Selama saya bekerja pada Dardanella ini, makin sehari makin besarlah keyakinan saya, bahwa tonil Melayu mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang.
Bagi saya sendiri arti penting tonil ialah sipatnya sebagai pendidik budi pekerti. Dan peran tonil untuk character forming itu tiada boleh kita abaikan.
Tuan sendiri tentu tahu. bahwa apabila kita telah amat lama membaca atau mendengar sesuatu cerita, seringlah kita lupa segala seluk beluk cerita itu, tetapi yang tinggal melekat dl kalbu kita hanyalah ingatan tentang sari cerita itu, baik buruknya sesuatu hal, sesuatu perbuatan yang terlukis dalam cerita itu.
Dengan tonilpun demikian halnya. Dalam tiap-tiap lakon senantiasa saya gambarkan sesuatu perjuangan antara baik dan buruk, antara nafsu dan keinsafan akan yang benar dan baik.
Ambillah cerita “Dr. Samsi”, lihat cerita “Rentjong Atjeh”. Dalam “Dr. Samsi” digambarkan bagaimana perbuatan yang dilangsungkan dengan tiada dipikir masak-masak waktu muda, dapat membawa kesudahan yang amat panjang dan banyak mengandung kesedihan. Dalam “Rentjong Atjeh” digambarkan sipat ksateria, sipat knighthood.
Menurut pikiran saya, ini seni tonil gaya baru, seni yang masih amat muda. la bukan wayang. bukan ketoprak dll. Tonil gaya baru ini hendak melingkungi segala penduduk kepulauan ini.
Dengan kemidi bangsawan amat banyak perbedaannya, sehingga payah kita hendak mengatakan, bahwa tonil ini sambungan kemidi bangsawan. Bagi saya sendiri, kemidi bangsawan itu telah mati di tengah jalan dan tonil gaya baru ini timbul sebagai barang baru memakai ramuan, element baru pula. Tonil gaya baru ini terjadi dari pada budi, jiwa Timur dengan teknik Barat.
Dalam kemidi Stamboel tiap pemain amat bebas memilih perkataan yang dipakainya. Pada tonil yang baru dituliskankah sekalian tekst dahulu seperti pada tonil Barat.
Mula-mula saya karang sebuah cerita. Saya tuliskan sekalian cara percakapan. Tentulah waktu saya mengarang saya ingat akan kecakapan yang akan memainkannya kelak. Tiap-tiap peran saya buat sedapat-dapatnya sesuai benar dengan orangnya. Setelah selesai saya karang. maka saya panggillah sekalian yang akan memainkannya. Saya ceritakan cerita itu panjang lebar.
Setelah selesai, maka saya berikanlah kepada masing-masing, tekst yang berhubung dengan perannya. Kepada masing-masing saya ceritakan pula lebih lanjut bagaimana sipat-sipat, pekerti, gaya dan sebagainya orang yang akan dimainkannya itu. Pendeknya mereka harus dapat merasakan benar-benar peran yang tertunjuk kepada mereka itu. Apabila mereka telah paham akan sekaliannya itu, maka diadakan repetition beberapa kali. Disitulah saya dapat melihat, apa yang baik dan apa yang kurang baik. Seperlunya diubah apa yang patut diubah.
Barulah dipertunjukkan dimuka orang banyak.
Waktu pertunjukan mula mula masih sering juga mereka itu dibantu, sebab boleh jadi mereka lupa akan apa yang harus mereka katakan.
Ya, boleh dikatakan segala pemain itu terikat kepada perkataan yang telah ditetapkan. Tetapi waktu repetition tentulah mereka boleh juga mengubah tekst, apabila menurut pikiran mereka kurang kena, kurang baik. Tentang itu kami bermupakat.
Sementara perkataan yang kecil-kecil yang tiada pentinglah, kadang-kadang tiada mengapa kalau mereka ubah sedikit, waktu permainan itu sedang ‘asyik.
Sebab tuan jangan lupa, sebahagian darl pada pemain kami berasal dari pada kemidi Stamboel. Tentulah bagi mereka yang biasa bebas itu amat payah hendak mengikat dirinya kepada perkataan yang sudah ada.
Tentang anak tonil Dardamella umumnya saya senantiasa amat sukacita atas kecakapan mereka. Astaman misalnya luar biasa aanlegnya, pada tiap-tiap permainan yang baru. Saya sendiri merasa heran akan permainannya. Pada hal kalau kita pikirkan, ia hanya seorang yang keluar sekolah kelas dua.
Di antara mereka ada yang terpelajar, tetapi ada juga yang tiada. Miss Dja pun bukan orang yang terpelajar, tetapi ia belum dirusakkan oleh kemidi Stamboel. Sejak dari semula ia bekerja pada kami.
Tentu pendidikan berpengaruh banyak dalam permainannya di tonil. Orang yang terpelajar tentulah akan lebih mudah mengerti akan sesuatu, seperti kata pepatah bahasa Belanda: Een gud verstaander heeft maar een half woord noodig.
Mereka akan lebih mudah memperhalus dan mempertinggi darajat permainan mereka.
Berhubung dengan inilah amat besar harapan saya bagi pemuda kita di masa yang akan datang. Pemuda kita yang pernah duduk di sekolah mempunyai tukomst yang balk di dalam dunia tonil. Hal itu dapat saya katakan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Pengalaman selama perjalanan mengedari seluruh kepulauan ini, saya amat senang melihat buah pekerjaan saya. Di mana-mana minat dan penghargaan orang amat besar. Terutama sekali minat dan penghargaan darl kaum terpelajar membesarkan hati.
Jangan tuan sangka, bahwa penghargaan di kota kecil itu kurang dari di kota besar. Sering adalah sebaliknya. Di kota besar, publiknya telah banyak percampurannya, tiada jarang kita mendengar ucapan yang kasar dari pihak penonton.
Saya hendak menunjukkan sebuah contoh kepada tuan.
Kota Idi ialah kota kecil, hanya terdiri dari sebuah jalan saja. Tetapi waktu pertunjukan, terang kelihatan kepada kita, bahwa penonton sesungguhnya hendak merasakan ni’mat cerita yang dipertunjukkan dihadapan mereka. Makin kebelakang, kekelas yang dinamakan “kelas kambing,” makin besar minat orang. Tiap-tiap perkataan selaku hendak didengar dengan teliti. Dan kalau ada yang berani berbicara atau mengatakan sesuatu yang tiada layak, maka ia mendapat amarah dari semua penonton…..
[dari wawancara Pandji Poestaka dengan Abisin Abas, 1934]
Dewi Dja seorang wanita luar biasa. Ia kuasai banyak bahasa. Kemampuannya berakting dan menari mempesona banyak orang. Sejak 1930an ia mengelilingi dunia dengan nama Devi Dja and her Bali-Java Dancers —with Native Gamelan Orchestra. Performansinya terdiri dari 14 adegan individual tari Jawa dan tari Bali.
Di Amerika ia membuka sekolah tari. Muridnya kini banyak yang memiliki studio ternama di Hollywood.
Dewi Dja adalah orang Indonesia pertama yang menembus Hollywood. Ia menari atau menjadi koreografer untuk film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Moon and Sixpence (1942), The Picture of Dorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952).
Di depan gedung PBB, ia ikut para mahasiswa berdemo menyokong kemerdekaan Indonesia. Bung Karno menjemputnya di bandara saat ia pulang.
Ia salah satu dari sedikit orang yang diminta sendiri oleh Ramadhan KH untuk dituliskan biografinya: “Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella”, diterbitkan Sinar Harapan pada 1982.
Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java adalah riwayat hidup yang disusun oleh Leona Mayer Merrin, terbit pada 1989.
Kisah cintanya juga tertulis di buku Lumhee Holot-Tee – The Life and Art of Acee Blue Eagle, memoar suaminya, seorang seniman Amerika berdarah asli Indian.
Putrinya, Ratna Assan —kelahiran 16 Desember 1954, sempat menjadi pemain pendukung Dustin Hoffman dan Steve McQueen dalam film Papillon (1973)
Meski tidak ada kaitannya, peristiwa budaya Ini membangunkan ingatan pada Opera Melayu dan Dardanella. Dari hasil pencarian, laporan pers mencatat baru pada 1934 Dardanella mementaskan lakon-lakonnya di Jakarta, di gedung Thalia —di era 1940an Thalia yang berlokasi di jalan Hayam Wuruk dikenal sebagai bioskop.
Pementasan Dardanella setiap malam —kecuali malam Jumat— membuat Thalia penuh sesak. Sebelumnya warga Betawi hanya bisa mendengar atau membaca tentang Dardanella dan tonil gaya barunya.
Kelompok opera Melayu yang didirikan di Surabaya pada 1926 ini sebelumya manggung mengelilingi kepulauan Indonesia. Dardanella selalu mendapat sambutan luarbiasa, di setiap persinggahan, pentas digelar selama berbulan-bulan. Performansi mereka selalu menarik, selain sebagai hiburan dengan pendekatan baru, juga karena kisah-kisah yang ditampilkan selalu mengandung moral cerita yang pantas dijadikan “tjermin perbandingan bagi jang telah berpengalaman dan tjontoh-teladan bagi jang maslh moeda belia, jang beloem banjak mengetjap garam penghidoepan.”
Primadona Dardanella saat itu adalah Miss Dja [gambar atas, repro dari Pandji Poestaka]. Kecantikan dan keahliannya menjalani berbagai jenis peran bisa disandingkan dengan bintang-bintang dari Barat. Mis Dja pun kemudian dijuluki Bintang Timoer.
Suasana gedung Thalia akan menjadi hening, sunyi senyap, saat menyaksikan adegan-adegan mengharukan yang diperankan Miss Dja. Tetes airmata yang mengalir di pipinya ikut membuat penonton mengucurkan airmata. Dan ketika layar turun menutup pentas, tepuk tangan riuh membahana menyadarkan penonton lain yang terkesima, bahwa mereka bukan berada “dalam boeajan ‘seriboe satoe malam’, tetapi hanja sekadar dikagoemkan oleh Miss Dja di atas panggoeng.”
Dalam lakon cerita “Fatimma”, Miss Dja menampilkan keahliannya menari Bali. Agaknya saat itu masyarakat Betawi juga baru pertama kali menyaksikan tari Bali, ini terungkap dalam komentar Pandji Poestaka: “biarpoen kami beloem pernah menjaksikan tari Bali sedjati, akan tetapi dalam mata kami Miss Dja telah mempertoendjoekkan tari jang gilang-gemilang hasilnja.”
Miss Dja juga menampilkan keluwesan gerak tubuh dan kelincahan jemarinya saat menyajikan tari Burma dalam kisah “Maharani.” Dalam “Tjang”, Miss Dja tampil sangat meyakinkan sebagai nenek tua yang bongkok dan buta. Ia kemudian hari dikenal di dunia internasional sebagai Dewi Dja atau Devi Dja, salah satu diva pertama Indonesia yang melanglang buana.
Di Betawi, Astaman adalah lawan main yang setimpal bagi Miss Dja. Ia bisa tampil sebagai pemuda gagah, atau pun sebagai kakek-kakek. “Romannja, gerak-gerik toeboehnja, betoel tjotjok dengan jang dikehendaki rolnja”
Lakon “Fatimma” dan “Maharani” merupakan pertunjukan paling disukai, beberapa kali dipertunjukkan ulang atas permintaan pengunjung. Kisah-kisah dan skenarionya merupakan buah karya Andjar Asmara. Anjar Asmara kemudian hijrah ke perfilman, menulis dan menyutradarai Kartinah (1940), Noesa Penida (1941), Anggrek Boelan (1948), Djaoeh Dimata (1948), dan Gadis Desa (1949), juga menjadi ketua juri Festival Film Indonesia pertama (1955). Andjar Asmara diakui sebagai inspirator oleh Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia, yang membantu Andjar dalam penyutradaraan Gadis Desa.
Tata cahaya dan tata panggung Dardanella ditangani oleh Pedro, direktur dan pendiri Dardanella. Pedro adalah seorang imigran asal Rusia, nama aslinya Pyotr Litmonov. Secara harfiah Pedro adalah Peter dalam bahasa Portugis atau Spanyol, sedangkan dalam bahasa Rusia ditulis Pyotr atau Piotr.
Mula-mula Pedro bekerja di kelompok teater ternama di Surabaya, Komedi Stamboel, yang didirikan oleh August Mahieu pada 1891. Saking populernya orang indo-prancis ini dijuluki Gus Mahieu. Di kelompok teater ini, yang direkrut sebagai artis awalnya hanya orang-orang Indo. Sebelum mulai, masing-masing memperkenalkan tokoh yang diperani kepada penonton. Adegan diselingi dengan musik, tari atau lawak, yang tak ada kaitannya dengan jalan cerita. Dialog dalam komedi bangsawan merupakan keahlian para aktor dalam berimprovisasi. Kedatangan pengunjung akan disambut musik orkes, yang kemudian disebut Orkes Stambul. Itulah karakteristik utama teater bangsawan.
Dari catatan sejarah sirkus, pada 1905 di Rusia seni drama mulai berkembang pesat dan mengambil alih sebagian peran sirkus sebagai hiburan paling populer. Beberapa gedung sirkus berubah fungsi menjadi gedung pertunjukan drama. Boleh jadi karena ingin memasukkan elemen-elemen yang menjadi karakteristik drama yang dikenalnya di Rusia, pada 1926 Pedro mendirikan Dardanella, The Malay Opera. Pemilihan nama Dardanella bisa jadi dipengaruh kisah 1001 malam juga. Dardanella adalah nama sebuah selat di Turki, dekat kota Troy yang masyhur dengan kisah Troyan Horse-nya.
Pedro banyak memasukkan unsur baru dan menghilangkan banyak tradisi komedi dalam Dardanella. Tari, musik, atau humor menjadi bagian dari cerita, bukan sekedar selingan antar adegan. Ada penulis cerita dan dialog, para aktor diarahkan untuk berkonsentrasi pada penerjemahan gerak dan mimik yang lebih dramatis. Agaknya akting di film-film yang sudah hadir sejak 1900an juga banyak memberi ide pada karakter performansi Dardanella.
Primadona, sri panggung, aktris cantik yang memegang peran utama dalam setiap lakon, merupakan senjata pamungkas Pedro dalam pemasarannya.
Jadilah Dardanella sebuah tonil gaya baru yang cepat meraih popularitas. Ia lebih membumi dari teater bangsawan, lebih hidup dan berwarna dari film bisu hitamputih. Dardanella merajai dunia hiburan Indonesia, menjadi tolok ukur setiap kelompok teater yang dibentuk setelahnya, seperti Tjahaja Timoer, Orion, Opera Batak dan sebagainya.
Dardanella bubar pada 1940an seiring dengan tumbuhnya perfilman Indonesia. Aktornya yang paling terkenal dan terus berakting hingga akhir hayatnya pada 1985 adalah Tan Tjeng Bok. Mengenai Pedro, Tan Tjeng Bok mengatakan, “karena dialah saya dulu pandai main anggar. Sukses dalam karir saya, sampai dijuluki “Douglas Fairbanks van Java.”
Douglas Fairbanks adalah aktor Hollywood yang sering tampil sebagai pahlawan berpedang, seperti The Mark of Zorro, Ben Hur, dan 50 film lainnya.
Sekelumit kisah tentang Dardanella pernah dipentaskan oleh Teater Koma pada 1988 dan 2000, berjudul Opera Primadona dengan sedikit diplesetkan (Gardanella, Petro).
Sumber : http://bataviase.wordpress.com