Tema Utama Sastra Melayu Lama

Oleh : Prof. Dr. Sulastin Sutrisno

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa tema utama dalam karya sastra Melayu lama bertujuan untuk mengungkapkan dan mendambakan kehidupan mental-spiritual yang nilainya abadi dan terpusat pada ajaran moral. Karya-karya sastra Melayu lama mengungkapkan pengalaman-pengalaman jasmaniah dan rohaniah dalam kaitannya dengan perasaan suka dan duka, serta dengan kepercayaan akan adanya dunia gaib dan kesaktian.

1. Bentuk Sastra Melayu Awal
Sastra Melayu lama merupakan sastra daerah yang merekam segala aspek kehidupan bangsa Melayu, baik jasmaniah maupun rohaniah dalam berbagai bentuk. Sastra tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan pendukungnya dari taraf yang paling sederhana melalui bentuk lisan, terutama di kampung-kampung, sampai kepada yang tertuang dalam tulisan yang dimulai dari istana. Sari pikiran dan perasaan orang Melayu mengenai segala peristiwa yang dialiri dan dihayati bersama di sekelilingnya dinyatakan dalam bentuk yang singkat, dalam bahasa kiasan yang terdiri atas mantra-mantra, persamaan, perumpamaan, ibarat, bidal, tamsil, sindiran, dan lambang.

Mantra-mantra diucapkan untuk mengusir roh atau hantu jahat dan mendatangkan pengaruh baik. Masyarakat waktu itu beranggapan bahwa hidupnya berhadapan dengan atau dikelilingi oleh makhluk jahat yang harus dijaga jangan sampai mengganggu, bahkan kalau bisa menjadi sahabatnya. Bahasa kiasan juga banyak dipakai sebagai alat pendidikan, karena masyarakat berpendapat bahwa memberi pengajaran kepada orang cukup dengan kiasan saja, tidak seperti mendidik binatang dengan pukulan. Pendirian seperti ini terpancar dari ungkapan “manusia tahan kias, binatang tahan palu”.

Dalam tiap sektor kehidupan Melayu tersimpan berbagai jenis bahasa kias dengan berbagai tujuan. Misalnya, di kalangan rumah tangga ada “sambil berdiang nasi masak”, di kalangan orang muda ada “adat muda menanggung rindu”, di lingkungan peladang ada “pagar makan tanaman”, di lingkungan pendidikan ada “manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan”, untuk peristiwa sejarah ada “peluru habis, Palembang tak kalah”, dan sebagainya. Sampai sekarang tidak jarang orang meyakinkan suatu pandangan dengan suatu peribahasa yang sudah dikaji kebenarannya melalui pemikiran dan penghayatan berabad-abad oleh bangsa pemakai bahasa itu. Dunia luas peribahasa mengandung falsafat bangsa yang diwariskan sepanjang masa sebagai pusaka kebijakan dan kecerdikan (Sulastin, 1975). Bentuk-bentuk ringkas bahasa kiasan itu mempunyai gerak lagu tertentu, meskipun kadang-kadang kurang jelas. Oleh karena adanya irama inilah maka bahasa kiasan merupakan bahasa ikatan yang tertua dalam permulaan tradisi sastra.

Dari berbagai contoh di atas tampak bahwa bentuk sastra awal ini pertama-tama bukan untuk bersuka-sukaan, melainkan untuk memperoleh kesaktian, baru kemudian untuk tujuan-tujuan lain. Dalam bentuk terikat dan tetap itulah seakan-akan terpaut kekuatan sakti (Emeis, 1949: 5-16). Bentuk sastra awal kemudian berkembang menjadi cerita-cerita lisan dan tertulis sebagai pengungkapan aneka ragam pokok pikiran seperti yang akan dipaparkan dalam bagian-bagian berikut. Sastra Melayu lama yang patuh pada konvensi merupakan milik bersama yang dipelihara bersama-sama dalam suatu khazanah yang kaya, tempat menyimpan berbagai nilai budaya Melayu pada masa silam.

2. Tema Utama: Sebuah Pengertian
Yang dimaksud dengan tema utama adalah tema pokok, yaitu tema yang lebih ditampilkan dalam suatu karya sastra. Dalam studi sastra ada beberapa istilah yang sama, tetapi pengertian atau pemakaiannya dalam sistem atau tradisi sastra di berbagai negeri tidak sama, sehingga di sini perlu dijelaskan pengertian yang dipakai agar tidak menimbulkan salah paham.

Dalam istilah Anglo-Saxon, istilah “tema” mewakili pemikiran pusat dan pemikiran dasar atau tujuan penulisan suatu hasil sastra. Tema ini dalam peristilahan Jerman disebut motiv, sedang tema utama disebut leitmotiv (Sulastin, 1983:128). Tema utama didukung oleh tema-tema sampingan yang menonjolkan tujuan dasar penulisan yang terbayang dalam semua bagian cerita. Dalam bagian berikut akan dicoba untuk mengamati tema utama dalam berbagai karya sastra Melayu lama menurut bentuk dan jenisnya.

Seperti halnya sastra lama Nusantara lainnya, sastra lama Melayu pun mengenal bentuk sastra lisan, yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari orang tua kepada anak, dari anak kepada cucu, dari cucu kepada cicit, dan seterusnya. Singkatnya, dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Di antara sastra lisan ini ada yang didengarkan dan dihayati bersama-sama pada peristiwa-peristiwa tertentu, dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Orang menebak teka-teki dan berbalas pantun pada upacara menanam padi dengan harapan agar hasil panennya berlimpah; pada upacara perkawinan agar pasangan pengantin dalam perjalanan hidupnya selamat dan bahagia; pada peristiwa kelahiran agar bayi terhindar dari segala pengaruh jahat dan selanjutnya diberi kesehatan serta tumbuh menjunjung tinggi adat dan tradisi nenek moyangnya. Upacara dengan tujuan magis itu biasanya dipimpin oleh seorang pawang yang dengan serapah, mantra, dan kemahirannya memilih kata yang mengandung kekuatan gaib atau menghindari pantang bahasa yang mampu menjauhkan segala gangguan terhadap tanaman dan orang. Oleh karena cerita-cerita itu dituturkan di luar kepala, maka bentuk-bentuk bahasa tetap menjadi yang paling cocok, karena lebih mudah diingat.

Selain untuk keperluan tersebut, bentuk sastra lisan juga dipakai sebagai penghibur hati yang gundah oleh seorang penglipur lara atau tukang cerita profesional, yang pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk membawakan cerita. Cerita bisa dibawakan pada waktu senja atau pada malam bulan purnama, sehabis mereka bekerja berat sehari penuh. Cerita tersebut membawa mereka ke dunia khayal yang penuh keindahan, ke negeri-negeri yang jauh dengan tokoh-tokoh putra-putra raja yang gagah berani dan putri-putri yang cantik, serta kemenangan peperangan yang gilang-gemilang melawan makhluk-makhluk yang jahat. Cerita-cerita ini dalam sejarah perkembangannya diperluas oleh sang pencerita dengan bahan-bahan yang didengarnya di pelabuhan dan di pasar-pasar (Hooykaas, 1951: 87), sehingga menjadi cerita-cerita yang lebih menarik dan memenuhi cakrawala harapan pendengarnya. Hal ini terbukti dari makin banyaknya pendengar dan makin asyiknya mereka mendengarkan.

Yang termasuk cerita lisan adalah cerita Pontianak, Kelembai, cerita tentang asal-usul ular sawah tidak berbisa, harimau berbelang, gadung berbisa, asal-usul nama tempat Malaka, Petani, Singapura, dan sebagainya. Demikian pula cerita binatang pelanduk yang mendidik masyarakat ke arah perbuatan, tingkah-laku, dan kebiasaan yang baik yang disepakati oleh masyarakat itu (Asdi, 1982: 32). Cerita jenaka Lebai Malang, Pak Pandir memberikan pelajaran melalui lelucon dan merupakan cerita-cerita lisan yang cukup populer karena tidak menyinggung perasaan. Cerita binatang menanamkan rasa harga diri yang mengajarkan bahwa yang lemah pun dapat menang asal mempergunakan pikiran (Asdi, 1983: 1).

Seni rakyat asli dalam bahasa Melayu lama, terutama seni bercerita dan memperdengarkan (Emeis, 1949: 25), sangat digemari dan dinikmati bersama-sama. Kenikmatan ini antara lain terdapat dalam kebersamaannya. Dalam suasana kebersamaan pendengar lebih dapat meresapinya, sehingga batin terasa mendapat tambahan kekuatan, seperti dalam acara mendengarkan macapat di Jawa Tengah, mabasan di Bali, dan beluk di Jawa Barat. Melalui cerita-cerita yang diperdengarkan didambakan keselamatan lahiriah dan batiniah bagi manusia dan alam sekelilingnya serta perilaku yang terpuji dalam hubungan dengan sesamanya.

Dengan tumbuhnya sastra tulis, cerita-cerita lisan yang pada umumnya penuh pepatah-petitih, nasihat, dan bernilai didaktis itu lambat laun menjadi bukan satu-satunya bentuk sastra. Sastra lisan tidak lenyap. Bahkan, antara sastra lisan dan sastra tulis kemudian timbul interaksi yang kuat. Manakala sastra lisan sudah ditulis sesuai dengan tradisi sastra tulis, sastra tulis kemudian menjadi salah satu sumber sastra lisan.

Kehadiran sastra tulis Melayu dapat dilacak kembali sampai abad ke-7 berdasarkan penemuan tulisan dengan huruf Pallawa pada batu di Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Kota Ka[ur (686), dan Karang Berahi (686). Betapa pun pendeknya tulisan dalam bahasa Melayu kuno itu, karena hanya memuat pemberitahuan-pemberitahuan resmi Raja Sriwijaya, namun dokumentasi itu dapat dipandang sebagai permulaan tradisi sastra tulis. Penemuan prasasti awal ini disusul oleh penemuan prasasti Gandasuli di Jawa dalam bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Sanskerta (832).

Pada abad ke-14 ditemukan prasasti Pagaruyung (1356) di Minangkabau dan prasasti Minye Tujoh di Aceh. Keduanya masih memakai huruf Pallawa. Prasasti Trengganu (1303) telah memakai huruf Arab. Pada abad ke-15 ditemukan dua prasasti di Malaysia, sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab, yaitu prasasti batu nisan Raja Fatimah (1496), prasasti Pangkalan Kempas (1467), dan dua prasasti setengah Melayu setengah Arab dari Brunei Darussalam, dan pada abad ke-17 ditemukan prasasti dari Pulau Langkawi (Teeuw, 1961: 9-12).

Pada prasasti-prasasti itu dapat diamati tumbuhnya sastra tulis Melayu di Melaka, yaitu sekitar tahun 1500, sebagaimana terlihat pada tumbuhnya sastra tulis kraton yang disebut hikayat yang berhadapan dengan sastra rakyat lisan. Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘cerita‘. Penggunaan kata ini dalam sastra Melayu merupakan petunjuk bahwa unsur Islam telah masuk ke tradisi sastra tulis Melayu. Pendapat ini diperkuat oleh adanya penggunaan tulisan Arab pada prasasti Trengganu.

Sebagai jenis sastra, hikayat sudah dikenal di kalangan masyarakat Melayu sejak tahun 1511, seperti terlihat dari dimuatnya “Hikayat Amir Hamzah” dan “Hikayat Muhammad Hanafiyah” dalam Sejarah Melayu, yang menurut Roolvink (1975:7) merupakan versi tertua teks Melayu. Ia menyebutkan bahwa kedua hikayat itu dibacakan sebelum serangan Portugis di Melaka, untuk mempertebal keberanian orang Melayu berperang melawan Portugis.

Walaupun kemungkinan sekali jauh sebelum zaman Melaka, misalnya masa Sriwijaya, sudah ada sastra prosa tertulis dalam bahasa Melayu, namun bukti otentik tertulis tentang hal itu dari tradisi sejarah Melayu dan Jawa, tidak ada. Oleh karena itu, kita tidak dapat mencari titik awal penulisan jenis sastra tulis ini pada zaman itu. Dugaan bahwa hikayat itu sudah termasuk sastra Melayu yang biasa di Melaka diperkuat oleh terjemahan teks-teks Jawa yang kiranya juga terjadi pada zaman Melaka. Pengaruh kebudayaan Jawa yang besar di Melaka pada zaman Majapahit, yang berupa hasil sastra Jawa seperti cerita-cerita Pandawa dan cerita-cerita Panji merupakan bagian yang tidak kecil dalam khazanah sastra Melayu (Sulastin, 1983: 74).

Dalam sastra Melayu, hikayat dituliskan dalam bentuk prosa (berlainan dengan hikayat dalam sastra Aceh yang berbentuk puisi) dengan huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi, yaitu huruf yang dipakai untuk menulis bahasa Jawa atau bahasa Sumatera, dalam hal ini bahasa Melayu (Roolvink, 1975: 5). Dalam perkembangan sastra Melayu dari seni rakyat yang bersifat lisan ke tradisi sastra tulis, perlu dicatat bahwa pawang atau “yang empunya cerita” menyesuaikan diri menurut masa “sahibul hikayat”. Tampak pula bahwa unsur Islam menggantikan unsur Hindu, atau keduanya dipakai bersama-sama. Selain itu, hadirnya unsur asing lain berupa kosakata, kalimat, atau konsep menunjukkan adanya kontak budaya dan sastra yang intensif antara bangsa pendukung sastra Melayu dan bangsa-bangsa lain.

a. Tema dalam Puisi
Sastra Melayu sebagai salah satu bagian sastra Nusantara sangat luas ruang lingkupnya karena peran bahasa Melayu sebagai bahasa perantara di kawasan Nusantara. Karya-karya sastra yang menggunakan medium bahasa Melayu dapat menjangkau daerah-daerah lain di luar wilayah dan juga diciptakan oleh suku-sukubangsa yang bahasa ibunya bukan bahasa Melayu, yang membentang di kepulauan Nusantara dari Barat sampai ke Timur, seperti misalnya di Pasai, Aceh, Minagkabau, Kalimantan Pasai, Aceh, Minangkabau, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Maluku. Jangkauan yang luas itu membuktikan penerimaan yang positif oleh masyarakat Indonesia terhadap karya sastra Melayu dalam berbagai bentuk sastranya, yang pada gilirannya memperkaya sastra Melayu dengan konsep-konsep budaya daerah.

Khazanah sastra Melayu cukup beraneka ragam isinya, serta berasal dari berbagai kurun waktu. Guna mempermudah pengamatan mengenai tema, perlu diadakan pengelompokan menurut isinya. Winstedt, sebagai ahli sejarah, memandang sastra Melayu dari sudut sejarah tanah Melayu dan menyusun bukunya tentang sejarah kesusastraan Melayu berdasarkan lapisan-lapisan menurut sejarah dan kebudayaan tanah Melayu. Dia menyatakan bahwa sastra Melayu asli merupakan sastra hasil pengaruh budaya India, budaya Jawa, dan budaya Islam. Walau benar bahwa sastra Melayu tampak mengandung unsur sastra asing, tetapi harus diakui pula bahwa sastra Melayu bukan hanya ramuan pengaruh asing (Sulastin, 1983: 12). Unsur kepribadian Melayu tetap merupakan lapisan dasar dan menyeluruh pada tiap karya sastra Melayu.

Karya sastra Melayu ditulis dalam bentuk prosa dan puisi. Puisi lama yang merupakan pancaran masyarakat lama (Alisyahbana, 1950: 4) terdiri atas pantun dan syair, dua jenis puisi Melayu yang umum digemari dalam seluruh dunia Melayu. Pantun termasuk puisi rakyat yang dalam sebuah untaian ringkas memberi kesatuan bentuk dan makna yang bulat. Pantun bersifat sindiran akibat perhubungan dua baris pertama, yang karena bunyi maupun perlambangnya merupakan pembayangan bagi dua baris berikutnya (Teeuw, 1960: ix). Dengan pantun, bangsa Melayu menyatakan pikiran dan perasaannya. Sudah menjadi tradisi, pada upacara dan kesempatan tertentu, tua muda berpantun saling bersahutan. Kemahiran berpantun telah mendarah daging pada kebanyakan orang Melayu.

Dalam menyoroti kandungan pantun, masalah bentuk tidak lagi banyak dikaji di sini, hanya jenisnya yang perlu diamati untuk memahami maksudnya, meskipun tidak mudah membagi-bagi pantun menurut jenisnya, karena mungkin sebuah pantun dapat digolongkan ke dalam lebih dari satu jenis. Seni rakyat pantun dapat dipakai oleh semua lapisan masyarakat dari segala umur. Oleh karenanya, terdapat pantun anak-anak, pantun orang muda, pantun orang tua, yang masing-masing dapat dirinci lagi dalam beberapa jenis turunan sesuai dengan tabiat dan pengalaman orang-orang pada umur-umur itu.

Mengikuti pembagian pantun Melayu (Balai Pustaka, 1929:20), bagi anak-anak ada pantun bersukacita untuk bersuka-sukaan apabila anak mendapat apa yang diinginkan dan pantun berdukacita apabila anak tidak mendapat apa yang diinginkan. Bagi orang muda, ada pantun muda yang mengungkapkan tahap-tahap hubungan cinta kasih antara pemuda dan pemudi, yaitu waktu berkenalan, berkasih-kasihan, bercerai apabila seseorang akan berjalan jauh, dan beriba hati apabila percintaan tidak berakhir dengan kebahagiaan. Pantun orang tua mengungkapkan nasihat untuk berperilaku baik dan berbudi pekerti luhur. Dengan pantun adat, orang tua menurunkan adat-istiadat yang dijunjung tinggi sepanjang masa, tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan. Dengan pantun agama, orang tua memelihara dan mempertebal kehidupan beragama, terutama di kalangan orang muda.

Dari pembagian jenis itu dapat ditarik pernyataan bahwa tradisi berpantun merupakan saluran yang baik bagi masyarakat Melayu untuk melahirkan pengalaman batin sesuai dengan keperluan dan tingkat kemampuan masingmasing. Tujuannya adalah agar ikatan yang erat antara berbagai lapisan masyarakat tetap terpelihara dan untuk saling memberikan kekuatan kehidupan rohani dan jasmani, karena masyarakat lama memiliki persatuan yang lebih rapat dan lebih padu dibanding masyarakat modern (Alisyahbana, 1950: 5).

Jenis puisi lainnya ialah syair. Syair adalah jenis puisi yang panjang dan bersifat epis. Untaiannya merupakan bagian yang tidak berdiri sendiri dengan kesatuan untai yang terdapat dalam keseluruhan yang lebih besar (Teeuw, 1960: x). Dalam syair tidak terdapat sampiran (perlambang pada dua baris pertama) dan isi (pada dua baris berikutnya dalam satu bait) seperti pada pantun. Oleh karena syair dipakai untuk mencatat segala peristiwa dan pengalaman, maka isinya beraneka ragam dengan lukisan yang panjang. Orang membaca syair umumnya bukan untuk merasakan keindahan susunan lukisan dan bunyi, tetapi untuk mendengar ceritanya, meskipun ada juga syair yang lukisan dan bunyi tiap-tiap barisnya indah (Alisyahbana, 1950: 46).

Menurut isinya, syair dapat dibagi ke dalam enam golongan (Hooykaas, 1937: 66–74; Liaw Yock Fang, 1982: 293– 316). Masing-masing bagian akan diberi contoh dan akan dibahas lebih lanjut. Beberapa golongan tersebut adalah:

Syair Panji: Syair Ken Tambuhan
Syair Romantis: Syair Bidasari
Syair Kiasan: Syair Ikan Terubuk Berahikan Puyu-puyu
Syair Sejarah: Syair Perang Mengkasar
Syair Saduran: Syair Damar Wulan
Syair Keagamaan: Syair Perahu

Dari pembagian di atas dapat diamati bahwa syair meliputi berbagai jenis cerita, baik yang asli Melayu maupun yang berasal dari luar yang sudah dicerna dan dirasakan sebagai milik sendiri, mengingat temanya cocok dengan pribadi bangsa Melayu. Cerita dari Jawa yang sangat populer di Tanah Melayu adalah cerita Panji. Meskipun syair dapat dipakai untuk cerita yang panjang, namun dalam cerita Panji yang disyairkan biasanya hanyalah sebagian cerita utuh dari cerita Panji yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam Syair Ken Tambuhan misalnya, hanya dimuat episode perkawinan tokoh utama, Inu putra Raja Koripan dengan Ken Tambuhan yang sebenarnya putri Raja Daha, tunangan Inu. Cerita berawal dengan kematian dua kekasih yang kemudian dihidupkan kembali oleh Batara Kala dan berakhir dengan perkawinan dan penobatan Inu sebagai raja Koripan dan Daha.

Seperti dalam cerita Panji yang lengkap, syair Panji dikenal dengan penyebutan raja empat kerajaan di Jawa; Jenggala, Daha, Singasari, dan Gegelang dengan putra-putrinya yang dipertunangkan, yaitu tokoh utama Inu Kertapati dari Jenggala dan Raden Galuh Candra Kirana dari Daha, yang tidak jarang nama dan identitasnya diganti oleh campur tangan dewa-dewa dari kayangan. Cerita berakhir dengan kebahagiaan. Tema syair mengandung unsur inti bahwa kehendak dewata pasti berlaku, tetapi harus melalui aneka macam derita.

Dalam syair romantis Syair Bidasari diceritakan tentang serangan burung garuda di negeri Kembayat. Raja meninggalkan negeri. Dalam pengembaraan, permaisuri melahirkan seorang putri bernama Bidasari, yang kemudian ditinggalkan di hutan dan diasuh oleh saudagar kaya. Putri Bidasari tumbuh sebagai gadis cantik yang diperistri oleh Raja Indrapura. Sementara itu, Raja Kembayat kembali ke negerinya dan memperoleh anak laki-laki. Anak laki-laki ini mencari dan bertemu dengan kakaknya yang sudah menjadi permaisuri Raja Indrapura. Raja Kembayat juga mendatangi Indrapura dan menyaksikan peristiwa bahagia. Adik Bidasari kelak bertemu dengan putri yang sangat cantik yang dikurung oleh seorang jin. Jin dikalahkannya dan ia pun mengawini putri. Cerita berakhir dengan kebahagiaan. Tema yang mendasari syair adalah segala sesuatu akan kembali ke asalnya. Bidasari yang berasal dari kalangan raja, meskipun melalui pengalaman panjang dan pahit, akhirnya kembali pula ke asalnya.

Syair kiasan atau syair simbolik memuat suatu kebenaran berkait dengan keadaan sosial atau politik, tetapi biasanya juga merupakan suatu kemenangan atau kegagalan dalam percintaan (Hooykaas, 1951: 75–76). Peristiwa-peristiwa itu tidak dilukiskan dengan terus terang, tetapi dikiaskan pada binatang dan bunga. Suatu gambaran tentang keanekaragaman syair simbolik diberikan oleh Overbeck dalam pembagiannya menurut beberapa golongan (Overbeck, t.t: 8), yaitu peristiwa negara (Syair Ikan Terubuk Berahikan Puyu-puyu), percintaan di kalangan atas (Syair Burung Pungguk), percintaan di kalangan saudagar (Syair Bunga Air Mawar), syair didaktik (Syair Bayan Budiman), dan syair Melayu berasal dari Jawa (Syair Buah-buahan).

Syair kiasan ikan terubuk Berahikan Puyu-puyu mengandung sindiran tentang anak Raja Malaka yang meminang putri Siak. Percintaannya bertepuk sebelah tangan karena ikan puyu-puyu takut bahwa lingkungan asal mereka yang berbeda kelak akan menimbulkan kesulitan. Ikan puyu-puyu tinggal di dalam kolam, sedangkan ikan terubuk tinggal di laut. Ia kemudian minta pertolongan dewa. Permintaan itu dikabulkan dalam bentuk pohon yang ditancapkan di tengah kolam. Ikan puyu-puyu naik ke atas pohon. Ikan terubuk menyerang kolam. Semua ikan pengikutnya tertangkap jala. Ikan terubuk dapat meloloskan diri. Ia kembali dan menyerah kepada takdir Tuhan, meskipun harus menanggung rindu. Syair ini mengandung tema ketidakcocokan antara warga yang berbeda asal usulnya. Dengan kata lain, tradisi yang berbeda tidak akan atau sulit bertemu.

Dalam syair sejarah diceritakan tentang pengalaman atau peristiwa yang pernah terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya, peristiwa perang merupakan pokok pengisahan, seperti dalam Syair Perang Mengkasar. Dalam syair ini diceritakan asal mula terjadinya peperangan antara orang Makassar dan orang Belanda. Disebutkan nama Sipelman dari pihak Belanda dan Raja Pahaka anak Raja Bugis yang sama-sama menyerang Makassar. Orang Makassar kalah. Sultan Ternate membantu Belanda, sedangkan Sultan Goa melawan Belanda. Bantuan Kompeni Belanda datang. Walau terus-menerus diserang Belanda, tetapi Makassar tidak dapat ditaklukkan oleh kompeni. Kompeni menandatangani perjanjian perdamaian dengan orang Makassar. Tidak lama kemudian, Belanda kembali menyerang Sanderabone. Perang berkobar lagi. Seluruh kota Makassar terbakar. Orang Makassar mengundurkan diri ke Goa. Tema syair perang ini adalah hanya persatuan yang kokoh yang mampu menghancurkan musuh.

Syair saduran merupakan gubahan dari cerita Jawa atau cerita wayang. Cerita pada umumnya tidak banyak berbeda dengan cerita asalnya dalam bahasa Jawa, seperti pada Syair Damar Wulan. Damar Wulan, anak bekas Patih Majapahit, dijadikan tukang kuda oleh pamannya. Oleh karena menjalin cinta dengan anak pamannya, Damar Wulan dimarahi oleh pamannya. Mereka berdua kemudian dipenjara.

Ratu Majapahit, Kencana Wungu, dilamar Raja Blambangan, Menak Jingga. Oleh karena lamarannya ditolak, Menak Jingga marah dan menyerang Majapahit. Ratu Majapahit bermimpi bahwa hanya Damar Wulan yang dapat melawan Menak Jingga. Damar Wulan dipanggil dan diminta membawa pulang kepala Menak Jingga. Dalam peperangan, Damar Wulan mati. Ia dihidupkan kembali oleh istri-istri Menak Jingga. Damar Wulan berhasil mencuri senjata sakti Menak Jingga berupa besi kuning dan kemudian digunakan untuk membunuhnya. Kepala Menak Jingga dirampas oleh dua orang anak pamannya yang dengki. Damar Wulan dibunuh, tetapi dihidupkan kembali oleh kakeknya, sang Pertapa. Damar Wulan membawa barang rampasan kembali ke Majapahit dan dikawinkan dengan Ratu Kencana Wungu. Ia kemudian dinobatkan sebagai Raja Majapahit. Negeri Majapahit makmur dan sejahtera. Cerita ini berakhir dengan kebahagiaan. Tema cerita adalah penderitaan dan kejujuran mengantarkan seseorang ke tempat yang terhormat, sedangkan kedengkian hanya berakhir dengan kenistaan belaka.

Syair keagamaan menceritakan berbagai aspek kehidupan beragama, baik di dunia maupun kegunaannya di akhirat, dimulai dari riwayat hidup para Nabi, misalnya Syair Nur Muhammad, Syair Nabi Allah Yusuf. Syair-syair tua yang bersifat keagamaan adalah syair Hamzah Fansuri, yang pada umumnya melambangkan hubungan Tuhan dengan manusia, misalnya Syair Perahu yang melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Isi syair itu merupakan seruan kepada kaum muda untuk mengenali diri, karena hidup di dunia tidak lama, yang kekal hanya kehidupan akhirat. Agar perahu berlayar laju, maka perlengkapan, alat, bekal air, dan makanan harus cukup. Muara yang dilalui sempit, sementara ikan dan hiu menyerang. Angin keras disertai ombak riuh datang, sedangkan pulau tempat berlabuh jauh. Lautnya deras dan bertambah dalam, tetapi perahu tidak boleh tenggelam. Tali yang teguh adalah Lila (Laailaaha Ilallaahu) yang akan menyelamatkan perahu dan mendekatkan hamba dengan Tuhan.

Tema syair ini adalah hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu manusia sama dengan Tuhan. Ajaran tasawuf yang panteistis ini ditentang oleh Nuruddin Arraniri yang memegang teguh ajaran tauhid dan ajaran bahwa Tuhan itu pencipta alam semesta. Jadi, Tuhan tidak sama dengan manusia.

b. Tema dalam Prosa
Liaw Yock Fang (1985) membagi bentuk prosa ke dalam beberapa golongan, yaitu.
Epos India: Hikayat Sri Rama
Cerita Panji dari Jawa: Hikayat Panji Kuda Semirang
Hikayat Zaman Peralihan: Hikayat Si Miskin
Kesusastraan Zaman Islam: Hikayat Bulan Berbelah
Cerita Bingkai: Hikayat Bakhtiar
Sastra Keagamaan: Sirat Al-Mustakim
Sastra Sejarah: Misa Melayu

Undang-undang Melayu: Undang-undang Malaka
Pembagian di atas memperlihatkan aneka ragam prosa Melayu yang terdiri dari prosa dari luar, dan prosa asli yang berkembang menurut zaman dan macam pokok pembicaraannya. Penggolongan itu diikuti untuk memudahkan pengamatan terhadap tema contoh tiap-tiap kelompok.

Kisah Rama di tanah asalnya, India, dan di luarnya sangat digemari, terbukti dari banyaknya bentuk seni yang menampilkan tokoh Rama seperti dalam seni drama, seni pewayangan, seni pahat (antara lain pada relief candi Prambanan), dan seni sastra. Dalam khazanah sastra Melayu, Hikayat Sri Rama mengambil tempat yang cukup terkemuka dan penelitian terhadapnya pun telah banyak dilakukan, diawali oleh para peneliti Barat pada abad ke-19. Menurut penelitian Achadiati (1980: 9–10), Hikayat Sri Rama didasari oleh ajaran etika yang terkandung dalam segenap unsur cerita sebagai leitmotiv. Inti ajaran itu berkisar pada sikap dan kelakuan ideal seorang raja yang dijabarkan dalam tujuh sifat, yaitu kearifan, keadilan, kasih, sifat-sifat lahiriah yang menarik, keberanian demi harga diri, keahlian perang, dan pertapa. Semua sifat ini terpadu dalam seorang “Ratu Adil”.

Dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dapat diamati kelahiran Panji sebagai penjelmaan makhluk kayangan yang membayangkan hubungan dengan makrokosmos, yang pada gilirannya melambangkan kekeramatan, kedudukan paling tinggi, dan keunggulan. Penutup bagian suatu cerita mengandung unsur didaktis bahwa penderitaan, perjuangan, dan pengorbanan akan berakhir dengan kejayaan gemilang. Pahlawan dilukiskan mempunyai watak sempurna, jasmaniah dan batiniah. Panji digambarkan sebagai tokoh teladan penghubung rakyat-raja dewa yang menunjukkan ikatan akrab antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang memantapkan prinsip keutuhan. Panji memerintah dengan adil dan murah, dalam suka dan duka memuja leluhurnya (Sulastin dalam Baroroh et. al., 1982: 230–47).

Tema pokok cerita-cerita Panji adalah kesetiaan dalam hubungan kenegaraan dan kemanusiaan dengan tema-tema pendukung pengembaraan dan peperangan disertai pengalaman-pengalaman pedih sebagai upacara pendewasaan diri. Tema pokok berisi berbagai implikasi berupa dengki, fitnah, dendam, persaingan, tipu daya, dan bermacammacam intrik lainnya yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik dan benar atas keputusan Dewata Mulia Raya.
Hikayat Si Miskin digolongkan dalam zaman peralihan dari zaman Hindu ke Islam. Dalam cerita peralihan terdapat unsur-unsur Hindu seperti keinderaan dan pemujaan kepada para dewa dan raja-raja yang kembali ke kayangan, di samping pemakaian kata-kata dan eksordium dalam bahasa Arab.

Hikayat Si Miskin mengisahkan adanya raja keinderaan yang terkena sumpah Batara Kala yang kemudian turun ke bumi dan hidup menderita sebagai si Miskin. Kelahiran anaknya mengubah nasib si Miskin, yang dengan memuja kepada dewa menjadi raja di negeri yang penduduknya ramai dan banyak dikunjungi saudagar. Seperti biasanya, hal ini menimbulkan dengki dan fitnah. Si Miskin terkena fitnah ahli nujum yang curang. Anak-anaknya dibuang, kerajaan si Miskin terbakar, dan segala bentuk penderitaan berulang. Akhirnya, dengan pertolongan para dewa, negeri si Miskin berdiri lagi dan menjadi makin makmur. Seluruh keluarga berkumpul kembali dan hidup bahagia. Raja yang dengki tewas dalam peperangan, sedangkan anak si Miskin dinobatkan menjadi sultan. Tema cerita ini ialah yang curang dikalahkan oleh yang jujur, kejahatan dikalahkan kebaikan, dan permohonan dengan memuja kepada Dewata Raya pasti dikabulkan.

Dalam kesusastraan zaman Islam, terdapat kisah Hikayat Bulan Berbelah, yang disebut juga Hikayat Mukjizat Nabi. Dalam hikayat ini, Nabi memperlihatkan mukjizatnya kepada Raja Habib, bahwa ia mampu melakukan beberapa hal yang mustahil setelah bersembahyang di Bukit Qaf, yaitu Nabi memanggil bulan agar mengucapkan syahadat, bulan harus masuk ke lengan baju Nabi yang kanan dan keluar lagi dari lengan baju kiri, selanjutnya bulan harus berbelah dan bersatu kembali. Atas kebesaran Tuhan, anak perempuan Raja Habib yang tidak mempunyai kaki dan tangan kemudian beranggota badan lengkap lagi. Raja Habib makin yakin akan kebesaran Tuhan dan keagungan agama Islam. Cerita ini mengandung tema penyebaran agama Islam.

Hikayat Baktiar mewakili cerita berbingkai, yaitu cerita yang di dalamnya terjalin cerita-cerita lagi yang disampaikan beberapa hari untuk menunda hukuman raja. Jadi, cerita-cerita ini disisipkan di antara cerita awalnya. Cerita ini mengisahkan seorang raja yang meninggalkan istananya untuk menghindari perang saudara. Dalam pengembaraan, permaisuri melahirkan seorang putra yang ditinggalkan di hutan. Putra ini diasuh saudagar kaya dan diberi nama Bakhtiar. Bakhtiar tumbuh menjadi anak yang pandai mengaji dan membaca hikayat. Oleh saudagar tersebut, Bakhtiar dibawa menghadap raja di istananya yang baru, setelah raja itu dipilih gajah sakti untuk menggantikan raja sebuah negeri yang sudah wafat. Bakhtiar disuruh tinggal di istana dan karena kepandaiannya ia mendapat kepercayaan dari raja menangani tugas-tugas yang penting. Hal ini menimbulkan dengki para menteri. Fitnah dilancarkan. Bakhtiar akan dibunuh, tetapi ia menangguhkan hukumannya dengan mengisahkan cerita-cerita selama beberapa hari lamanya mengenai dengki, fitnah, dan hukuman. Saudagar dipanggil raja untuk menjelaskan siapa sebenarnya Bakhtiar itu. Setelah raja mendapat keterangan, Bakhtiar dinobatkan menjadi raja. Tema cerita bingkai ini adalah jangan mudah termakan fitnah.

Sastra keagamaan disebut juga sastra kitab yang meliputi ajaran Islam bersumberkan ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Tokoh-tokoh sastra kitab yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatra‘i, Nuruddin Arraniri, Abdurrauf as Singkili, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup pembicaraan yang terbatas ini yang diamati hanyalah sebuah contoh sastra kitab Sirat Al-Mustakim (Jalan Yang Lurus) karya Nuruddin Arraniri, yang hingga sekarang masih populer. Karya ini memberikan pedoman dalam melaksanakan peraturan-peraturan ibadah agama Islam, agar jangan ada ajaran akidah yang sesat. Bab dan pasal-pasalnya diuraikan secara berurutan, yaitu bab “Rukun Ibadat” (sembahyang, puasa, zakat, haji), bab “Perburuan dan Menyembelihnya”, dan bab “Hukum Makanan yang Halal dan yang Haram” (Chamamah, 1982: 157). Tema karya ini adalah menguatkan iman atas dasar ajaran akidah Islam.

Dalam sastra sejarah Misa Melayu diuraikan silsilah Raja-raja Perak pada abad ke-18 yang menceritakan kedatangan orang-orang Belanda membeli timah dan mendirikan loji perdagangan di negeri Perak. Diceritakan pula tentang penduduk Perak yang terdiri atas orang-orang Melayu, Tamil, Bugis, Minangkabau, Belanda, Cina, dan India. Keanekaragaman penduduk menandakan kemakmuran dan kesejahteraan negeri Perak, terutama di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Zulkarnaen. Sultan inilah yang dalam Misa Melayu ditonjolkan sebagai pahlawan (misa) Melayu dengan sifat-sifat yang ideal yang mempersatukan kembali dan memperkuat Kesultanan Perak yang pernah terpecah menjadi dua bagian akibat perang (Sulastin, 1983: 15). Tema karya tersebut ialah persatuan dan kesatuan menjadikan negeri Perak jaya gemilang.

Dalam Undang-undang Melayu tidak dijumpai undang-undang menurut pengertian modern. Undang-undang Melayu lebih menekankan pada adat kebiasaan orang-orang Melayu yang dibentuk dari zaman ke zaman. Dalam undangundang itu terbayang alam pikiran orang Melayu sepanjang masa yang mereka hayati dan mendarah daging dalam bentuk peribahasa (Liaw Yock Fang, 1982: 270). Untuk memberi gambaran mengenai masalah yang diundangundangkan, di bawah ini disebutkan contoh dari Undang-undang Malaka yang tertua dan terpenting. Jumlah naskah kurang dari empat puluh empat buah (Fang, 1976: 9). Undang-undang Malaka juga dikenal sebagai Risalah Hukum Kanun yang terdiri atas dua puluh tujuh pasal (Fang, 1982: 273–276), yang memuat antara lain syarat menjadi hamba raja, hukum membunuh hamba raja, hukum bahasa, hukum jenazah, hukum membunuh orang, syarat menjadi raja, hukum menetak dengan menampar orang, hukum pencuri masuk kampung, hukum menawan anak atau istri orang, hukum menjual buah-buahan, hukum tanah perumahan, hukum orang bercocok tanam, hukum orang yang berhutang, dan lain-lain. Dari berbagai macam hukum tersebut dapat diamati bahwa orang Melayu ingin mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan undang-undang merupakan pegangan sikap dan perilaku yang dipandang paling baik. Pemikiran dasar penulisan undang-undang itu ialah masyarakat akan adil, makmur, dan sentosa lahir batin apabila didasarkan atas hukum-hukum yang mantap.

3. Penutup
Dari pengamatan secara menyeluruh terhadap khazanah sastra Melayu seperti yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya, kiranya telah diperoleh gambaran sekilas tentang kehidupan bersastra orang Melayu meskipun kurang luas dan mendalam dengan contoh yang juga terbatas. Melalui seni sastra dalam bentuk yang sesuai dengan tujuannya diungkapkan pengalaman batin orang yang beraneka ragam, yang berhubungan dengan kepercayaannya kepada dunia gaib dan sakti, keluhuran budi, kesengsaraan dan kebahagiaan, kesetiaan, kejujuran, perbuatan tercela dan terpuji, kerendahan hati terhadap sesamanya, lebih-lebih terhadap kekuasaan tertinggi yang menguasai alam semesta, dan masih banyak lainnya lagi.

Dari contoh-contoh di atas tampak suasana yang penuh kesungguhan, yang tidak menutup kenyataan bahwa orang Melayu pada waktu yang tepat membuka suasana santai penuh humor. Hal ini tampak dari cerita-cerita jenaka yang kaya akan lelucon yang multifungsi sebagai penghibur, sebagai penyegar semangat untuk menempuh hidup dalam dunia nyata yang cukup beronak duri, sebagai medium pendidikan yang mudah dicerna oleh masyarakat sederhana, dan sebagai sindiran terhadap orang yang berkuasa atau suatu keadaan dalam masyarakat, yang tepat sasaran, tanpa menimbulkan efek samping berupa hukuman.

Seperti tampak pada pembicaraan sebelumnya, setiap bentuk dan jenis cerita mengandung tema yang melandasi tiap-tiap cerita, tetapi di atas tema-tema itu masih teraba lapisan tema pokok yang dapat dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dalam keseluruhan cerita. Dengan kata lain, tema merupakan tujuan tertinggi dari tiap pengungkapan batin. Orang Melayu sangat menjunjung tinggi pemeliharaan kehidupan rohani. Maka, ajaran moral merupakan fokus sentral dalam kehidupan bersastra. Fokus utama ini didukung oleh fokus-fokus atau tema-tema turunan, seperti yang telah disebutkan.

Sebagai contoh, yang menjadi titik pusat perhatian dalam wiracarita adalah unsur kepahlawanan dengan kisah-kisah pertempuran dan adegan-adegan perang yang dasyat, namun, apabila diteliti lebih seksama, terlihatlah tujuan akhir wiracarita itu, yakni kesetiaan pada kebenaran, keadilan, keluhuran, negara, dan raja sebagai pancaran sumber kehidupan yang paling tinggi, sebagaimana yang termuat dalam Hikayat Hang Tuah, bahwa raja adalah wakil Allah di dunia, yaitu raja yang menyandang atribut sifat-sifat yang ideal.

Dalam pengejawantahan kandungan batin melalui tradisi sastra Melayu dapat ditangkap tema-tema utama, yaitu kehidupan mental spiritual yang dijunjung tinggi dari masa ke masa karena nilainya abadi. Tema utama inilah yang merupakan landasan kokoh dalam pembangunan bangsa dan negara, yang hendak memantapkan identitasnya di atas kepribadian dan warisan budaya sendiri.

Daftar Pustaka
Achadiati, I. 1976. “Sastra Lama sebagai Penunjang Pengembangan Sastra Modern”. Bahasa dan Sastra, Thn. 1, No. 6.

––––––––––. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah, Telaah Amanat dan Struktur. Disertasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

––––––––––. 1985. Citra Kepemimpinan dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Alisyahbana, S. T. 1950a. Puisi Lama. Jakarta: Pustaka Rakyat.
––––––––––. 1950b. Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.

Asdi, S. D. 1983. Cerita Binatang dalam Beberapa Relief dari Candi Sojiwan dan Mendut. Yogyakarta: Lukman.

––––––––––. 1985. Moralisasi Masyarakat Jawa Lewat Cerita Binatang. Yogyakarta: Proyek Javanologi.

Balai Pustaka. 1929. Pantoen Melajoe. Balai Pustaka: Weltevreden.

Baroroh, S. B. et. al. 1978. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Laporan Penelitian Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM, Yogyakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dekdikbud.

––––––––––. 1982. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Laporan Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Chamamah-Soeratno, S. et. al. 1982. Memahami Karya-karya Nuruddin Arraniri. Laporan Penelitian Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM, Yogyakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Emeis, M. G. 1949. Bloemlezing uit het Klassiek Maleis. Jakarta: J. B. Wolters.

Hariah. 1948. Hikayat Indra Dewa dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Hooykaas, C. 1937. Over Maleische Literatuur. Leiden: E. J. Brill.

––––––––––. 1951. Perintis Sastra. Jakarta: J. B. Wolters.

Fang, L. Y. 1976. Undang-undang Malaka. Biblioteca Indonesica 13. Koninkljk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde. The Hague: Martinus Nijhoff.

––––––––––. 1982. Sejarah Kesultanan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.

Roolvink, R. 1975. Bahasa Jawi: De Taal van Sumatera. Leiden: Universitas Press.

Sutrisno, S. 1975. “Bahasa Kiasan”. Kedaulatan Rakyat, 25 Februari, Yogyakarta.

––––––––––. 1983a. Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

––––––––––. 1983b. “Misa Melayu: Its Literary And Historical Values”. Paper in The Fourth Indonesian-Dutch History Conference, Yogyakarta.

Teeuw, A. 1960. Shair Ken Tambuhan. Kuala Lumpur: Oxford University Press and Universitas of Malaya Press.

––––––––––. 1981. A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Wilkimson, R. J. 1907. Papers on Malay Subjects. Kuala J. Russel at the F.M.S. Government Press.

Yusuf, Y. et. al. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
__________
Prof. Dr. Sulastin Sutrisno, adalah Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lahir di Kediri pada tanggal 23 November 1924. Riwayat pendidikannya dimulai di HIS (1973), MULO (1940), Europeesche Kweek School, Sekolah Menengah Tinggi (1944), dan Sekolah Guru Menengah Atas (1945). Memperoleh gelar kesarjanaan Sarjana Sastra Timur dari Fakultas Sastra, UGM, pada tahun 1959 yang dilanjutkan dengan studi Lanjut Bahasa Belanda dan Filologi pada tahun 1972–1974 di Faculteit der Letteren, Rijksuniversiteit Leiden, Nederland. Pada tahun 1979 memperoleh gelar Doktor Ilmu Sastra dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Beberapa kegiatan ilmiah yang pernah diikuti antara lain sebagai Koordinator Pengajaran Bahasa Belanda di Universitas Gadjah Mada. Tulisan-tulisannya antara lain “Kort Overzicht van het Onderwijs in het Nederlands aan de Gadjah Mada Universiteit te Yogyakarta” dalam Vijfde Colloqium, Leiden Nederland ta¬hun 1973, “Inhoud en Vorm van de Neerlandistiek buiten Belgie en Nederland (Indonesia) Achtste Colloqium”, Leuven–Belgie tahun 1982
Beberapa karya ilmiahnya antara lain Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi (1983), Relevansi Studi Filologi (1981), dan berbagai tulisan yang dimuat dalam majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia dan The Fourth Indonesian Dutch.
(Beliau meninggal pada tanggal 8 Mei 1996, Red.)

__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau