Oleh : Imam Saefudin
Suhu dingin dan aroma tembakau adalah warna tersendiri dalam perjalanan kami. Kicau burung dan indahnya alam pegunungan adalah hiburan tersendiri dalam pendakian kami. Perjuangan mendaki tanjakan demi tanjakan tanah liat yang licin adalah sisi lain petualangan kami.
Begitulah pengalaman kami ketika mendaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah, awal Februari tahun lalu. Bersama dua teman dari kelompok pencinta alam Manapugiri, Utom dan Ilyas, kami menempuh perjalanan dari Bandung menuju Yogyakarta. Malam itu, setelah 10 jam, kereta api yang membawa kami dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, akhirnya kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, keesokan harinya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 07.00.
Selanjutnya, dari Kota Gudeg itu, dengan bus umum kami meluncur ke Magelang, sejauh sekitar 42 kilometer, selama satu jam. Ganti minibus, sekitar satu setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Garung, yang merupakan desa terakhir menuju puncak Gunung Sumbing. Desa dengan ketinggian 1.543 meter di atas permukaan laut itu dilalui jalur bus atau minibus dari arah Magelang menuju Wonosobo atau sebaliknya. Untuk sampai di titik awal pendakian, yakni Desa Butuh, Kecamatan Kalikajor, Wonosobo, kami harus berjalan kaki sekitar satu jam.
Satu malam kami menginap di pos pendakian, yang biasa dijadikan base camp, tempat istirahat atau menginap bagi pendaki.
Pagi keesokan harinya, Desa Butuh cukup dingin. Setelah meminta izin kepada petugas dan mempersiapkan segala sesuatu, termasuk air, yang akan sulit kami temui selama dalam perjalanan, kami pun memulai pendakian pada pukul 06.00.
Kicau burung-burung di pagi hari menemani gerak langkah kami menuju puncak. Kami memilih jalur baru, dari dua jalur yang bisa dilalui menuju puncak. Memang sedikit lebih jauh. Sementara itu, pada jalur lama sering terjadi tanah longsor. Namun, kedua jalur itu akan bertemu sebelum puncak.
Selama dalam perjalanan pendakian, sesekali kami menyapa penduduk yang akan berangkat ke kebun atau ladang tembakau.
Dari pos pendakian Gunung Sumbing (3.371 meter di atas permukaan laut), kurang-lebih 200 meter setelah jalanan yang cukup menanjak, kami sampai di jalur yang lebih landai. Di jalur itulah kami melewati ladang-ladang tembakau sampai di perbatasan hutan di kawasan Boswisen.
"Wah, lembah-lembah Sumbing banyak ditanami tembakau. Mungkin hutannya sudah beralih fungsi menjadi hutan tembakau," kata Ilyas, sedikit bercanda.
"Iya," sahutku, "Mungkin tahun 2030 puncaknya akan banyak ditanami tembakau."
"Sayang, masyarakat tidak menyadari dan memelihara keseimbangan hutannya," kata Ilyas.
Sesekali bercanda, kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah melewati batas antara ladang tembakau dan hutan, kami harus mendaki jalan tanah liat dan tanah merah berpasir. Sementara itu, suhu udara yang cukup dingin merepotkan kami. Sesekali kami melihat keindahan lembah-lembah Gunung Sumbing yang berubah fungsi menjadi ladang tembakau.
Dengan beban berat yang menempel di punggung, kami melewati kawasan Genus. Pada rute pendakian ini kondisinya sama, berupa jalan tanah liat dan tanah merah berpasir serta di kanan-kiri jalan terdapat rerumputan dan pohon-pohon kecil yang cukup indah. Kadang sejenak kami berhenti untuk menikmati keindahan alam Gunung Sumbing sebelum melanjutkan mendaki rute menanjak.
Kawasan sekitar Gunung Sindoro-Sumbing barangkali bisa dikembangkan untuk obyek wisata petualangan seperti halnya Taman Nasional Gunung Bromo Tengger-Semeru di Jawa Timur atau obyek wisata alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat. Nama Gunung Sindoro-Sumbing mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama bagi masyarakat yang senang bertualang di alam terbuka. Suguhan alam pegunungan dan panorama alamnya yang begitu mempesona semakin membuat banyak orang penasaran.
Di kawasan ini juga terdapat sejumlah obyek wisata alam, antara lain Curuk Duwur, dataran tinggi Dieng, dan Telaga Warna. Curuk Duwur terletak sekitar 2 kilometer dari Desa Butuh, berupa air terjun yang mempesona. Di dataran tinggi Dieng, kira-kira 26 kilometer dari Wonosobo, yang berhawa sejuk, terdapat obyek wisata alam, seperti Kompleks Candi Hindu dan Kawah Sikidang. Adapun Telaga Warna merupakan telaga vulkanis bekas kepundan sebuah gunung merapi yang meletus pada masa Dieng Purba. Sarana akomodasi yang tersedia di kawasan ini, terutama di Wonosobo, berupa hotel dan rumah-rumah penduduk yang disewakan kepada wisatawan.
Gunung Sindoro mempunyai ketinggian sekitar 3.134 meter di atas permukaan laut, yang di puncaknya terdapat beberapa dataran seluas sekitar 400 x 300 meter. Di sebelah barat puncak Sindoro, ada dataran Segoro Wedi dan sebelah utara adalah dataran Banjaran. Dua dataran lain merupakan sisa kawah utama sekunder. Pada setiap 1 Syuro, di puncak Sindoro diadakan upacara selamatan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pemberian Sang Penguasa Alam.
Baru saja kami menikmati jalur yang agak sedikit mendatar, kami harus dihadapkan lagi pada tanjakan yang cukup tajam di bukit Genus sampai Sedelupak Roto dengan kondisi jalan yang juga tanah liat dan tanah merah berpasir. Perjuangan yang cukup melelahkan karena kami tidak diberi jalan mendatar, keseluruhan rutenya tanjakan yang cukup tajam. Sesekali matahari mengintip dari dedaunan. Semilir angin dari lembah-lembah sedikit membuat kondisi kami lebih segar. Seekor elang terbang melayang-layang di langit seakan menyambut kami di Gunung Sumbing.
Dari Sedelupak Roto, kemudian kami memasuki kawasan Pestan, yang merupakan jalur pertemuan antara jalur baru dan jalur lama. Kawasan Pestan hampir seluruhnya ditumbuhi oleh rerumputan dan hanya ada beberapa pohon kecil. Sesampainya di Pestan, kami terpaku oleh pesona alam Gunung Sumbing yang begitu eksotik, lembah-lembah hijau terasa menyejukkan mata. Kami melihat burung-burung di kawasan ini.
Hari mulai siang. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Di Pestan, kami sejenak beristirahat untuk makan siang. Semangkuk mi dan segelas teh manis cukup untuk memulihkan kondisi tubuh. Terasa nikmat apalagi sambil menikmati keindahan alam pegunungan.
Dari punggung Gunung Sumbing, tampak gunung di sampingnya, yang kerap disebut saudara kembarnya, yaitu Gunung Sindoro. Dari sana, puncak Gunung Sumbing terasa lebih dekat.
Setelah makan siang dan beristirahat secukupnya, kami meninggalkan kawasan Pestan menuju Pasar Watu. Kami mesti ekstrahati-hati karena harus melewati jalanan yang berbatu. Tampak dinding batu besar yang kukuh berdiri. Kawasan ini disebut Pasar Watu karena di sepanjang jalan banyak sekali batu kecil dan besar.
Sebelum mencapai puncak, kami harus mengambil jalur ke arah kiri yang cukup menurun. Jika harus mengambil jalan lurus, akan lebih sulit. Kami berjalan di bawah dinding batu yang memanjang sampai di sebuah tempat yang dinamakan Watu Kotak. Disebut demikian karena bentuknya menyerupai kotak. Kondisi jalan tetap tanah merah dan berbatu. Merayapi batu dan berpegang pada akar-akar yang bersembunyi di balik batu-batu terasa cukup membantu perjalanan kami menuju puncak.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, melewati jalan yang berbatu dan menanjak, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sumbing. Rasa haru dan bangga kami curahkan di puncak Gunung Sumbing. Tampak batu besar berserakan di puncak gunung, yang terlihat begitu indah dan menakjubkan. Suasana sore itu begitu mempesona. Warna-warni yang cantik sulit kami lukiskan dengan kata-kata. Sungguh ciptaan Tuhan tiada bandingannya. Tidak lupa kami mengabadikan suasana sore itu dengan latar belakang Gunung Sindoro yang sedang diselimuti mega-mega putih yang terhampar bagai permadani. Rasa lelah selama kurang-lebih sembilan jam pendakian terobati dengan suguhan alam yang begitu eksotik.
Sore berganti dengan malam, warna-warni langit perlahan-lahan ditelan warna gelap malam. Satu per satu bintang muncul hingga tak terhitung jumlahnya. Di puncak, kami mendirikan tenda. Tidak di tempat lapang terbuka, melainkan di balik batu-batu besar agar tidak langsung terempas angin. Kami memasak untuk makan malam, dengan mi dicampur sarden, terasa nikmat sekali. Apalagi ditambah dengan segelas kopi panas, yang terasa cukup menghangatkan tubuh kami.
Tampak bintang-bintang bertaburan, memancarkan sinarnya, memberi penerangan di dalam kehangatan tenda kami. Suasana begitu romantis. Kami sangat bersyukur karena alam Gunung Sumbing sangat bersahabat. Tak terasa hari mulai larut malam, kami siap-siap untuk tidur.
Semilir angin membangunkan kami dari hangatnya dekapan sleeping bag. Sambil menikmati hangatnya teh manis panas, kami menunggu matahari terbit. Yang kami tunggu pun mulai tampak, perlahan-lahan menyinari mega-mega putih. Kami mengabadikan peristiwa ini, yang belum tentu bisa kami lihat di kota.
Kami tidak berlama-lama menikmati keindahan Gunung Sumbing. Walau dengan berat, kami meninggalkan keindahan ini, karena perjalanan kami masih panjang. Perjalanan turun harus dituntut ekstrahati-hati. Kurang-lebih enam jam perjalanan akhirnya kami tiba di pos pendakian Gunung Sumbing. Setelah melapor di pos pendakian, kami berpamitan kepada petugas di pos itu untuk melanjutkan pendakian menuju Gunung Sindoro.
Titik awal pendakian ke Sindoro adalah Desa Kledung. Setelah meminta izin pendakian dan mengisi persediaan air, kami berangkat menuju puncak Gunung Sindoro. Hari mulai memasuki sore. Perjalanan kami harus melewati beberapa rute pendakian, seperti Watu Gede, Situk, Ratu Tatah, dan puncak Sindoro.
Perjalanan kami cukup melelahkan karena kami baru saja mendaki Gunung Sumbing. Karena hari mulai gelap, kami mendirikan tenda di suatu tempat yang dinamakan Watu Tatah. Di sana kami menginap semalam untuk memulihkan kondisi. Esoknya perjalanan kami lanjutkan.
Dari Watu Tatah menuju puncak Gunung Sindoro diperlukan waktu sekitar dua-tiga jam. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan melewati jalur yang berbatu, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sindoro. Kami pun melakukan sujud syukur atas keberhasilan mencapai puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing
Sumber :www.tempointeraktif.com
Foto : http://komunitascoemie.files.wordpress.com
Suhu dingin dan aroma tembakau adalah warna tersendiri dalam perjalanan kami. Kicau burung dan indahnya alam pegunungan adalah hiburan tersendiri dalam pendakian kami. Perjuangan mendaki tanjakan demi tanjakan tanah liat yang licin adalah sisi lain petualangan kami.
Begitulah pengalaman kami ketika mendaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah, awal Februari tahun lalu. Bersama dua teman dari kelompok pencinta alam Manapugiri, Utom dan Ilyas, kami menempuh perjalanan dari Bandung menuju Yogyakarta. Malam itu, setelah 10 jam, kereta api yang membawa kami dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, akhirnya kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, keesokan harinya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 07.00.
Selanjutnya, dari Kota Gudeg itu, dengan bus umum kami meluncur ke Magelang, sejauh sekitar 42 kilometer, selama satu jam. Ganti minibus, sekitar satu setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Garung, yang merupakan desa terakhir menuju puncak Gunung Sumbing. Desa dengan ketinggian 1.543 meter di atas permukaan laut itu dilalui jalur bus atau minibus dari arah Magelang menuju Wonosobo atau sebaliknya. Untuk sampai di titik awal pendakian, yakni Desa Butuh, Kecamatan Kalikajor, Wonosobo, kami harus berjalan kaki sekitar satu jam.
Satu malam kami menginap di pos pendakian, yang biasa dijadikan base camp, tempat istirahat atau menginap bagi pendaki.
Pagi keesokan harinya, Desa Butuh cukup dingin. Setelah meminta izin kepada petugas dan mempersiapkan segala sesuatu, termasuk air, yang akan sulit kami temui selama dalam perjalanan, kami pun memulai pendakian pada pukul 06.00.
Kicau burung-burung di pagi hari menemani gerak langkah kami menuju puncak. Kami memilih jalur baru, dari dua jalur yang bisa dilalui menuju puncak. Memang sedikit lebih jauh. Sementara itu, pada jalur lama sering terjadi tanah longsor. Namun, kedua jalur itu akan bertemu sebelum puncak.
Selama dalam perjalanan pendakian, sesekali kami menyapa penduduk yang akan berangkat ke kebun atau ladang tembakau.
Dari pos pendakian Gunung Sumbing (3.371 meter di atas permukaan laut), kurang-lebih 200 meter setelah jalanan yang cukup menanjak, kami sampai di jalur yang lebih landai. Di jalur itulah kami melewati ladang-ladang tembakau sampai di perbatasan hutan di kawasan Boswisen.
"Wah, lembah-lembah Sumbing banyak ditanami tembakau. Mungkin hutannya sudah beralih fungsi menjadi hutan tembakau," kata Ilyas, sedikit bercanda.
"Iya," sahutku, "Mungkin tahun 2030 puncaknya akan banyak ditanami tembakau."
"Sayang, masyarakat tidak menyadari dan memelihara keseimbangan hutannya," kata Ilyas.
Sesekali bercanda, kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah melewati batas antara ladang tembakau dan hutan, kami harus mendaki jalan tanah liat dan tanah merah berpasir. Sementara itu, suhu udara yang cukup dingin merepotkan kami. Sesekali kami melihat keindahan lembah-lembah Gunung Sumbing yang berubah fungsi menjadi ladang tembakau.
Dengan beban berat yang menempel di punggung, kami melewati kawasan Genus. Pada rute pendakian ini kondisinya sama, berupa jalan tanah liat dan tanah merah berpasir serta di kanan-kiri jalan terdapat rerumputan dan pohon-pohon kecil yang cukup indah. Kadang sejenak kami berhenti untuk menikmati keindahan alam Gunung Sumbing sebelum melanjutkan mendaki rute menanjak.
Kawasan sekitar Gunung Sindoro-Sumbing barangkali bisa dikembangkan untuk obyek wisata petualangan seperti halnya Taman Nasional Gunung Bromo Tengger-Semeru di Jawa Timur atau obyek wisata alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat. Nama Gunung Sindoro-Sumbing mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama bagi masyarakat yang senang bertualang di alam terbuka. Suguhan alam pegunungan dan panorama alamnya yang begitu mempesona semakin membuat banyak orang penasaran.
Di kawasan ini juga terdapat sejumlah obyek wisata alam, antara lain Curuk Duwur, dataran tinggi Dieng, dan Telaga Warna. Curuk Duwur terletak sekitar 2 kilometer dari Desa Butuh, berupa air terjun yang mempesona. Di dataran tinggi Dieng, kira-kira 26 kilometer dari Wonosobo, yang berhawa sejuk, terdapat obyek wisata alam, seperti Kompleks Candi Hindu dan Kawah Sikidang. Adapun Telaga Warna merupakan telaga vulkanis bekas kepundan sebuah gunung merapi yang meletus pada masa Dieng Purba. Sarana akomodasi yang tersedia di kawasan ini, terutama di Wonosobo, berupa hotel dan rumah-rumah penduduk yang disewakan kepada wisatawan.
Gunung Sindoro mempunyai ketinggian sekitar 3.134 meter di atas permukaan laut, yang di puncaknya terdapat beberapa dataran seluas sekitar 400 x 300 meter. Di sebelah barat puncak Sindoro, ada dataran Segoro Wedi dan sebelah utara adalah dataran Banjaran. Dua dataran lain merupakan sisa kawah utama sekunder. Pada setiap 1 Syuro, di puncak Sindoro diadakan upacara selamatan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pemberian Sang Penguasa Alam.
Baru saja kami menikmati jalur yang agak sedikit mendatar, kami harus dihadapkan lagi pada tanjakan yang cukup tajam di bukit Genus sampai Sedelupak Roto dengan kondisi jalan yang juga tanah liat dan tanah merah berpasir. Perjuangan yang cukup melelahkan karena kami tidak diberi jalan mendatar, keseluruhan rutenya tanjakan yang cukup tajam. Sesekali matahari mengintip dari dedaunan. Semilir angin dari lembah-lembah sedikit membuat kondisi kami lebih segar. Seekor elang terbang melayang-layang di langit seakan menyambut kami di Gunung Sumbing.
Dari Sedelupak Roto, kemudian kami memasuki kawasan Pestan, yang merupakan jalur pertemuan antara jalur baru dan jalur lama. Kawasan Pestan hampir seluruhnya ditumbuhi oleh rerumputan dan hanya ada beberapa pohon kecil. Sesampainya di Pestan, kami terpaku oleh pesona alam Gunung Sumbing yang begitu eksotik, lembah-lembah hijau terasa menyejukkan mata. Kami melihat burung-burung di kawasan ini.
Hari mulai siang. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Di Pestan, kami sejenak beristirahat untuk makan siang. Semangkuk mi dan segelas teh manis cukup untuk memulihkan kondisi tubuh. Terasa nikmat apalagi sambil menikmati keindahan alam pegunungan.
Dari punggung Gunung Sumbing, tampak gunung di sampingnya, yang kerap disebut saudara kembarnya, yaitu Gunung Sindoro. Dari sana, puncak Gunung Sumbing terasa lebih dekat.
Setelah makan siang dan beristirahat secukupnya, kami meninggalkan kawasan Pestan menuju Pasar Watu. Kami mesti ekstrahati-hati karena harus melewati jalanan yang berbatu. Tampak dinding batu besar yang kukuh berdiri. Kawasan ini disebut Pasar Watu karena di sepanjang jalan banyak sekali batu kecil dan besar.
Sebelum mencapai puncak, kami harus mengambil jalur ke arah kiri yang cukup menurun. Jika harus mengambil jalan lurus, akan lebih sulit. Kami berjalan di bawah dinding batu yang memanjang sampai di sebuah tempat yang dinamakan Watu Kotak. Disebut demikian karena bentuknya menyerupai kotak. Kondisi jalan tetap tanah merah dan berbatu. Merayapi batu dan berpegang pada akar-akar yang bersembunyi di balik batu-batu terasa cukup membantu perjalanan kami menuju puncak.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, melewati jalan yang berbatu dan menanjak, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sumbing. Rasa haru dan bangga kami curahkan di puncak Gunung Sumbing. Tampak batu besar berserakan di puncak gunung, yang terlihat begitu indah dan menakjubkan. Suasana sore itu begitu mempesona. Warna-warni yang cantik sulit kami lukiskan dengan kata-kata. Sungguh ciptaan Tuhan tiada bandingannya. Tidak lupa kami mengabadikan suasana sore itu dengan latar belakang Gunung Sindoro yang sedang diselimuti mega-mega putih yang terhampar bagai permadani. Rasa lelah selama kurang-lebih sembilan jam pendakian terobati dengan suguhan alam yang begitu eksotik.
Sore berganti dengan malam, warna-warni langit perlahan-lahan ditelan warna gelap malam. Satu per satu bintang muncul hingga tak terhitung jumlahnya. Di puncak, kami mendirikan tenda. Tidak di tempat lapang terbuka, melainkan di balik batu-batu besar agar tidak langsung terempas angin. Kami memasak untuk makan malam, dengan mi dicampur sarden, terasa nikmat sekali. Apalagi ditambah dengan segelas kopi panas, yang terasa cukup menghangatkan tubuh kami.
Tampak bintang-bintang bertaburan, memancarkan sinarnya, memberi penerangan di dalam kehangatan tenda kami. Suasana begitu romantis. Kami sangat bersyukur karena alam Gunung Sumbing sangat bersahabat. Tak terasa hari mulai larut malam, kami siap-siap untuk tidur.
Semilir angin membangunkan kami dari hangatnya dekapan sleeping bag. Sambil menikmati hangatnya teh manis panas, kami menunggu matahari terbit. Yang kami tunggu pun mulai tampak, perlahan-lahan menyinari mega-mega putih. Kami mengabadikan peristiwa ini, yang belum tentu bisa kami lihat di kota.
Kami tidak berlama-lama menikmati keindahan Gunung Sumbing. Walau dengan berat, kami meninggalkan keindahan ini, karena perjalanan kami masih panjang. Perjalanan turun harus dituntut ekstrahati-hati. Kurang-lebih enam jam perjalanan akhirnya kami tiba di pos pendakian Gunung Sumbing. Setelah melapor di pos pendakian, kami berpamitan kepada petugas di pos itu untuk melanjutkan pendakian menuju Gunung Sindoro.
Titik awal pendakian ke Sindoro adalah Desa Kledung. Setelah meminta izin pendakian dan mengisi persediaan air, kami berangkat menuju puncak Gunung Sindoro. Hari mulai memasuki sore. Perjalanan kami harus melewati beberapa rute pendakian, seperti Watu Gede, Situk, Ratu Tatah, dan puncak Sindoro.
Perjalanan kami cukup melelahkan karena kami baru saja mendaki Gunung Sumbing. Karena hari mulai gelap, kami mendirikan tenda di suatu tempat yang dinamakan Watu Tatah. Di sana kami menginap semalam untuk memulihkan kondisi. Esoknya perjalanan kami lanjutkan.
Dari Watu Tatah menuju puncak Gunung Sindoro diperlukan waktu sekitar dua-tiga jam. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan melewati jalur yang berbatu, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sindoro. Kami pun melakukan sujud syukur atas keberhasilan mencapai puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing
Sumber :www.tempointeraktif.com
Foto : http://komunitascoemie.files.wordpress.com