Kearifan Itu Telah Melestarikan Jejak Peradaban

Oleh : Heru Nugroho

Menjelang tahun baru 2009 kami (saya dan beberapa rekan) memutuskan untuk mengakhiri tahun 2008 dengan mengunjungi beberapa lokasi yangg diidentifikasi menyimpan jejak2 masa lalu negeri ini. Perjalanan selama tiga hari itu menyusuri daerah Kabupaten2 Garut-Ciamis-Banjar, Jawa Barat.

Karena keterbatasan waktu, tidak banyak tempat yg bisa kami kunjungi. Diantara-nya yg menarik perhatian saya adalah kunjungan ke Bumi Alit, sebuah lokasi tempat penyimpanan benda2 pusaka masa lalu di Desa Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jabar. Kuncen (penunggu) tempat tersebut awalnya agak bingung menerima kami yg tiba di lokasi pas pada saat waktu maghrib. Meski tetap diterima, karena dikiranya kami punya itikad khusus, padahal aseli-nya, kami memang kemalaman karena habis mengunjungi tiga tempat terpisah sebelumnya...

Sang Kuncen mengira, kami adalah rombongan yg sedang mencari berkah atau sesuatu yg ada hubungannya dengan persoalan kebathinan. Dia hanya senyum2 ketika mendengar penjelasan dari kami yg ingin mencari informasi tentang histori tempat ini dan permohonan untuk mengambil gambar (photo) atas pusaka2 yg ada di tempat tersebut. Dia menyatakan bahwa dirinya bukanlah orang yg tepat untuk bisa memberi ijin atau menceritakan hal yg kami butuhkan itu.

Hanya karena sebuah keberuntungan lah, maka malam itu kami mendapat kesempatan bisa bertemu dan berdiskusi cukup panjang lebar dengan sesepuh wilayah tersebut. Sang Sesepuh sepakat dg saya bhw dia adalah penerus dari Pemangku Adat di wilayah tersebut yg secara turun temurun mewariskan tugas-nya kepada keturunan atau famili dekat. Menurutnya, Bumi Alit ini memiliki sejarah yg sangat panjang, bahkan dimulai sejak era pra sejarah, dimana saat aksara belum ditemukan.

Literatur kesejarahan memberi informasi bahwa disana pernah berdiri sebuah kerajaan bercorak hindu antara abad 12 - 16. Namun sebelumnya, keberadaan kerajaan tersebut telah dirintis oleh keberadaan Kebataraan (semacam tempat suci yg menitikberatkan pada kegiatan spiritual atau keagamaan) sejak abad ke-7, seperiode dengan masa Kerajaan Galuh. Untuk masa sebelumnya, saya belum menemukan catatan yg saya anggap cukup kredibel.

Sang Pemangku adat yg awalnya heran dengan maksud kunjungan kami kesana, akhirnya bisa cerita dengan santai dan penuh canda. Cerita panjang lebar yg dipaparkan ke kami adalah cerita tentang asal muasal penguasa di wilayah Panjalu dan sekitarnya yg dikatakannya sudah eksis sejak jaman pra-sejarah, saat dimana aksara tulisan belum dikenal, hingga akhirnya berdiri Istana Bumi Alit yg merupakan semacam museum benda2 kuno bersejarah. Dengan segala kerendahan hati-nya, dia mengaku sebagai keturunan ke-14 dari seorang Penguasa yg pernah menguasai wilayah di Panjalu dan sekitarnya. Saat mengakhiri ceritanya, ada satu kalimat yg membuat saya tertegun, yakni: "begitulah FILOSOFI cerita tersebut, terserah situ memahami-nya".

Bagian cerita yg saya anggap sangat menarik adalah, di istana (museum) tersebut, tersimpanlah sebuah pedang pusaka yg diperoleh buyut moyang Sang Sesepuh ketika "mengelana" ke negeri jauh. Pedang itu merupakan hadiah dari seorang Imam Besar Islam dari Negeri Saudi Arabia jaman dulu (abad ke-7) yg merupakan sahabat sekaligus menantu Nabi Ummat Muslim, Muhamad bin Abdullah, yakni: Ali bin Abi Thalib. Dikatakan oleh Sang Pemangku Adat, sejak abad ke-7 itulah islam mulai disebarkan di tanah Panjalu dan sekitarnya.

Akal sehat saya tentu sulit mempercayai cerita itu sebegitu saja, tetapi dalam proses diskusi penuh canda tersebut, Sang Sesepuh memang tidak berharap saya mempercayai cerita itu secara harfiah. Diskusi kami berakhir, ketika malam kian larut dan banyak pengunjung yg datang ke museum itu (terakhir sekitar 30-an orang) yg sebenarnya tidak mengganggu ajang diskusi kami yg berlangsung di tempat tersendiri dimana setiap pengunjung memang nampak sungkan pada Sang Sesepuh.

Rekan saya akhirnya mendapat ijin mengambil beberapa gambar, meski dengan situasi yg terbatas, bersama-sama dengan beberapa pengunjung yg sebagian nampak khidmat dalam do'a (islami) ketika menghadapi sosok pedang pemberian Ali yg terbungkus rapi dan berada dalam kemasan yg nampak mistis. Nampak pula beberapa pusaka lain, mulai dari keris, kujang, tombak, dan beberapa macam pusaka yg pasti juga dianggap keramat oleh kebanyakan pengunjung yg datang kesana. Sepertinya semua pengunjung yg ada disana saat itu keheranan melihat ulah kami, tetapi keberadaan Sang Sesepuh disana yg tersenyum ceria, seolah menepis keheranan yg ada.

Menurut informasi yg kemudian kami dapat dari banyak pihak, tempat ini cukup dikenal masyarakat secara luas, dimana setiap tahun sekali (pada bulan Maulud - Tahun Hijriyah) secara rutin melakukan upacara suci pemandian benda2 pusaka. Pusaka yg dimandikan adalah pusaka2 yg ada di dalam istana (musium) tersebut, juga pusaka2 milik pribadi2 yg mungkin sekalian titip untuk dimandikan oleh ahli-nya. Hebatnya, pengunjung upacara tersebut bukan hanya datang dari wilayah jawa barat, bahkan dari luar pulau jawa.

Bagi saya, apa yg terjadi disana dan cerita yang saya dapat, tidaklah terlalu penting, meski sekedar menarik untuk disimak. Tetapi melihat kenyataan bahwa benda2 yg memiliki nilai sejarah negeri ini masih bertahan dengan baik, adalah sebuah kebanggaan tersendiri *paling tidak bagi saya* yangg tidak layak dimaterialisasi dalam bentuk nilai2. Karena salah satu jejak masa lalu dari peradaban di negeri ini masih terpelihara dengan baik...

Beberapa kejadian yg sempat terlihat dan cerita2 yg saya dengar disana, pasti mendapat respon yg kontroversial dari akal sehat. Tetapi mempertimbangkan situasi keselarasan kehidupan yg sudah berlangsung secara turun temurun di wilayah itu, memaksa saya untuk tidak membiarkan akal sehat bereaksi. Meskipun saya tidak mungkin mampu melakukan hal2 spt itu...

Seperti juga melihat kejadian sebelumnya di tempat2 sebelum saya berkunjung ke Istana (Museum) Bumi Alit di Panjalu. Saya hanya sempat tersenyum ketika melihat serombongan orang memanjatkan do'a-do'a yg dilakukan dengan posisi menghadap sebuah batu yg spt-nya langka (karena keunikan bentuk dan kondisinya). Batu tersebut diidentifikasi berasal dari era megalitikum (masa purba, sekitar 10.000 tahun lalu).

Bahkan, ada sebuah batu sebesar kepala manusia dari era megalitikum juga yang dipercayai bisa membawa berkah. Bagi siapapun yg berkunjung kesana dan mau melakukan, dipersilahkan berdo'a, kemudian mengangkatnya. Bagi yg berhasil mengangkatnya, dipercayai oleh yg meyakini bisa membawa berkah kehidupan.

Di sebuah tempat lain, di Kabupaten Garut, ada sebuah candi yg di tengah ruangan-nya terdapat Patung Syiwa (dari abad ke-7) yg saya lihat dikunjungi oleh beberapa orang yg kemudian melempar receh (uang ribuan), karena diyakini akan mendatangkan rejeki yg berlipat (mungkin semacam bersedekah).

Nampaknya wilayah di sekitar situ (juga di banyak wilayah lain di negeri ini) dipenuhi banyak cerita legenda dan mitos. Seperti yg saya pahami, legenda dan mitos sewajarnya untuk dipertahankan sebagai warisan nenek moyang, karena melukiskan begitu banyak pemaknaan yg bukan untuk kita pikir dan perdebatkan, tetapi layak untuk selalu direnungkan...

Kehidupan masyarakat *khususnya* pedesaan di negeri ini punya cara tersendiri untuk memelihara warisan dari nenek moyangnya. Ditengah hingar bingar-nya modernisasi, mereka memiliki cara tersendiri untuk melestarikan jejak peradaban masa lalu dari negeri ini.

Paling tidak saya mendapat informasi dari salah satu petugas lapangan Dinas Purbakala Kab Ciamis, menurutnya ada sekitar 40 lokasi wilayah yg layak disebut sebagai lokasi yg bisa memberi gambaran jejak peradaban masa lalu negeri ini, berupa peninggalan situs atau prasasti atau candi atau bangunan2 dan benda2 kuno yg bisa dikategorikan sebagai peninggalan masa lalu. Sayangnya, baru 10 lokasi yg dicatat dalam database Dinas Kepurbakalaan. Itu pun, baru sekitar 3 tempat yg dikelola oleh pihak pemerintah. Tetapi tempat2 itu sampai saat ini masih bisa dibilang terawat baik, berkat perlindungan masyarakat lokal melalui kerifan-kearifan yg telah berlangsung turun temurun...

Sumber :
http://www.wacananusantara.org/1/217/kearifan-itu-telah-melestarikan-jejak-peradaban