Seni Buhun Tutunggulan

Oleh Kiki Kurnia

Sebagai orang Jawa Barat, tentunya kita sangat bersyukur hidup di tanah Parahyangan. Bagaimana tidak! Ada suatu babasan yang menyatakan, tanah Parahyangan diciptakan ketika Tuhan tengah tersenyum. Keindahan dan kesuburan tanah Parahyangan tidak ada tandingannya. Suburnya tanah Parahyangan, membuat masyarakatnya hidup agraris. Dengan mengandalkan hasil bumi, terutama padi, masyarakat Parahyangan bisa hidup gemah ripah repeh lohjinawi.

Tidak terhitung jumlah petak sawah yang ada di tanah Pasundan ini. Yang pasti, hampir satu tahun tiga kali, masyarakat Parahyangan selalu memanen tanaman padi. Dalam setiap kesempatan panen padi, ada suatu kebiasaan dari masyarakat Jawa Barat yang dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang. Biasanya,kegiatan tersebut dilaksanakan seusai memanen padi di sawah, yakni menumbuk padi di atas lisung (Sunda,sebuah alat untuk menumbuk padi). Kegiatan tersebut bisanya dilakukan di atas dangau atau saung yang ada di tengah sawah.

Oleh masyarakat Parahyangan (Sunda), kegiatan menumbuk padi di atas lisung menggunakan halu, dinamakan ngadondang. Selain ngagondang, ada kebiasaan masyarakat pedesaan yang menggunakan media halu dan lisung, yakni tutunggulan.

Jika dilihat dari kegiatannya, tutunggulan ini bukan suatu bentuk kesenian tradisional tapi merupakan kegiatan memanggil masyarakat pedesaan untuk bisa menghadiri pertemuan akbar. Selain itu, tutunggulan ini digunakan untuk mengumpulkan masyarakat apabila terjadi gerhanan bulan atau matahri untuk bersama melakukan salat gerhana.

Tutunggulan mirip kegiatan menumbuk padi di atas lisung dilakukan sedikitnya oleh empat sampai enam orang. Kegiatan ini terkadang sambil bersenda gurau antara yang satu dengan yang lainnya. Karena menumbuk padi dengan halu dilakukan secara bergantian, maka bunyi yang dihasilkan tanpa disengaja itu akan membentuk sebuah nada yang harmonis, sekalipun agak tidak teratur.

Lama kelamaan, oleh masyarakat Sunda kegiatan menumbuk padi dengan halu di atas lisung ini dijadikan suatu pangbeberah manah kaum perempuan yang setiap hari ada di dalam rumah.

Selain itu, kegiatan tutunggulan ini pun dijadikan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rizkinya. Suara bunyi beradunya halu dengan lisung yang mengeluarkan suara harmonis, maka pada perkembangannya, diakui menjadi suatu jenis kesenian buhun masyarakat Sunda. Namun, sampai sekarang siapa pun belum ada yang mengetahui, sejak kapan tutunggulan ini menjadi seuatu jenis kesenian buhun masyarakat Sunda.

Seni buhun tutunggulan bisa bertahan sampai ratusan tahun di tanah Pasundan. Hal ini diakibatkan, masyarakat Sunda dengan kearifan lokalnya mau memelihara dan mempertahankan seni tutunggulan ini, dengan cara menjaga alam sekitarnya, terutama tanah pesawahan. Karena bagaimana pun, masyarakat Sunda adalah masyarakat agraris yang mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian, terutama padi. Bahkan, dengan tanaman padi ini, tanah Pasundan sempat meraih lumbung padi nasional.

Namun saat ini, seni buhun tutunggulan sudah banyak ditinggalkan masyarakat Sunda. Apalagi tanah pesawahan yang dulunya satungtung deuleu, kini tidak ada lagi. Habis dijual kepda cukong dan menjadi lahan perumahan. Seni tutunggulan sudah tidak bisa lagi ditemukan di tanah Pasundan ini. Terisih oleh kemajuan jaman dan kebutuhan manusia akan tempat tinggal.

Kesenian buhun tutunggulan merupakan kesenian tradisional yang mungkin sempat terlupa karena derasnya arus globalisasi. Seni buhun tutunggulan merupakan sebuah kesenian asli masyarakat Jawa Barat yang merupakan daerah agraris. kesenian ini, kerap kali disamakan dengan kesenian Gondang. Namun, dalam pelaksanaanya kesenian ini, sangatlah berbeda. Pasalnya, dalam kesenia Tutunggulan tidak diikuti dengan lagu-lagu atau pantun yang bersautan-sautan. Sedangkan seni gondang selalu menggunakan lagu dan sisindiran yang isinya menggambarkan kegembiraan masyarakat petani dan sisindiran terhadap prilaku para pengagung yang memberlakukan lingkungan seenaknya. Sementara alat dan sarana yang digunakannya sama, yaitu halu dan lisung.

Kata tutunggulan sendiri, berasal dari kata nutu, yang artinya menumbuk sesuatu. Sesuatu yang ditumbuk itu, biasanya gabah kering hingga menjadi beras, atau dari beras menjadi tepung. Menumbuk gabah menjadi beras tersebut biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu antara empat sampai enam orang dan ayunan halunya mengenai lisung yang menimbulkan suara khas, artinya dapat berirama, dengan tujuan agar tidak membosankan dalam menumbuk padi. Ini dilakukan hingga pekerjaan selesai.

Dari kebiasaan itulah, akhirnya muncul seni tutunggulan, hanya saja ketika dimainkan tidak menumbuk padi tetapi langsung menumbukkan halunya kepada lesung. Dari ayunan halu itu menghasilkan suara-suara sesuai dengan keinginan yang memainkannya. Konon khabarnya, lagu-lagu yang ke luar dari tutunggulan ini adalah, seperti lutung loncat, oray belang, caang bulan dan lain-lain. Tiap kelompok memiliki jenis lagu tersendiri.

Kesenian tutunggulan dimainkan oleh enam orang ibu-ibu dan dipertunjukkan kepada masyarakat manakala terjadinya samagaha atau disebut gerhana bulan di malam hari, ataupun sering digunakan untuk menghadirkan warga agar hadir dalam acara musyawarah di balai desa. Belakangan, seni tradisional ini digunakan untuk menyambut tamu pada suatu upacara tertentu, biasanya upacara peresmian proyek, penyambutan tamu, dan lain-lain.

Dari mana asalnya seni buhun tutunggulan ini?
Adalah masyarakat Desa Wanayasa Kec. Wanayasa Kab. Purwakarta yang menjadi cikal bakal munculnya seni buhun Tutunggulan ini. Dan saat ini terdapat tiga kelompok pemain seni tutunggulan yang kesemuanya sudah berusia lanjut. Untuk mempertahankan kelestarian kesenian ini, pemerintah melalui Kantor Ddinas kebudayaan dan pariwisata kabupaten kota selalu mengadakan regenerasi melalui upaya ajakan terhadap anak muda dan melalui pelatihan-pelatihan di tempat terutama ditujukan kepada masyarakat, seperti halnya Kantor Disbudpar Kab. Purwakarta yang melakukan pelatihan kepada generasi muda di sekitar Desa Wanayasa, serta diadakannya lomba Seni Tutunggulan setiap tahunnya dengan melibatkan kecamatan-kecamatan lainnya. Upaya ini dimaksudkan untuk mengembangkan kelompok pelaku seni tutunggulan hingga akhirnya merata di Kabupaten Purwakarta. [berbagai sumber]

* Sehari-hari bekerja di Harian Umum Galamedia Bandung. Selain melakukan kerja jurnalistik Kiki juga menulis puisi. Kontak : dewekeuy@yahoo.com

Sumber : http://beritaseni.wordpress.com