Dimensi Moral Pariwisata

Oleh: K Bertens

Tahun 2008 dicanangkan oleh pemerintah sebagai Visit Indonesia Year. Publikasi dan upaya promosi untuk itu terutama akan terasa di luar negeri melalui media massa di negara-negara yang potensial untuk menggerakkan peminat wisata. Di Indonesia mudah-mudahan kita akan melihat hasilnya dengan lebih banyak wisatawan mengunjungi Tanah Air kita ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja sangat diharapkan tambahan wisatawan itu akan diteruskan dan bahkan ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang.

Seperti halnya di beberapa negara lain, memberikan perhatian khusus kepada kepariwisataan selama satu tahun tidak merupakan hal baru. Pada 1991 sudah pernah diadakan "Tahun Kunjungan Indonesia". Waktu itu dipakai semboyan yang cocok sekali untuk negara kepulauan, Go Archipelago. Semboyan ini bagus juga.

Tidak perlu disembunyikan bahwa pariwisata atau turisme selalu mempunyai tujuan ekonomis. Kita sudah biasa dengan sebutan "industri pariwisata". Dalam pariwisata pun kita menerapkan prinsip bisnis yang klasik, kita menawarkan produk yang menarik bagi para peminat dan kita sendiri memperoleh keuntungan dari transaksi itu. Dengan demikian, kedua belah pihak puas, karena mendapat apa yang dicari.

Di banyak negara modern, industri pariwisata menghasilkan sebagian penting dari pendapatan nasional. Pariwisata sangat cocok untuk memperluas kesempatan kerja. Guna melayani para turis dari mancanegara kita membutuhkan hotel, restoran, tempat hiburan, biro perjalanan, sarana transportasi, dan banyak fasilitas lain lagi. Semua fasilitas dan kegiatan itu memerlukan banyak tenaga kerja. Dan pada umumnya para tenaga kerja itu tidak perlu berbekal pendidikan tinggi, meskipun harus juga dilatih dulu sesuai dengan tugasnya, misalnya, dengan cukup mengerti bahasa asing.

Tujuan ekonomis lain adalah dengan mengembangkan industri pariwisata kita dapat meraih banyak devisa dari luar negeri. Hal itu sangat penting untuk keseimbangan neraca keuangan nasional kita. Kita sendiri mengeluarkan banyak devisa dengan berpariwisata ke luar negeri. Sejauh kemakmuran bertambah tidak bisa dihindarkan lebih banyak wisatawan akan bertamasya ke luar negeri. Dengan sendirinya mereka membawa banyak devisa keluar dari Indonesia.

Tidak jelas apakah sekarang di Indonesia lebih banyak devisa dibawa ke luar ketimbang devisa luar negeri masuk melalui turis asing. Bagaimanapun kita selalu harus berusaha agar devisa yang masuk bertambah besar, sehingga perekonomian kita bisa tumbuh. Negara-negara lain juga berusaha demikian. Usaha ini merupakan salah satu akibat dari suasana globalisasi ekonomi. Kita harus bersaing mati-matian agar pangsa pasar kita dari sektor pariwisata lebih besar. Dalam hal ini kita masih kalah dari negara-negara tetangga, seperti, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Oleh karena itu, Tahun Kunjungan Indonesia 2008 memang pada tempatnya.

Perdamaian
Tujuan-tujuan ekonomis ini penting sekali, namun tidak boleh dilupakan bahwa pariwisata mempunyai aspek-aspek lain lagi yang tidak kalah pentingnya. Pariwisata modern mempunyai suatu dimensi moral, karena memungkinkan komunikasi antara bangsa-bangsa. Tentu saja komunikasi internasional sudah lama dilakukan pada taraf politik dan diplomatik, yaitu komunikasi antara pemerintah, pejabat, dan kedutaan besar masing-masing negara. Tetapi, turisme modern untuk pertama kali dalam sejarah memungkinkan komunikasi langsung antara bangsa-bangsa.

Artinya, komunikasi langsung penduduk negara satu dengan penduduk negara lain pada skala besar. Komunikasi langsung ini dapat menghasilkan banyak buah. Saling pengertian antara bangsa-bangsa dapat ditingkatkan. Banyak prasangka yang sebelumnya pernah terbentuk dapat dihilangkan. Mata dapat dibuka untuk menemukan kekayaan kebudayaan lain. Dengan demikian pariwisata dapat memberikan sumbangan besar dalam menciptakan serta memupuk suasana kerukunan dan perdamaian antarbangsa.

Dulu hal yang sama sudah dikatakan tentang perdagangan internasional. Ada ungkapan terkenal dari sejarawan besar asal Skotlandia, William Robertson (abad ke-18): Commerce softens and polishes the manners of men (perdagangan memperlunak dan memperhalus cara bergaul manusia). Dan sampai sekarang masih benar bahwa bisnis internasional dapat memperbaiki dan mempererat hubungan antarnegara. Tetapi, tentang pariwisata hal itu sekarang berlaku dengan alasan lebih kuat lagi.

Tentu saja boleh ditanyakan juga apakah pendapat ini tidak terlalu optimistis, karena kontak wisatawan dengan negara yang dikunjungi umumnya singkat dan amat dangkal. Untuk sebagian hal itu memang benar, tetapi kita harus melihat turisme modern menurut proporsi yang sebenarnya. Beberapa macam turis asing. Pertama, orang kaya yang memesan hotelnya sendiri dan dapat tinggal cukup lama di negara asing yang dikunjungi.

Namun, agaknya mereka tidak mempunyai banyak kontak dengan penduduk setempat. Lalu ada backpackers, orang muda yang dengan ranselnya keliling beberapa negara untuk waktu cukup lama, kebanyakan setelah studinya di sekolah selesai dan sebelum memasuki dunia kerja. Mereka membentuk kelompok turis yang menarik, karena kontak mereka dengan penduduk setempat lebih intensif dan mereka bisa membandingkan dengan kunjungan ke negara-negara lain.

Namun, mayoritas turis modern ikut package tour, perjalanan yang diatur dengan rapi selama 10-14 hari dan mengunjungi banyak tempat, meskipun sekilas saja. Kontak mereka dengan bangsa dan kebudayaan setempat singkat dan dangkal. Tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa turisme ini dijalankan secara massal. Oleh karena itu, pengaruhnya tidak dapat diremehkan.

Apalagi, sekembalinya di negeri asalnya mereka berbagi pengalaman dengan puluhan teman dan kenalan, sambil menunjukkan foto atau video yang diambil saat libur di negeri jauh itu. Kerap kali mereka dapat membandingkannya dengan kunjungan ke negara lain, karena setiap tahun mereka mengikuti tur serupa itu.

Dua Alasan
Menurut pengalaman pribadi dengan wisatawan asing yang pernah saya temui, mereka memuji kunjungan ke Indonesia karena dua alasan. Mereka mengagumi keindahan alam yang dinilai luar biasa dan mereka merasa senang dengan keramahan penduduknya. Dalam hal itu sering ditegaskan lagi bahwa Indonesia melebihi negara-negara lain yang pernah dikunjungi. Oleh karena itu, saya menjadi yakin bahwa potensi Indonesia untuk mengembangkan pariwisata masih besar. Tinggal kita garap dan kita manfaatkan dengan kreativitas besar.

Akhirnya, perlu kita akui bahwa suatu refleksi tentang fenomena pariwisata tidak lengkap jika kita tidak menyoroti juga efek-efek negatif yang melekat padanya. Hampir semua hal yang baik mempunyai segi buruk. Dengan mengajak orang asing berkunjung ke negeri kita, mau tidak mau kita mengundang juga orang yang berperilaku jahat.

Di Indonesia, HIV/AIDS untuk pertama kali muncul di Bali, karena dibawa oleh turis dari luar negeri. Di Bali dan tempat wisata lain sudah beberapa kali ditemukan kasus pedofili yang melibatkan wisatawan asing. Lebih banyak lagi terjadi kasus pemakaian obat terlarang yang beredar ramai dalam kalangan turis tertentu. Prostitusi juga tidak pernah absen di tempat wisata yang menarik banyak turis.

Efek-efek negatif itu harus kita batasi sampai seminimal mungkin, walaupun kita menyadari bahwa semuanya itu tidak dapat dihindarkan dengan sempurna. Namun, efek-efek positif kepariwisataan selalu jauh lebih besar. Semoga Tahun Kunjungan Indonesia 2008 ini berhasil menarik banyak wisatawan yang baik, sehingga perekonomian kita mendapat impuls baru yang sangat diperlukan dan sekaligus kita dapat memajukan hubungan baik antarbangsa.
__________
K. Bertens adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Jakarta.

Sumber : : http://www.suarapembaruan.com