Kota Dan Permasalahannya *

Oleh : Magdalia Alfian**

I

Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relative panjang. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dari setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (politik, ekonomi dan sosial budaya). Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat. Pada ruang-ruang kota tersebut tercipta lingkungan fisik, sebagai tempat warga kota beraktivitas, dalam bentuk yang sangat kompleks. Berbagai kepentingan, kesibukan dan kehangatan bergelut di dalamnya. Keramaian penduduknya bukan saja karena banyaknya jumlah orang yang menghuninya dan lalu lintas yang hiruk pikuk, melainkan juga karena irama pertumbuhan kota itu sendiri. Keramaian itu merupakan gejala terjalinnya sekian banyak kebutuhan dan peranan yang terdapat di dalamnya
Kota adalah daerah yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. Pada umumnya kota mempunyai cirri-ciri banyaknya fasilitas umum yang tersedia (seperti pertokoan, rumah sakit dan sekolah). Selain itu, lapangan pekerjaan di kota lebih beragam dibandingkan dengan di desa. Pada umumnya para pekerja membentuk organisasi berdasarkan pekerjaan atau profesi. Beberapa organisasi dibentuk berdasarkan kesamaan kepentingan dan gaya hidup seperti, organisasi dokter, organisasi pencinta buku, atau organisasi olah raga. Dalam kehidupannya, penduduk kota memerlukan banyak pelayanan seperti listrik, air, sanitasi, telepon dan angkutan umum. Oleh sebab itu, kota memerlukan pengelolaan, pengaturan dan penanganan yang matang agar semua kegiatan berlangsung dengan baik.

II

Ada beberapa tipologi kota yang pernah muncul dalam sejarah kota-kota di Indonesia. Paling tidak dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Kota tradisional, yaitu yang diterapkan oleh penguasa pada waktu mendirikan pusat-pusat kerajaan seperti Yogyakarta dan Surakarta.

2. Kota-kota dagang pra-kolonial dan awal colonial seperti Banten, Cirebon dan Surabaya. Tipe ini secara prinsipil dapat dikategorikan sebagai kota-kota dengan konsep kota tradisional yang telah mengalami modifikasi, meskipun dominasi feodal masih sangat dominan.

3. Kota colonial moderen, yang secara prinsipil mengacu kepada konsep kota moderen industrial dari negara-negara industri maju. Pada masa colonial Belanda, sebagian hak otonomi diberikan oleh Negara kepada penduduk kota yang berstatus warga kota.

Sebagian besar kota-kota di Indonesia pada dasarnya berasal dan berakar dari perkembangan kota-kota tradisional dan kota-kota colonial. Konsep kota tradisional di Indonesia merupakan konsep kota yang berakar pada peradaban agraris yang bersifat tertutup. Konsep kota tradisional Jawa adalah salah satunya. Struktur pemerintahan yang berkembang pada masa itu adalah struktur pemerintahan patrimonial. Legitimasi kebudayaan kota terpusat pada legetimasi keagamaan raja. Tradisi Hinduisme dan Budhisme yang datang dari India mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ritual dan symbol-simbol kota. Demikian pula halnya dengan pengaruh tradisi budaya Islam dalam penyusunan tata ruang kota, arsitektur bangunan dan symbol-simbol kota seperti yang tampak dalam bangunan-bangunan mesjid, pakaian dan upacara-upacara tradisi dan keagamaan.

Pada konsep kota tradisional, tidak terbentuk komunitas urban yang terbuka. Kehidupan kota berlangsung berdasarkan aliansi antara kelompok-kelompok social-kultural dengan kelompok¬kelompok social-religius, yang sampai batas tertentu memiliki hak-hak otonomi. Kota dagang tradisional di Indonesia tidak dibangun berdasarkan kebersamaan sebuah system nilai, melainkan- dengan meminjam istilah dari van Leur-merupakan semacam konvederasi dari kelompok-kelompok social-kultural. Pemerintah kota memberlakukan system nilai local pada tingkat yang sangat umum, sedangkan setiap kelompok mempertahankan system nilai sendiri di dalam kampung mereka masing-masing. Kehidupan social perkotaan hanya berkembang di dalam kampong, bukan pada tingkat kota.

Pada prinsipnya, kota-kota tradisional di Indonesia didominasi oleh kekuasaan otoriter yang berorientasi kepada system nilai tradisional yang sacral. Sebaliknya, menurut prinsip kota moderen, kota harus bersifat terbuka bagi semua orang dan merupakan komunitas yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antara kelompok-kelompok yang setera, dengan tujuan membangun kehidupan bersama. Kota moderen adalah tempat tawar-menawar, jual-beli, memberi-dan mendapatkan apa yang diinginkan. Setiap kelompok harus mampu menekan sebagian kepentingan kelompok mereka sendiri, demi terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis-religius.

III

Urbanisasi merupakan salah satu factor pemicu perkembangan kota. Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh berbagai factor, baik factor penarik maupun pendorong. Perkembangan industri dan perdagangan di kota merupakan factor penarik yang menyebabkan banyak orang untuk mendatanginya. Keinginan mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk mencukupi kebutuhan hidup merupakan penyebab utama terjadinya urbanisasi. Namun sering keinginan tersebut tidak diikuti dengan keterampilan yang memadai, sehingga mereka tidak diterima di sector formal yang menuntut keahlian tertentu. Pendidikan yang mereka andalkan tidak cukup untuk memasuki sector formal yang menuntut keahlian tertentu di perkotaan. Akibatnya mereka hanya bisa memasuki sector-sektor informal seperti berdagang dsb.

Berbagai fasilitas dan “kemudahan” untuk mendapatkan uang serta status sosial juga merupakan daya tarik tersenidiri. Selain itu juga sarana dan prasarana pendidikan dan rekreasi yang tersedia di kota juga mempunyai daya tarik yang tak kalah pentingnya. Sementara itu, pengaruh media massa dengan segala bentuk pesan yang ditawarkan dan memamerkan pola kehidupan moderen kota, semakin menarik orang untuk mendatangi kota untuk mengadu nasib dan peruntungan..

Sementara faktor pendorong yang menyebabkan orang datang ke kota disebabkan oleh berbagai fasilitas untuk hidup dan lembaga pendidikan di desa kurang memadai. Sempitnya lapangan pekerjaan di desa juga menyebabkan orang mencari pekerjaan di kota. Lapangan pekerjaan yang tersedia di desa sangat terbatas, kebanyakan berada di sektor pertanian dan upah yang kurang memadai. Bagi generasi muda, bekerja menjadi petani atau buruh tani yang berpanas-panas dan bermandikan lumpur, kotor dan bau merupakan pekerjaan yang dianggap kurang menarik dan tidak bergengsi. Pada umumnya mereka lebih suka memilih pekerjaan di sektor-sektor formal sebagai pegawai, baik di pabrik maupun perkantoran yang dianggap lebih bersih, bergengsi dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi di kota menimbulkan berbagai masalah social. Persoalan yang sering muncul adalah banyaknya perkampungan kumuh dan perumahan liar di pinggir-pinggir kota. Masalah tersebut disebabkan antara lain oleh ketidak-mampuan masyarakat miskin untuk memiliki rumah yang layak huni. Penyebab lainnya adalah ketidak-mampuan pemerintah kota untuk menyediakan sarana bagi masyarakat miskin.

Masalah lain yang dihadapi oleh penduduk di kota adalah lapangan kerja yang semakin sempit. Masalah ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang begitu cepat, dibandingkan dengan peningkatan jumlah lapangan kerja. Dampak dari masalah ini adalah peningkatan tindak criminal. Lapangan kerja yang semakin sempit menyebabkan persaingan kerja yang ketat. Bagi orang-orang yang tidak mampu bersaing dalam pekerjaan di sector formal, mereka akan mencari pekerjaan di sector informal, seperti berdagang kali lima atau pedagang asongan.

Sebagai pusat komunitas social dan cultural, kota menempati kedudukan penting dalam dinamika kebudayaan di Indonesia. Hubungan interaktif dan dinamis antara keduanya pada dasarnya tidak bisa dipisahkan. Dinamika kehidupan kota pada hakekatnya mempengaruhi dinamika kebudayaan dan begitu pula sebaliknya. Perjalanan sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa semenjak awal kelahiran kota-kota maritim dan agraris atau kota-kota perdagangan pada masa colonial, sampai masa terbentuknya kota-kota moderen pasca kemerdekaan, kota-kota di Indonesia secara dinamis telah memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja sebagai pusat politik, ekonomi dan pemerintahan, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya proses transformasi dan konfigurasi berbagai unsur kebudayaan luar dan local di Indonesia.

Banyak hal yang dapat dikaji mengenai kota dalam kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan, sebab kota merupakan sebuah jaringan yang saling berkaitan dalam dinamika sejarah. Secara terinci hal itu akan dibahas oleh para pemakalah di dalam diskusi yang akan berlangsung selama dua hari ini. Para pemakalah yang ahli di bidangnya, akan mempresentasikan dan mendiskusikan tema-tema yang menarik di hadapan kita semua.

Daftar Pustaka
Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, Surabaya: ITS Press, 2006

Colombijn, Freek dkk (ed), Kota Lama-Kota Baru Sejarah Kota-kota di Indonesia, Jogyakarta: Ombak, 2005

, Paco -paco (Kota) Padang, Yogyakarta: Ombak, 2006.

Direktorat Nilai Sejarah, Bunga Rampai Sejarah Lokal, Jakarta: Dep. Kebudayaan dan Pariwisata, 2006.

Soegijoko dkk (ed). Bunga Rampai Pembangunan Kota di Indonesia, Buku 1, Jakarta: URDAL, 2005

Suryo, Djoko, “Kota dan Dinamika Kebudayaan”, Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah di Jakarta, November 2006.

Santoso, Jo, Menyiasati Kota Tanpa Warga, Jakarta: KPG, 2006 Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, 2005
______________
*Makalah yang disampaikan pada acara Diskusi Sejarah yang diselenggarakan oleh BPSNT Yogyakarta tanggal 11-12 April 2007 di Hotel Matahari, Yogyakarta.

** Lektor Kepala pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,