Oleh : Bayu Dwi Mardana, SH
Kantor Administrasi dan Museum Tamansari Gua Sunyaragi, Cirebon
CIREBON – Tamansari Gua Sunyaragi adalah satu contoh hasil budaya nenek moyang Indonesia. Begitupun, kecanggihan arsitekturnya tak kalah dengan kreasi orang-orang masa kini. Sayang, potret kekaguman itu harus luntur lantaran tak ada perawatan yang serius. Inikah cermin kepribadian bangsa kita?
Djulianto Susantio pernah beberapa kali mengingatkan. Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia itu mengatakan, wisata budaya atau arkeologi bukanlah angan-angan. Wisata budaya malahan bisa jadi yang terbaik dalam dunia pariwisata kita. Objek budaya mampu menyumbang banyak uang ke kas negara dan tak ketinggalan kantung masyarakat.
Namun, kalau mau jadi yang terbaik harus ada beberapa syarat yang dipenuhi. Objek budaya harus dirawat dengan sungguh-sungguh, dikemas rapi dengan bungkus paket wisata yang menarik. Biar tambah ciamik ditambahi “bumbu” dan variasi yang beraneka rupa.
Soal dananya? Nah, inilah masalah klasik yang tak pernah mendapat jawaban tuntas. Kekurangan dana selalu menjadi penyebab utama terbengkalainya peninggalan arkeologi di Indonesia. Padahal, sudah dari dulu peninggalan itu membuat wisatawan asing terkagum-kagum.
Yang dalam negeri sebetulnya punya ketertarikan sama. Tapi, mereka lebih terfokus pada peninggalan-peninggalan yang sudah jadi objek wisata massal, seperti Candi Borobudur, Prambanan dan lainnya. Di situ, semuanya sudah “jadi”. Tak salah memang.
Menurut perhitungan Djulianto, terdapat sekitar 3.000 peninggalan arkeologi di Indonesia, berupa bangunan, situs dan permukiman. Peninggalan ini termasuk benda tak bergerak. Dengan jumlah sebanyak itu kebudayaan, Indonesia boleh dibilang sejajar dengan dengan kebudayaan Mesir, Cina dan India.
Peninggalan arkeologi yang terawat dan tergarap sebagai objek wisata budaya dengan baik jumlahnya masih sedikit, selebihnya megap-megap untuk bisa bertahan tak lapuk dimakan waktu. Salah satunya adalah Tamansari Gua Sunyaragi. Objek budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon.
Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Dari sisa peninggalan yang ada, terlihat kecanggihan dan keunikan hasil budaya manusia pada zamannya. Dan seharusnya, itu masih bisa terlihat sampai sekarang bila tak ada gangguan dan perawatan secara berkala.
Tamansari Gua Sunyaragi. Situs yang luasnya sekitar 1,5 hektare begitu memiriskan dada. Saat ini, objek wisata budaya ini tak lagi bergigi. Berantakan dan rasanya tak pantas untuk ditawarkan kepada wisatawan. Malah di beberapa bagian, terdapat bangunan yang harus disangga supaya tak runtuh.
Bontot, pemandu lokal yang menemani kami berkeliling mengakui hal itu. Bukan cuma situsnya yang terbengkalai, tapi para pengelola –termasuk pemandu– tak mendapat perhatian sepadan. “Dulu, saya sering iri dengan orang, waktu Lebaran begini mereka dapat thr (tunjangan hari raya), tapi kami tidak. Paling-paling berupa uang kadeudeuh (hadiah-red),” ucapnya serius. Tunjangan impian itu baru ia nikmati sekitar delapan tahun ke belakang, sebelumnya ia harus tambal sana-sini untuk menghidupi keluarga.
Taman Air Sunyaragi berasal dari kata ”sunya” yang berarti sepi dan ”ragi” yang berarti raga atau jasad. Taman ini berada di dalam kekuasaan Keraton Kasepuhan. Walaupun berubah -ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara garis besar Taman Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan.
Taman Sunyaragi terdiri dari 12 bagian:
(1)bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih;
(2) goa pengawal, tempat berkumpul para pengawal sultan;
(3) kompleks Mande Kemasan (sebagain hancur);
(4) gua Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam;
(5) gua Simanyang, tempat pos penjagaan;
(6) gua Langse, tempat bersantai;
(7) gua peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh;
(8) gua Arga Jumud, tempat orang penting keraton;
(9) gua Padang Ati, tempat bersemedi;
(10) gua Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan;
(11)gua Lawa, tempat khusus kelelawar;
(12) gua pawon, dapur penyimpanan makanan.
Mengamati Sunyaragi kita bisa melihat rangkaian sejarah sesuai dengan masanya. Dari data penelitian, konstruksinya menunjukkan keunikan, setiap kurun waktu selalu ada perubahan bentuk menurut selera serta kebutuhan sultan yang memerintah. Ini juga menyangkut dengan fungsi dari tempat ini. Lama-kelamaan, Tamansari Gua Sunyaragi berfungsi ganda. Bukan hanya digunakan sebagai pesangrahan saja, tapi juga untuk kegiatan politik perlawanan.
Simbol perlawanan itu dapat terlihat pada masa pemerintahan Sultan Matangaji Tajul Arifin, tempat ini dijadikan sebagai tempat pembuatan senjata dan pusat latihan olah keprajuritan kerajaan. Itu sebabnya, pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya pada tahun 1852, Tamansari Gua Sunyaragi mengalami renovasi, setelah sebelumnya dihancurkan oleh Belanda.
Untuk perbaikan itu, Sultan menugaskan arsitek Cina. Konon, arsitek itu disekap dan dibunuh agar rahasia Gua Sunyaragi tak bocor ke tangan Belanda. Chay Khong dan Sam Pho Tia Jin juga sering dihubung-hubungkan dengan legenda Sunyaragi. Apalagi, kompleks ini juga menyimpan bukti ada situs yang diberi patok “Kuburan Cina”. Di dekatnya terdapat pohon beringin yang umurnya sudah ratusan tahun. Saking tuanya, beberapa batangnya perlu disangga dengan tiang beton dan besi.
Upaya Pemugaran
Pemugaran Tamansari Gua Sunyaragi pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1937-1938. Pelaksanaannya diserahkan kepada seorang petugas Dinas Kebudayaan Semarang. Namanya, Krisjman. Ia hanya memperkuat konstruksi aslinya dengan menambah tiang-tiang atau pilar bata penguat, terutama pada bagian atap lengkung. Namun terkadang ia juga menghilangkan bentuk aslinya, apabila dianggap membahayakan bangunan keseluruhan. Seperti terlihat di Gua Pengawal dan sayap kanan-kiri antara gedung Jinem dan Mande Beling.
Pemugaran terakhir dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang memugar Tamansari secara keseluruhan dari tahun 1976 hingga 1984. Sejak itu tak ada lagi aktivitas pemeliharan yang serius pada kompleks ini.
Bila ditilik, kompleks taman air dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan. Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon.
Namun menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M.
Di Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut ”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya.
Dijelaskan, Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.
Sumber : http://cerbonan.wordpress.com
Kantor Administrasi dan Museum Tamansari Gua Sunyaragi, Cirebon
CIREBON – Tamansari Gua Sunyaragi adalah satu contoh hasil budaya nenek moyang Indonesia. Begitupun, kecanggihan arsitekturnya tak kalah dengan kreasi orang-orang masa kini. Sayang, potret kekaguman itu harus luntur lantaran tak ada perawatan yang serius. Inikah cermin kepribadian bangsa kita?
Djulianto Susantio pernah beberapa kali mengingatkan. Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia itu mengatakan, wisata budaya atau arkeologi bukanlah angan-angan. Wisata budaya malahan bisa jadi yang terbaik dalam dunia pariwisata kita. Objek budaya mampu menyumbang banyak uang ke kas negara dan tak ketinggalan kantung masyarakat.
Namun, kalau mau jadi yang terbaik harus ada beberapa syarat yang dipenuhi. Objek budaya harus dirawat dengan sungguh-sungguh, dikemas rapi dengan bungkus paket wisata yang menarik. Biar tambah ciamik ditambahi “bumbu” dan variasi yang beraneka rupa.
Soal dananya? Nah, inilah masalah klasik yang tak pernah mendapat jawaban tuntas. Kekurangan dana selalu menjadi penyebab utama terbengkalainya peninggalan arkeologi di Indonesia. Padahal, sudah dari dulu peninggalan itu membuat wisatawan asing terkagum-kagum.
Yang dalam negeri sebetulnya punya ketertarikan sama. Tapi, mereka lebih terfokus pada peninggalan-peninggalan yang sudah jadi objek wisata massal, seperti Candi Borobudur, Prambanan dan lainnya. Di situ, semuanya sudah “jadi”. Tak salah memang.
Menurut perhitungan Djulianto, terdapat sekitar 3.000 peninggalan arkeologi di Indonesia, berupa bangunan, situs dan permukiman. Peninggalan ini termasuk benda tak bergerak. Dengan jumlah sebanyak itu kebudayaan, Indonesia boleh dibilang sejajar dengan dengan kebudayaan Mesir, Cina dan India.
Peninggalan arkeologi yang terawat dan tergarap sebagai objek wisata budaya dengan baik jumlahnya masih sedikit, selebihnya megap-megap untuk bisa bertahan tak lapuk dimakan waktu. Salah satunya adalah Tamansari Gua Sunyaragi. Objek budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon.
Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Dari sisa peninggalan yang ada, terlihat kecanggihan dan keunikan hasil budaya manusia pada zamannya. Dan seharusnya, itu masih bisa terlihat sampai sekarang bila tak ada gangguan dan perawatan secara berkala.
Tamansari Gua Sunyaragi. Situs yang luasnya sekitar 1,5 hektare begitu memiriskan dada. Saat ini, objek wisata budaya ini tak lagi bergigi. Berantakan dan rasanya tak pantas untuk ditawarkan kepada wisatawan. Malah di beberapa bagian, terdapat bangunan yang harus disangga supaya tak runtuh.
Bontot, pemandu lokal yang menemani kami berkeliling mengakui hal itu. Bukan cuma situsnya yang terbengkalai, tapi para pengelola –termasuk pemandu– tak mendapat perhatian sepadan. “Dulu, saya sering iri dengan orang, waktu Lebaran begini mereka dapat thr (tunjangan hari raya), tapi kami tidak. Paling-paling berupa uang kadeudeuh (hadiah-red),” ucapnya serius. Tunjangan impian itu baru ia nikmati sekitar delapan tahun ke belakang, sebelumnya ia harus tambal sana-sini untuk menghidupi keluarga.
Taman Air Sunyaragi berasal dari kata ”sunya” yang berarti sepi dan ”ragi” yang berarti raga atau jasad. Taman ini berada di dalam kekuasaan Keraton Kasepuhan. Walaupun berubah -ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara garis besar Taman Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan.
Taman Sunyaragi terdiri dari 12 bagian:
(1)bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih;
(2) goa pengawal, tempat berkumpul para pengawal sultan;
(3) kompleks Mande Kemasan (sebagain hancur);
(4) gua Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam;
(5) gua Simanyang, tempat pos penjagaan;
(6) gua Langse, tempat bersantai;
(7) gua peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh;
(8) gua Arga Jumud, tempat orang penting keraton;
(9) gua Padang Ati, tempat bersemedi;
(10) gua Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan;
(11)gua Lawa, tempat khusus kelelawar;
(12) gua pawon, dapur penyimpanan makanan.
Mengamati Sunyaragi kita bisa melihat rangkaian sejarah sesuai dengan masanya. Dari data penelitian, konstruksinya menunjukkan keunikan, setiap kurun waktu selalu ada perubahan bentuk menurut selera serta kebutuhan sultan yang memerintah. Ini juga menyangkut dengan fungsi dari tempat ini. Lama-kelamaan, Tamansari Gua Sunyaragi berfungsi ganda. Bukan hanya digunakan sebagai pesangrahan saja, tapi juga untuk kegiatan politik perlawanan.
Simbol perlawanan itu dapat terlihat pada masa pemerintahan Sultan Matangaji Tajul Arifin, tempat ini dijadikan sebagai tempat pembuatan senjata dan pusat latihan olah keprajuritan kerajaan. Itu sebabnya, pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya pada tahun 1852, Tamansari Gua Sunyaragi mengalami renovasi, setelah sebelumnya dihancurkan oleh Belanda.
Untuk perbaikan itu, Sultan menugaskan arsitek Cina. Konon, arsitek itu disekap dan dibunuh agar rahasia Gua Sunyaragi tak bocor ke tangan Belanda. Chay Khong dan Sam Pho Tia Jin juga sering dihubung-hubungkan dengan legenda Sunyaragi. Apalagi, kompleks ini juga menyimpan bukti ada situs yang diberi patok “Kuburan Cina”. Di dekatnya terdapat pohon beringin yang umurnya sudah ratusan tahun. Saking tuanya, beberapa batangnya perlu disangga dengan tiang beton dan besi.
Upaya Pemugaran
Pemugaran Tamansari Gua Sunyaragi pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1937-1938. Pelaksanaannya diserahkan kepada seorang petugas Dinas Kebudayaan Semarang. Namanya, Krisjman. Ia hanya memperkuat konstruksi aslinya dengan menambah tiang-tiang atau pilar bata penguat, terutama pada bagian atap lengkung. Namun terkadang ia juga menghilangkan bentuk aslinya, apabila dianggap membahayakan bangunan keseluruhan. Seperti terlihat di Gua Pengawal dan sayap kanan-kiri antara gedung Jinem dan Mande Beling.
Pemugaran terakhir dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang memugar Tamansari secara keseluruhan dari tahun 1976 hingga 1984. Sejak itu tak ada lagi aktivitas pemeliharan yang serius pada kompleks ini.
Bila ditilik, kompleks taman air dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan. Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon.
Namun menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M.
Di Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut ”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya.
Dijelaskan, Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.
Sumber : http://cerbonan.wordpress.com