Oleh : BM Lukita Grahadyarini
Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.
Setelah dua tahun ditinggalkan, Kedurai Agung khas suku Rejang kembali dilaksanakan di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, di timur Provinsi Bengkulu. Orang Rejang di desa yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat itu melaksanakannya pada tanggal 5 dan 6 Desember lalu.
Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.
Desa Bandar Agung bisa ditempuh kurang-lebih empat jam perjalanan darat dari Kecamatan Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Untuk menuju ke desa yang berada di TNKS ini, beberapa perbukitan harus dilalui. Jalan mulus beraspal akan berujung pada jalan tanah berbatu yang sempit, sewaktu tiba di "gerbang" taman nasional itu.
Sejak pukul 08.00, puluhan Tun Jang (sebutan untuk orang Rejang) telah berkumpul di rumah Busroni, Kepala Desa Bandar Agung. Mereka bergotong-royong menyiapkan berbagai peralatan untuk melaksanakan Kedurai Agung yang ditinggalkan selama dua tahun terakhir.
Hari itu, Minggu (6/12), merupakan hari ke-16 dari bulan Zulkidah, penamaan bulan dalam tradisi Tun Jang. Bulan itu diyakini sebagai bulan hama dan penyakit, ditandai dengan munculnya hama tanaman dan serangan penyakit untuk semua makhluk.
Selama dua tahun tidak menyelenggarakan Kedurai Agung, desa itu nyatanya kerap dilanda musibah. Penyakit muntaber sempat meluas di desa yang berpenduduk 787 jiwa itu pada tahun 2004 dan 2005. Selain itu, penyakit cacar juga menyerang 10 orang dalam dua tahun terakhir.
Busroni (37), Kepala Desa Bandar Agung, meyakini penyakit itu menandai awal bumi panas atau malapetaka. Salah satu pemicunya, ya, karena tidak diselenggarakannya kedurai yang seharusnya diadakan satu kali setiap tahun.
"Kami sudah mendapat peringatan untuk meminta maaf kepada alam yang dijaga para leluhur. Untuk menghindari malapetaka yang lebih besar, tradisi Kedurai Agung harus dijalankan kembali," kata Busroni.
Maka, pagi itu mereka menggelar Kedurai Donok (Laut) yang merupakan bagian dari Kedurai Agung. Ritual itu dipimpin Chong Pin (78), pawang ritual suku Rejang.
Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring).
Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).
Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut.
Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS.
Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal.
Berdamai dengan Leluhur
Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.
Suku Rejang meyakini arwah leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya. Kedurai Tebo merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo (harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung.
Seperti halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan, dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak di pinggiran hutan.
Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan.
Kedurai atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini telah memeluk agama Islam.
Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan hak adat di wilayah itu.
Menurut tokoh masyarakat Desa Bandar Agung, Adnan Romli (49), tersangka pelanggar adat akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh adat untuk dimintai penjelasan. Peradilan ini juga disertai sanksi bagi warga yang terbukti melanggar hukum ada.
Sumber : Kompas
Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.
Setelah dua tahun ditinggalkan, Kedurai Agung khas suku Rejang kembali dilaksanakan di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, di timur Provinsi Bengkulu. Orang Rejang di desa yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat itu melaksanakannya pada tanggal 5 dan 6 Desember lalu.
Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.
Desa Bandar Agung bisa ditempuh kurang-lebih empat jam perjalanan darat dari Kecamatan Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Untuk menuju ke desa yang berada di TNKS ini, beberapa perbukitan harus dilalui. Jalan mulus beraspal akan berujung pada jalan tanah berbatu yang sempit, sewaktu tiba di "gerbang" taman nasional itu.
Sejak pukul 08.00, puluhan Tun Jang (sebutan untuk orang Rejang) telah berkumpul di rumah Busroni, Kepala Desa Bandar Agung. Mereka bergotong-royong menyiapkan berbagai peralatan untuk melaksanakan Kedurai Agung yang ditinggalkan selama dua tahun terakhir.
Hari itu, Minggu (6/12), merupakan hari ke-16 dari bulan Zulkidah, penamaan bulan dalam tradisi Tun Jang. Bulan itu diyakini sebagai bulan hama dan penyakit, ditandai dengan munculnya hama tanaman dan serangan penyakit untuk semua makhluk.
Selama dua tahun tidak menyelenggarakan Kedurai Agung, desa itu nyatanya kerap dilanda musibah. Penyakit muntaber sempat meluas di desa yang berpenduduk 787 jiwa itu pada tahun 2004 dan 2005. Selain itu, penyakit cacar juga menyerang 10 orang dalam dua tahun terakhir.
Busroni (37), Kepala Desa Bandar Agung, meyakini penyakit itu menandai awal bumi panas atau malapetaka. Salah satu pemicunya, ya, karena tidak diselenggarakannya kedurai yang seharusnya diadakan satu kali setiap tahun.
"Kami sudah mendapat peringatan untuk meminta maaf kepada alam yang dijaga para leluhur. Untuk menghindari malapetaka yang lebih besar, tradisi Kedurai Agung harus dijalankan kembali," kata Busroni.
Maka, pagi itu mereka menggelar Kedurai Donok (Laut) yang merupakan bagian dari Kedurai Agung. Ritual itu dipimpin Chong Pin (78), pawang ritual suku Rejang.
Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring).
Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).
Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut.
Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS.
Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal.
Berdamai dengan Leluhur
Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.
Suku Rejang meyakini arwah leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya. Kedurai Tebo merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo (harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung.
Seperti halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan, dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak di pinggiran hutan.
Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan.
Kedurai atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini telah memeluk agama Islam.
Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan hak adat di wilayah itu.
Menurut tokoh masyarakat Desa Bandar Agung, Adnan Romli (49), tersangka pelanggar adat akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh adat untuk dimintai penjelasan. Peradilan ini juga disertai sanksi bagi warga yang terbukti melanggar hukum ada.
Sumber : Kompas