Motif Batik Banten: Sejarah, Cerita dan Kecintaan akan Banten


Mempertanyakan Sejarah Motif Batik Banten
Banten merupakan sebuah provinsi yang terletak di paling barat pulau Jawa, berbatasan langsung dengan DKI Jakarta di sebelah barat. Dahulu kala, Banten merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara yang terletak di muara Sungai Cibanten dan memiliki pelabuhan yang besar dan sibuk di Selat Sunda pada abad ke 16. Banyak pendatang dari luar Nusantara yang datang ke Banten untuk berdagang rempah-rempah, sehingga Banten menjadi terbuka dengan berbagai kebudayaan asing yang masuk. Dengan banyaknya kontak dengan pendatang dari berbagai daerah, maka peradaban di Banten menjadi maju dan kebudayaannya menjadi maju pula. Salah satu contohnya, yaitu pada motif khas yang kini dihadirkan melalui media batik Banten.

Menurut Harih Budiarto, batik adalah salah satu jenis tekstil hasil karya bangsa Indonesia yang sudah dikenal sejak dahulu dan sampai sekarang terus bertahan. Jasper dan Pirngadie membuat batasan yang lebih detil, yaitu suatu cara atau teknik penutupan bagian-bagian tertentu pada kain untuk memperoleh gambar atau motif hiasan yang berwarna setelah proses pencelupan. Pengertian Motif dalam Kamus Ilmiah Populer yaitu dasar warna; warna dasar; latar belakang warna; ragam; bentuk; pola; corak. Jadi motif batik merupakan dasar (baik dasar warna ataupun dasar pola atau corak) yang menutupi kain batik.



Seperti pengertian batik menurut Hari Budianto di atas, maka motif batik Banten merupakan salah satu hasil karya masyarakat Banten yang sudah dikenal semenjak masa kerajaan Banten berdiri. Suatu warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipelajari agar kelak dapat menjadi identitas bahwa bangsa ini dahulu dan sekarang merupakan bangsa yang maju tidak hanya dalam pelayaran namun juga maju dalam pertekstilan.

Sebuah keterangan dihimpun dari Ir. Uke Kurniawan (pemilik serta pengembang Sentral Pelatihan dan Industri Batik Banten), bahwa pada masa kerajaan Banten ada sebuah selimut batik yang dikenal oleh orang-orang Belanda sebagai Brooven Rim Rood, atau biasa dikenal dengan istilah SIMBUT atau Selimut Van Bantam pada abad ke 17. Namun, dengan berakhirnya kejayaan Banten maka hilanglah keberadaan selimut batik dan tradisi membatik di Banten ini.

Ketika kegiatan ekskavasi situs Keraton Surosowan sekitar tahun 1976 dilangsungkan, terdapat temuan-temuan gerabah bermotif yang sangat khas Banten dan tidak ditemukan di tempat lainnya. Motif-motif inilah yang pada akhirnya digunakan sebagai motif asli batik Banten sebagai hasil rekonstruksi arkeologi keberadaan budaya materi masyarakat Banten. Maka dari itu, tujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan:

Apa saja jenis motif batik Banten dan apa yang menjadi latar belakang motif tersebut kaitannya dengan sejarah masyarakat Banten?

Penulisan artikel ini menggunakan konsep etnoarkeologi. Ada banyak pengertian etnoarkeologi dari berbagai ahli, salah satunya pengertian etnoarkeologi menurut Colin dan Paul Bahn (1991), etnoarkeologi merupakan studi yang mencakup penggunaan maupun makna artefak, bangunan, dan struktur-struktur masa kini dalam suatu masyarakat yang masih hidup, dan bagaimana barang-barang itu tergabung dalam catatan arkeologi. Pengertian ini pula dijadikan landasan teori bagi penulis karena penulisan artikel ini berusaha menganalogikan motif yang dibuat pada masa sekarang dengan masa lalu, ketika motif ini pertama kali digunakan, lalu terkubur ratusan tahun menjadi benda arkeologis hingga saat ini menjadi sebuah tradisi baru yang memiliki unsur lama dan sarat dengan unsur sejarah.

Sebuah Cerita di balik Motif Batik Banten
Tahun 1976, ketika Pusat Penelitian Arkeologi mengadakan penelitian dan ekskavasi di Situs Keraton Surosowan yang merupakan Situs Keraton Kesultanan Banten, ditemukan sejumlah gerabah dan keramik lokal yang berpola hias. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan dalam mengungkap keberadaan gerabah dan keramik memperlihatkan adanya pola hias yang dikerjakan dengan beberapa teknik dekorasi. Teknik dekorasi yang diterapkan pada gerabah dan keramik lokal Banten ini antara lain teknik gores, teknik pukul (tatap berukir), teknik tekan (cap dan bukan cap), teknik cubit, dan teknik tempel (dengan cetakan dan tidak dengan cetakan). Lalu pola hias yang ditemukan dari rekonstruksi gerabah dan keramik lokal Banten ini berjumlah 75 pola hias yang merupakan pola hias tunggal dan pola hias gabungan (Hasan Muarif Ambary, dalam artikel Pakaian Tradisional di Daerah Banten).



Peranan gerabah dan keramik lokal Banten ini sangatlah penting bagi masyarakat kala itu. Kegunaannyalah yang menjadikan gerabah dan keramik ini sangat berguna bagi kehidupan keseharian masyarakat Banten sekitar abad ke-18 dan ke-19 M. Sebagai barang kegiatan rumah tangga dan kegiatan industri seperti pembuatan alat logam perunggu dan besi.

Dari ke-75 motif hias yang terdapat dalam temuan gerabah dan keramik hasil penelitian arkeologis di situs Keraton Surosowan inilah, Ir. Uke Kurniawan seorang “Wong Banten” yang perduli terhadap kebudayaan daerahnya mengangkat motif-motif tersebut menjadi motif batik khas Banten dan “menghidupkan” kembali tradisi membatik di daerah Banten yang telah hilang selama lebih dari 200 tahun.



Motif-motif Batik Banten
Hasil rekonstruksi ke-75 motif hias yang berasal dari temuan gerabah dan keramik dari situs Keraton Surosowan tersebut dipadukan satu sama lainnya dan diambil kesimpulannya menjadi 12 macam motif batik Banten. Ke-12 motif tersebut antara lain sebagai berikut:

Motif Sabakingking
Motif dasar berupa segi empat dengan tumpulan dan sisi-sisinya yang berbulu, diberi variasi 3 warna, motif dasar berwarna coklat, variasi warna motif pada daun bersegi empat berwarna biru dengan dasar kain berwarna krem dan booh (motif batik yang berjajar dan berukuran lebih kecil dari motif utama di sisi-sisi bawah, atas, samping kiri dan kanan kain batik (lihat keterangan gambar di lampiran)) tumpal bergerigi warna coklat tua. Nama Sabakingking diambil dari nama gelar Panembahan Sultan Maulana Hasanudin, raja pertama kerajaan Banten (1552-1570).

Motif Mandalikan
Motif dasar berupa belah ketupat dengan bentuk bunga berada di tengah-tengah dalam sebuah bintang. Variasi motif bintang dalam kontak rantai dan booh motif dasarnya bebentuk segi tiga bergerigi berlapis tiga. Variasi warna menggunakan tiga warna yaitu dasarnya barwarna krem, pada motif bintangnya berwarna abu-abu, pada rantai dan booh berwarna coklat tua. Nama Mandalikan diambil dari nama gelar bagi pangeran Banten, yaitu Pangeran Mandalika.

Motif Srimanganti
Motif dasar berbentuk tumpal bergerigi ganda dan ceplok lingkaran serta setengah bulatan dalam lingkaran. Variasi motif berupa pigura berbentuk segi empat, pada sudut-sudutnya yang berbentuk setengah lingkaran terdapat cecep dan booh dengan motif dasar segitiga daun. Memiliki variasi warna coklat yang dominan. Nama Srimanganti diambil dari nama ruang di keraton (Sri = Raja, Manganti = menanti) jadi yang dimaksud yaitu pintu gerbang yang beratap yang menghubungkan keraton.

Motif Pasepen
Motif dasar persegi empat berbentuk bunga dan lingkaran polos berjajar empat buah. Motif dasar booh berupa tumpal. Variasi warna pada motif dasar berwarna kuning muda, pada dasar kain berwarna abu-abu, dan booh berwarna biru. Nama Pasepen diambil dari nama sebuah ruang di keraton tempat Sultan bersemedi.

Motif Pejantren
Motif dasar berupa bunga cengkeh dalam lingkaran denagn variasi motif bunga-bunga setengah lingkaran dari motif dasar. Variasi warnanya yaitu warna dasar kain biru, merah dan pada booh berwarna merah tua. Nama Pejantren diambil dari nama pemukiman masyarkat Banten yang berprofesi sebagai penenun.

Motif Pasulaman
Motif dasar berupa belah ketupat lingkaran yang berada dalam lingkaran segi empat. Variasi motif berbentuk lingkaran segi empat, variasi garis berombak dan ilumunisasi bersulur-sulur daun pada pigura segi empat dan motif dasar booh berupa ranting. Motif dasar berwarna merah, pada pigura berwarna abu-abu dan pada booh berwarna hijau. Nama Pasulaman diambil dari nama pemukiman masyarakat Banten yang berprofesi sebagai penyulam.

Motif Kapurban
Motif dasar berbentuk ketupat dengan hiasan berupa bunga, variasi motif berupa pigura berbentuk spiral dan booh segitiga berbentuk bunga. Warna pada pinggir motif dasar pigura hitam dan jingga, pada booh berwarna hitam. Nama Kapurban diambil dari nama gelar pangeran Banten, yaitu Pangeran Purba.

Motif Kawangsan
Motif dasar berupa bunga bergerigi, variasi motif berbentuk daun dan buah dengan motif dasar berupa belah ketupat dan lingkaran polos. Warna yang digunakan pada motif ini antara lain warna biru pada motif dasar, warna coklat pada motif daun dan coklat muda pada booh. Nama Kawangsan diambil dari nama gelar pangeran Banten, yaitu Pangeran Wangsa.

Motif Pamaranggen
Motif dasar belah ketupat dengan bunga yang berada di tengah-tengahnya, memiliki variasi motif semacam sayap kupu-kupu. Variasi garis-garis spiral dan booh dari motif dasar berbentuk spiral. Berwarna merah pada dasar motifnya, coklat muda pada motif sayap kupu-kupunya, dan hitam pada boohnya. Nama Pamaranggen diambil dari nama pemukiman masyarakat Banten yang berprofesi sebagai pembuat keris.

Motif Surosowan
Motif dasar tumpul bergerigi dengan hiasan bunga. Variasi motif berupa daun dan motif dasa pada booh berbentuk belah ketupat dan lingkaran polos. Pada motif dasar berwarna kuning, variasi motif pada dasar kain berwarna biru dan pada booh berwarna kuning. Nama Surosowan diambil dari nama keraton kesultanan Banten, Keraton Surosowan yang berasal dari kata Suro (Pa) Sowan yang berarti tempat untuk menghadap.

Motif Pancaniti
Motif dasar belah ketupat berbentuk bunga dan lingkaran polos yang berada di tengah-tengah bunga matahari. Variasi motif bunga matahari dalam lingkaran berbentuk segi delapan, berornamen daun dan sulur-sulur daun, sedangkan motif dasar booh berbentuk ranting. Variasi warna pada motif dasar berwarna biru, pada variasi motif bunga matahari berwarna abu-abu dan biru, ornamen daun berwarna merah dan pada sulur-sulur daun berwarna biru. Nama Pancaniti diambil dari nama tata ruang keraton dalam lingkungan istana tempat raja menyaksikan pelatihan para prajurit.

Motif Datu Laya
Motif dasar belah ketupat berbentuk bunga dan lingkaran dalam pigura sulur-sulur daun. Pada booh motif dasarnya berupa topeng manusia yang sudah disetelir. Warna biru digunakan pada motif dasarnya, pada pigura sulur-sulur daun berwarna abu-abu, dasar kain berwarna kuning dan pada booh berwarna biru. Nama Datu Laya diambil dari nama tempat tinggal pangeran yang berasal dari kata Datu = pangeran dan Laya = residen.

Banten dalam Motif Batik
Seperti yang telah dijelaskan pada deskripsi motif-motif di atas, makna yang ada di balik penamaan motif-motif batik tersebut menunjukan ke-Banten-an yang sangat kental. Nama toponim enam desa, enam gelar dan nama tata ruang keraton Kesultanan Banten digunakan sebagai nama motif batik Banten.

Dalam perjalanannya mencintai kebudayaan leluhur dan usahanya mengembangkan nilai-nilai seni hias dari masa lalu, para putra daerah Banten menghadirkan sebuah upaya untuk memunculkan ragam jenis hiasan tersebut yang kemudian disebut sebagai Batik Banten Mukarnas. Batik Banten Mukarnas merupakan desain dari motif dasar yang terdapat dalam ragam hias fragmen gerabah dan keramik Banten Lama. Kesinambungan dari masa prasejarah hingga ke masa Islam menghasilkan ragam hias berbentuk tumpal atau pucuk rebung, yang berubah interpretasi pemaknaannya, pada masa Islam diisi dengan makna Mukarnas (perukunan). Ragam hias Mukarnas tidak hanya ditemukan pada fragmen gerabah dan keramik saja, namun juga ditemukan pada ornamen masjid Agung Banten pada bagian sisi-sisi atapnya dan pada nisan-nisan kubur, juga pada iluminasi naskah-naskah kuno Banten. Kemampuan lokal dalam menyerap dan mengolah kebudayaan luar menurut H.G. Quaritch Wales disebut sebagai Local Genius. Karakteristik Local Genius menurut Soerjanto Poespowardojo antara lain mampu bertahan terhadap budaya luar, mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengandalikan dan mampu memberikan arah pada perkembangan budaya. Seperti contoh, keterbukaan rakyat Banten masa lalu terhadap kebudayaan luar (dalam hal ini kebudayaan yang berasal dari Eropa yang berupa arsitektural), bangunan menara Masjid Agung Banten dan bangunan Tiamah bergaya arsitektur Indis. Menara Masjid Agung Banten berbentuk seperti mercusuar khas Eropa. Kedua bangunan berarsitektur Eropa itu dirancang oleh Hendrik Lucas Caardel, seorang Belanda yang memeluk Islam pada masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa (Juliadi, 2007). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa rakyat Banten pada masa itu mempunyai kemampuan mengakomodasi, mengendalikan dan memanfaatkan budaya asing untuk perkembangan budayanya sendiri.

“...lain urang Banten, ari teu ngaleeut ciBanten mah...”

Kalimat di atas mengandung arti “bukanlah orang Banten, kalau dia tidak minum air dari Banten”. Inilah yang menjadi dasar warna pada batik Banten yang cenderung berwarna abu-abu agak lembut. Alasan itu dikemukakan oleh Uke Kurniawan. Air yang digunakan dalam meramu warna untuk batik Banten adalah air yang berasal dari tanah Banten dan hasilnya juga akan berwarna cenderung abu-abu agak lembut, berbeda dengan warna-warna batik lain di Indonesia. Lagi pula, Uke Kurniawan menambahkan, bahwa telah dicoba-coba menggunakan air dari tanah Pekalongan, Yogyakarta, dan beberapa daerah penghasil batik di Jawa Tengah, namun warnanya akan berbeda dengan warna yang menggunakan air dari tanah Banten. Penulis belum yakin apa yang menyebabkan perbedaan warna akibat perbedaan air tersebut, namun menurut beliau, hal itu disebabkan oleh perbedaan kandungan mineral yang ada dalam air tanah di setiap daerah di manapun. Meskipun begitu, tanpa dilakukan penelitian yang akurat mengenai hal ini, keterangan dari Uke Kurniawan itu dapat dikatakan bias.

Warna abu-abu agak lembut juga merupakan simbol perwatakan orang Banten. Warna ini mengandung makna bahwa orang Banten adalah orang yang memiliki cita-cita tinggi, selalu tinggi dalam segalanya, wataknya yang keras, tetapi pembawaannya sederhana. Mungkin watak seperti ini sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai watak khas Banten dan karenanya orang Banten disegani. Maka dipilihlah warna abu-abu agak lembut ini menjadi warna dasar dari batik Banten.

Sebuah Warisan Masa Lalu dalam Dimensi Kekinian
Masyarakat Banten memiliki kebiasaan menghadirkan tradisi baru dengan konsep tradisi lama yang telah ada dan menghidupkannya kembali sebagai tradisi masyarakat Banten. Seperti yang terdapat pada kesenian Rampak Bedug, mula-mula kesenian Rampak Bedug ini merupakan kebiasaan yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadhan. Rampak Bedug merupakan seni bedug yang menggunakan waditra berupa banyak bedug yang yang ditabuh secara serempak sehingga mengahasilkan irama khas yang enak didengar (Siti Ifat, 2008. artikel Rampak Bedug dalam Bantencommunity’s Weblog). Kesenian ini dipadukan dengan gerakan Pencak Silat khas Banten dan Shalawatan. Pencak Silat yang digunakan merupakan seni bela diri masyarakat Banten dan Shalawat merupakan pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW yang keduanya adalah tradisi masyarakat Banten yang sudah ada dari masa Kesultanan Banten berdiri.

Hal inilah yang juga terlihat dalam Motif Batik Banten, motif-motif yang telah ada pada masa lalu coba dihidupkan kembali saat ini dengan media yang berbeda. Motif-motif yang terdapat pada gerabah dan keramik masa Kesultanan Banten terungkap ketika dilakukannya penelitian arkeologis di situs Keraton Surosowan. Motif-motif tersebut lalu direkonstruksi dalam media pakaian tradisional Indonesia, yaitu batik. Tidak hanya itu, untuk lebih memaknai batik Banten ini, para putra daerah Banten lalu menamai motif-motif ini dengan nama toponim desa-desa di Banten Lama, nama gelar pangeran dan sultan, juga nama tata ruang keraton Kesultanan Banten. Dalam pewarnaan pun, ciri ke-Banten-an jelas terlihat dengan corak warna yang cenderung abu-abu agak lembut yang mencerminkan watak Wong Banten yang memiliki cita-cita tinggi, selalu tinggi dalam segalanya, wataknya yang keras, tetapi pembawaannya sederhana.

Sebuah interelasi gagasan masa kini dengan budaya bendawi masa lalu. Semangat inilah barangkali yang coba dihadirkan pada motif batik Banten. Pemaknaan pada ke-75 motif yang berasal dari masa lalu yang diangkat dalam sebuah media batik pada masa kini dengan nama-nama ke-Banten-an adalah salah satu bentuk mediasi untuk menceritakan kembali sejarah kejayaan Banten pada generasi kini dan mendatang. Rasa hormat, kecintaan pada leluhur yang telah mewariskannya mendorong para penerus daerah mengembangkan motif batik Banten ini agar anak cucu di tanah Banten dapat mengenal karya-karya leluhurnya sebagai bekal dalam mengukir karya cipta generasi mendatang. Sebab, pentingnya sejarah leluhur masa lalu dapat membentuk identitas jati diri masyarakat saat ini dan yang akan datang agar tradisi yang baik ini tetap lestari sebagai warisan nenek moyang yang berharga.

Sumber:
Hari Budiarto. 2002. Brosur Koleksi Kain Batik Museum Batik Nasional.

Hasan Muarif Ambary, ------. Pakaian Tradisional di Daerah Banten. Sebuah artikel dalam menyambut peluncuran Batik Banten.

Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten : Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta : Ombak.

Jajang A. Sonjaya. 2008. Bahan Ajar Etnoarkeologi. Dalam situs blog jasonjaya.blogspot.com

Pius Partanto, dkk. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola.

Siti Ifat, 2008. Rampak Bedug. Sebuah artkel diposting dalam Bantencommunity’s Weblog.

Tubagus Najib. -------. Batik Banten Mukarnas (BBM). Sebuah artikel dalam menyambut peluncuran Batik Banten.

. -------------. Brosur Koleksi Motif Batik Banten, Pesona Batik Banten. Serang : Sentral Pelatihan dan Industri Batik Banten.

http://www.arupadhatuindonesia.com

Foto : http://www.iai-banten.org