Rio Kasim, Kesetiaan pada Adat

Oleh : Irma Tambunan

Sudah 60 tahun Rio Kasim (81) memangku adat. Selama itu pula, pranata sosial dalam masyarakat keturunan Melayu Kuno di wilayahnya tetap kuat, bahkan pada saat semakin banyak pendatang menetap di sana.

Rio Kasim sudah tidak ingat lagi dirinya sebagai keturunan ke berapa dari kaum pemimpin adat. Yang pasti, tugas menjaga hukum adat adalah warisan dari kakeknya, yang juga pernah menjadi pemangku adat sebelum dirinya.

Dulu, tugas ini lebih ringan, karena wilayah kontrolnya lebih kecil, dan masyarakatnya lebih teratur, tidak macam- macam alias kompleks seperti sekarang. Persoalan yang terjadi pun cenderung lebih sederhana.

Di masa perang antarkerajaan pada zaman Sriwijaya, masyarakat leluhur Rio Kasim pernah tercerai-berai. Mereka harus eksodus ke desa lain demi menyelamatkan diri dari serangan dari luar.

Dari desa mereka semula, yaitu di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, saat itu masih sebanyak 60 keluarga yang tinggal. Mereka kemudian berpindah dan berpencar ke lima desa yang dianggap aman. Sebanyak 19 keluarga merantau ke Desa Rantau Panjang, 14 keluarga di Desa Seling, 9 keluarga ke Desa Kapuk, 13 keluarga ke Desa Pulau Aro, dan 5 keluarga ke Desa Muara Jernih. Kebetulan, kelima desa ini sama-sama masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabir.

Selain membangun rumah bersama-sama, para leluhur Rio Kasim juga membentuk hukum adat. Hukum inilah yang tetap berlaku hingga sekarang, meski warganya telah terpencar-pencar. Selama itu juga hukum adat dan hukum modern berlaku padu dalam kehidupan masyarakat setempat. "Jika ada warga yang melanggar aturan, sanksi dari hukum adat akan lebih dulu ia jalankan," tuturnya.

Bisa dibayangkan, ketika pergaulan bebas sudah menjadi lazim di kalangan remaja perkotaan, tetapi bagi remaja-remaja keturunan eksodan Kuto Rayo ini kesopanan dan etika bergaul merupakan hal prinsip dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, Rio Kasim masih menerapkan aturan bagi pemuda yang hendak bertandang ke rumah kekasihnya; hanya diperbolehkan masuk jika ada orangtua atau saudara sang gadis di sana.

Dengan demikian, sang gadis akan lebih dijaga. Bujang, demikian panggilan untuk pemuda melayu yang belum menikah, hanya boleh duduk dekat pintu masuk, tidak dapat lebih ke dalam lagi, atau lebih dekat ke tempat kekasihnya duduk. Ini dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran susila.

Etika dan hukum adat itu juga ia berlakukan kepada keenam anaknya; Bakar, Jainam, Hassan, Rapiah, Sapiah dan Kamel, misalnya ketika mereka tengah bertandang ke rumah kekasihnya.

Selama menjadi pemangku adat, Rio Kasim yang hanya tamat sekolah rakyat (SR, sekarang SD), membagi hukum jadi dua, perdata adat dan pidana adat. Perdata adat berlaku apabila ada kasus-kasus sengketa atau perselisihan antara dua pihak. Di sini, ia tidak menerapkan hukuman, tetapi membuat penyelesaian masalah secara adil dan perbaikan hubungan antara dua belah pihak.

Pidana adat ia berlakukan apabila terjadi kasus pelanggaran susila, pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, atau pencurian. Di sini, kain dan ternak merupakan alat pembayaran atas hukuman adat. Sedangkan yang terberat adalah dibuang dari desa. Namun, ini sangat jarang terjadi.
Ia mengutarakan, sebanyak 20 pasal secara tersirat merupakan hukum adat Melayu Kuno yang berlaku bagi masyarakat di lima desa tersebut. Ini bahkan berlaku pula bagi para pendatang di sana.

Penegakan aturan pada setiap pasal terbagi-bagi lagi menurut berat dan tidaknya kasus. Dari 20 pasal itu, empat pasal dinyatakan sebagai yang sangat berat dan empat pasal berat. Sebanyak 12 pasal lainnya terbilang ringan.

Empat pasal terberat adalah mengenai perzinaan dan pembunuhan, yaitu tikam bumi (berzina dengan saudara sendiri), nyerak telur (bapak berzina dengan anaknya), mandi pancuran gading (perzinaan oleh sesepuh adat), dan tikam bunuh (sengaja membunuh orang).

Sedangkan yang dinyatakan berat, seperti menutuh kepayang mudo (perbuatan zina terhadap anak di bawah umur), menyunting bunga setangkai yang bertampuk emas bergagang swasa (berzina dengan istri orang). Ada lagisiur baka (membakar rumah orang), dan samun sakai (melakukan pengeroyokan).

Delapan pelanggaran tersebut mendapat hukuman sangat berat. Misalnya, berbuat zina mendapat hukuman membayar berupa seekor kerbau dan 40 gulungan (satu gulung 40-an meter) kain mori. Ini terbilang sangat mahal, sehingga orang akan berpikir beribu kali kalau sampai berbuat zina.

Bahkan, anak-anak muda punakan berpikir panjang juga untuk berjalan bersama seorang gadis, apalagi sambil bergandengan tangan, karena akan mendapat sanksi membayar seekor kambing dan 20 gulungan kain.

Tidak Diubah
Sejak dulu sampai sekarang, tak sedikit pun aturan dan hukuman diubah, atau diperingan mengikuti perkembangan zaman. "Hukum adat tidak berubah. Masyarakat di sini boleh mematuhi hukum modern, namun adat tetap dipatuhi," ujar Rio Kasim menegaskan.

Terbukti, selama ia menjaga hukum adat, sangat jarang terjadi pelanggaran, seperti pemerkosaan, atau pembunuhan. Hanya dalam lima tahun terakhir saja persoalan sengketa tanah mulai tampak. Ini karena banyak tanah belum bersertifikat.

Sesungguhnya dalam pemberlakuan hukum adat, Rio Kasim berusaha menekankan satu model hidup bermasyarakat yang menjunjung etika dan kesopansantunan. Dalam penerapan hukuman, ia juga masih memasukkan nilai-nilai kebersamaan.

Ketika seorang yang melakukan kesalahan, atau menyakiti warga lain, pembayaran sanksi akan disampaikan ke rumah si korban. Di situ, pelaku yang dinyatakan salah menyampaikan permintaan maaf dan memberi kain serta kambing atau kerbau. Maka, perbaikan hubungan kembali berlangsung, ditandai makan bersama kedua pihak.

Selama menjaga hukum adat, suami Samsiyah (alm) ini menerima bagian satu gulung kain untuk tiap kasus. Namun, gulungan kain itu tidak menumpuk di rumahnya. "Kain-kain ini bukan untuk saya, namun untuk orang- orang yang membutuhkan dan untuk sosial," tuturnya.

Sumber: Kompas