Mencapai Mulut Tuhan

Oleh: Irmawati

Tak bisa menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Bawakaraeng pun menjadi pilihan.
Ayam jago berkokok nyaring. Udara pagi di Lembanna, kaki Gunung Bawakaraeng, terasa menggigit tulang. Bersembunyi di balik selimut jelas lebih nikmat. Tapi sinar matahari terbit yang menembus kabut seolah begitu menggoda. Amat sayang untuk dilupakan. Kulempar selimut dan memburu sang surya.

Namun, aku bukan yang pertama. Tata Rasyid, 55 tahun, sang tuan rumah, sudah asyik dengan kopi panasnya. Bahkan dia sudah menyajikan beberapa cangkir yang masih mengepul untuk kami. Aku dan beberapa teman dari tim Search and Rescue (SAR) memang menginap di rumahnya. Tata pula yang akan mengantar kami menuju puncak gunung. Lembanna, desa terakhir, merupakan base camp bagi para pendaki gunung.

Puncak Bawakaraeng yang berada 2.833 meter dari permukaan laut adalah tujuan kami kali ini. Bukan semata karena gunung di Sulawesi Selatan ini termasuk yang memiliki ketinggian menjulang, tapi di atap bumi itu pula tiap tahun terjadi ritual "naik haji". Lazim pula dikenal dengan nama Haji Bawakaraeng.

Bawakaraeng, sekitar 75 kilometer dari Makassar, bagi masyarakat sekitar memiliki arti yang istimewa. Bawa berarti mulut, sedangkan karaeng artinya Tuhan. Puncak gunung ini seolah sama dengan Tanah Suci Mekkah. Ritual "haji" ini merupakan sinkretisme (perpaduan) Islam dengan kepercayaan setempat. Orang-orang yang "berhaji" di sana percaya doanya akan diterima Tuhan bila dilaksanakan di puncak Bawakaraeng.

Di bagian puncak gunung seperti ada Mekkah. Selain tanda ketinggian yang terbuat dari beton yang disebut Ka‘bah, terdapat dua kolam yang dianggap sebagai sumber air zamzam. Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah kuburan yang mereka sebut sebagai kuburan Nabi Muhammad.


Menggelar sajadah di lokasi yang dipercaya sebagai “Mekkah”
Foto: Winarni

Ritual yang dilakukan di puncak gunung itu bukan tanpa risiko. Pada 1987, saat ratusan penduduk dari beberapa daerah yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng "naik haji", musibah menjemput nyawa mereka. Sebanyak 13 orang tewas kedinginan. Maklum, saat musim hujan, selain udara di sana lebih dingin dibanding kulkas sekalipun, jalanannya licin.

Sejak saat itulah pemerintah melarang orang mendaki saat musim hujan. Pihak Kepolisian Resor Kota Gowa mulai mengerahkan personel untuk melakukan penjagaan di beberapa lokasi di kaki gunung. Tim dari Brigade Mobil dan SAR pun ikut ambil bagian, termasuk beberapa anak pencinta alam, untuk melakukan pengamanan. Toh, ritual ini tidaklah berhenti.

Setelah mandi dan sarapan, kami pun menyiapkan perlengkapan mendaki, termasuk membungkus tubuh dengan jaket, topi rimba, serta sepatu. Hal itu berbeda dengan yang dilakukan Tata. Di udara yang dingin seperti itu dia hanya mengenakan kaus lengan panjang dipadu dengan jaket olahraga. Kakinya pun telanjang tanpa alas.

Tidaklah mudah untuk bisa sampai ke puncak gunung, harus melalui beberapa pos atau bangunan penjagaan. Pos ini juga yang menjadi ukuran berapa jarak yang sudah ditempuh. Awal perjalanan dari Lembanna, meski terdapat sawah dan perkebunan, jalan desa tanpa aspal. Hanya bebatuan sebagai pengeras. Keadaan berikutnya berbeda, memasuki hutan pinus yang masih basah. Kian jauh masuk hutan, udara terasa lembap. Langkah kaki pun tidak selincah Tata.

Suasana magis terasa setelah tak jauh melewati pos II. Di bawah sebuah pohon yang sudah tua, sesajen ditaruh di atas batu besar. Rupanya tempat itu adalah tempat seorang gadis pendaki menggantung dirinya setelah mengetahui kekasihnya berselingkuh. Penduduk percaya dan mengeramatkan tempat itu. Agar tidak diganggu, saat lewat tempat itu, kita diwajibkan untuk mengucapkan salam.

Sesampai di pos III, aliran sungai kecil begitu menggoda. Meminum airnya langsung dari aliran sungai itu rasanya nikmat sekali. Eh, betul saja. Air itu terasa lebih segar dibanding air dalam kemasan yang dijual di kota-kota besar. Kami pun istirahat sejenak. Namun, keadaan berbeda kami temui setelah melewati pos V. Hutan di sana terlihat gersang. Itu terjadi karena beberapa waktu lalu hutan di kawasan ini terbakar.

Menjelang senja, kami pun melewati pos VII. Dari sana, puncak gunung sudah kelihatan dari jauh. Mulut Tuhan samar-samar terlihat di sela-sela awan putih mulai bercampur warna kuning kemerah-merahan. Malam memang mulai menelan hari. Tak ada pilihan selain mendirikan tenda pada pos berikutnya.

Namun, kami memilih tidur di pos VIII. Dari tempat itu, kami bisa melihat matahari yang tengah pulang dengan jelas. Begitu sebaliknya, saat matahari terbit, boleh jadi keesokan harinya, kamilah yang berada di atas puncak yang pertama kali melihat.

Malam sangat cepat larut. Tak lama setelah makan malam dengan bekal seadanya, kami memilih berkurung dalam kantong tidur dan berdiam diri di dalam tenda. Tidur yang cukup merupakan cara yang tepat untuk mengumpulkan kembali energi. Perjalanan berikutnya cukup panjang dan harus hati-hati karena harus memutar untuk menghindari hamparan longsoran yang terjadi dua tahun silam. Mata cepat sekali redup.

Esok paginya, setelah berjalan sekitar dua jam, dengan melalui jalan yang sangat terjal, akhirnya kaki menginjak puncak Bawakaraeng. Dari puncak ini terlihat puncak Gunung Lompobattang, yang letaknya bersebelahan dengan Gunung Bawakaraeng. Gunung itu tampak gagah dan mempesona.

Saat kami menikmati pemandangan, beberapa penduduk asli telah terlihat datang. Menurut Tata, mereka adalah penduduk yang hendak menjalankan ritual haji Bawakaraeng akhir tahun nanti. Menurut Tata, jumlah pelaku ritual ini kian sedikit jumlah. Apalagi bila dibanding sebelum terjadinya musibah pada 1987. Saat itu, jumlah mereka yang melakukan perjalanan ritual haji tersebut mencapai ratusan orang. "Setelah pelarangan, anggota jemaahnya semakin kurang," katanya. Tahun lalu, mereka yang percaya dan masih melaksanakan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng ini sekitar 20 orang.

Sulit untuk menahan kepergian mereka, yang umumnya berpendidikan rendah dan memiliki pemahaman tentang agama yang kurang. Pasalnya, berbagai cerita telah lama menjadi santapan mereka. Salah satunya adalah kisah Syekh Yusuf, ulama besar dari Makassar, yang konon sebelum pergi ke Mekkah, dia mendaki Gunung Bawakaraeng ini. Di puncak gunung, dia bersemadi. Nah, setelah itu, Syekh Yusuf pun tiba-tiba menghilang. Mereka yang berduyun-duyun melakukan ritual ini sangat mempercayai betul kisah itu.

Setelah melaksanakan semua prosesi itu, di antaranya mengelilingi sebuah bongkahan batu yang diibaratkan sebagai Ka‘bah, mereka pun pulang ke daerah asalnya masing-masing. Mereka percaya, setelah mendapat gelar Haji Bawakaraeng, hidupnya akan segera berubah menjadi orang kaya dan terhormat.

Lepas dari kepercayaan dan ritual yang menyertainya, berada di puncak gunung ini teramat mengasyikkan. Seperti saat berada di puncak gunung pun, saat itulah manusia menemukan kesejatiannya sebagai makhluk yang kecil dan mengagumi kekuasaan Tuhan.

Sumber :www.korantempo.com