Tokoh ini terkenal sebagai ulama serta sastrawan Melayu terkemuka pada abad 19. Raja Ali Haji adalah keturunan bangsawan Bugis yang mendiami Pulau Penyengat, tidak jauh dari Tanjung Pinang (Pulau Bintan).
Ayahnya bernama Raja Ahmad. Sementara kakeknya bernama Raja Haji, seorang pahlawan Bugis terkenal. Ia tercatat juga pernah menjabat sebagai yamtuan muda (yang dipertuan muda-perdana menteri) ke-4 dalam Kesultanan Johor-Riau.
Orang-orang Bugis tiba di kawasan tersebut sekitar abad 18. Pada saat yang bersamaan tengah terjadi perebutan kekuasaan antara para pewaris Kesultanan Johor setelah terbunuhnya Sultan Mahmud Syah II. Mereka bangga terhadap asal usul, hubungan kekerabatan dan tetap merasa sebagai bagian integral masyarakat Melayu-Bugis.
Raja Haji (kakek Raja Ali Haji) adalah yamtuan muda yang berhasil menjadikan kesultanan Johor-Riau sebagai pusat dagang dan budaya paling penting di kawasan itu. Beliau wafat ketika bertempur melawan Belanda tahun 1784. Raja Haji meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad dan Raja Ja`far. Raja Ahmad (ayah Raja Ali Haji) adalah pangeran pertama dari Riau yang naik haji.
Ia sangat menyukai bidang sejarah. Salah satu karyanya "Syair Perang Johor" menguraikan tentang perang antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh abad 17. Selain itu, Raja Ahmad juga orang pertama yang menyusun sebuah epos tentang sejarah orang Bugis di daerah Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Bakat menulis ini lantas menurun kepada putranya, Raja Ali Haji. Sejak masih remaja, Raja Ali sering mengikuti ayahnya berekspedisi ke sejumlah wilayah, termasuk ke Batavia, perjalanan dagang serta naik haji ke Tanah Suci. Pengalaman bepergian ini secara langsung memberikan wawasan pengetahuan luas pada Raja Ali.
Menginjak usia 20 tahun, dia sudah diberikan tugas-tugas kenegaraan yang tergolong penting. Hingga usianya 32 tahun, Raja Ali bersama sepupunya, Raja Ali bin Raja Ja`far, dipercaya memerintah di daerah Lingga, mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih berusia muda.
Sudah sedari belia Raja Ali Haji dikenal sebagai ulama dan sering dimintakan fatwanya oleh kerabat kerajaan. Pengetahuannya di bidang agama sangat menonjol dan dimanfaatkan guna membimbing para guru agama di Riau ketika itu. Pada waktu Raja Ali bin Raja Ja`far diangkat menjadi yamtuan muda tahun 1845, Raja Ali Haji juga dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara.
Kontribusi dan sumbangsihnya di bidang intelektual adalah berupa sejumlah karyanya mengenai masalah agama, sastra, politik, sejarah, filsafat serta hukum. Beliau memiliki prestise yang tinggi di antara rekan-rekannya kendati waktu itu masih banyak kaum intelektual lainnya.
Di bidang sastra, satu karyanya berjudul Hikayat Abdul Muluk merupakan karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1846. Dari sejak itu, banyaklah karya Raja Ali Haji terpublikasi. Dalam beberapa buah karyanya, beliau selalu menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan mencegah terjadinya konflik adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang telah digariskan kitab suci Alquran.
Selain itu tiap-tiap individu harus menjaga nama baik, ilmu dan akalnya. Pada setiap pesan etik yang disampaikan, Raja Ali kerap menyisipkan lukisan peristiwa nyata yang terjadi di masanya.
Raja Ali pun tak lupa menyoroti akhlak kepemimpinan. Menurutnya, seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Tuhan tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi.
Jabatannya itu harus diserahkan kepada orang lain yang lebih tepat. Adapun pemimpin yang baik, urai Raja Ali, adalah yang pantang terhadap hal-hal keduaniawian dan kemungkaran. Sebaliknya raja yang buruk adalah yang punya sifat congkak, boros, dan tidak memperhatikan sarana pendidikan.
Sekian banyak hasil karya Raja Ali Haji, tampak tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, yakni mengakar pada tradisi kesusastraan Islam serta Melayu, juga kesungguhannya dalam menyajikan sejarah masa lalu disesuaikan dengan tuntutan kondisi di zamannya. Di samping itu, karyanya berjudul Gurindam Dua Belas (1847) menjadi karya tak ternilai bahkan paling menonjol di antara karya yang lain.
Lewat karya-karyanya, membuktikan bahwa Raja Ali tak hanya sekadar sejarawan dalam arti sempit. Beliau juga adalah guru dan teolog yang punya komitmen memelihara nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakatnya.
Sehingga untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku bersifat Islami. Raja Ali Haji dimakamkan di Pulau Penyengat yang memiliki nilai sejarah tinggi. Di pulau ini terdapat banyak peninggalan Kerajaan Melayu. Ketika pusat kerajan Riau dipindahkan ke Pulau Penyengat tahun 1900, dibangunlah sebuah istana yang disebut Kedaton.
Di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamida terdapat makam Radja Ali Haji. Makam Raja Ali Haji terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karyanya Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makam. Setiap pengunjung dapat membaca atau mencatat karya besarnya yang luar biasa indah tersebut.
Menikmati Keindahan Gurindam Dua Belas
Gurindam Dua Belas merupakan karya besar Raja Ali Haji (1809 - 1872). Beliau dikenal sebagai seorang budayawan, dan penulis dengan karya kaya beraliran Riau. Lahir sekitar tahun 1809 di Pulau Penyengat sebuah pusat keilmuan Melayu Islam yang penting di abad ke 19. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di pulau Penyengat pada tahun 1872.
Gurindam termasuk bentuk puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu Indonesia. Gurindam yang terkenal ialah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Ini bukan berarti gurindam yang berjumlah dua belas buah. Ia adalah gurindam yang berisi dua belas pasal yang menyangkut persoalan ibadah, perseorangan, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orang tua, tugas orang tua terhadap anak, sifat-sifat bermasyarakat dan sebagainya.
Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk, yang dibagi menjadi dua baris yang bersajak. Tiap-tiap baris itu sebuah kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat, biasanya antara anak kalimat dengan induk kalimat. Jumlah suku kata tiap-tiap baris tidak ditentukan, demikian juga iramanya tidak tetap. Gurindam adalah untuk mengatakan sesuatu yang benar melalui pepatah atau peribahasa.
Raja Ali Haji menerangkan guridam sebagai berikut: "ada pun arti gurindam itu, yaitu perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab." Beberapa petikan Gurindam Dua Belas :
Barang siapa mengenal Yang Tersebut, tahulah ia makna takut
Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang
Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa
Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji
Itulah gurindam dari pasal kedua. Masih ada sebelas pasal yang semuanya penuh berisi pesan bermanfaat bagi semua.
Sumber: riaulingga.blogspot.com
Ayahnya bernama Raja Ahmad. Sementara kakeknya bernama Raja Haji, seorang pahlawan Bugis terkenal. Ia tercatat juga pernah menjabat sebagai yamtuan muda (yang dipertuan muda-perdana menteri) ke-4 dalam Kesultanan Johor-Riau.
Orang-orang Bugis tiba di kawasan tersebut sekitar abad 18. Pada saat yang bersamaan tengah terjadi perebutan kekuasaan antara para pewaris Kesultanan Johor setelah terbunuhnya Sultan Mahmud Syah II. Mereka bangga terhadap asal usul, hubungan kekerabatan dan tetap merasa sebagai bagian integral masyarakat Melayu-Bugis.
Raja Haji (kakek Raja Ali Haji) adalah yamtuan muda yang berhasil menjadikan kesultanan Johor-Riau sebagai pusat dagang dan budaya paling penting di kawasan itu. Beliau wafat ketika bertempur melawan Belanda tahun 1784. Raja Haji meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad dan Raja Ja`far. Raja Ahmad (ayah Raja Ali Haji) adalah pangeran pertama dari Riau yang naik haji.
Ia sangat menyukai bidang sejarah. Salah satu karyanya "Syair Perang Johor" menguraikan tentang perang antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh abad 17. Selain itu, Raja Ahmad juga orang pertama yang menyusun sebuah epos tentang sejarah orang Bugis di daerah Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Bakat menulis ini lantas menurun kepada putranya, Raja Ali Haji. Sejak masih remaja, Raja Ali sering mengikuti ayahnya berekspedisi ke sejumlah wilayah, termasuk ke Batavia, perjalanan dagang serta naik haji ke Tanah Suci. Pengalaman bepergian ini secara langsung memberikan wawasan pengetahuan luas pada Raja Ali.
Menginjak usia 20 tahun, dia sudah diberikan tugas-tugas kenegaraan yang tergolong penting. Hingga usianya 32 tahun, Raja Ali bersama sepupunya, Raja Ali bin Raja Ja`far, dipercaya memerintah di daerah Lingga, mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih berusia muda.
Sudah sedari belia Raja Ali Haji dikenal sebagai ulama dan sering dimintakan fatwanya oleh kerabat kerajaan. Pengetahuannya di bidang agama sangat menonjol dan dimanfaatkan guna membimbing para guru agama di Riau ketika itu. Pada waktu Raja Ali bin Raja Ja`far diangkat menjadi yamtuan muda tahun 1845, Raja Ali Haji juga dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara.
Kontribusi dan sumbangsihnya di bidang intelektual adalah berupa sejumlah karyanya mengenai masalah agama, sastra, politik, sejarah, filsafat serta hukum. Beliau memiliki prestise yang tinggi di antara rekan-rekannya kendati waktu itu masih banyak kaum intelektual lainnya.
Di bidang sastra, satu karyanya berjudul Hikayat Abdul Muluk merupakan karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1846. Dari sejak itu, banyaklah karya Raja Ali Haji terpublikasi. Dalam beberapa buah karyanya, beliau selalu menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan mencegah terjadinya konflik adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang telah digariskan kitab suci Alquran.
Selain itu tiap-tiap individu harus menjaga nama baik, ilmu dan akalnya. Pada setiap pesan etik yang disampaikan, Raja Ali kerap menyisipkan lukisan peristiwa nyata yang terjadi di masanya.
Raja Ali pun tak lupa menyoroti akhlak kepemimpinan. Menurutnya, seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Tuhan tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi.
Jabatannya itu harus diserahkan kepada orang lain yang lebih tepat. Adapun pemimpin yang baik, urai Raja Ali, adalah yang pantang terhadap hal-hal keduaniawian dan kemungkaran. Sebaliknya raja yang buruk adalah yang punya sifat congkak, boros, dan tidak memperhatikan sarana pendidikan.
Sekian banyak hasil karya Raja Ali Haji, tampak tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, yakni mengakar pada tradisi kesusastraan Islam serta Melayu, juga kesungguhannya dalam menyajikan sejarah masa lalu disesuaikan dengan tuntutan kondisi di zamannya. Di samping itu, karyanya berjudul Gurindam Dua Belas (1847) menjadi karya tak ternilai bahkan paling menonjol di antara karya yang lain.
Lewat karya-karyanya, membuktikan bahwa Raja Ali tak hanya sekadar sejarawan dalam arti sempit. Beliau juga adalah guru dan teolog yang punya komitmen memelihara nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakatnya.
Sehingga untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku bersifat Islami. Raja Ali Haji dimakamkan di Pulau Penyengat yang memiliki nilai sejarah tinggi. Di pulau ini terdapat banyak peninggalan Kerajaan Melayu. Ketika pusat kerajan Riau dipindahkan ke Pulau Penyengat tahun 1900, dibangunlah sebuah istana yang disebut Kedaton.
Di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamida terdapat makam Radja Ali Haji. Makam Raja Ali Haji terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karyanya Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makam. Setiap pengunjung dapat membaca atau mencatat karya besarnya yang luar biasa indah tersebut.
Menikmati Keindahan Gurindam Dua Belas
Gurindam Dua Belas merupakan karya besar Raja Ali Haji (1809 - 1872). Beliau dikenal sebagai seorang budayawan, dan penulis dengan karya kaya beraliran Riau. Lahir sekitar tahun 1809 di Pulau Penyengat sebuah pusat keilmuan Melayu Islam yang penting di abad ke 19. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di pulau Penyengat pada tahun 1872.
Gurindam termasuk bentuk puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu Indonesia. Gurindam yang terkenal ialah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Ini bukan berarti gurindam yang berjumlah dua belas buah. Ia adalah gurindam yang berisi dua belas pasal yang menyangkut persoalan ibadah, perseorangan, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orang tua, tugas orang tua terhadap anak, sifat-sifat bermasyarakat dan sebagainya.
Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk, yang dibagi menjadi dua baris yang bersajak. Tiap-tiap baris itu sebuah kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat, biasanya antara anak kalimat dengan induk kalimat. Jumlah suku kata tiap-tiap baris tidak ditentukan, demikian juga iramanya tidak tetap. Gurindam adalah untuk mengatakan sesuatu yang benar melalui pepatah atau peribahasa.
Raja Ali Haji menerangkan guridam sebagai berikut: "ada pun arti gurindam itu, yaitu perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti jawab." Beberapa petikan Gurindam Dua Belas :
Barang siapa mengenal Yang Tersebut, tahulah ia makna takut
Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang
Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa
Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji
Itulah gurindam dari pasal kedua. Masih ada sebelas pasal yang semuanya penuh berisi pesan bermanfaat bagi semua.
Sumber: riaulingga.blogspot.com