Oleh Eny Prihtiyani
Awalnya Pantai Depok hanyalah pantai biasa yang dipakai nelayan untuk menyandarkan perahu. Namun, berkat kegigihan masyarakat setempat, dalam waktu sekitar lima tahun pantai tersebut berubah menjadi kawasan wisata baru yang ramai. Pamornya bahkan mengalahkan Pantai Parangtritis yang sudah begitu melegenda.
Posisi Pantai Depok yang tidak jauh dari Pantai Parangtritis membuat lokasi ini mudah dijangkau wisatawan. Begitu sampai ke loket retribusi Parangtritis, pengunjung tinggal membelokkan kendaraan ke arah kanan. Dari Parangtritis, setidaknya butuh waktu sekitar 15 menit untuk mencapai lokasi.
Tak hanya keindahan alam pantai yang bisa dinikmati pengunjung, tetapi juga aneka masakan laut. Pemerintah Kabupaten Bantul memang sengaja mendesain Pantai Depok untuk kawasan wisata kuliner. ”Depok menjadi penyangga Pantai Parangtritis. Pengunjung di Parangtritis diharapkan singgah ke Depok, terutama untuk kegiatan kuliner. Untuk memudahkan transportasi, kami akan segera mengadakan angkutan yang menghubungkan kedua lokasi tersebut,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bantul Suyoto.
Di Depok sekitar 50 warung menjajakan jasa memasak. Pengunjung bisa membeli bahan yang diinginkan di pasar ikan, tidak jauh dari lokasi warung. Di pasar itu sudah banyak ibu-ibu yang menawarkan jasa memasak.
Untuk jasa menggoreng dan membakar tarifnya Rp 6.000 per kg, sementara tarif untuk masakan asam pedas dan asam manis Rp 7.000 per kg. ”Kalau lagi libur, omzet kami mencapai Rp 1 juta lebih, tetapi kalau hari-hari biasa sekitar Rp 250.000 per hari,” kata Mardi, pemilik Warung Eco.
Pengelolaan Pantai Depok cukup rapi. Semuanya dikoordinasikan oleh tempat pelelangan ikan (TPI).
Menurut Ketua TPI Pantai Depok Sarjuno, pihaknya sengaja melarang pengelola warung untuk menyediakan ikan mentah. Alasannya, omzet pedagang ikan otomatis akan turun.
”Sejak awal pendirian warung, kami sudah komitmen agar semua pihak yang terlibat di Depok bisa merasakan untung sama-sama,” katanya.
Jumlah pedagang di pasar ikan mencapai 31 orang. Mereka menjajakan ikan hasil tangkapan nelayan setempat yang berjumlah 49 orang. Kebutuhan ikan untuk menyuplai warung makan dalam sehari mencapai 3 ton pada hari libur dan 1,5 ton pada hari biasa.
Rata-rata hasil tangkapan ikan nelayan hanya 1,5 ton per hari sehingga pada saat libur pedagang ikan harus mendatangkannya dari Gunung Kidul dan Cilacap.
Menurut Sarjuno, semua pengelola warung dan pedagang adalah warga Dusun Depok, Desa Parangtritis, Kretek, Bantul. Kebijakan itu ditempuh sebagai upaya mengangkat ekonomi lokal dan memudahkan pengaturan. ”Kalau semuanya warga sini, pengaturannya lebih mudah. Lain jika mereka dari pendatang,” katanya.
Gairah Pantai Depok juga berdampak positif bagi penekanan tingkat pengangguran. Pemuda-pemuda yang masih menganggur dikoordinasi oleh karang taruna untuk mengelola parkir. Pada saat libur pendapatan parkir Rp 8 juta-Rp 12 juta, sementara hari biasa sekitar Rp 5 juta. Penjaga parkir diupah Rp 50.000-Rp 65.000 per hari. Tarif parkir yang dikenakan lebih murah dibandingkan dengan tarif parkir di Parangtritis. Tarif motor dipatok Rp 2.000, sementara mobil Rp 4.000. Di Parangtritis tarif parkir mobil Rp 10.000-Rp 15.000, sementara motor Rp 5.000.
”Kami sadar, kalau tarifnya terlalu mahal, pengunjung akan sensitif. Kami juga melarang pengemis dan pengamen beroperasi di pantai. Tujuannya supaya pengunjung yang tengah asyik makan tidak terganggu,” paparnya.
Menurut cerita Sarjuno, Depok mulai dikenal pada 1998 saat masyarakat setempat menerima bantuan perahu. Sampai dengan tahun 2003 perkembangan masih stagnan. Hingga tahun 2004 muncullah dua warung makan yang ternyata mendapat respons positif. Tanpa dikomando, warga lain pun langsung mengikutinya.
Tahun 2005 jumlah warung sudah mencapai 34 buah. Ekonomi masyarakat yang sebelumnya ditopang seluruhnya dari sektor pertanian lambat laun mulai bergeser ke sektor kelautan. Kalau dulu pertanian memegang peran sekitar 70 persen, kini tinggal 30 persen.
Sumber : http://cetak.kompas.com