Konflik antara Pemerintah dan Komunitas Ulama dalam Pengembangan Objek Wisata (Studi Kasus di Kabupaten Kerinci)

Oleh : Aldi, Lambang Trijono, dan Susetiawan,
Program Studi SosioIogi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Abstract
The conflict occured at Kerinci Lake tourism area, was caused by an uncontrolled policy of tourism development and application. It resulted from many structural changes within the community, such as in social economic, from sociocultural, and condemnation proceeding of surroundings territo¬rial owners in order to means developing and tourism facilities at the lake area. It also raised many interest groups within the community, both in up-per class society (local government) and lower class upon the tourism itself. Finally it raised many latent conflict potencies between those interest groups and the accumulation of them have brought to open conflict of January 11, 2000, by involving general public.

This research uses quantitative research method by quantitative de¬scriptive analysis. The initial phase used Kent‘s analysis model and conflict cartography, by observing setting, issues, quarrel groups involved, dynam¬ics and alternatives of conflict resolution. It also uses Tilly‘s theory to ana¬lyze collective acts, Dom H. Camara‘s mass mobilization model and theory and some other theories which have relevancies to the research. The intent of interest groups discussed are moslem religious leader community and secu¬rity instruments of Sanggaran Agung, which both depend their own inter¬ests to mobilized community group (Sanggaran Agung). Then it appeared a latent conflict between local government and moslem community leaders that caused an open conflict between the government and Sanggaran Agung society and the social community of Sanggaran Agung and Pualu Pandan society.

It has been performed an initial phase to solve the conflict before the use in conflict resolution between interest groups themselves, and less legiti¬macy possed by society to the exist government instance. In addition, it was caused by low social and interest groups‘ participation level as a result ofweak dialogical institution.

This research also concludes that pungkao method is a conflict resolu¬tion model generally used by the institution of Kerinci tradition to solve many conflictual forms to be occured and their having strong emotional rela¬tion among the interest groups made the conflict resolution to the case of lake tourism area has no significant obstacle.

Pendahuluan
Pembangunan kepariwisataan di Indonesia telah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, seperti yang dilakukan oleh Raja Tarumanegara membuat kanal untuk keperluan pengairan, transportasi dan rekreasi. Sama halnya dengan pembangunan kolam Segaran, di Trowulan, dekat Mojokerto, Jawa Timur, yang dibangun pada zaman kejayaan kerajaan Mojopahit untuk keperluan rekreasi, di samping untuk persediaan air bersih di musim kemarau. [1]

Namun, pembangunan kepariwisataan yang dilakukan oleh para Raja terdahulu bukanlah untuk kepentingan peningkatan pendapatan daerah, melainkan hanya sebagai tempat rekreasi dan keperluan kesejahteraan masyarakat, serta sebagai tempat peristirahatan para raja dan orang-orang kalangan kerajaan.

Kemudian lain halnya di masa-masa pemerintahan Ir. Soekarno, terlebih lagi di masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya di masa pemerintahan Soeharto. Di mana pembangunan kepariwisataan dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan ekonomi, memperluas lapangan kerja, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan intruksi presiden No. 9 Tahun 1969 ini dikatakan dalam pasal 2, bahwa tujuan pengembangan kepariwisataan adalah: Pertama, peningkatan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan negara pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan industri-industri penunjang dan industri-industri sampingan Iainnya. Kedua, memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan Indonesia. Ketiga, meningkatkan persaudaraan atau persahabatan nasional dan internasional. Sedangkan Andi Mappi Sameneng dalam suara karya menyatakan bahwa, pemerintah Indonesia tidak saja melihat bahwa pariwisata sebagai penggerak utama aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai kunci strategis dalam pembangunan regional. [2]

Sebagaimana yang tertuang dalam GBHN 1993 dan pola dasar pembangunan daerah, memberikan arahan bahwa pembangunan kepariwisataan sebagai salah satu elemen pembangunan ekonomi yang terus meningkat dan menghasilkan devisa yang semakin berarti jumlahnya dan semakin‘besar peranannya dalam meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat. Lebih dari itu, pembangunan pariwisata memiliki peluang yang sangat potensial memperluas dan meratakan kesempatan berusaha, menciptakan lapangan kerja baru, mendorong pembangunan daerah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Tabun 1990-an dapat dilihat berbagai dialog. Ada kesadaran bersama bahwa otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dengan titik berat di daerah tingkat II, seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang No. 5 Tabun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintah daerah, belum terealisir. Bahkan ada sementara pihak yang menghendaki perlu perubahan pada Undang-Undang tersebut agar peran daerah tingkat II meningkat, serta perlu diterapkannya Undang-Undang tentang hubungan pusat daerah yang kesemuannya dikaitkan dengan upaya untuk lebih terselenggarakannya otonomi daerah. [3]

Melihat kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di alas, maka pemerintah daerah tingkat II Kerinci telah memulai pembangunan kepariwisataannya sejak 1994, sesuai dengan peraturan daerah No. 7 Tabun 1994 tentang pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Dati II Kerinci, sebagai landasan dan penjabaran dari pola dasar pembangunan Daerah Tingkat II Kerinci sektor ekonomi sub sektor pariwisata. Namun pembangunan kepariwisataan tersebut belum dikelola secara optimal oleh pemerintah daerah Kerinci sebab kurangnya sumberdaya manusia yang berkualitas, kurangnya dana untuk pembangunan sarana dan fasilitas¬fasilitas kepariwisataan sehingga pembangunan kepariwisataan masih bersifat tradisional dan telah membuat keterhambatan dalam pelaksanaan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Kerinci. [4]

Sementara itu, sudah sejak lama kabupaten Kerinci dikenal sebagai salah satu tujuan wisata yang potensial, lantaran pesona alamnya yang eksotik. Wisata utama Propinsi Jambi mengingat sebagian besar obyek wisata (70%) di propinsi Jambi berada di Kabupaten Kerinci. [5]

Pembanguan pariwisata merupakan suatu proses yang dinamis. Pariwisata telah dipercaya mampu memberikan dampak (balk postif maupun negatif) bagi masyarakat setempat. Tentu, apabila dampak negatif tidak mampu diatasi, maka tidak jarang menimbulkan kontraversi dan tumbuhnya potensi konflik di dalam masyarakat yang berbeda kepentingan terhadap pengembangan kepariwisataan yang ada.

Seperti kasus konflik antara kaum muda dan tua (ulama) yang terjadi di pulau Untung Jawa akibat dari perbedaan kepentingan terhadap pariwisata yang ada. Pak Kiai, melihatnya berhubungan dengan nilai budaya dan moral adalah soal pacaran. Penduduk semakin menyadari bahwa generasi muda sekarang selalu pacaran lebih dahulu sebelum memasuki jenjang perkawinan. Akan tetapi, sering sekali mereka hamil sebelum menikah. Pak Kiai dalam laporan umum mengenai dampak sosial pariwisata menyatakan bahwa gejala itu sebagai akibat dari pariwisata. [6] Pak Kiai mencontohkan bahwa tontonan orang berpacaran dengan mesra mudah dilihat anak-anak pulau Untung Jawa. Sedangkan sebagian dari kaum muda mereka meyewakan tikar untuk duduk bermesraan. Bahkan pihak resort juga menyewakan kamar untuk para tamu yang ingin tidur bersama pada siang hari.

Di samping itu, dengan pengembangan kepariwisataan juga berdampak negatif yang mengakibatkan inflasi lokal dengan kedatangan para wisatawan di suatu tempat mengakibatkan kenaikan harga bahan¬bahan pokok. Seperti telur, daging, sayur mayur, buah-buahan, beras, pakianan dan biaya transfortasi. [7] Hal in akan menambah keresahan pada masyarakat setempat yang berada di kawasan wisata yang akhirnya timbul protes dan berbagai bentuk reaksi yang dilakukan dikalangan masyarakat.

Bila melihat kasus di atas, maka tidak asing lagi hal yang sama akan menimpa masyarakat Kerinci, yakni terjadinya konflik antara pemerintah dan ulama dalam pengembangan objek wisata di sekitar Danau Kerinci. Perbedaan kepentingan ini telah menimbulkan konflik meletus (outbreak of conflict) antara pemerintah dengan masyarakat (ulama) 11 Januari 2000 di kawasan wisata Danau Kabupaten Kerinci. Ulama dikenal sebagai pemuka agama dan merupakan panutan bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung merasa bertanggungjawab secara moral terhadap masyarakatnya. Di samping itu, sampai saat ini ulama masih menjadi ajang sebagai tempat meminta fatwa dan memecahkan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Pemerintah daerah yang terus melakukan pembangunan sarana dan fasilitas-fasilitas kepariwisataan di Kabupaten Kerinci yang oleh para ulama dianggap kurangnya perhatian pemerintah dalam peningkatan nilai budaya serta moral para remaja dan pemuda yang ada di sekitar pembangunan pariwisata tersebut. Hal ini telah menimbulkan akumulasi potensi-potensi konflik atau permusuhan ulama terhadap pemerintah Daerah Kerinci, dan terbukti berbagai bentuk reaksi para ulama dalam usaha mencegah pengembangan pariwisata di sekitar kawasan wisata Danau Kerinci,.salah satunya adalah ketika acara pembukaan festival Danau Kerinci 1999 yang oleh ulama sengaja dihalang-halangi dengan cara mencegah masyarakat untuk tidak ikut serta pada acara tersebut. Dan salah seorang dari ulama terang-terangan menyatakan bahwa barang siapa yang ikut serta pada acara pembukaan festival Danau Kerinci terutama Ibu-Ibu Majlis Taklim, maka saya tidak pernah mengajarkan mereka lagi. Dan tepatnya 11 Januari 2000 sebagai akibat dad terakumulasinya kemarahan masyarakat seperti ketidakadilan pemerintah terhadap para pemilik tanah, harga bahan pokok yang sudah tidak stabil dan bahkan merusak anak-anak muda serta pembagian lapangan kerja oleh pemerintah yang tidak merata kepada masyarakat, maka konflik meletus secara terbuka di kawasan wisata tersebut yang telah merusak sebagian bangunan fisik yang ada di kawasan wisata Danau dan diantara mereka yang terlibat dalam konflik tersebut banyak yang mengalami kerugian baik kerugian fisik dan juga interaksi sosial antar sesama menjadi tidak harmonis lagi, dan bahkan banyak juga yang mengalami kerugian materi.

Setelah melihat kasus demi kasus di atas, maka penelitian ini sangat panting untuk dilakukan, sebab ingin mengetahui akar konflik yang sebenarnya. Dan ingin mengetahui bagaimana proses perdamaian dapat berjalan lancar dan tanpa mengalami hambatan-hambatan yang berarti serta ingin mengetahui bagaimana proses resolusi konflik adat bisa berjalan dan dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan.

Pada akhirnya penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut; Pertama, mengapa terjadi konflik antara pemerintah dan komunitas ulama dalam pengembangan objek wisata di kabupaten Kerinci; Kedua, bagaimana dinamika konflik antara pemerintah dan komunitas ulama dalam pengembangan objek wisata di Kabupaten Kerinci; dan ketiga, bagaiman alternatif penyelesaian konflik antara pemerintah dan komunitas ulama dalam pengembangan objek wisata di kabupaten Kerinci.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif kualitatif. Oleh karenanya sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini berlokasi di kabupaten Kerinci karena ada beberapa alasan, yakni adanya fasilitas yang memadai, data serta kesempatan untuk melakukan penelitian. Sedangkan kasus penelitiannya adalah konflik antara pemerintah dan komunitas ulama dalam pengembangan objek wisata di Kabupaten Kerinci yang akhirnya telah melibatkan masyarakat luas yang ada di sekitar kawasan wisata danau terutama keterlibatan masyarakat Sanggaran Agung yang keber¬pihakannya sangat kuat terhadap komunitas ulama sedangkan masyarakat Pulau Pandan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pemerintah daerah, hingga melahirkan konflik terbuka 11 Januari 2000 di kawasan wisata danau.

Untuk kelancaran penelitian di atas, ada dua jenis data yang digunakan yakni data primer dan data skunder. Data primer dilakukan wawancara mendalam dengan menggunakan teknik sampling yang oleh Colemann disebut: "snow ball sampling". Artinya menanyakan kepada anggota sampel siapa saja yang menjadi teman terdekatnya. Dan dari teman terdekatnya ditanya lagi siapa yang lebih mengetahui persoalan yang sedang kita teliti dan begitulah selanjutnya. [8]

Sedangkan data skunder diperoleh dengan menggunakan analisis dokumentasi. Dan untuk kelengkapan kedua data tersebut digunakan teknik observasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln adalah untuk memperoleh pengalaman secara langsung di mana pengalaman secara langsung merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran, pengamat memungkinkan dan mengamati sendiri, pengamat dapat mencatat peristiwa dalam situasi yang langsung diperoleh dari data, jika terjadi keraguan oleh peneliti karena dikhawatirkan ada data bias, maka dapat mengecek data tersebut dengan memanfaatkan situasi-situasi yang rumit yang dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lain tidak dimungkinkan maka pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. [9] Analisis data kualitatif dilakukan terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersama yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Semua data yang sudah terkumpul dan diseleksi berdasarkan prosedur di atas selanjutnya dilakukan interpretasi dan terakhir penarikan kesimpulan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis dan Pemetaan Konflik
Pada penelitian ini yang menjadi fokus bahasan adalah masaiah konflik dan resolusi konflik. Di mana objek penelitiannya adalah konflik antara pemerintah dan komunitas ulama dalam pengembangan objek wisata di Kabupaten kerinci, dan dari konflik laten di atas telah melahirkan konflik terbuka 11 Januari 2000, di kawasan wisata danau. Konflik terbuka yang terjadi telah melibatkan masyarakat luas yakni masyarakat Sanggaran Agung yang dengan sengaja dimobilisir oleh para ulama, sedangkan di lain pihak sebagian masyarakat Pulau Pandan yang sangat kuat mendukung pihak pemerintah daerah terutama bagi mereka yang memperoleh kesempatan kerja maupun berdagang dalam kawasan wisata danau. Untuk resolusi konflik ditekankan pada mekanisme pengelolaan konflik yang biasa digunakan oleh masyarakat adat di Kerinci. Kemudian untuk mengetahui bentuk dan sebab konflik dengan melakukan perumusan dan pengidentifikasian terhadap unsur-unsur konflik.

Konflik yang terjadi dlam masyarakat, lembaga atau individu dan kelompok tidak muncul begitu saja tetapi dilatarbelakangi.-oleh berbagai penyebab. Ada empat unsure yang perlu diperhatikan dalam konflik yaitu pihak-pihak yang bertikai atau terlibat dalam konflik, bidang konflik, situasi dinamis konflik, dan resolusi konflik. [10] Sedangkan dalam menganalisis dan memetakan konflik serta resolusi konflik yang sistematis yakni Srtuktur konflik, proses .konflik, pengaruh prilaku konflik dan meluasnya kontek konflik. [11] Selanjutnya dalam pemetaan konflik dengan mengoperasionalisasikan gagasan Georg Kent, di mana dalam menganalisi konflik diperlukan pengidentifikasian serta perumusan beberapa hal, antara lain; situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat konflik, isu-isu konflik, dinamika konflik, dan alternatif mengakhiri konflik. [12]

Ada ilmuan yang mengartikan bahwa konflik adalah pertentangan antar individu/ kelompok-kelompok dalam masyarakat atau negara kesatuan. [13] Mereka menambahkan bahwa dalam beberapa konflik mungkin terjadi antara dua .orang atau lebih, perubahan social, kepentingan kelompok, kelas-kelas, jenis kelamin, organisasi-organisasi partai politik dan etnik, rasial atau kolektifitas agama. Dan tidak jarang . dari konflik tersebut menimbulkan kekerasan. Sedangkan kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan. [14]

Konflik yang mengalami perubahan bentuk merupakan bagian dari perubahan isu yang tak dapat dipisahkan dari perubahan situasi yang mendasar. Biasanya, bentuk konflik ditentukan oleh situasi yang menekan dan situasi yang mendorong munculnya konflik balk Eaten maupun konflik manifes. Dalam kontek konflik pengembangan objek wisata, penerapan kebijakan kepariwisataan, pengambilan tanah hak milik rakyat, pembagian lapangan kerja yang dilakuakan oleh pemerintah dengan cara tidak adil atau merata pada masyarakat bawah dan terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat sebagai pemicu yang sangat kuat mendorong terjadinya konflik terbuka.

Terjadinya perubahan-perubahan pada situasi konflik sangat mempengaruhi pergeseran isu konflik. Dari isu tanah ke isu perubahan nilai yang sempat menimbulkan ketegangan hubungan antar kelompok kepentingan yakni pemerintah daerah dengan para ulama dan masyarakat pemilik tanah, ketegangan di atas masih bersifat laten dan akhirnya isu bergeser ke isu kepentingan ekonomi. Dengan beralihnya serta berubahnya isu yakni dari isu perubahan nilai ke isu ekonomi yang telah melahirkan konflik terbuka. Hal ini terjadi akibat adanya klaim dari setiap kelompok kepentingan atas kepemilikan kawasan wisata danau dan mempunyai hak penuh untuk ikut berperan secara aktif dalam pengelolaan dan bahkan memperoleh kesempatan kerja lebih diutamakan. Isu ekonomi sangat cepat mengundang berbagai kelompok kepentingan laten Iainnya untuk bahu membahu dengan kelompok yang sedang berkonflik terutama para ulama yang berpihak langsung pada masyarakat Sanggaran Agung guna memperoleh dukungan dan yang lebih jelas lagi yakni mereka dapat menggantungkan kepentingan mereka terhadap masyarakat bawah, sebab masyarakat bawah bisa diman¬faatkan atau dimobilisir untuk melakukan agresi terhadap oknum pemerintah yang ada di kawasan wisata danau. Penggunaan cara-cara kekerasan semakin banyak mengundang pihak-pihak lain untuk ikut serta terlibat di dalamnya. Keterlibatan dapat berbentuk dukungan kesa]ah satu pihak ataupun dalam bentuk keterlibatan dalam mencari cara-cara penyelesaian konflik.

Awalnya permusuhan hanya terjadi antara pemerintah daerah dengan para ulama yang masih bersifat laten. Namun setelah pergeseran waktu berselang bergesernya isu konflik dari isu perubahan nilai yangn bergeser ke isu ekonomi, sehingga berbagai kelompok kepentingan teritama para ulama yang sengaja memanfaatkan situasi tersebut dengan memberikan dukungan serta memobilisir masyarakat Sanggaran agung agar mereka mau mempertahankan hak mereka dengan dalih otonomi daerah, sebab mereka sebagai pemilik kawasan wisata dan merekalah yang lebih diutamakan oleh pemerintah daerah dalam memperoleh kesempatan kerja di kawasan wisata. Tetapi malah sebaliknya, di mana kesempatan kerja lebih diutamakan kepada masyarakat Pulau Pandan, dan akhirnya dengan ikut campurnva provokator yakni para ulama yang memotivasi masyarakat Sanggaran Agung sehingga agresi yang dilakukan oleh masyarakat Sanggaran Agung terhadap oknum pemerintah awal Januari 2000 tidak dapat dibendung dan telah melahirkan konflik terbuka.

Adapun konflik terbuka yang terjadi yakni berbentuk vertikal dan horizontal. Konflik vertikal yakni terjadinya konflik antara pemerintah daerah dengan masyarakat Sanggaran Agung yang secara langsung dimobilisir oleh para ulama dan did ukung oleh aparat keamanan. Para ulama yang memang sengaja mencari tempat bersandar sehingga membuat hubungan mereka dengan masyarakat Sanggaran Agung sangat kuat. Dengan dukungan para ulama dan ditambah adanya aparat keamanan di belakang mereka, sehingga membuat mereka lebih agresif untuk melakukan penyerangan terhadap oknum pemerintah yang sedang bertugas di kawasan wisata danau.

Sedangkan konflik horizontal yakni terjadinya konflik antar kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat terutama kelompok masyarakat Sanggaran Agung dengan kelompok masyarakat Pulau Pandan. Masyarakat Pulau Pandan yang mempunyai hubungan sangat kuat dengan pemerintah daerah, sebab mereka yang lebih diutamakan oleh pemerintah daerah dalam memperoleh kesempatan kerja di kawasan wisata danau. Ketika terjadinya konflik terbuka antara pemerintah daerah dengan masyarakat Sanggaran Agung, hingga menimbulkan kesalah pahamanan masyarakat Sanggaran Agung terhadap kedatangan masyarakat Pulau Pandan yang bermaksud ingin meredam konflik yang terjadi, tetapi malah sebaliknya di mana masyarakat Sanggaran Agung Iangsung menghajar mereka yang datang yang akhirnya konflik meluas dengan melibatkan masyarakat luas.

Adapun dalam menganalisis konflik antara pemerintah daerah dan Komunitas ulama kabupaten Kerinci, maka digunakan pendekatan teori Tilly yakni dalam menganalisis aksi kolektif ini is menggunakan model umum, "model masyarakat Politik" dan "model mobilisasi". [15] Sedangkan untuk menganalisis konflik di kawasan wisata danau maka digunakan model mobilisasi yakni bagaimana kelompok-kelompok kepentingan laten dalam hal ini dilakukan oleh para ulama, mereka mampu memobilisir masyarakat sanggaran Agung. Penjabaran teori ini melihat setting konflik antara kedua kelompok kepentingan di atas serta melihat proses bagaimana pergeseran situasi dan isu secara mendasar sehingga mempengaruhi formulasi konflik dan akibat-akibat yang terjadi.

Cara Pungkao sebagai resolusi konflik antar kelompok kepentingan di Kerinci.
Konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak bisa dihilangkan begitu saja, sebab dalam kehidupan itu sendiri individu maupun kelompok mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Menyatakan konflik dapat dibenarkan, konflik dan antagonisme tidak dapat dilenyapkan keduanya tertanam dalam struktur otoritas itu. Usaha untuk menekan atau menyangkal konflik hanya membuatnya tertekan ke bawah permukaan, di mana dia bisa mendidih perlahan-lahan dan menjadi panas, yang tidak diketahui untuk jangka waktu yang lama. Tetapi pelan-pelan, konflik yang terpendani itu meledak keluar. [16]

Sedangkan Nasikun, menyatakan apa yang dilakukan orang hanyalah mengendalikannya agar konflik yang terjadi diantara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan tidak akan terwujud dalam bentuk kekerasan (violence), antara lain: Bentuk-bentuk pengendalian konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi (conciliation), Mediasi (mediation), dan perwasitan (ar¬bitration). [17]

Perwasitan adalah kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau "terpaksa" menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan "keputusan-keputusan" untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.

Istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut cara ketiga ini adalah arbitrase, yakni berusah menjatuhkan suatu keputusan tentang baik buruknya perkara itu setelah menyelidiki data-datanya, mendengar kesaksian-kesaksian, menyimak argumen-argumen kedua belah pihak. [18] Arbitrase dapat dikatakan sebagai suatu proses peradilan. Cara in dapat dilakukan secara suka rela atau paksaan.

Cara arbitrasi agak sulit menyelesaikan masalah-masalah mendasar. Alasannya cara ini hanya menilai benar salahnya suatu perkara dan tingkat kebenarannya hanya merujuk pada perundang-undangan atau kontrak yang berlaku.

Sedangkan, Simmel rnenganalisa beberapa bentuk atau cara mengakhiri konflik, termasuk menghilangkan dasar konflik dari tindakan¬tindakan mereka yang sedang berkonflik, kemenangan di pihak yang satu dan kekalahan pada pihak yang lain, kompromi, perdamaian, dan ketidakmungkinan untuk berdamai. Kemenangan terlalu bersifat radikal untuk melepaskan diri dari pertikaian menuju perdamaian. [19]

Dalam klasifikasi konflik, satu karakteristrik yang penting adalah aksesibilitas atau inaksesibilitas untuk mengakhirinya. Karakter ini sangat menentukan berhasil tidaknya penyelesaian konflik dengan cara kompromi. Kompromi melibatkan konsensi dan penyerahan hak yang membuatnya sangat berbeda dengan pertarungan dan kemenangan. Kompromi melalui representabilitas merupakan kemungkinan yang fun¬damental untuk menghindari konflik atau melenyapkan sebelum kekuatan pihak-pihak tersebut tertutup untuk membuat keputusan.

PiIihan-pilihan dari upaya untuk menyudahi konflik selalu mengikutkan syarat yang memberi kekuatan untuk terlaksananya penyelesaian konflik. Misalnya jika memilih mediasi sebagai penyelesaian konflik maka harus diperhatikan empat elemen dasar; pertama, tindakan untuk membangun, mempertahankan, dan meningkatkan komunikasi; kedua, menyediakan informasi untuk dan antara piha-pihak yang bertikai; ketiga, "menjadi teman" pihak-pihak yang bertikai, keempat, mendorong apa yang disebut nediasi aktif, yaitu memperkuat keinginan untuk terlibat dalam negosiasi kerjasama. [20]

Cara pungkao adalah model resolusi konflik yang biasa digunakan oleh masyarakat adat Kerinci pada umumnya. Apakah konflik yang terjadi dlam skala kecil atau skala yang lebih luas. Ternyata cara penyelesaian konflik dengan cara pungkao telah berhasil mewadahi penyelesaian konflik di kawasan wisata danau.

Pungkao menurut orang Kerinci berarti orang yang diutamakan, orang yang lebih dituakan atau orang yang lebih tabu tentang semua persoalan. Bila dilihat dari maknanya, jadi cara pungkao bukan hanya digunakan untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi, tetapi juah lebih besar dari hal tersebut. Seperti dipraktekkan ketika adanya hajatan, kenduri dan bahkan ketika adanya acara walimah dan lain sebagainya.

Penyelesaian konflik dengan cara pungkao dipandang bisa menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan wisata, sebab secara teritorial kelompok kepentingan masih mempunyai kesamaan serta hubungan emosional yang sangat kuat. Sehingga resolusi melalui cara pungkao bisa bekerja dengan efektif dan efisien serta tanpa mengalami hambatan yang sangat berarti.

Penyelesaian konflik cara pungako bekerja dengan cara antara lain; Pertama, kelompok- kelompok yang bertikai menunjuk pihak ketiga sebai penengah, lalu pihak yang ditunjuk melakukan pertemuan terlebih dahulu dalam mengatur strategi, agar ada pembagian kerja dalam menghubungi pihak-pihak yang terlibat konflik langsung. Kedua, setelah mereka menghubungi kelompok-kelompok yang bertikai guna mempertegas kapan dan di mana diadakan pertemuan untuk mencari penyelesaian konflik dengantujuan mencari kesepakatan bersama. Ketiga, pihak ketiga ikut dalam urun rembuk bersama-sama kelompok yang bertikai guna mencari kesepakatan serta solusinya.

Sedangkan, penyelesaian konflik melalui cara pungkao mempunyai kesamaan dengan penyelesaian konflik yang digunakan oleh Nasikun dalam bukunya sistem sosial Indonesia yakni cara penyelesaian konflik dengan cara mediasi. [21] Mediasi artinya dengan menunjukkan pihak ketiga yang memberikan nasehat-nasehat tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan konflik mereka. Mereka ikut dalam mencari kesepakatan¬kesepakatan yang bisa diterima oleh semua kelompok yang bertikai.

Kesimpulan
Konflik terbuka yang terjadi di kawasan wisata danau adalah akibat adanya kesenjangan social yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka penerapan kebijakan-kebijakan kepariwisataan oleh pemerintah daerah. Konflik bersumber dari akumulasi potensi-potensi konflik yang memang sudah sejak lama ada. Dan dari potensi-potensi konflik telah melahirkan berbagai bentuk isu-isu konflik, antara lain; isu pengambilan tanah hak rakyat guna pembangunan sarana dan fasilitas-fasilitas kepariwisataan, isu perubahan nilai serta bergeser ke isu kepentingan ekonomi. Dari pergeseran isu tersebut telah melahirkan konflik, terbuka. Adapun pain¬poin yang perlu disimpulkan adalah:

Pertanian, terjadinya konflik laten antara pemerintah daerah dan para ulama akibat dari adanya perbedaan perspektif terhadap pengembangan objek wisata danau. Oleh para ulama dikatakan, bahwa dengan pengembangan objek wisata tersebut telah membawa dampak negatif terhadap masyarakat setempat, seperti terjadinya transformasi nilai budaya luar ke daerah tersebut yang oleh masyarakat hal tersebut masih asing sekali dan bahkan menumbuh kembangkan kembali serta memperburuk minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Sebaliknya, pemerintah melihat di mana pengembangan objek wisata bisa memperluas lapangan kerja, meningkatkan perekonomian rakyat dan meningkatkan devisa daerah. Dan dari perbedaan perspektif di atas telah melahirkan konflik laten antara keduanya dengan cara mencari dukungan massa bawah.

Kedua, konflik laten antara kedua kelompok kepentingan tersebut telah melahirkan konflik terbuka dengan melibatkan masyarakat banyak. Konflik terbuka muncul akibat dari adanya kelompok kepentingan laten yang dengan sengaja memobilisir massa. Para ulama, mereka memanfaatkan sekelompok masyarakat (Sanggaran Agung) yang digusur oleh pemerintah daerah dalam memperoleh kesempatan kerja dan diganti oleh kelompok masyarakat (Pulau Pandan). Lalu masyarakat Sanggaran Agung terprovokasi untuk melakukan agresi terhadap oknum pemerintah di kawasan wisata, sehingga konflik fisik tidak dapat dihindari.

Ketign, yang paling dominan penyebab terjadinya konflik terbuka adalah faktor perkembangan ekonomi. Yakni terjadinya ketidakadilan pemerintah daerah dalam pembagian lapangan kerja pada masyarakat Sanggaran Agung yang berada di kawasan wisata tersebut dan Iebih diutamakan pada masyarakat Pulau Pandan yang justru menyebabkan munculnya ketegangan-ketegangan yang potensial untuk melahirkan konflik. Di samping isu ekonomi dan memang sebelumnya potensi-potensi konflik sudah ada dan ditambah lagi dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan laten yang dengan sengaja memobilisasi massa, sebab kelompok-kelompok kepentingan tersebut mereka menggantungkan kepentingan mereka pada kelompok yang terlibat secara langsung dalam konflik terbuka. Konflik terbuka terjadi akibat adanya pergeseran isu dari isu tanah ke isu nilai lalu ke isu ekonomi. Dan akhirnya mengarah pada kuantitas dan kualitas hubungan antara unsur-unsur konflik yang merubah konflik laten menjadi konflik yang bersifat manifes.

Keenipat, konflik terbuka juga terjadi antara kelompok masyarakat Sanggaran Agung dengan masyarakat Pulau Pandan, hal ini terjadi akibat dari kesenjangan sosial antara kedua kelompok tersebut.dalam hal memperoleh kesempatan kerja, yang oleh pemerintah daerah lebih diutamakan kepada masyarakat Pulau Pandan di kawasan wisata yang menyebabkan timbulnya kecurigaan-kecurigaan pada kelompok masyarakat Sanggaran Agung terhadap masyarakat Pulau Pandan di mana mereka mendukung kelompok penguasa pemerintah dalam konflik, sehingga dari kecurigaan tersebut telah melahirkan konflik terbuka antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Di samping itu memang sudah sejak lama adanya pertentangan antara kedua kelompok masyarakat tersebut yakni persoalan kepemilikan wilayah kawasan wisata Danau, memang kalau dilihat secara adat kawasan wisata tersebut termasuk wilayah adat Biangsari Desa Pulau Pandan yakni tepatnya di kecamatan Batang Merangin, tetapi bila dilihat secara kepemerintahan kawasan tersebut sudah resmi menjadi wilayah Desa Sanggaran Agung tepatnya di kecamatan Danau Kerinci.

Kelir~ia, perbedaan-perbedaan kepentingan tersebut di atas telah melahirkan konfliktual antara pemerintah daerah sebagai penguasa dengan masyarakat Sanggaran Agung, dan antara masyarakat Sanggaran Agung dengan masyarakat Pulau Pandan. Bila dilihat bahwa potensi konflik laten memang sudah ada sejak beralihnya kekuasaan kawasan wisata danau dari pihak keamanan setempat kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menggunakan otoritasnya sebagai penguasa sehingga dengan leluasa mereka memilih dan menghentikan kegiatan masyarakat Sanggaran Agung yang sebelumnya mereka banyak yang beraktifitas baik sebagai petugas maupun sebagai pedagang kecil-kecilan di kawasan wisata tersebut. Dan suasana menjadi semakin panas sejak adanya sikap arogansi kekuasaan-akibat perbedaan jalan antara penguasa dan rakyat-atau korban sikap penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Keenam, adapun sebab-sebab kegagalan yang telah dialami oleh alternatif-alternatif penyelesaian konflik sebelumnya, maka digunakan penyelesaian konflik melalui cara pungkao. Kegagalan alternatif-alternatif penyelesaian konflik sebelumnya adalah akibat dari tidak adanya pihak ketiga yang ikut serta dalam penyelesaian konflik tersebut yang akhirnya dalam forum negosiasi tersebut di monopoli oleh pihak pemerintah dan tidak dapat diterima oleh pihak atau para pemilik tanah keputusan yang telah ditetapkan oleh para penguasa. Penyebab lain adalah dalam pembagian lapangan kerja adanya unsur ketidakadilan dari pihak pemerintah yang mengakibatkan munculnya protes melalui cara demonstrari, tetapi mereka mendapat tekanan dari pihak penguasa dan bukan penyelesaian yang mereka peroleh, tetapi malah sebaliknya.

Ketujuh, keberhasilan cara pungkao menjadi penengah dalam mengakhiri konflik antara pihak-pihak yang berkonflik disebabkan oleh tingginya tingkat kepercayaan pihak-pihak yang berkonflik terhadap mereka yang telah ditunjuk sebagai penengah. Di samping itu, mereka yang ditunjuk sebagai pungkao adalah memang mereka yang berada pada posisi netral dan tidak memihak pada salah satu kelompok kepentingan yang ada.

Daftar Pustaka
Camara, Dom. H., 2000, Spiral Kekerasan, diterjemahkan Komunitas Apiru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

David and Julia Jary, 1991, Collin Dictionan/ of Sociology, Harper Collin Publishers, Glasgow.

Druckman, Daniel, 1993, Conflict and Resolution Theory and Practice, Integration and Application. An Analytical Research Agenda for Conflict and Conflict Resolution. Manchester University Pres, New York.

Hammer dan Organ,1978, Organizational and Applied Psychological Approach, Texas, Business Publication Ins.

Johnson, Doyle P., 1990, Teori Sosiologi Klasikdan Modern, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, Jilid I dan II, Jakarta: Gramedia.

Kent, George, 1993, Analyzing Conflict and Violence, Peace and Change, Vol. 18, No. 4.

Khodyat H., 1996. Sejarah Pariwisata dan Perkentbangannya di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia.

Miall, Hugh, Rambotham dan Woodhouse Tom, 2000, Resolusi Konflik Kontem parer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah KonflikBersuntber Politik, Sosial, Aganta dan Ras, Saatrio Budi (Pentj.), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Moleong, Lexi J.,1993, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT: Remaja Rosda Karya. Nasikun,1995. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George, 1991, Sosiologi lltnu Pengetahuan Berparadigma Ganda, disadur oleh Ali Mandan, Jakarta: Rajawali Press.

Schneider, Eugene, 1986. Eugene, Sosiologi Industri, Jakarta: Aksara Persada.

Tilly, Charles, 1978. From Mobilization to Revolution. Reading Mass: Addison Wesley Publishing.
Wiwied, Trisnadi, 2000. Media Komunikasi Keparhvisataan Daerah Wacana Wisata Dampak Sosial Budaya Pembangunan Pariwisata, Bulletin Edisi 2/11/2000.

Buku Panduan Festival Danau Kerinci, 12 Nov. 1999. Suara Karya, Surat Kabar, 8 Januari 2000.
__________
Aldi, Lambang Trijono, dan Susetiawan (Program Studi SosioIogi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)
Sumber: journal.lib.unair.ac.id
________________________________________
[1] Khodyat H. Sejarah Pariwisata dan Perkembangan di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1996, hal. 16
[2] Suara Karya, Surat kabar Harian, 18 Januari 2000.
[3] Ibid
[4] Buku Panduan festival Danau Kerinci, Sungai Penuh, 12 Nov 1999.
[5] Ibid
[6] Wiwied, Trisnadi, Media KomunikasiKepariwisataan Daerah wacana Wisata Dampak Sosial budaya Pembangunan Pariwisata, Bulletin, 2 Nov 2000.
[7] Khodyat H. Op. hal. 104.
[8] Ritzer, George, Sosiaologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Di sadur oleh Ali Mandan, Jakarta: Rajawali, 1992, hal. 27.
[9] Moleong, Lexi J., Metode Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1993, hal 125.
[10] Hamner dan Organ, Organizional Behavior An Applied Psycological Approach, Texas, Business Publication Inc, 1978, hal. 342.
[11] Druckman, Danil, " An AnaliticalResearch Agenda For conflict and Caonflict Resolution‘. Conflict Resolution Theory and Practice: Integrasi and ApIication. Manchester, Manchester University Press;1994, hal. 25-35.
[12] Kent, Georg, "Analizing conflict and Violence". Peace and Change, Vol. 18, No. 4, 1993, hal. 378.
[13] David and Julia Jery, Collin Dictionory of sociology, Harper Collin Publishe, Glas gow, 1991, hal. 111.
[14] Camara, Dom. H., Spiral Kekerasan, Kanisiua Apiru (Pent), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. Xi.
[15] Tilly, Charles, form Mobilization To Revolution. Reading Mass: Addison Wesley Publishing, 1978, hal. 7-8.
[16] Jhonson, Doyle P., Teori Sosiologi Klasik dan modern, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, Jilid I: Gramedia, 1990, hal. 191.
[17] Nasikun, Sisters Social Indonesia, Jakarta
[18] Schneider, Eugene, Sosiologi Industri, Jakarta: Aksara Persada, 1986, hal. 357.
[19] Jhonson, Doyle P., Op. Cit., jld I.
[20] Miall, Hugh, Ramboyham dan Woodhouse Tom, Resolusi Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersunzber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Satrio Budi (Pent), Jkt: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 82.
[21] Nasikun. Op. Cit., hal. 23.