pada tahun 1893.
Tak jelas bagaimana asal-usul nama Tanjung Unggat. Namun dengan mencari makna yang terkandung dalam toponim kampung ini, sedikit banyak dapat mengisi kekosongan informasi tentang asal-usul namanya. Kamus bahasa Melayu lama yang diselenggarakan oleh R.J. Wilkinson menjelaskan makna pertama kata unggat adalah, tegak atau berdiri. Dengan demikian, nama Tanjung Unggat, boleh jadi, berasal dari sesuatu yang tegak berdiri di sebuah tanjung.
Dalam sebuah naskah kuno Johor yang dikutip oleh R.O. Winstedt disebutkan bahwa Tanjung Unggat telah dibuka sebagai sebuah kawasan tempat tinggal pada tahun 1792 M bersamaan dengan tahun 1207 Hijriah oleh Engku Muda Raja Muhammad bin Datuk Temenggung Abdul Jamal, Temenggung Johor di pulau Bulang.
Akan tetapi dipihak lain, versi panjang dan versi pendek Tuhfat al-Nafis serta Hikayat Negeri Johor sama-sama menyebutkan, Raja Ali Yang Dipertuan Muda V atau Marhum Pulau Bayan yang membuka Tanjung Unggat. Namun Raja Ali Haji maupun penulis Hikayat Negeri Johor tidak menjelaskan kapan peristiwa itu terjadi.
Dalam Tuhfat versi panjang umpamanya, Raja Ali Haji hanya menjelaskan sebagai berikut: “Maka Yang Dipertuan Muda Raja Ali pun berangkatlah ke Riau. Maka apabila tiba ke Riau maka lalulah membuat tempat di Tanjung Unggat.”
Tanjung Unggat menjadi semakin penting setelah VOC (Belanda) mengembalikan Riau kepada Sultan Mahmud pada tahun 1795 sebagai bagian dari perdamaian setelah melewati pertelingkahan panjang usai kekalahan Raja Haji di Teluk Ketapang tahun 1784.
Dimasa itulah Engku Muda Raja Muhammad yang telah menetap di Tanjung Unggat dititahkan memerintah Riau sebagai stedehouder (wakil atau wali) Sultan Mahmud yang telah menetap di Lingga, karena Raja Ali yang menggantikan Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau menyingkir ke Sukadana dan terakhir ke Muar.
Ketika Raja Ali dan Engku Karaeng Talibak kembali ke Riau pada tahun 1800, dan menetap pula di Tanjung Unggat, maka pecahlah peselisilahan dan menyulut peperangan antara orang Melayu di pihak Engku Muda dengan orang Bugis di pihak Raja Ali karena keduanya merasa berhak memerintah Riau. Engku Muda berpegang pada titah Sultan Mahmud dan Raja Ali masih menganggap dirinya Yang Dipertuan Muda. Bagaimanapun, Engku Muda akhirnya menyingkir ke Pulau Bulang.
Perselisihan antara orang Bugis dan Melayu ini baru berakhir ketika Engku Muda yang kemudian menggelar dirinya “Raja Bulang dan Bintan, mantan Sultan Riau,” didamaikan oleh Sultan Mahmud di atas perahu Engku Busu yang berlabuh di Kuala Bulang pada tahun 1802. Dan untuk kesekian kalinya pula sumpah setia antara orang Melayu dan Bugis dilakukan.
Raja Ali akhirnya dilantik kembali menjadi Yang Dipertuan Muda Riau V berkedudukan di Tanjung Unggat dan Pulau Bayan. Sementara itu Engku Muda diberi kuasa memerintah Bulang, walaupun kemudian ditolaknya.
Selain mendamaikan Engku Muda dan Raja Ali, ikrar persetiaan Melayu-Bugis untuk kesekian kalinya itu ditandai pula dengan dinikahkannya Sultan Mahmud dan Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah yang kemudian bergelar Engku Puteri oleh Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V di Riau.
Setelah pernikahan itu, Sultan Mahmud membuatkan sebuah istana untuk Engku Puteri di Tanjung Unggat. Dalam Tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji menjelaskan peritiwa ini sebagai berikut: “…Syahdan setelah selesai daripada bernikah kahwin itu maka lalu memperbuat istana di Tanjung Unggat. Maka Tetaplah Baginda Sultan Mahmud itu di dalam Riau bersuka-sukaan sehari-hari adanya.”
Adapun Raja Ali sendiri akhirnya mangkat di Pulau Bayan dan dimakamkan di Tanjung Unggat dengan gelar (posthumous) “Marhum Pulau Bayan”.
__________
Sumber: Batam Pos
Sebagai sebuah kawasan pemukiman di kawasan Tanjungpinang, usia Tanjung Unggat sudah tua. Nama kampung ini dicatat dalam kitab-kitab sejarah lama seperti Tuhfat al-Nafis dan Hikayat Negeri Johor. Kampung yang terletak di salah satu sisi muara Sungai Payung yang bermuara di Kuala Sungai Riau ini, pernah memainkan peranan yang penting dan tempat kediaman raja-raja Riau-Lingga sebelum Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman kaum kerabat Yang Dipertuan Muda Riau.
Akses jalan dari pusat kota lama Tanjungpinang ke Tanjung Unggat dan kawasan pemukiman di sekitar Sungai Payung telah pula mulai dibuka oleh pemerintan Belanda di Tanjungpinang pada tahun 1893.
Tak jelas bagaimana asal-usul nama Tanjung Unggat. Namun dengan mencari makna yang terkandung dalam toponim kampung ini, sedikit banyak dapat mengisi kekosongan informasi tentang asal-usul namanya. Kamus bahasa Melayu lama yang diselenggarakan oleh R.J. Wilkinson menjelaskan makna pertama kata unggat adalah, tegak atau berdiri. Dengan demikian, nama Tanjung Unggat, boleh jadi, berasal dari sesuatu yang tegak berdiri di sebuah tanjung.
Dalam sebuah naskah kuno Johor yang dikutip oleh R.O. Winstedt disebutkan bahwa Tanjung Unggat telah dibuka sebagai sebuah kawasan tempat tinggal pada tahun 1792 M bersamaan dengan tahun 1207 Hijriah oleh Engku Muda Raja Muhammad bin Datuk Temenggung Abdul Jamal, Temenggung Johor di pulau Bulang.
Akan tetapi dipihak lain, versi panjang dan versi pendek Tuhfat al-Nafis serta Hikayat Negeri Johor sama-sama menyebutkan, Raja Ali Yang Dipertuan Muda V atau Marhum Pulau Bayan yang membuka Tanjung Unggat. Namun Raja Ali Haji maupun penulis Hikayat Negeri Johor tidak menjelaskan kapan peristiwa itu terjadi.
Dalam Tuhfat versi panjang umpamanya, Raja Ali Haji hanya menjelaskan sebagai berikut: “Maka Yang Dipertuan Muda Raja Ali pun berangkatlah ke Riau. Maka apabila tiba ke Riau maka lalulah membuat tempat di Tanjung Unggat.”
Tanjung Unggat menjadi semakin penting setelah VOC (Belanda) mengembalikan Riau kepada Sultan Mahmud pada tahun 1795 sebagai bagian dari perdamaian setelah melewati pertelingkahan panjang usai kekalahan Raja Haji di Teluk Ketapang tahun 1784.
Dimasa itulah Engku Muda Raja Muhammad yang telah menetap di Tanjung Unggat dititahkan memerintah Riau sebagai stedehouder (wakil atau wali) Sultan Mahmud yang telah menetap di Lingga, karena Raja Ali yang menggantikan Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau menyingkir ke Sukadana dan terakhir ke Muar.
Ketika Raja Ali dan Engku Karaeng Talibak kembali ke Riau pada tahun 1800, dan menetap pula di Tanjung Unggat, maka pecahlah peselisilahan dan menyulut peperangan antara orang Melayu di pihak Engku Muda dengan orang Bugis di pihak Raja Ali karena keduanya merasa berhak memerintah Riau. Engku Muda berpegang pada titah Sultan Mahmud dan Raja Ali masih menganggap dirinya Yang Dipertuan Muda. Bagaimanapun, Engku Muda akhirnya menyingkir ke Pulau Bulang.
Perselisihan antara orang Bugis dan Melayu ini baru berakhir ketika Engku Muda yang kemudian menggelar dirinya “Raja Bulang dan Bintan, mantan Sultan Riau,” didamaikan oleh Sultan Mahmud di atas perahu Engku Busu yang berlabuh di Kuala Bulang pada tahun 1802. Dan untuk kesekian kalinya pula sumpah setia antara orang Melayu dan Bugis dilakukan.
Raja Ali akhirnya dilantik kembali menjadi Yang Dipertuan Muda Riau V berkedudukan di Tanjung Unggat dan Pulau Bayan. Sementara itu Engku Muda diberi kuasa memerintah Bulang, walaupun kemudian ditolaknya.
Selain mendamaikan Engku Muda dan Raja Ali, ikrar persetiaan Melayu-Bugis untuk kesekian kalinya itu ditandai pula dengan dinikahkannya Sultan Mahmud dan Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah yang kemudian bergelar Engku Puteri oleh Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V di Riau.
Setelah pernikahan itu, Sultan Mahmud membuatkan sebuah istana untuk Engku Puteri di Tanjung Unggat. Dalam Tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji menjelaskan peritiwa ini sebagai berikut: “…Syahdan setelah selesai daripada bernikah kahwin itu maka lalu memperbuat istana di Tanjung Unggat. Maka Tetaplah Baginda Sultan Mahmud itu di dalam Riau bersuka-sukaan sehari-hari adanya.”
Adapun Raja Ali sendiri akhirnya mangkat di Pulau Bayan dan dimakamkan di Tanjung Unggat dengan gelar (posthumous) “Marhum Pulau Bayan”.
__________
Sumber: Batam Pos