Oleh : Irma Tambunan
Sebuah kehormatan bisa menyaksikan pergelaran tari rimba, seperti pengalaman Kompas. Pasalnya, tarian tersebut tak boleh ditampilkan di depan penonton yang bukan kalangan Suku Anak Dalam yang hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas atau TNBD Jambi. Namun, malam itu, Ngimbai perempuan penari rimba membawakannya untuk kami, dengan ketulusan, dan kenangan akan masa lalu.
Ia tak tahu kapan persis tanggal lahirnya. Dia cuma yakin usianya telah melampaui 70 tahun. Dengan khusuk ia membawakan tariannya. Setiap gerakan diiringi nyanyi-nyanyian berbahasa rimba yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh pihak luar.
Dengan tubuh yang sangat kurus dan menyusut, ia tetap lincah menggerakkan secara dinamis kedua kaki, pinggang, tangan, sampai kepala. Lanjut umurnya tak mampu mengekang gelora hidupnya. Dan, gelora itu tersirat jelas saat ia membawakan seluruh rangkaian tari. Mulai dari tari layang, tari elang, dan tari tao yang biasa dibawakan mengiringi prosesi ritual pernikahan, serta tari-tarian dalam upacara besale (pengobatan bagi orang sakit).
Apa emak tidak takut kena masalah karena membawakan tarian untuk orang luar suku? "Tidak," ujarnya. "Saya sudah memutuskan keluar dari rimba, 12 tahun yang lalu. Tarian tadi bukan saya bawakan untuk ritual adat."
Selama itu pula perempuan yang menjadi istri seorang tumenggung di salah satu kelompok yang bernaung pada Suku Anak Dalam (SAD) ini, tak pernah menari lagi. Bisa dibilang, inilah untuk pertama kalinya setelah 12 tahun Ngimbai melepas kerinduan menarinya.
Dulu, selama dalam rimba, dirinyalah yang kerap memimpin tari-tarian, khususnya pada upacara menyambut bayi yang baru lahir. Kesempatan itu diperoleh karena dirinya berasal dari keluarga terpandang di kelompoknya.
Kemudian dengan alasan perut, Ngimbai bersama suaminya, Tumenggung Renguak, memutuskan keluar dari rimba. Mereka membawa empat dari lima anaknya. Sementara satu anaknya sampai kini masih tinggal dalam rimba.
Menurut dia, dulu mereka dapat menggantungkan kelangsungan hidup dari alam, yaitu dari hewan-hewan hasil buruan, atau buah-buahan. Hutan di TNBD saat itu masih menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh warga suku pedalaman ini.
Namun, seiring maraknya penebangan pohon dalam taman nasional, ketidakseimbangan ekosistem telah mengakibatkan hewan-hewan buruan makin menghilang. Stok makanan semakin menipis. Dalam keadaan terjepit, keluarga Ngimbai, termasuk sejumlah keluarga lain suku SAD, memutuskan mengadu nasib keluar dari rimba.
Nasib baiklah yang membuat Ngimbai dan keluarganya kini telah memiliki rumah dari kayu, di Desa Sungai Keruh, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Salah satu lembaga swadaya masyarakat melakukan pendekatan agama dan pemberdayaan.
Ngimbai akhirnya memeluk agama Islam. Namanya berganti menjadi Umi Kalsum. Meski begitu, perempuan ini masih kerap dipanggil Ngimbai, atau emak sebagai sebutan untuk perempuan yang berusia tua.
Diajari Nenek Moyang
Usai menari malam itu, ia bercerita tentang pengalaman pertama kali diajari menari oleh nenek moyang, yaitu pada sekitar usia delapan tahun. Menjadi kebiasaan warga SAD untuk menari dan menyanyi bersama di tengah-tengah hutan, pada momen-momen tertentu. Pada perempuan yang telah menikah, kain hanya membalut tubuh bagian bawah, sedangkan bagian dada terbuka begitu saja.
Pada tari elang, Ngimbai mengartikan kalimat-kalimat berbahasa rimba yang ia nyanyikan, sebagai rangkaian pantun berbalas. Untuk tari memandikan anak yang baru lahir, nyanyian akan berupa mantra-mantra yang dimaksudkan doa supaya si bayi akan tumbuh menjadi anak yang baik kepada orangtuanya dan diterima di masyarakat. "Ada satu orang yang memimpin nyanyian, lainnya semua ramai-ramai menari," tuturnya.
Maka, akan menjadi riuhlah hutan oleh tarian-tarian itu. Malah pada tari tao, tak hanya nyanyian dan tarian, kemeriahan itu ditambah dengan tepuk-tepuk tangan mereka.
Menjadi Seni
Ngimbai sadar betul. Di dalam hutan rimba, tari-tarian ini menjadi ekspresi puji-pujian mereka kepada alam. Masyarakat SAD dalam hutan rimba di TNBD memang masih menganut animisme. Tarian dianggap sakral dan dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk melanggengkan penyampaian rasa syukur dan doa-doa.
Namun, bagi Ngimbai, ketika dirinya tak lagi menjadi warga rimba, maka tarian ini lebih dianggap sebagai ekspresi jiwa. Perempuan yang belum bisa membaca dan menulis ini mengatakan, tarian rimba yang dibawakan di luar rimba hanya menjadi sebuah karya seni.
Ia sendiri tidak lagi menari dengan selembar kain, dengan dada terbuka. Ngimbai sudah menggunakan jilbab sehingga tarian dibawakan dengan kain. Ia pun memanfaatkan selendang.
Di kalangan warga SAD yang telah keluar dari rimba, keterampilan menari ini tak lagi dimiliki. Di desa itu, tinggal Ngimbai yang masih fasih dengan nyanyi-nyanyian, lengkap dengan tariannya.
Sumber : Kompas
Sebuah kehormatan bisa menyaksikan pergelaran tari rimba, seperti pengalaman Kompas. Pasalnya, tarian tersebut tak boleh ditampilkan di depan penonton yang bukan kalangan Suku Anak Dalam yang hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas atau TNBD Jambi. Namun, malam itu, Ngimbai perempuan penari rimba membawakannya untuk kami, dengan ketulusan, dan kenangan akan masa lalu.
Ia tak tahu kapan persis tanggal lahirnya. Dia cuma yakin usianya telah melampaui 70 tahun. Dengan khusuk ia membawakan tariannya. Setiap gerakan diiringi nyanyi-nyanyian berbahasa rimba yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh pihak luar.
Dengan tubuh yang sangat kurus dan menyusut, ia tetap lincah menggerakkan secara dinamis kedua kaki, pinggang, tangan, sampai kepala. Lanjut umurnya tak mampu mengekang gelora hidupnya. Dan, gelora itu tersirat jelas saat ia membawakan seluruh rangkaian tari. Mulai dari tari layang, tari elang, dan tari tao yang biasa dibawakan mengiringi prosesi ritual pernikahan, serta tari-tarian dalam upacara besale (pengobatan bagi orang sakit).
Apa emak tidak takut kena masalah karena membawakan tarian untuk orang luar suku? "Tidak," ujarnya. "Saya sudah memutuskan keluar dari rimba, 12 tahun yang lalu. Tarian tadi bukan saya bawakan untuk ritual adat."
Selama itu pula perempuan yang menjadi istri seorang tumenggung di salah satu kelompok yang bernaung pada Suku Anak Dalam (SAD) ini, tak pernah menari lagi. Bisa dibilang, inilah untuk pertama kalinya setelah 12 tahun Ngimbai melepas kerinduan menarinya.
Dulu, selama dalam rimba, dirinyalah yang kerap memimpin tari-tarian, khususnya pada upacara menyambut bayi yang baru lahir. Kesempatan itu diperoleh karena dirinya berasal dari keluarga terpandang di kelompoknya.
Kemudian dengan alasan perut, Ngimbai bersama suaminya, Tumenggung Renguak, memutuskan keluar dari rimba. Mereka membawa empat dari lima anaknya. Sementara satu anaknya sampai kini masih tinggal dalam rimba.
Menurut dia, dulu mereka dapat menggantungkan kelangsungan hidup dari alam, yaitu dari hewan-hewan hasil buruan, atau buah-buahan. Hutan di TNBD saat itu masih menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh warga suku pedalaman ini.
Namun, seiring maraknya penebangan pohon dalam taman nasional, ketidakseimbangan ekosistem telah mengakibatkan hewan-hewan buruan makin menghilang. Stok makanan semakin menipis. Dalam keadaan terjepit, keluarga Ngimbai, termasuk sejumlah keluarga lain suku SAD, memutuskan mengadu nasib keluar dari rimba.
Nasib baiklah yang membuat Ngimbai dan keluarganya kini telah memiliki rumah dari kayu, di Desa Sungai Keruh, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Salah satu lembaga swadaya masyarakat melakukan pendekatan agama dan pemberdayaan.
Ngimbai akhirnya memeluk agama Islam. Namanya berganti menjadi Umi Kalsum. Meski begitu, perempuan ini masih kerap dipanggil Ngimbai, atau emak sebagai sebutan untuk perempuan yang berusia tua.
Diajari Nenek Moyang
Usai menari malam itu, ia bercerita tentang pengalaman pertama kali diajari menari oleh nenek moyang, yaitu pada sekitar usia delapan tahun. Menjadi kebiasaan warga SAD untuk menari dan menyanyi bersama di tengah-tengah hutan, pada momen-momen tertentu. Pada perempuan yang telah menikah, kain hanya membalut tubuh bagian bawah, sedangkan bagian dada terbuka begitu saja.
Pada tari elang, Ngimbai mengartikan kalimat-kalimat berbahasa rimba yang ia nyanyikan, sebagai rangkaian pantun berbalas. Untuk tari memandikan anak yang baru lahir, nyanyian akan berupa mantra-mantra yang dimaksudkan doa supaya si bayi akan tumbuh menjadi anak yang baik kepada orangtuanya dan diterima di masyarakat. "Ada satu orang yang memimpin nyanyian, lainnya semua ramai-ramai menari," tuturnya.
Maka, akan menjadi riuhlah hutan oleh tarian-tarian itu. Malah pada tari tao, tak hanya nyanyian dan tarian, kemeriahan itu ditambah dengan tepuk-tepuk tangan mereka.
Menjadi Seni
Ngimbai sadar betul. Di dalam hutan rimba, tari-tarian ini menjadi ekspresi puji-pujian mereka kepada alam. Masyarakat SAD dalam hutan rimba di TNBD memang masih menganut animisme. Tarian dianggap sakral dan dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk melanggengkan penyampaian rasa syukur dan doa-doa.
Namun, bagi Ngimbai, ketika dirinya tak lagi menjadi warga rimba, maka tarian ini lebih dianggap sebagai ekspresi jiwa. Perempuan yang belum bisa membaca dan menulis ini mengatakan, tarian rimba yang dibawakan di luar rimba hanya menjadi sebuah karya seni.
Ia sendiri tidak lagi menari dengan selembar kain, dengan dada terbuka. Ngimbai sudah menggunakan jilbab sehingga tarian dibawakan dengan kain. Ia pun memanfaatkan selendang.
Di kalangan warga SAD yang telah keluar dari rimba, keterampilan menari ini tak lagi dimiliki. Di desa itu, tinggal Ngimbai yang masih fasih dengan nyanyi-nyanyian, lengkap dengan tariannya.
Sumber : Kompas