Situs Gua Hunian Pra Sejarah Morotai Selatan, Kajian Fungsi dan Artefaktual

Oleh Irfanuddin Wahid Marzuki

Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa mesolithikum atau zaman batu tengah (Soekmono, 1996:46) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut (Poesponegoro, 1993:125). Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden, berpindah-pindah. Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu (Poesponegoro, 1993:135). Tempat tinggal yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di Sumatera Timur (Poesponegoro, 1993:125).

Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak zaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu.

Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 :178-180). Bahkan di Papua sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.

Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak zaman pleistosen akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik (Bellwood, 1996: 278-279). Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan, dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996:280). Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.

Fungsi Gua Hunian Pra Sejarah Situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Morotai Selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15–50 mdpl. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan (Poesponegoro, 1993:125). Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu (Bellwood, 1996:280). Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.

Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro-Melanesia (Bellwood, 1996:124-125). Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

a. Sebagai Tempat Tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya (Sugiyanto, 2004). Pada awal-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.

b. Sebagai Kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya (Sugiyanto, 2004). Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur (Poesponegoro, 1993:160, Simanjuntak, 1998).

Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun paeti kayu dalam berbagai ukuran (Sugiyanto, 2004). Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk di bawah dagu dan tangan melipat di bagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.

c. Sebagai Lokasi Kegiatan Industri Alat Batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan (Foreister, 2000:54-56). Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks (Poeponegoro: 95–100).

Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua) (Bellwood, 1996 : 124-125).

Artefak Situs Tanjung Pinang dan Daeo
Berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Peter Bellwood tahun 1996, alat yang ditemukan di situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah batu-batu vulkanik yang disusun setengah lingkaran yang berfungsi sebagai tungku, alat dari kerang dan alat-alat tulang. Berbeda dengan daerah lain, pada situs Tanjung Pinang dan Daeo tidak ditemukan adanya alat batu atau tulang yang berasal dari tempat lain. Hal ini dapat dilihat dari temuan yang ada. Situs-situs Morotai mempunyai industri batu yang tidak berpola bentuknya. Pada umumnya terbuat dari serpihan kerakal pantai. Berbeda dengan situs Melanesia yang lain, di Morotai tidak ada bukti alat-alat batu dibawa dari pulau ke pulau. Alat-alat tersebut ditinggal begitu manusia pendukungnya meninggalkan gua-gua hunian di Morotai. Industri alat-alat batu yang ditemukan masih sangat sederhana seperti kebanyakan situs Melanesia lainnya. Selain alat batu, juga ditemukan adanya alat dari kerang. Alat-alat dari kerang mungkin menunjukkan sebuah tradisi lokal, suatu kelanjutan dari tradisi pratembikar beliung kerang yang terwakili di Maluku bagian Utara (Bellwood, 2000:326-327).

Kesimpulan
Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
• Gua peneduh Tanjng Pinang dan Daeo merupakan gua hunian yang menyatu dengan kuburan yang sudah dihuni manusia sejak 14.000 tahun yang lalu. Hal ini dapat kita lihat dari temuan peninggalan yang ada yang pernah dilakukan oleh Peter Bellwood. Selain ditemukan alat-alat batu, dan tulang binatang di Gua Tanjung Pinang dan Daeo juga ditemukan adanya tulang manusia dalam gerabah yang bercampur dengan lapisan oker.

• Artefak yang ditemukan pada situs Tanjung Pinang dan Daeo meliputi alat-alat dari kerang , serpihan kerakal, lancipan tulang, dan batu vulkanis untuk memasak. Juga terdapat bekas cangkang kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua Tanjung Pinang dan Daeo. Selain itu juga adanya lapisan oker (zat berwarna merah yang terdiri campuran pasir besi dan tanah liat yang biasanya digunakan untuk cat lukisan prasejarah dan penutup kuburan).
Saran.

Perlunya perhatian dari pihak terkait untuk menjaga kelestarian situs pra sejarah di Morotai. Hal ini mengingat banyak situs yang telah berubah fungsi menjadi tempat sampah dan kandang binatang ternak (ayam dan kambing) sehingga dapat merusak keadaan situs. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa gua-gua tersebut merupakan situs prasejarah yang harus dilestarikan keberadaannya. Sangat disayangkan sampai saat ini benda-benda hasil penggalian tersebut tidak banyak masyarakat yang tahu, bahkan keberadaan fosil manusia prasejarah tersebut tidak diketahui (kemungkinan dibawa ke Australia oleh peneliti yang bersangkutan).

Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang intensif, hal ini berkaitan dengan adanya temuan lepas berupa kapak lonjong (gigi guntur) oleh masyarakat Daruba (Morotai Selatan). Berdasarkan hasil penelitian Bellwood diketahui tidak ada alat batu yang berasal dari luar yang ditemukan di Morotai, baik yang berasal dari masa Paleolithikum ataupun yang lebih muda. Dengan adanya temuan kapak lonjong tersebut, diharapkan siklus perkembangan manusia purba di Maluku Utara dapat diketahui dengan jelas.

Daftar Pustaka
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bulbeck, David, Monique Pasqua, Adrian de Lello. 2000. Culture History of The Toalian South Sulawesi.

Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung Ribuan Alat Batu, Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur, Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia.

Kasnowihardjo, Gunadi. 2006. “Potensi Wisata Budaya dan Wisata Petualangan di Kutai Timur”, dalam www.budpar.net

Michel Chazine, Jean. 2005. “Recent Rock Art and Archaeological Discoveries in East Kalimantan”, dalam www.world.socialisweb.net.

Poesponegoro, Marwati Djoenoed et al. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Simanjuntak, Truman. 1998. "Budaya Awal Holosen di Gunung Sewu", dalam Berkala Arkeologi, Th XIX Edisi No. 1/Mei, Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Sonjaya, JA. 2002. “Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002”, dalam www.sub.terra.co.id.

Sugiyanto, Bambang. 2004. “Tradisi Penguburan dalam Gua (Studi Kasus Gua-Gua di Wilayah Kalimantan)”, dalam www.balarpalembang.go.id.

Sukmono. 1996. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid I. Yogyakarta: Kanisius.

Wiradnyana, Ketut. 2004. “Gua Togi Bogi, Hunian Berciri Mesolitik di Nias (Perbandingan dengan Situs Gua Togi Ndrawa)”, dalam www.balarmedan.wordpress.com.
__________
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam Bulletin Tekstual Edisi September 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate.

Irfanuddin Wahid Marzuki adalah Alumni Jurusan Arkeologi Universitas Udayana Bali dan Peneliti pada Balai Arkeologi Manado.

Sumber :http://arkeologi.web.id