Ekowisata: Sebuah Diferensiasi Produk Pariwisata di Indonesia Pasca Tragedi Bali

Oleh: Kresno Agus Hendarto

Abstract
You leave this island with a sight of regret and as long as you live you can never forget this Garden of Eden (Vicker A, 1989; cited from Redana, 2002)Long considered Indonesia‘s safe haven, Bali has always been the country‘s premier tourist destination- worlds apart from the spells of violence that plague the surrounding island. The explosions that rocked the Hindu island moments before midnight Saturday did more than kill dozens and injure scores of innocent barhoppers, tourists and native … (Juniartha, 2002). This paper describes about ecotourism as differentiation product tourism in Indonesia after Bali October 12, 2002 and its positive role in economic develop¬ment that can be appeared.

Seperti halnya Aceh, Bali pun baru pada awal abad ke 20 tunduk sepenuh¬nya di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Penguasa Hindia- Belanda di Batavia yang ketika itu dipimpin Gubernur Jenderal Van Heutsz, lewat tangan¬kanan- panjangnya residen Bali dan Lombok, J. Esbach dan kontrolir, H.J. Schwartz, memanfaatkan karamnya perahu Wangkang “Sri Kumala” di Pantai Sanursebagaidalih untukmemaksakan kehendaknya secara militer (Swantoro, 2002).

Puncaknya terjadi pada tahun 1906-pada saat Raja Badung, Gusti Gde Ngurah Denpasar-dan 1908- pada saat Raja Klungkung, Dewa Agung Putera¬melakukan perang Puputan. Enam tahun setelah itu-termasukdikarenakan dorongan semangat politik etis dan perasaan berutang budi- rombongan turis pertama menginjak Bali dalam kapal uap yang bernama Koninklijke Paketcart Maatsckapy (KPM), yang sering disebut juga sebagaiBabiExpres. Dijuluki demikian karena kapal ini bertujuan keBuleleng (Bali bagian utara) untukmengangkutkopra, kopi dan babi¬komoditi utama Bali waktu itu- untuk kemudian dibawa ke Singapura (Redana, 2002). Masih dalam tulisan yang sama, setelah mendaratdi Buleleng mereka diangkut dengan mobil besar bikinan Amerika ke selatan, ke hotel pertama waktu itu, Bali Hotel, milik KPM yang dibikin tahun 1925. Diantara tamu¬tamu ini sudah mulai muncul nama terkenal, seperti waktu itu Charlie Chaplin.

Pada 12 Oktober 2002, keindahan Bali, yang dituliskan pada pamflet di atas kapal Babi Expres (yang tertulis di awal abstract tulisan ini), yang juga dijuluki oleh Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, sebagai “The Morning of The World”, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Dua buah bom yang meledak di Paddy‘s CafĂ© dan Sari Club, Legian, Kuta, menewaskan lebih kurang 184 orang dan 325 orang terluka. Tidak hanya itu, faktor keamanan yang selama ini cukup stabil menopang rupiah langsung terguncang dan jatuh di kisaran Rp. 9.350 per US$ (pada penutupanSenin 14Oktober2002).Juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 10,3% dari376,460 (Jumat, 11 Oktober) menjadi 337,473 (Senin 14 Oktober). Taufiqurohman et al., (2002) menuliskan bahwa penurunan indeks ini adalah terparah dalam empat tahun terakhir dan hanya kalah oleh peristiwa Mei berdarah pada tahun 1998. Pada saat World Trade Center di New York, Amerika Serikat diruntuhkan pada Sep¬tember 2001, indeks hanya turun 3,5 % dan saat gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) di bom pada September 2000, penurunannya hanya sekitar 7 %.

Tidak hanya itu, Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, menyatakan bahwa pemerintah akan kehilangan pajak sekitar Rp. 10,8 triliun karena menurunnya jumlah penumpang pesawat, berkurangnya tamu hotel dan restoran. Hamzah Haz- wakil presiden¬bahkan menyatakan bahwa tahun 2003 Indonesia akan mengalami masa kritis, menyusul peledakan bom di Bali. Bahkan sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) yang sedianya akan dilaksanakan akhir Oktober di Yogyakarta- suatu tempat yang cukup jauh dari Bali- ditunda hingga tahun 2003.

Tulisan ini tidak ingin menggambar¬kan tentang bom di Bali- yang untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Tragedi Bali”- serta masalah hukum yang menyertainya,tetapitulisan ini ingin menggambarkan secuil dampak “Tragedi Bali” terhadap perekonomian lokal di Bali dan suatu bentuk alternative lain (diferensiasi) dari industri pariwisata di Indonesia, yaitu ecotourism. Yoeti (2000) menyatakan bahwa dalam bahasa Indonesia, istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata. Berangkatdari hal tersebut, makatulisan ini dimulai dengan gambaran pariwisata Indonesia khususnya Bali pra dan pasca “Tragedi Bali”; kemudiantrendpariwisata internasional di awal abad milenium, di dalamnya terdapat bahasan konflik pariwisata massal internasional antara pandangan developmentalist dengan ekonomi politik; dan terakhir dampak ekowisata dari sisi ekonomi bagi perekonomian lokal dan perekonomian negara.

Sektor Pariwisata di Seputar "Tragedi Bali"
Perkembangan pariwisata di Indo¬nesia selama satu dekade yang lalu telah berlangsung cukup pesat. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (WISMAN) ke Indonesiatelah meningkat dari 2.177.566 pada tahun 1990 mencapai 4.727.620 pada tahun 1999. Sektor pariwisata di Indonesia juga diharapkan menjadi penyumbang devisa negara di samping minyak dan gas. Sumbangan devisa sektor pariwisata ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Kunjungan, Perolehan Devisa dan Pertumbuhan Wisatawan Mancanegara Tahun 1989- 1999


Wisatawan Mancanegara

Tahun

Jumlah

Devisa

(US$ Juta)

Pertumbuhan

1989

1.625.965

1.284,50

25,00

1990

2. 177.566

2.105,29

33,92

1991

2.569.870

2.522,01

18,02

1992

3.064.161

3.278, 19

19,23

1993

3.403.138

3.986,58

11,06

1994

4.006.312

4.785,26

17,72

1995

4.324.229

5.228,34

7,94

1996

5.034.472

6.307,69

16,42

1997

5.185.243

5.321,46

2,99

1998

4.606.416

4.331,09

-11,16

1999

4.727.520

na

na


Banyak kegiatan yang dapat ditimbulkan oleh adanya pariwisata pada suatu negara, salah satunya yaitu akan mendatangkan lebih banyak kesempatan kerja padasektorekonomi lainnya. Dengan kata lain kegiatan pariwisata di suatu negara akan menjadi stimulus bagi kegiatan di sektorekonomi lainnya. Wahab (1996) menuliskan bahwasecara umum kegiatan ekonomi yang akan terstimulus meliputi industri penginapan (hotel, motel, home stay dan sarana akomodasi lainnya), industri katering (restoran, kedai kopi dan lain-lain), usaha perjalanan (agen per¬jalanan, tour operator dan sejenisnya), industri transportasi (maskapai penerbangan, angkutan laut, angkutan bis, kereta api, penyewaan mobil dan lain- lain), pramuwisata, cendera mata, kerajinan tangan, sektor hiburan dan masih banyak lagi.

Gambar 2. Tingkat Hunian Hotel Sepuluh Propinsi Tujuan Wisata Utama di Indonesia Semester Pertama Tahun 2002 (dalam %)

No.

Propinsi

Peb

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Rerata

1

Sumatera Utara

3 8,95

37,26

41,67

40,13

39,03

45,60

40,44

2

Sumatera Barat

28,18

42,71

32,72

36,51

31,21

44,67

36,00

3

DKI Jakarta

47,19

45,19

45,59

45,54

46,56

49,39

46,58

4

Jawa Barat

33,96

36,72

31,63

30,14

32,14

36,97

33,59

5

Jawa Tengah

35,48

38,67

43,54

3 1,09

41,63

40,57

38,50

6

DI Yogyakarta

28,32

39,36

3 1,63

4 1,35

47,09

47,73

39,25

7

Jawa Timur

40,88

48,22

44,17

50,04

45,57

51,92

46,80

8

Bali

46,49

51,83

42,22

52,86

61,37

66,80

53,60

9

Sulawesi Utara

35,66

37,40

39,88

43,11

42,01

51,92

41,66

10

Sulawesi Selatan

26,64

28,71

29,86

27,54

30,72

32,18

29,28

Sumber: Biro Pusat Statistik (2002)

Hampir sama dengan tahun- tahun sebelumnya, dilihat dari tingkat hunian hotel pada semester pertama tahun 2002, Bali adalah daerah tujuan wisata utama di Indonesia (Tabel 2.). Secara administrative Propinsi Bali terdiri dari 8 (delapan) kabupatendan 1 (satu)kota. Propinsi Baliterdiriatasbeberapapulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Caningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan dan Pulau Menjangan. Luas wilayahnya 5.632, 86 km2 dengan jumlah penduduk padatahun 2002 sekitar 2.904.828 jiwa atau kepadatan propinsi Bali sekitar 517 jiwa per km2.

Demikian pula halnya dengan Bali, sebagai gambaran perkembangan sektor ekonomi lain akibat adanya pariwisata di Bali dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 3.
Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap langsung (formal) dari usaha hotel di Bali pada tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 4.

Ketika terjadi “Tragedi Bali”, terjadi arus negatif kedatangan wisatawan manca negara ke Bali. Bahkan banyak diantara calon wisatawan yang telah memesan tempat(booking)di beberapa hotel, dilaporkan membatalkan dengan keterangan yang tidak dijelaskan. Tabel 5. dan Gambar 1. di bawah ini

Tabel 3. Perkembangan Kepariwisataan dan Sektor Terkait Lain di Bali Tahun 1996-2000

No KETERANGAN

1996

1997

1998

1999

2000

1.Kedatangan WISMAN yang Langs.

1.140.988

1.230.316

1.187.153

1.355.799

1.412.839

2.Penumpang Pesawat Udara

2.325.526

2.419.755

1.995.627

1.982.715

2.109.199

3. Penumpang Ferry Ketapang

2.417.608

2.438.474

2.555.977

2.865.430

3.060.811

4. Penukaran Valuta Asing

1.431.069

1.380.454

1.119.239

2.407.515

865.078

5. Akomodasi: Jumlah

830

895

950

1.011

1.037

: Kamar

25.764

28.464

29.754

31.560

32.944

a.Hotel Bintang : Jumlah

87

102

105

112

117

: Kamar

14.010

16.171

16.789

17.713

17.933

b. Hotel Melati : Jumlah

491

526

555

594

598

: Kamar

10.610

11.083

11.766

12.476

12.53

c.Home Stay : Jumlah

252

267

289

305

322

: Kamar

1.144

1.210

1.291

1.362

1.474

6. Rumah Makan: Jumlah

420

431

542

582

663

: Kamar

29.811

29.308

35.872

40.109

44.547

7. Pramuwisata/ Guide

4.560

5.100

5.300

5.641

5.982

8.Angkutan wisata: Jumlah

136

144

147

-

-

: Kend.

4.218

6.551

3.338

-

-

9. Travel Agents

226

263

293

360

-

10. Pengunjung Objek Wisata

4.048.755

3.978.102

4.506.471

4.066.150

4.041.017

Sumber: Dinas Pariwisata Propinsi Bali (2000)
Sumber: Departemen Pariwisata Seni dan Budaya (2002) na: not applicable

Menggambarkan perkembangan data WISMAN beberapa hari sebelum dan setelah “Tragedi Bali”. Dengan menggunakan jumlah WISMAN yang datang sebagai jumlah dasar pada periode pengamatan dan menggunakan persamaan:

maka komposisi WISMAN dalam persen dapat dilihat pada Tabel 6. dan Gambar 2. Sebagai akibat dari arus negatif WISMAN tersebut, segera tercermin

Tabel 4. Rekapitulasi Tenaga Kerja Formal Usaha Hotel di Bali

Sumber: Dinas Pariwisata Propinsi Bali (2000)

pada tingkat hunian hotel yang mengalami penurunan dari 70,27% pada saat terjadi “Tragedi Bali” menjadi 15,38% pada 1 Nopember 2002. Gambar 3. di bawah ini memberi gambaran dari turunnya tingkat hunian hotel di Bali selama periode peng¬amatan.

Tabel 5. Perkembangan Wisatawan Mancanegara

Periode Tragedi Bali
Per Hari pada Bulan Oktober 2002


Gambar 1. Perkembangan Wisatawan Mancanegara Seputar Tragedi Bali Periode Pengamatan Hingga Akhir Oktober 2002


Pariwisata Massal Internasional, Paspor Neo Kapitalis?
Menurut perspektifdevelopmentalist (Pye dan Lin, 1983 dalam Nugroho, 1997) mereka menegaskan bahwa pasar pariwisata internasional justru banyak menyumbangkan kecepatan, per¬cepatan dan arah perkembangan pariwisata di negara-negara ber¬kembang. Pariwisata memiliki potensi yang memungkinkan bagi perumusan strategi pembangunan di negara¬negara berkembang. Pariwisata memiliki potensi yang memungkinkan bagi perumusan strateg perlindungan/ pengurangan pajak (tax-shelter/ tax-holiday) atau bahkan pembebasan pajak (tax-free) dari impor barang¬barang material dan peralatan yang dibutuhkan. Hal ini menurut (Nugroho, 1997) mengakibatkanterjadinya aliran kapital keluar (capital flight), pembangunan di negara-negara berkembang se¬hingga dianggap sebagai “pintu masuk” bagi kesejahteraan masyarakat. Selain sebagai sumber penerimaan devisa, pariwisata dirasakan pula memiliki banyak elemen yang dapat mendorong transformasi ekonomi, dari karakter negara pertanian yang tradisional menuju masyarakat modern industrial. Darikondisi masyarakat yang subsistem menuju masyarakat yang berorientasi pasar’

Tabel 6. Komposisi Wisatawan Mancanegara Periode Tragedi Bali Per Hari Pada Bulan Oktober 2002



Gambar 2. Perkembangan Komposisi Wisatawan Mancanegara Seputer Tragedi Bali Periode Pengamatan Hingga Akhir Oktober 2002


Gambar 3. Rata- rata Tingkat Hunian Kamar Hotel di Bali Seputar Tragedi Bali Periode Pengamatan Hingga Akhir Oktober 2002


Gambar 3. Rata- rata Tingkat Hunian Kamar Hotel di Bali Seputar Tragedi Bali Periode Pengamatan Hingga Akhir Oktober 2002


Sebaliknya, sudah sejak awal dasawarsa 1970-an, mereka menganut perspektif ekonomi politik telah menunjukkan dan mengingatkan bagaimana pariwisata internasional, terutama seperti yang dipraktekkan saat ini di dunia ketiga, ternyata bukan merupakan obat mujarap (panacea) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Lebih dari itu, mereka juga menunjukkan bagaimana pari¬wisata internasional ternyata tidak hanya gagal melakukan fungsinya sebagai motor bagi pembangunan ekonomi negara-negara dunia ketiga, akan tetapi sebaliknya bahkan telah berubah menjadi sumber dari bentuk baru pelembagaan keterbelakangan dan ketergantungan bagi banyak negara dunia ketiga (Nasikun, 2000). Nugroho (1997) memberikan contoh kasus kongkrit hal tersebut, yaitu dengan cenderung terjadinya monopolijaringan penerbangan dan hotel-hotel inter¬nasional oleh korporasi-korporasi multinasional. Industri pariwisata global tidak jarang menentukan pilihan negara-negara dan objek-objek tujuan wisata, dan bahkan turut menentukan bagaimana kondisi objek-objek rekreasi di negara sedang berkembang (dunia ketiga) itu harus dibangun.

Investasi besar yang harus ditang¬gung oleh investor-investor pariwisata multinasional sering meminta perlakuan khusus kepada negara dunia ketiga. Perlakuan khusus tersebut seperti menguatkan berkembangnya ekonomi monokultur berdasarkan penerimaan hotel, mendorong terjadinya defisit pembayaran luar negeri yang kronis, menciptakan lapangan kerja musiman, serta menciptakan kegagalan dalam mengembangkan industri kerajinan tradisional pada tingkat lokal.

Nasikun (2000) menyatakan pula bahwa penguasaan ekonomi mono¬kultur berdasarkan penerimaan hotel, seperti disebutkan di atas, dilakukan melalui: (1) pemilikan atau investasi modal/ ekuiti (ownership or equity invesment), dengan cara memiliki sebagian besar atau seluruh pangsa ekuiti; (2) melalui kontrak manajemen (management contract), dimana 74% keterlibatan mereka di negara-negara dunia ketiga dilakukan melalui kontrak manajemen;(3)melalui perjanjiansewa hotel (hotel leasing agreement), dengan membayar sewa hotel sesudah dikurangi biaya operasi; (4) melalui waralaba (franchise agreement), dengan mengijinkan pemilik hotel menggunakan nama, simbol, dan pelayanan mereka sebagai imbalan atas fee oleh pemilik hotel; dan (5) melalui perjanjian pelayanan teknis (technical service agreement).

Di Bali sampai akhir tahun 1970-an, kawasan yang sekarang dikenal dengan sebutan populer Simpang Enam Denpasar, merupakan hamparan sawah. Setelah jalan Teuku Umar dibuka sebagai alternatif menerobos kemacetan Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro, mulailah terjadi konversi terhadap tanah- tanah sawah menjadi pusat niaga. Terakhir sekitar delapan tahun lalu berdiri pusat jajanan dunia Dunkin‘ Donuts berbarengan dengan serbuan aneka fast food seperti Ken¬tucky Fried Chicken atauMcDonald‘ske Denpasar. Di lokasi dimana kini berdiri tokodonatitu, dahulu berdiri PuraSubak Beraban (pura yang dibangun sebagai wahana religiusitas subak di wilayah Beraban). Maka setengah bergurau sosiolog Dr I Gde Pitana Brahmananda ketika berbicara dalam diskusi panel Otonomi Derah di Bali, 1 Pebruari 2001, menyebut sebagai Pura Dunkin‘ Donut (Arcana dan Laksmi, 2001).

Adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan pariwisata, sebagai akibat dari investasi besar- besaran di Bali akan memungkinkan terjadinya pergeseran peradaban mendasar dalam pola perilaku budaya masyarakat Bali. Bukantidakmungkin, kepercayaan pada “Dewi Sri” sebagai dewi kesuburan akan lunturdan hilang. Hal ini diperparah lagi dengan sulitnya barang- barang hasil pertanian di Bali untuk menembus hotel- hotel yang ada di sana.

Tidak hanya itu, hotel sebagai salah satu sarana pariwisata yang utama memberikan kontribusi dalam mem¬berikan tekanan pada lingkungan dengan limbah cair dan limbah padat. Wiyasha (1996) memberikan ilustrasi di kawasan wisata Nusa Dua Bali, dari 8 hotel berbintang dengan 3.274 kamar yang diobservasi, limbah cair yang dihasilkan pada tahun 1995 adalah sebanyak 1.438.182 m3 dengan 346.317 orang tamu. Limbah cairyang dihasilkan oleh hotel- hotel tersebut berasal dari kamar tamu, restoran, dapur kolam renang, tata graha dan semua outlet hotel yang ada. Jadi secara rata- rata limbah cair per tamu adalah 4,15m 3. Disamping limbah cair, hotel juga memberikan tekanan pada lingkungan karena produksi limbah padat (kamar tamu, dapur dan restoran serta bagian lain) dan konsumsi energi listrik yang memerlukan BBM.

Trend Pariwisata Internasional Dasawarsa Terakhir
Laporan yang dikeluarkan World Tourism Organization (WTO) tahun 1990 (dalam Parikesit dan Trisnadi, 1997) menunjukkan adanya kecenderungan dan perkembangan baru dalam dunia kepariwisataan yang mulai muncul pada tahun 1990-an. Kecenderungan ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaanyanglebihdalamterhadap nilai-nilai hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya. Perkebangan baru tersebut secara khusus ditunjukkan melalui bentuk- bentuk keterlibatan wistawan dalam kegiatan¬kegiatan di luar lapangan (out-door), keperdulian akan permasalah ekologi dan kelestarian alam, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekan¬an dan penghargaan akan nilai-nilai estetika, kebutuhan pengembangan diri/ pribadi serta keinginan untuk berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat.

Tabel 7. Jumlah Kunjungan Wisatawan Internasional berdasarkan Wilayah

Sumber: World Tourism Organization (2002)

Nugroho (1997) menyatakan pula bahwa jenis wisata ini menekankan pada beberapa hal dalam implemen¬tasinya,yaitu(1)motivasi pencarian pada sesuatu yang unik/ spesifik dan baru (novelty seeking) dan yang lebih menantang pada lokasi-lokasi baru untuk jenis atraksi yang diminati; (2) motivasi pencarian pada pengalaman wisata yang berkualitas (quality seeking).

Sebagai gambaran, Tabel 7. menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan internasional di seluruh dunia yang dikumpulkan oleh WTO hingga hingga bulan Juni 2002.

Dari Tabel 7. tersebut, terlihat bahwa ada penurunan kunjungan wisatawan internasional yang terjadi pada tahun 2001, terutama di: Amerika (-5,9%), Eropa (-0,6%), Timur Tengah (-3,1%) dan Asia Selatan (-6,3%), diakibatkan karena kondisi politik dan sikap masyarakat.Tragedi 11 September2001 di Amerika, yaitu ditabraknya gedung kembar World Trade Centre yang menelan ribuan korban jiwa serta balasan Amerika dan sekutunya ke Afganistan di Asia Selatan yang menelan korban lebih banyak lagi, telah menyebabkan turunnya jumlah wisatawan internasional.

Sedangkan untuk wilayah-wilayah Afrika, Asia Timur, dan Pasifik, jumlah kunjungan wisatawan internasional tetap mengalami peningkatan per¬tumbuhan. Namun jika dilihat secara menyeluruh (dari Tabel 7.) secara agreggate pertumbuhan industri pariwisatadaritahun 1995 hinggatahun 2001 adalah sebesar 3,8% dengan pertumbuhan di atas rata-rata adalah di wilayah Afrika, Asia Timur dan Pasifik, TimurTengah danAsiaSelatan, dimana hampir keseluruhan bentuk pariwisata¬nya adalah wisata alam (bukan wisata buatan).

Perubahan kecenderungan wisata¬wan asing untuk mengunjungi Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) alam ini sesuai dengan The International Ecotourism Society (2000) yang memprediksikan bahwa pada tahun 1999 terdapat lebih dari 633 juta wisatawan di seluruh dunia dan bahwa hingga 2 (dua) dekade ke depan, pertumbuhanjumlahwisatawan ini rata-rata 4,1% tiap tahunnya. Dari per¬tumbuhan jumlah wisatawan tersebut di atas, pertumbuhan dari ekowisata berkisar antara 10-30%.

Definisi ekowisatayang pertama kali diperkenalkan oleh organisasi eko¬wisata (The Ecotourism Society) pada tahun 1990, dalam Fandeli (2000) adalah perjalanan bertanggung jawab ke areal yang masih alami untuk menjaga lingkungan dan menopang kesejah¬teraan masyarakat lokal. Boo (1993) dalam Ruf (2000) tidaksecara langsung mendefinisikan ekowisata, tetapi ia menyebutkan ada beberapa keuntungan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekowisata. Keuntungan ini termasuk perluasan kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal (diversification of local community), kesem patan i nvestasi internasional, dana abadi untuk per¬lindungan areal, menciptakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar lokasi, promosi environmental education dan kesadaran akan konservasi lingkungan. Sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan, antara lain penurunan kualitas lingkungan, terjadinya kesenjangan ekonomi serta perubahan sosial budaya yang negatif.

Merujuk pada The International Ecotourism Society, dalam Wood (2002), sebuah perjalanan dapat dikategorikan sebagai ekowisata bila mempunyai komponen-komponen sebagai berikut: (1) Memberi sumbangan pada konser¬vasi biodiversitas; (2) Menopang kesejahteraan masyarakat lokal; (3) Menginterpre-tasikan (mengamalkan) pengalaman-pengalaman (yang diper¬oleh dalam ekowisata pada kehidupan kesehariannya); (4) Melibatkan tanggungjawab wisatawan dan industri pariwisata (pada lingkungan dan budaya lokal yang ada); (5) Dilakukan oleh sekelompok kecil wisatawan oleh pebisnis yang juga berskala kecil; (6) Mewajibkan konsumsi yang rendah dari sumber daya yang tidak dapat diper¬baharui (dalam perjalanan ekowisata); (7) Penekanan pada partisipasi lokal, baik kepemilikan maupun kesempatan berusaha, terutama masyarakat pe¬desaan (masyarakat lokal) di sekitar areal lokasi ekowisata.
Dari uraian-uraian di atas, maka kedudukan ekowisata dalam pasar industri pariwisata dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Kedudukan Ekowisata dalam Industri (Pasar) Pariwisata


Ekowisata sebagai Bagian dari Wisata Berkelanjutan (Sustainable Toursim)
Pembangunan berkelanjutan (sus¬tainable development) menjadi tema yang kuat dan kontroversial. Kuatkarena hampir semua negara di dunia menyetujui tema ini, kontroversial karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi negara-negaradunia maju. Lawrence (1994) menuliskan pem¬bangunan berkelanjutan hanya dapat dicapaijika dampak sosial dan dampak lingkungan seimbang dengan tujuan ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak adanya dampak (zero impact) sebagai akibat dari wisatawan berupa level pencapaian minimum dari dampak negatif perlu direncanakan.

Pendekatan manajemen pariwisata berkelanjutan, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, haruslah didasarkan pula pada prinsip- prinsip global dari pembangunan berkelanjutan. Semua kegiatan pengaturan suatu daerah tujuan seharusnya mempertimbangkan (merupakan) bagian dari nilai pembangunan berkelanjutan. Na¬tional Geograpic Online dalam The Glo¬bal Development Research Center (2002) mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang memberikan penerang¬an. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan (negara/daerah yang dikunjungi) tetapi juga belajar bagai¬mana menyokong kelangsungan karakter (negara/ daerah yang dikunjungi) selama dalam perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi dapat belajar (mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasadapatmenarikdandihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan karakter tempat tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika dan ekologinya; (3) Pariwisata yang menguntungkan masyarakatsetempat. Pengusaha pariwisata melakukan kegiatan yang terbaik untuk mempe¬kerjakan dan melatih masyarakat lokal, membeli persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat lokal; (4) Pariwisata yang melindungi sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan menyadari dan berusaha untuk meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air, bahan kimia dan penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan tradisi. Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit kata- kata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat lokal belajar bagaimana memperlakukan/ menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka punya; (6) Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder mengantisipasitekanan pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batas-batas dan teknik-teknik manaje¬men untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to death) dari lokasi wisata. Stakeholder bekerjasama untuk menjaga habitat alami dari tempat¬tempat warisan budaya, pemandangan yang menarik dan budaya lokal; (7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas (jumlah). Masyarakat menilai kesuksesan sektor pariwisata initidakdari jumlah kunjungan belaka tetapi dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman yang diperoleh wisatawan; (8)Pariwisataini merupakanperjalanan yang mengesankan. Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk kemudian disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka tertarik untuk memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan menyediakan kegiatan di lokasi tujuan wisata.

Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting dari pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut mempunyai prakarsa untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan kontrol/pengawasan terhadap perkembangan pariwisata tersebut; (2) Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang berkualitaskepadadandari masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus dijaga) antara usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturantentang perilaku yang disusun untukwisatawan padasemuatingkatan (nasional, regional dan setempat) yang didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi pariwisata, taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak komulatifpariwisata, dan ambang batas perubahan yang dapatditerima merupa¬kan contoh peraturan yang harus disusun; (4) Terdapat program-program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta menjaga warisan budaya dan sumber daya alam yang ada.

Ekowisata dan Perekonomian
Lindberg (1996) menyatakan bahwa dampak dari pariwisata, atau aktivitas ekonomi apapun, dapat digolongkan ke dalam 3 katagori, yaitu langsung (di¬rect), tidak langsung (indirect) dan ikutan/ lanjutan (induced). Secara grafis, hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Dampak Pariwisata Terhadap Perekonomian


Pengeluaran pengunjung untuk makan-minum di sebuah restoran adalah contoh dari dampak langsung pariwisata. Restoran ini dalam menyiapkan hidangan dan minuman yang akan disantap oleh pengunjung membeli bahan dan jasa (input) dari sektor- sektor usaha lain di sekitar restoran, ini merupakan dampak tidak langsung dari pariwisata. Sebagai karyawan yang bekerja sebagai juru masakdi restoran, seseorang mem per¬oleh upah. Sebagian dari upah tersebut dibelanjakan untuk membeli kebutuhan sehari- hari(barang dan jasa)dari sekitar daerah tempat tinggalnya, ini yang disebut sebagai dampak lanjutan dari pariwisata. Jika restoran dan atau juru masak tadi selain membeli bahan dan jasa dari sekitar daerah tersebut juga membeli yang berasal dari luar daerah atau buatan luar negeri, maka terjadilah apa yang dinamakan kebocoran (leakege).

Berbeda dengan pariwisata massal di atas, pada ekowisata kemungkinan untukmembeli barang dan jasadari luar daerah atau membeli barang dan jasa yang berasal dariluar negeri akan sangat kecil. Sehingga Gambar 5. dapat dimo¬difikasi untuk ekowisata sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6.

Pengukuran dampak pariwisata pada ekonomi lokal dapat pula didekati dengan pendekatanmultiplier effect(efek pengganda). Donald E. Lunberg dalam bukunya yang berjudul “The Tourism Business” dalam (Yoeti, 1997) mem¬berikan model penghitungan efek pengganda dari pariwisata, yaitu:




Dimana:

TEM : Tourist Expenditure Multiplier (efek pengganda).

TPI : Tourist Propencity to Import, yaitu faktor yang menyebabkan pengeluaran wisatawan menjadi tidak berarti (bagi per¬ekonomian setempat), sebagai akibat pembelian barang dan jasa impor untuk kepentingan investasi.

MPS: Marginal Propencity to Save, yaitu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk tidak mem¬belanjakan sebagian dari pen¬dapatannya untuk menabung atau untuk berjaga-jaga.

MPI : Marginal Propencity to Import, yaitu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk membelanja¬kan sebagian dari pendapatan¬nya untuk membeli barang dan jasa impor.

Gambar 6. Dampak Ekowisata Terhadap Perekonomian


Penelitian yang dilakukan oleh Checchie Company pada tahun 1969 di kepulauan Bahama dalam Yoeti (1997) menemukan koefisien efek pengganda untuk kawasan itu sebesar 0,8944. Perhitungan ini berdasarkan bahwa setiap dollar yang dibelanjakan wisata¬wan di sana, 34 cents dibelanjakan untuk keperluan barang dan jasayang diimpor (tidak memberikan pengaruh terhadap perekonomian setempat). Kemudian 46 cents dibelanjakan penduduk Bahama sendiri untuk keperluan impor barang dan jasa. Sedangkan sisanya sebesar 20 cent digunakan untuk tabungan dan investasi. Angka efek pengganda ebesar0,8944 ini menunjukkan bahwa setiap dolar yang dibelanjakan di Bahama pada periode tersebut, 89% daripadanya telah mendorong kegiatan ekonomi di negara tersebut.

Bagaimana dengan efek pengganda di ekowisata? Dengan melihat rumus di atas, maka nilai TEM dari ekowisata akan lebih besar dibandingkan dengan TEM pariwisata massal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Nilai TPI akan sangat rendah. Hampir seluruh pengeluaran pengunjung ekowisata seperti penginapan, transportasi, makan dan minum di daerah pedalaman berasal dari daerah setem pat (tidak adayang diimpordari luar, kalaupun ada merupakan bekal yang dibawa oleh pengunjung).

Nilai MPS akan besar. Penduduk yang menerimaupah baiklangsung maupun tidak langsung dari kegiatan ekowisata akan mem¬belanjakan sebagian besar dari upahtersebut. Dengan kata lain pada umumnya masyarakat lokal setelah menerima uang yang didapat dari usahanya yang ditabung hanya sedikit, sebagian besar dibelanja¬kan kembali (Fandeli, 2002).

Nilai MPI pada pengembangan ekowisata, yaitu dana yang diper¬gunakan untuk investasi baik infra struktur maupun investasi lain adalah sangat kecil. Fandeli (2002) menyatakan pula bahwa pem¬bangunan untukfasilitasatau utilitas relatifsangat kecil karena semuanya disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang alami.

Penutup
Tidak diragukan lagi, bahwa pari¬wisata di Bali telah menyumbangkan devisa yang cukup signifikan terhadap pemulihan ekonomi Indonesia pada masa krisis. Tetapi dengan adanya “Tragedi Bali”, yang kemungkinan akan menurunkan penerimaan devisa, janganlah kemudian hal ini dijadikan kambing hitam bagijalannya pemulihan ekonomi Indonesia.

Dalam sektor pariwisata- Peme¬rintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat endiri- hendaknya tetap bekerja keras untuk dapat mencari bentuk alternatif lain (diferensiasi) dariprodukpariwisata. Dengan dicanangkannya tahun 2002 sebagai tahun ekowisata oleh Per¬serikatan Bangsa-Bangsa, maka kesempatan pengembangan ekowisata di Indonesia menjadi terbuka lebar. Dengan didukung oleh keaneka ragaman (mega biodiversitas) yang terbesar kedua setelah negara Brazil, mempunyai banyak lingkungan yang masihlestari, bagi Indonesia ekowisata merupakan strategi dalam pembangun¬an sektor pariwisata di masa datang.

Daftar Pustaka
Arcana, P.F. dan Laksmi, I., 2001. Era Otonomi di Bali. Artikel pada harian KOMPAS 12 Maret, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta: 3.

Astawa, IGM. 2002. Siaran Pers. Posko Penanggulangan Kasus 12 Oktober 2002 di Bali, Denpasar: 1- 4.

Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia: Selected Tables. http://bps.go.id/ sector/tourism/table28.shtml
Departemen Pariwisata Seni dan Budaya. 2002. Statistik Kepariwisataan. http://elfan.net.Dinas Pariwisata Propinsi Bali. 2000. Statistik Pariwisata Propinsi Bali. Denpasar.

Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Dalam: Fandeli C. dan Mukhlison (Eds). Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 3- 12.

Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Bulaksumur, Yogyakarta.

Jamieson, W. and Noble, A. 2000. A Manual for Community Tourism Destination Management. Canadian Universities Consortium Urban Environmental Management Project Training and Technology Transfer Program, Canada

Lindberg, K. 1996. The Economic Impacts of Ecotourism. http://ecotour.csu.edu.au/ ecotour/mar1.htm

Lawrence K. 1994. Sustainable Tourism Development. Di dalam Munasinghe, M dan McNeely, J. (ed.). Protected Area Economics and Policy: Linking Conservation and Sustainable Development. World Bank and World Conservation Union, Wahington DC., USA.: 263- 272.

Nasikun. 2000. Globalisasi Dan Paradigma Baru Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas. Di dalam Fandeli C. dan Mukhlison (ed.). Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 13-29.

Nugroho, H. 1997. Industrialisasi Sektor Pariwisata: Pintu Masuk Pembangunan Atau Pelembagaan Keterbelakangan? KELOLA, Gadjah Mada University Business Review, No. 16/VI . Yogyakarta: 28- 38.

Parikesit, D. dan Trisnadi, W. 1997. Kebijakan Kepariwisataan Indonesia DalamPembangunan Jangka Panjang. KELOLA, Gadjah Mada University Business Review, No. 16/VI . Yogyakarta: 1- 13

Redana, B. 2002. Dari Babi Expres ke Sari Club. Artikel pada harian KOMPAS Minggu 20 Oktober, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta: 13.

Ruf, R. M. 2000. Is Ecotourism in Latin America a Sustainable Option?. The HVS International Journal, New York: 1-15.

Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Taufiqurohman, M., Silalahi, L., Cahyani, D.R., dan Febrina, S. 2002. Bom Bali, Derita Negeri. Majalah Mingguan TEMPO, Edisi 21- 27 Oktober. PT Tempo Inti Media Tbk., Jakarta: 44.

The Global Development Research Center. 2002. Sustainable Tourism Info-Sheets. http://gdrc.org/uem/ecotour/whayis-sustour.html

The International Ecotourism Society. 2000. Ecotourism Statistical Fact Sheet . North Bennington, USA.

Wahab, S. 1996. Manajemen Kepariwisataan. Alih bahasa Drs. Gromang F. PT Pradya Paramita, Jakarta.

Wiyasha, I.B.M. 1997. Hotel Ramah Lingkungan, Alternatif Hotel Masa Depan. KELOLA, Gadjah Mada University Business Review, No. 16/VI. Yogyakarta: 29- 49.

Wood, M. E. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainibility. United Nation Publication. New York.

World Tourism Organization. 2002. International Tourist Arrivals by (sub) Region. http://www.world-tourism.org

Yoeti, H. O. A. 1997. Perencanaan Dan Pengembangan Pariwisata. PT Pradya Paramita, Jakarta.
Yoeti, H. O. A. 2000. Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Di dalam Yoeti, H.O.A. (Eds). Ekowisata, Pariwisata Berwawasan Lingkungan. PT Pertja, Jakarta: 34- 57.

Sumber : http://www.lmfeui.com