Oleh : Dr. Junaidi SS., M.Hum.
Saat ini pembangunan kebudayaan sering dihubungkan dengan kegiatan pariwisata. Kebudayaan dikemas semenarik mungkin untuk dijual kepada wisatawan. Kegiatan kebudayaan ditampilkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sekelompok orang. Kebudayaan dan masyarakat tempatan tidak lagi menjadi subjek dalam kehidupan ini akibat ambisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebaliknya, kebudayaan dan masyarakat dieksploitasi. Realitas kehidupan yang cenderung materialistis memang memaksa kita untuk menjual kebudayaan. Persoalan yang timbul adalah apakah kebudayaan akan kehilangan esensi atau hakekatnya bila kebudayaan itu ditampilkan hanya untuk kepentingan ekonomi?
Pada hakekatnya, kebudayaan cenderung membimbing kepada kehidupan yang lebih ideal dan mengutamakan harmonisasi dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya pariwisata cenderung mendasarkan diri pada aspek materi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Jika demikian, diperlukan pemahaman yang benar tentang hubungan kebudayaan dan pariwisata agar kebudayaan atau masyarakat tempatan tidak menjadi “korban” penyebaran kebudayaan asing atau luar yang disebabkan oleh kegiatan pariwisata. Berikut disampaikan beberapa gagasan untuk memahami hubungan kebudayaan dan pariwisata.
Pertama, penguatan nilai-nilai kebudayaan melalui pendidikan. Asas utama untuk menguatkan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat adalah melalui pendidikan sebab melalui pendidikan pola pikir atau cara pandang seseorang dapat dibentuk. Bila pengembangan kebudayaan tidak didukung oleh sektor pendidikan maka kebudayaan yang dikembangkan itu akan kehilangan esensinya, ibarat pohon yang telah tercerabut dari akarnya. Kebudayaan itu memang akan tetap ada tetapi ia telah kehilangan identitas, jati diri, dan hakekatnya. Oleh karena itu, bila kita hendak mengembangkan pariwisata maka kita harus menengok seberapa besar perhatian yang telah kita berikan pada sektor pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan.
Kita sering mengadakan festival atau pertunjukkan kebudayaan dengan anggaran yang besar. Apakah festival kebudayaan itu benar-benar bertujuan untuk preservasi atau pelestarian kebudayaan? Bahkan ada kencenderungan festival kebudayaan dapat mereduksi hakekat dari kebudayaan itu sendiri sebab kebudayaan itu ditampilkan untuk dipertontonkan bukan ditampilkan sebagai mana adanya. Festival kebudayaan boleh saja dilaksanakan dengan syarat nilai dan hakekat kebudayaan itu tetap terjaga dan festival itu memberikan nilai pembelajaran bagi bagi masyarakat.
Alangkah baiknya setiap penyelenggaraan festival diikuti pula dengan pengkajian dan penerbitan buku tentang kegiatan kebudayaan yang ditampilkan dalam festival itu agar masyarakat benar-benar memahami nilai-nilai yang terkandung dari pertunjukkan kebudayaan itu. Misalnya dengan membuat kebijakan bahwa 10 persen dari anggaran festival digunakan untuk penulisan dan penerbitan buku sebab kalau kita benar-benar ingin mewariskan kebudayaan itu kepada anak-anak kita, tuliskan kebudayaan itu dan terbitkan serta sebarkan ke sekolah-sekolah dan masyarakat agar mereka dapat mengetahui kebudayaan mereka sendiri.
Kedua, setelah kebudayaan benar-benar ditanamkan dengan kuat dalam diri kita melalui pendidikan, barulah kita dapat melangkah ke wilayah pariwisata. Tanpa adanya usaha penguatan nilai-nilai kebudayaan, kita sebaiknya menunda dulu pariwisata sebab diri kita masih rapuh. Bila kita belum berhasil menegakkan identitas atau jati diri kita maka kebudayaan asing yang dibawa oleh wisatawan akan menerpa kebudayaan kita sendiri dan kita pun semakin kehilangan identitas. Ini sama saja dengan bunuh diri sebab kita dengan sengaja mengundang orang asing datang kepada kita sedangkan diri kita sendiri belum kuat untuk menyaring dampak negatif dari kebudayaan asing itu.
Sebagian besar dari kita selalu menyatakan bahwa Melayu itu identik dengan Islam dan kita akan bereaksi secara emosional bila ada orang yang tidak setuju dengan pernyataan itu. Bila identitas orang Melayu itu adalah Islam maka ketika kita merancang pengembangan pariwisata di Riau. Apakah kita sudah memikirkan konsep pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan nilai-nilai Islam? Konsep pengembangan pariwisata kita seharusnya tidak bertentangan dengan Islam sebab Islam itu menjadi identitas utama orang Melayu. Bila tidak sesuai dengan Islam maka ia juga tidak sesuai dengan Melayu. Kita harus benar-benar berhati-hati dalam merancang pengembangan kebudayaan dan pariwisata sebab kesalahan dalam menempatkan konsepnya akan merugikan dan menyesatkan banyak orang.
Oleh karena itu, pengembangan kebudayaan dan pariwisata seharusnya melibatkan orang-orang yang memahami kebudayaan dan masyarakat tempatan. Perencanaan pengembangan kebudayaan dan pariwisata tidak bisa diserahkan kepada orang-orang yang tidak memahami esensi kebudayaan sebab ini akan berakibat buruk bagi perkembangan anak negeri ini.
Ketiga, pariwisata bukan tujuan tetapi akibat. Bila direnungkan secara lebih seksama hubungan kebudayaan dan pariwisata maka dapat dinyatakan bahwa pariwisata bukanlah tujuan yang hendak dicapai dalam pelestarian kebudayaan. Kepentingan pariwisata hanyalah suatu akibat dari pelestarian kebudayaan. Tujuan pelestarian kebudayaan tetap untuk mengangkat jati diri dan menuntun manusia ke arah kehidupan yang benar. Bila kemudian pelestarian kebudayaan dapat menarik minat orang untuk melihat kebudayaan itu maka diperlukan pula strategi untuk mengelola kebudayaan itu untuk kegiatan pariwisata.
Dengan demikian, dapatkan dikatakan bahwa pelestarian kebudayaan tidak hanya memerlukan uang tetapi pelestarian juga bisa menghasilkan uang dengan cara mengemas kebudayaan untuk kepentingan pariwisata. Dalam bahasa yang lebih humanistis dapat dikatakan bahwa kita sebenarnya bukan “menjual” kebudayaan tetapi kita menjalankan kebudayaan kita sebagaimana adanya untuk menunjukkan identitas diri kita. Kita harus kritis dalam menggunakan kata “menjual kebudayaan” sebab ia bersifat materialistis dan mengandung makna “menjual diri” sebab kebudayaan itu identitas dan jati diri kita. Penggunaan kata “menjual kebudayaan” akan memberikan dampak filosofis terhadap cara pandang kita terhadap kebudayaan dan pariwisata. Bila penampilan kebudayaan itu kemudian menghasilkan uang maka itu akibat dari penampilan kebudayaan itu sendiri dan kita sah untuk memperoleh keuntungan dari itu.
Ini bermakna bahwa dalam menjalan kegiatan kebudaayaan untuk kepentingan pariwisata kita tidak boleh mengada-ngada atau “memandai-mandai” dengan cara membuat kegiatan budaya hanya untuk kepentingan pariwisata padahal kebudayaan itu sebenarnya tidak ada dalam masyarakat kita. Bila pariwisata dijadikan tujuan pelestarian kebudayaan, maka pelestarian kebudayaan akan kehilangan hakikatnya.
Keempat, pariwisata untuk masyarakat tempatan. Pembangunan pariwisata seharusnya dirancang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tempatan sebab masyarakat tempatan yang paling dekat hubungannnya dengan tempat wisata. Masyarakat perlu diberdayakan agar mereka mempunyai kemampuan untuk dapan berperan dalam program pariwisata. Pemerintah mempunyai tanggung jawab memberikan bekal kepada masyarakat agar masyarakat memperoleh keuntungan dari bisnis pariwisata. Pemerintah mesti mendorong petumbuhan usaha kecil menengah dan memberikan bimbingan dan bantuan modal usaha.
Di sinilah sebenarya peran pemerintah untuk memanjukan pariwisata yang berbasiskan kepentingan masyarakat. Anggaran yang dikeluar pemerintah untuk kegiatan pariwisata harus dilihat secara kritis. Misalnya pemerintah menyediakan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pariwisata sebesar Rp2 miliar. Apakah uang Rp2 miliar itu dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat tempatan. Jika tidak maka kita perlu memikirkan kembali bagaimana sebaiknya mengokasikan anggaran pariwisata yang bertujuan untuk meningkat ekonomi masyarakat tempatan. Salah satu konsep yang terdapat dalam “community based tourism” adalah masyarakat tempatan mempunyai hak untuk menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak pariwisata. Masyarakat akan lebih mengetahui pilihan mana yang akan mereka pilih. Oleh karena itu, bila kita benar-benar ingin merancang program pariwisata maka masyarakat perlu diajak untuk merundingkan itu agar masyarakat tidak hanya menjadi objek dan bahkan korban dari pariwisata. Kebudayaan dan pariwisata itu dilahirkan oleh masyarakat sehingga masyarakatlah yang menentukan arah pengembangan kebudayaan dan pariwisata.
__________
Dr Junaidi SS., M.Hum., adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning dan Dosen Pascasarjana Mikom UMRI, Tinggal di Pekanbaru.
Sumber :http://www.riaupos.info/
Saat ini pembangunan kebudayaan sering dihubungkan dengan kegiatan pariwisata. Kebudayaan dikemas semenarik mungkin untuk dijual kepada wisatawan. Kegiatan kebudayaan ditampilkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sekelompok orang. Kebudayaan dan masyarakat tempatan tidak lagi menjadi subjek dalam kehidupan ini akibat ambisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebaliknya, kebudayaan dan masyarakat dieksploitasi. Realitas kehidupan yang cenderung materialistis memang memaksa kita untuk menjual kebudayaan. Persoalan yang timbul adalah apakah kebudayaan akan kehilangan esensi atau hakekatnya bila kebudayaan itu ditampilkan hanya untuk kepentingan ekonomi?
Pada hakekatnya, kebudayaan cenderung membimbing kepada kehidupan yang lebih ideal dan mengutamakan harmonisasi dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya pariwisata cenderung mendasarkan diri pada aspek materi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Jika demikian, diperlukan pemahaman yang benar tentang hubungan kebudayaan dan pariwisata agar kebudayaan atau masyarakat tempatan tidak menjadi “korban” penyebaran kebudayaan asing atau luar yang disebabkan oleh kegiatan pariwisata. Berikut disampaikan beberapa gagasan untuk memahami hubungan kebudayaan dan pariwisata.
Pertama, penguatan nilai-nilai kebudayaan melalui pendidikan. Asas utama untuk menguatkan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat adalah melalui pendidikan sebab melalui pendidikan pola pikir atau cara pandang seseorang dapat dibentuk. Bila pengembangan kebudayaan tidak didukung oleh sektor pendidikan maka kebudayaan yang dikembangkan itu akan kehilangan esensinya, ibarat pohon yang telah tercerabut dari akarnya. Kebudayaan itu memang akan tetap ada tetapi ia telah kehilangan identitas, jati diri, dan hakekatnya. Oleh karena itu, bila kita hendak mengembangkan pariwisata maka kita harus menengok seberapa besar perhatian yang telah kita berikan pada sektor pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan.
Kita sering mengadakan festival atau pertunjukkan kebudayaan dengan anggaran yang besar. Apakah festival kebudayaan itu benar-benar bertujuan untuk preservasi atau pelestarian kebudayaan? Bahkan ada kencenderungan festival kebudayaan dapat mereduksi hakekat dari kebudayaan itu sendiri sebab kebudayaan itu ditampilkan untuk dipertontonkan bukan ditampilkan sebagai mana adanya. Festival kebudayaan boleh saja dilaksanakan dengan syarat nilai dan hakekat kebudayaan itu tetap terjaga dan festival itu memberikan nilai pembelajaran bagi bagi masyarakat.
Alangkah baiknya setiap penyelenggaraan festival diikuti pula dengan pengkajian dan penerbitan buku tentang kegiatan kebudayaan yang ditampilkan dalam festival itu agar masyarakat benar-benar memahami nilai-nilai yang terkandung dari pertunjukkan kebudayaan itu. Misalnya dengan membuat kebijakan bahwa 10 persen dari anggaran festival digunakan untuk penulisan dan penerbitan buku sebab kalau kita benar-benar ingin mewariskan kebudayaan itu kepada anak-anak kita, tuliskan kebudayaan itu dan terbitkan serta sebarkan ke sekolah-sekolah dan masyarakat agar mereka dapat mengetahui kebudayaan mereka sendiri.
Kedua, setelah kebudayaan benar-benar ditanamkan dengan kuat dalam diri kita melalui pendidikan, barulah kita dapat melangkah ke wilayah pariwisata. Tanpa adanya usaha penguatan nilai-nilai kebudayaan, kita sebaiknya menunda dulu pariwisata sebab diri kita masih rapuh. Bila kita belum berhasil menegakkan identitas atau jati diri kita maka kebudayaan asing yang dibawa oleh wisatawan akan menerpa kebudayaan kita sendiri dan kita pun semakin kehilangan identitas. Ini sama saja dengan bunuh diri sebab kita dengan sengaja mengundang orang asing datang kepada kita sedangkan diri kita sendiri belum kuat untuk menyaring dampak negatif dari kebudayaan asing itu.
Sebagian besar dari kita selalu menyatakan bahwa Melayu itu identik dengan Islam dan kita akan bereaksi secara emosional bila ada orang yang tidak setuju dengan pernyataan itu. Bila identitas orang Melayu itu adalah Islam maka ketika kita merancang pengembangan pariwisata di Riau. Apakah kita sudah memikirkan konsep pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan nilai-nilai Islam? Konsep pengembangan pariwisata kita seharusnya tidak bertentangan dengan Islam sebab Islam itu menjadi identitas utama orang Melayu. Bila tidak sesuai dengan Islam maka ia juga tidak sesuai dengan Melayu. Kita harus benar-benar berhati-hati dalam merancang pengembangan kebudayaan dan pariwisata sebab kesalahan dalam menempatkan konsepnya akan merugikan dan menyesatkan banyak orang.
Oleh karena itu, pengembangan kebudayaan dan pariwisata seharusnya melibatkan orang-orang yang memahami kebudayaan dan masyarakat tempatan. Perencanaan pengembangan kebudayaan dan pariwisata tidak bisa diserahkan kepada orang-orang yang tidak memahami esensi kebudayaan sebab ini akan berakibat buruk bagi perkembangan anak negeri ini.
Ketiga, pariwisata bukan tujuan tetapi akibat. Bila direnungkan secara lebih seksama hubungan kebudayaan dan pariwisata maka dapat dinyatakan bahwa pariwisata bukanlah tujuan yang hendak dicapai dalam pelestarian kebudayaan. Kepentingan pariwisata hanyalah suatu akibat dari pelestarian kebudayaan. Tujuan pelestarian kebudayaan tetap untuk mengangkat jati diri dan menuntun manusia ke arah kehidupan yang benar. Bila kemudian pelestarian kebudayaan dapat menarik minat orang untuk melihat kebudayaan itu maka diperlukan pula strategi untuk mengelola kebudayaan itu untuk kegiatan pariwisata.
Dengan demikian, dapatkan dikatakan bahwa pelestarian kebudayaan tidak hanya memerlukan uang tetapi pelestarian juga bisa menghasilkan uang dengan cara mengemas kebudayaan untuk kepentingan pariwisata. Dalam bahasa yang lebih humanistis dapat dikatakan bahwa kita sebenarnya bukan “menjual” kebudayaan tetapi kita menjalankan kebudayaan kita sebagaimana adanya untuk menunjukkan identitas diri kita. Kita harus kritis dalam menggunakan kata “menjual kebudayaan” sebab ia bersifat materialistis dan mengandung makna “menjual diri” sebab kebudayaan itu identitas dan jati diri kita. Penggunaan kata “menjual kebudayaan” akan memberikan dampak filosofis terhadap cara pandang kita terhadap kebudayaan dan pariwisata. Bila penampilan kebudayaan itu kemudian menghasilkan uang maka itu akibat dari penampilan kebudayaan itu sendiri dan kita sah untuk memperoleh keuntungan dari itu.
Ini bermakna bahwa dalam menjalan kegiatan kebudaayaan untuk kepentingan pariwisata kita tidak boleh mengada-ngada atau “memandai-mandai” dengan cara membuat kegiatan budaya hanya untuk kepentingan pariwisata padahal kebudayaan itu sebenarnya tidak ada dalam masyarakat kita. Bila pariwisata dijadikan tujuan pelestarian kebudayaan, maka pelestarian kebudayaan akan kehilangan hakikatnya.
Keempat, pariwisata untuk masyarakat tempatan. Pembangunan pariwisata seharusnya dirancang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tempatan sebab masyarakat tempatan yang paling dekat hubungannnya dengan tempat wisata. Masyarakat perlu diberdayakan agar mereka mempunyai kemampuan untuk dapan berperan dalam program pariwisata. Pemerintah mempunyai tanggung jawab memberikan bekal kepada masyarakat agar masyarakat memperoleh keuntungan dari bisnis pariwisata. Pemerintah mesti mendorong petumbuhan usaha kecil menengah dan memberikan bimbingan dan bantuan modal usaha.
Di sinilah sebenarya peran pemerintah untuk memanjukan pariwisata yang berbasiskan kepentingan masyarakat. Anggaran yang dikeluar pemerintah untuk kegiatan pariwisata harus dilihat secara kritis. Misalnya pemerintah menyediakan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pariwisata sebesar Rp2 miliar. Apakah uang Rp2 miliar itu dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat tempatan. Jika tidak maka kita perlu memikirkan kembali bagaimana sebaiknya mengokasikan anggaran pariwisata yang bertujuan untuk meningkat ekonomi masyarakat tempatan. Salah satu konsep yang terdapat dalam “community based tourism” adalah masyarakat tempatan mempunyai hak untuk menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak pariwisata. Masyarakat akan lebih mengetahui pilihan mana yang akan mereka pilih. Oleh karena itu, bila kita benar-benar ingin merancang program pariwisata maka masyarakat perlu diajak untuk merundingkan itu agar masyarakat tidak hanya menjadi objek dan bahkan korban dari pariwisata. Kebudayaan dan pariwisata itu dilahirkan oleh masyarakat sehingga masyarakatlah yang menentukan arah pengembangan kebudayaan dan pariwisata.
__________
Dr Junaidi SS., M.Hum., adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning dan Dosen Pascasarjana Mikom UMRI, Tinggal di Pekanbaru.
Sumber :http://www.riaupos.info/