Membaca Pariwisata Seni-Budaya

Oleh: Bisri Effendy [1]

Dua Catatan Lapangan
Pertama
Sejak sekitar tujuh tahun terakhir, Dinas Pariwisata dan seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang didukung Pemkab Banyuwangi terlihat intensif mengelola gandrung, sebuah seni pertunjukan berbasis tari-nyanyi mirip tayub, gambyong, lengger, teledhek, atau cokek di daerah lain, untuk menyemarakkan pariwisata di daerah itu. Bahkan, melalui SK Bupati, sejak Desember 2003 gandrung resmi menjadi mascot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemkab Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat: Surabaya, Jakarta, Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.

Keputusan politik (regulasi) dan aktivitas promosi itu direalisasi melalui beberapa kali seminar, sarasehan, dan workshop baik oleh Dinas Pariwisata setempat maupun DKB yang diadakan untuk itu. Tetapi, beberapa forum itu ternyata juga merekomendasi bahwa gandrung yang dimaksudkan adalah pertunjukan gandrung yang merepresentasikan identitas Using, suatu komunitas etnik yang disebut-sebut sebagai penduduk awal Banyuwangi, pewaris Menakjinggo, dan sisa-sisa perang Paregreg dan Puputan Bayu. Sebuah identifikasi yang memperoleh kekuatan politis sejak tahun 2000 ketika artikulasi etnisitas (kedaerahan), dalam ruang bernama otonomi daerah, memperoleh ruang bebas dalam percaturan politik di Banyuwangi. Melalui berbagai forum itu pula kedua intitusi kebudayaan tersebut juga menyusun kategori-kategori Using dan non-Using baik dalam lagu, tari, maupun sejarah; dalam konteks yang terakhir ini narasi Menakjinggo versi Jawa pun diubah menjadi versi Blambangan.

Dalam sebuah buku yang diterbitkan DKB 2003 disebut bahwa: “Kesenian gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Using). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using.” (hal. 62). Dan gambar perlawanan itu hanya tampak dalam sebuah pertunjukan yang menyajikan babak-babak secara sempurna (jejer, paju, dan seblang-seblang), lagu-lagu “asli” gandrung atau lagu-lagu osing, tari ukir-kawin atau prapatan, musik bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih dari minuman keras.

Bukan itu saja, konservasi tradisi itu juga disosialisasi dan dikukuhkan melalui pelatihan reguler penari gandrung yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan DKB selama tiga bulan setahun sekali. Pelatihan yang telah menelorkan 60 penari (dari 2 angkatan), 12 di antaranya pentas secara profesional untuk memenuhi tanggapan di tengah-tengah masyarakat ini dimaksudkan untuk membekali pakem pertunjukan yang merepresentasikan sejarah perlawanan Using menghadapi berbagai tekanan struktural dan kultural yang pernah menimpa komunitas itu di masa lalu.

Komunitas Osing, begitu hasil-hasil penelitian menyebutkan, mempunyai sejarah panjang di mana mereka berada dalam tekanan struktural politik dan kultural yang menyudutkan. Majapahit, Demak, Mataram, Buleleng, dan VOC adalah pusat-pusat kekuasaan politik yang menginvasi dan memperebutkan Banyuwangi dengan implikasi serius bagi penduduknya. Perlawanan keras Menakjinggo terhadap Majapahit bukan saja dianggap bukti pembangkangan politik tetapi juga sekaligus mewariskan tafsir, konstruksi, stereotipe, bahkan stigma terhadap komunitas Using. Prototipe Menakjinggo dalam ketoprak Mataram yang buruk rupa merupakan pencitraan negatif terhadap Using yang menganggapnya sebagai tokoh legendaris yang selalu membela rakyat. Begitu pula ungkapan-ungkapan “tukang santet”, “pemalas”, “ekslusif”, dan seterusnya yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa.

Dalam konteks gandrung, problemnya adalah ketika ternyata realitas pertunjukan kesenian ini berbeda–atau berlawanan–dengan yang dibayangkan elite Using di birokrasi dan DKB. Dari belasan pertunjukan yang saya saksikan tidak ada satu pun yang sesuai dengan pakem. Pertunjukan gandrung telah menjadi murni hiburan, terbuka terhadap unsur-unsur luar, dan menjadi milik publik yang dinamis dan plural. Bahkan, masa lalu yang dibayangkan birokrasi dan seniman-budayawan tersebut dianggap sebagai keinginan mengada-ada oleh seniman dan pendukung gandrung sendiri. Bagi mereka, pertunjukan gandrung adalah transaksi ekonomi untuk hiburan bersama.

Kedua
Hari itu, pertengahan Juni 2003, sebuah ritual digelar di sebuah desa di tepi hulu Mahakam, Data Bilang Ulu, Long Hubung, Kutai Barat, Kaltim (perjalanan 37 jam dari Samarinda dengan menyusur Sungai Mahakam ke arah hulu). Mamat Bali Akang, nama ritual itu yang oleh Komunitas Dayak Kenyah diartikan “memperingati keberanian”. Hampir seluruh penduduk desa itu (sekitar 3.000 jiwa) dan beberapa penduduk desa sebelahnya, Datah Bilang Ilir, tumpah menghadiri upacara yang dipusatkan di Balai Adat Amin Biyoq Lepoq ini. Konon, ada sanksi bagi penduduk Datah Bilang Ulu yang tidak menghadirinya, dikenakan denda Rp. 250.000,- per orang.

Tak hanya itu, hadir pula sejumlah pejabat/pegawai Pemkab Kutai Barat, beberapa wartawan Kaltim, satu-dua aktivis LSM setempat, dan tujuh orang kru televisi dari Australia dan Italia yang diundang khusus oleh Pemkab Kubar. Saya sendiri bersama 3 orang teman dari Jakarta dan Samarinda yang kebetulan sedang kerja lapangan untuk penelitian masalah lain di desa itu ikut larut menyaksikan dan menyimaknya sambil sibuk cepret sana, cepret sini.

Tari, nyanyi, musik, pembacaan mantra, pemotongan 11 ekor ayam dan seekor babi mewarnai upacara ini. Konon, bagi komunitas Dayak dulu, semua itu merupakan persembahan kepada Timai Tangai (Dewa Tertinggi) agar seluruh arwah yang terbunuh oleh leluhur mereka tidak mengamuk.

Dua hari sebelum pelaksanaan upacara, saya sebenarnya sudah mulai berpikir, bukankah tradisi ngayau sudah lama hilang. Bahkan dari bacaan yang tersedia, terkesan generasi di bawah 40 tahun sudah tak mengenal–apalagi mengalamai–lagi tradisi itu. Tetapi, panitia yang melaksanakan upacara di Datah Bilang Ulu ini memperlihatkan betapa upacara yang akan digelar lusa itu memang serius, bahkan seorang di antaranya justru meyakinkan saya bahwa upacara kali ini benar-benar seperti apa adanya dulu.

Ritual Mamat Bali Akang, kini tidak hanya diselenggarakan di Datah Bilang Ulu. Ia diadakan secara rutin bergantian sepanjang tahun di setiap titik konsentrasi komunitas Dayak di Kabupaten Kutai Barat. Bahkan di Datah Bilang Ilir, tetangga adu-batas Datah Bilang Ulu, ritual itu juga diselenggarakan pada waktu yang berbeda. Dalam satu tahun, Mamat Bali Akang di wilayah ini terselenggara 14 kali. Ketika saya sudah kembali ke Samarinda, seorang pegawai sebuah perusahaan kayu yang bermarkas di Long Bagun (kebetulan menginap di hotel yang sama) bercerita bahwa seminggu lagi akan ada upacara Mamat Bali Akang di kampung itu yang menurutnya besar-besaran. “Upacara seperti itu memang diadakan secara rutin di banyak tempat sepanjang Sungai Mahakam oleh Pemda. Saya tahu persis, karena perusahaan tempat saya bekerja selalu dimintai sumbangan”, katanya bersemangat.

Upacara rutin di berbagai tempat di Kutai Barat yang dimulai sejak tahun 2002 itu memang murni prakarsa Pemkab sebagai bagian dari proyek pariwisata. Dalam pidato pembukaan upacara Mamat, atas nama Bupati, Kepala Dinas Pariwisata Kubar menyatakan: “Oleh karena itu, pemerintah Kubar telah menjabarkan ke dalam visi dan misi serta strategi pembangunan dengan menfokuskan pada pariwisata. Kebijakan sektor pariwisata sebagai alternatif sangat potensial dijadikan primadona penerimaan devisa, karena sektor itu akan memberikan peluang bagi ekonomi kerakyatan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Obyek-obyek alam dan budaya memiliki daya tarik dan nilai jual yang tinggi bagi wisatawan lokal maupun mancanegara”.

Senada dengan itu, seorang pejabat Pemkab ketika memberikan sambutan pada malam pesta seni seusai upacara Mamat di siang harinya mengatakan: “Hutan kita hampir habis, juga kekayaan-kekayaan alam lain seperti batubara dan emas. Kalau itu semua sudah habis, kita akan jatuh miskin, tak punya apa-apa lagi. Karena itulah kita harus mulai mencari dan mengembangkan kekayaan kita yang belum tergali. Pariwisata adalah salah satu alternatif yang paling potensial, apalagi kita mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa dan tak akan habis walau pun kita suguhkan setiap bulan”.

Bagi Komunitas Datak Kenyah sekarang, ritual yang berhubungan dengan ngayau tersebut tidak dikenal, kecuali beberapa orang tua yang juga hampir lupa. “Sebenarnya saya sudah lupa upacara itu, apalagi anak-anak muda atau orang-orang yang umurnya di bawah saya yang tidak pernah menyaksikan. Tetapi, entah karena apa pemerintah atau Dinas Pariwisata Kubar meminta supaya diadakan”, kisah Peliq Lahang (77 tahun), Kepala Adat Dayak Kenyah Datah Bilang Ulu. “Waktu itu, semua kepala adat di Kubar diundang dalam satu pertemuan di Melak (Ibu Kota Kabupaten Kutai Barat, pen.) Kami diminta untuk mengadakan upacara-upacara adat yang dulu, sewaktu kami masih kafir, menjadi bagian hidup kami seperti Mamat Bali Akang dan Lepeq Maju (upacara sehabis panen) secara rutin setahun atau dua tahun sekali, dan kami hanya bisa mengiyakan saja”, lanjutnya.

Dalam kenyataannya sekarang sebagaimana yang terjadi pada penduduk Datah Bilang Ulu maupun Ilir, ngayau sama sekali tak dikenal. Komunitas Dayak Kenyah pindahan dari Apo Kayan akhir 60-an hingga awal 70-an yang seluruhnya beragama Katholik ini tak satu pun yang pernah mengalami ngayau dan hanya satu-dua orang (berusia di atas 70 tahun) yang pernah menyaksikan upacara Mamat Bali Akang yang sesungguhnya. Itu pun dulu, ketika mereka masih berada di tempat asalnya, Hulu Mahakam (perbatasan dengan Malaysia), jauh sebelum mereka pindah ke Datah Bilang. Mereka yang berusia di bawah 50 tahun, bisa dipastikan tidak pernah menyaksikan upacara itu, meski mereka pernah bermukim belasan tahun di Apo Kayan, sebelum mereka hijrah ke Datah Bilang.

Catatan etnolog dan antropolog maupun cerita lisan mewartakan bahwa upacara Mamat Bali Akang memang untuk merayakan kemenangan, mengenang keberanian, sekaligus mengusir roh-roh jahat yang hendak mengganggu; roh-roh yang diidentifikasi dari mereka yang terbunuh dan akan mengancam sampai keturunan ketujuh. Menang dan gagah-berani karena berhasil memenggal kepala musuh yang diburu dan mengusung tengkorak-tengkoraknya untuk disimpan. Sebuah tradisi berburu musuh, lazim disebut ngayau ini dulu dicatat pernah berkembang luas dalam masyarakat Dayak Kalimantan. Narasi yang sering kita baca/dengar atau definisi yang kita susun seperti “perang antar kampung”, “perang antar yang berbeda fam/marga”, atau “perang antar subsuku” di kalangan masyarakat Dayak mungkin termasuk dalam pengertian ngayau. Bahkan, bisa jadi, juga perang Dayak-Madura yang menghebohkan belum lama ini.

Kalangan postkolonial meragukan penggal kepala itu riil sebagai tradisi Dayak. Mereka berasumsi bahwa “tradisi berburu kepala” sebagai kebiadaban adalah representasi dan konstruksi Barat yang kemudian diikuti kaum terpelajar Indonesia. Mckinley (dikutip dari Yekti, 2004: 9) menyatakan bahwa berburu kepala merupakan adat yang mengundang perhatian para peneliti Barat terdahulu karena kebiasaan semacam itu sangat cocok dengan khayalan-khayalan Barat tentang kebiadaban kehidupan primitif. Sebuah lukisan tentang Dayak yang sebenarnya juga terpatri dalam imajinasi kaum agamawan dan well educated Indonesia hingga sekarang.

Pariwisata Budaya: Perburuan Eksotisme
Baik apa yang terjadi di Kutai Barat maupun di Banyuwangi di atas sebenarnya bukanlah hal baru dan bukan pula asing di telinga kita. Kejadian serupa juga kita jumpai di banyak daerah di negeri ini yang sebenarnya merupakan buah paling nyata dari kebijakan kebudayaan yang diayunkan pemerintah. Sejak awal 70-an, pemerintah mulai menghembuskan “perlunya dilestarikan kebudayaan daerah” yang melahirkan berbagai proyek pembinaan dan pengembangan kebudayaan, khususnya kesenian. Meski proyek itu lebih bermotif politik penaklukan, tetapi pada saat hampir bersamaan, krisis migas sebagai sumber terbesar devisa negara mulai dirasakan yang kemudian melahirkan ide-ide penggalian potensi nonmigas, antara lain pariwisata. Dan keterkaitan pariwisata dan kebudayaan ini memperoleh kekuatannya setelah kedua hal itu kemudian disatu-rumahkan ke dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Tidak dipungkiri bahwa pariwisata adalah komoditi yang sangat menggiurkan dari segi ekonomi. Sidang WTO Oktober 1993 di Denpasar melaporkan bahwa kalau pada tahun 1950 jumlah turis pertahun baru 25 juta orang dengan devisa 2,1 milyar dollar, maka pada tahun 1992 meningkat menjadi 476 orang dengan devisa 279 milyar dollar. Sebuah angka yang amat menarik dan hanya sedikit di bawah angka devisa dari sektor migas dan otomotif. Kini, orang masih bermimpi bahwa pada tahun 2010 angka itu akan meningkat menjadi 937 juta orang dengan devisa yang melangkahi migas.

Pariwisata, yang merumuskan diri sebagai perjalanan mengandung penjelajahan, petualangan, dan penemuan baru, memang akrab dengan kebudayaan. Karena perjalanan semacam itu tak mungkin lepas dari eksotisme, sesuatu yang aneh, unik, lain dari yang lain, tetapi juga bersifat samar-samar antara realitas dan ilusi. Bukankah eksotismne itu pula yang menggiring orang untuk melakukan penjelajahan, petualangan, dan penemuan baru. Oleh sebab itu setiap industri pariwisata selalu memilih untuk mengidentifikasikan produknya sebagai sesuatu yang eksotis, seperti yang terlihat dalam gambar-gambar promosi pariwisata, cetak maupun elektronik. Pariwisata menjadi tak bisa hidup tanpa eksotisme yang ditawarkan.

Justru di sinilah masalahnya. Eksotisme itu sendiri adalah bikinan, ciptaan, dan konstruksi. Karena itu, aktivitas setiap industri pariwisata bukan tertuju mencari apa yang eksotis dan potensial untuk dijual, melainkan hanya diarahkan pada bagaimana menciptakan eksotisme, yang kebanyakan lalu diwujudkan dalam bermacam gambar rekaan yang bisa segera membangun image. Sesuatu yang tidak bersifat diskursif, tetapi mampu memancing perhatian manusia atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan. Meski image (acapkali disebut: politik pencitraan) ini juga merambah para ilmuwan, budayawan, dan terutama politisi-birokrat, tetapi pariwisata terlihat jauh lebih vulgar. Bukan hanya seperti yang terdapat dalam gambar-gambar promosi pariwisata, tetapi siapa yang menjamin bahwa sapta pesona Indonesia adalah kenyataan yang sesungguhnya.

Terkait dengan kebudayaan, khususnya upacara adat dan kesenian tradisi, implikasinya bukan terbatas pada terbangunnya citra eksotis, tetapi, karena eksotisme itu sendiri akan semakin menonjol pada kebudayaan yang telah hilang, maka pemburuan dan penemuan kembali (invented) menjadi aktivitas yang paling penting. Baik pertunjukan gandrung sebagai dokumen sejarah perlawanan maupun Mamat Bali Akang adalah sesuatu yang telah lama terkubur dan dilupakan oleh pemilik atau pewarisnya sendiri. Justru di dalam penemuan atau penghadiran kembali keduanya eksotisme tampak semakin nyata.

Tetapi, Komunitas Using umumnya dan seniman pendukung gandrung khususnya menganggap bahwa berbagai upaya kaum terpelajar Using untuk menghadirkan kembali pertunjukan gandrung sebagai simbol sejarah yang heroik melawan tekanan struktural dan kultural tersebut terlalu mengada-ada. Pertunjukan gandrung yang telah berkembang menjadi sepenuhnya murni hiburan, mereka anggap tidak mengandung sedikit pun nilai-nilai masa lalu yang herois. “Masa lalu seperti apa itu kan soal penafsiran yang kami juga boleh punya tafsir yang berbeda”, kata Sholehan, seorang pemaju dari Rogojampi yang hampir tidak pernah absen dalam setiap pertunjukan gandrung. Baginya, menonton dan memaju dalam setiap pertunjukan gandrung bukanlah untuk memperingati peristiwa masa lalu melainkan untuk mencari hiburan sambil memperkuat paguyuban sesama pemaju. Apa yang diungkap Sholehan itu memang terbukti ketika ternyata dari belasan lulusan pelatihan penari yang kini manggung tak satupun yang konsisten mementaskan gandrung pakem seperti yang diajarkan dalam pelatihan itu. Pertunjukan gandrung, dengan demikian, lebih konsisten pada tuntutan pasar yang tak mungkin dikembalikan untuk diwadahi dalam “proyek romantisme dan eksotisme”.

Senada dengan di Banyuwangi, Mamat bagi Komunitas Dayak Kenyah di Datah Bilang yang seluruhnya telah beragama Katholik ini adalah cerita tentang hidup dan kehidupan leluhur, tentang masa lalu yang tak hadir dan tak mungkin dihadirkan dalam konteks kekinian; cukup ada dalam ingatan dan imajinasi. Menarik komentar Peliq Lahang terhadap upacara hari itu: “Itu lain, itu hanya mamat-mamatan, bukan yang sebenarnya. Mamat yang sesungguhnya sudah tidak ada dan tak mungkin hadir lagi dalam kenyataan sekarang”.

Bagi Dayak Kenyah di Datah Bilang, mamat-mamatan memang bukan hanya sekadar retorika. Hari itu, sejak pukul 7.00 pagi seluruh pendukung upacara Mamat telah siap dengan pakaian adatnya. Begitu pula semua panitia yang juga berpakaian adat terlihat mondar-mandir. Kesibukan bertambah dengan suara pengeras suara yang terus-menerus meminta agar seluruh warga segera berkumpul di tempat upacara. Sementara sang Kepala Adat, Peliq Lahang dan sejumlah orang-orang tua Kenyah justru duduk-duduk di pasar dengan tanpa pakaian adat. Bahkan, Peliq Lahang hanya memakai celana pendek dan kaos yang tak begitu bagus. Sampai pukul 11.00 siang (kira-kira satu jam menjelang kedatangan rombongan pejabat Pemkab Kutai Barat datang membuka upacara), mereka berada di tempat itu. Setiap ditanya, Peliq menjawab dengan santai “Ah, biar saja. Itu kan urusan para pejabat, bukan urusan kami.”

Tetapi, Mamat Bali Akang kini telah dihadirkan, bukan saja di Datah Bilang melainkan di seluruh Kabupaten Kubar. Bukan pula hanya di kalangan Dayak Kenyah, tetapi juga di setiap komunitas Dayak yang bermukim di wilayah itu. Bahkan, penghadiran itu, dilapisi dengan klaim dan semangat menunjukkan keaslian. Suatu penghadiran yang oleh pewaris tradisi itu disambut, seperti diungkap Peliq Lahang: “Biarkan ia dihadirkan, tokh tetap saja ia sebagai yang lain”.

Lalu, Bagaimana kita menyikapinya?
Kenyataan di Kutai Barat dan Banyuwangi tersebut memperlihatkan bahwa pariwisata budaya mempunyai arah yang berbeda dengan perkembangan budaya (ritual dan seni tradisi) itu sendiri. Invented guna memburu eksotisme merupakan aktivitas paling penting dari pariwisata karena dengan itu ia mampu mewujudkan diri sebagai sesuatu yang menarik, sementara perburuan itu justru membuat jarak dengan ritual maupun seni tradisi semakin jauh, seperti yang terlihat dalam kasus gandrung dan Mamat. Realitas pertunjukan gandrung maupun komunitas pendukung ritual Mamat telah mengalami perkembangan ke arah berbeda dari apa yang dirumuskan sebagai “dokumen sejarah” maupun Mamat sebagai bagian dari ngayau.

Bisa saja problemnya ketika berbagai upaya penemuan kembali dan konservasi tradisi itu dipaksakan melalui kekuasaan politik (regulasi) dan kekuasaan pengetahuan, seperti yang terlihat di Kubar dan Banyuwangi. Bahkan di Banyuwangi, elite Using yang begitu serius mengonservasi tradisi menyusun narasi (semacam buku babon) berkaitan dengan pertunjukan gandrung maupun sejarah yang dimaksudkan untuk melegitimasi kepentingannya. Meski narasi itu sempat diperdebatkan oleh kalangan elite Using sendiri, baik dalam diskusi-diskusi maupun di media massa lokal, kenyataannya kini terus disosialisasikan di kalangan seniman gandrung Banyuwangi.

Akan tetapi, dari sikap dan pandangan seniman/pendukung gandrung maupun tokoh dan warga Komunitas Dayak Kenyah di Datah Bilang Ulu tertangkap bahwa mereka mempunyai kemampuan menyikapi dan menyiasati kebijakan politik dan kekuasaan intelektual yang dihadapinya. Tampak dengan jelas bahwa mereka selalu siap melakukan negosiasi dengan apapun yang dihadirkan kepada mereka. Di tengah semakin menguatnya dominasi untuk mewujudkan “sesuatu yang lain”, mereka tetap survive mementaskan gandrung hiburan yang tidak memuat nilai-nilai historis dan tetap tidak melakukan Mamat untuk kebutuhan hidup dan kehidupan.

Justru di sinilah letak urgensinya kalau kita hendak melakukan advokasi kebudayaan. Pertama, akan lebih proporsional–dan lebih human–kalau kita menempatkan mereka dalam seluruh potensinya untuk melakukan negosiasi. Hasil-hasil riset etnografi mutakhir memperlihatkan bahwa betapa pun lemah atau sederhananya berbagai komunitas lokal masyarakat kita, tokh mereka mempunyai kemampuan negosiasi (politik marjinalitas) terhadap apa pun yang dihadirkan kepada mereka. Kedua, dengan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan negosiasi, kita dapat melakukan “pendampingan” (saya lebih setuju istilah menemani) untuk memupuk dan menguatkan kemampuan kritis, terbuka, dan resistensi yang kreatif agar dialektika kebudayaan kita berlangsung lebih dinamis-produktif.
__________

Tulisan ini pernah dipublikasikan di portal Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia www.budpar.go.id.
________________________________________
[1] Bisri Effendy adalah peneliti kebudayaan LIPI dan Desantara Institute for Cultural Studies.