Oleh : Mu‘jizah
1. Pengantar
Produk budaya Nusantara dalam bentuk tradisi tulis yang disebut naskah (manuscript) tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi kekayaan bangsa. Naskah ini ditulis dengan aksara dalam bahasa daerah dan sudah berkembang kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di dalamnya prasasti, sedangkan tradisi tulis dalam bentuk naskah berusia seribu tahun lebih. Sebagian besar naskah-naskah itu saat ini tersimpan dalam koleksi publik yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang menjadi koleksi pribadi.
Dari sekitar 726 bahasa di Indonesia ada kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai sistem tulisan dan meninggalkannya dalam bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa itu adalah (1)Aceh, (2) Batak, (3) Melayu, (4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa Melayu di Sumatra Tengah dan Selatan, (6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali, (10) Bugis, (11) Sasak, (12) Makassar, (13) Buton.
Khazanah naskah tertulis yang menjadi peninggalan masyarakat Riau adalah Melayu yang ditulis dalam aksara Jawi (Arab gundul) dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu ini tidak hanya ada di daerah Riau, tetapi penyebarannya sangat luas di beberapa daerah di Indonensia, seperti (1) Aceh, (2) Minangkabau, (3) Riau, (4) Siak, (5) Bengkulu, (6) Sambas, (7) Kutai, (8) Ternate, (9) Ambon, (10) Bima (11) Palembang, dan (12) Banjarmasin. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Di Perustakaan Nasional naskah yang disimpan mencapai 9.626 yang ditulis dalam berbagai bahasa. Bagaimana dengan jumlah naskah Melayu? Pendataan yang pasti belum pernah ada karena jumlah terus bertambah dengan ditemukannya koleksi-koleksi baru dan terus berkurang karena banyak naskah yang rusak karena tidak dirawat. Mengenai jumlah naskah Melayu Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980) menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi, 1994).
Sampai saat ini naskah Melayu tersimpan hampir di 29 negara (1) Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria, (4) Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7) Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark, (10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia, (13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia, (16) Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18) Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia, (21) Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24) Singapura, (25) Spanyol, (26) Srilangka, (27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand (Chambert-Loir, 1999). Bagaimana dengan naskah Melayu, khusus Riau. Di mana saja naskah tersebut disimpan? Berbagai penelusuran sudah mulai dilakukan. Naskah Melayu yang begitu besar jumlahnya harus segera ditangani dengan perencanaan kerja yang matang. Program pengembangan, pengkajian, dan pembinaan harus terus dilakukan sebab kita berpacu dengan waktu. Semakin lama tidak tertangani, semakin rapuh pula naskah, khususnya naskah yang menjadi koleksi masyarakat (pribadi). Pemeliharaan naskah menjadi prioritas utama karena sampai saat ini sudah banyak naskah yang hilang dan rusak. Hilangnya naskah berarti hilang pula hasil pemikiran bangsa. Padahal di dalam naskah itu berbagai hal yang menjadi kekayaan bangsa termuat, seperti politik, sosial, budaya, keagamaan, sejarah, dan bahasa. Karena penelitian masih kurang dan sosialisasinya belum maksimal, masyarakat saat ini kurang mengenal warisan budaya mereka. Padahal kekayaan ini sangat penting bagi pengembangan kebudayaan.
Sampai saat ini sebenarnya penanganan pernaskahan Melayu dengan kegiatan pengembangan, penelitian, dan pembinaan sudah dilakukan oleh berbagai lembaga di Indonesia, baik lembaga pendidikan tinggi, lembaga penelitian, yayasan-yayasan, baik negeri maupun sawasta. Namun, agaknya kegiatan itu harus terus digalakkan dengan berbagai upaya karena hasilnya belum maksimal. Kerja sama dengan lembaga terkait dan lembaga swasta baik dalam dan luar negeri harus segera dijalin bagi penyelamatan warisan budaya ini.
2. Program Pengembangan Pernaskahan Melayu
Program kegiatan yang harus segera dilakukan dalam pengembangan dunia pernaskahan Melayu adalah (1) inventarisasi dan pembuatan katalog, (2) dokumentasi naskah, (3) penyusunan bahan bacaan, dan (4) pangkalan data (data base)
a. Inventariasai dan Penyusunan Katalog
Sampai saat ini naskah Melayu Riau, tempat penyimpanannya sangat tersebar. Upaya penelusuran harus terus dilanjutkan. Berdasarkan informasi Rudjiati Mulyadi (alm) di Daik Lingga juga banyak tersimpan naskah, tetapi khazanahnya belum diketahui umum. Kemungkinan masih ada masyarakat di daerah di sekitar Riau yang masih menyimpannya. Untuk itu, Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III yang disusun Hamidy (1985) harus diperkaya lagi dengan data naskah Riau yang lain. Dalam Penelusuran Penyalinan Naskah Riau: Kajian Kodikologis (Mu‘jizah 1999), tercatat sekitar 44 naskah Riau koleksi Yayasan Indra Sakti sekitar 13 yang berada dalam koleksi Perpustakaan Nasional. Jumlah yang 13 itu harus bertambah jika penelusuran dilakukan dalam koleksi naskah warisan Von de Wall, yaitu orang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Hindia-Belanda yang pada tahun 1858 bertugas di Riau. Pada masa itu, ia adalah pengayom untuk kegiatan pernaskahan di Riau. Saat ini koleksinya disimpan di Perpustakaan Nasional. Pada tahun 2003, sebagai penelitian lanjutan saya mendata naskah Riau yang berada dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV, Belanda. Dari kedua lembaga ditemukan sekitar 45-an naskah yang berasal dari Riau. Penelusuran ini harus terus dilaksanakan sehingga kita mendapat gambaran yang jelas tentang kekayaan naskah Melayu Riau. Usaha yang dilakukan Chambert-Loir (1999) dalam membuat katalog agaknya perlu diikuti, yakni penelusuran naskah Riau yang berada dalam koleksi lembaga (dalam dan luar negeri) dan koleksi pribadi (masyarakat).
Penyusunan katalog memang bukan pekerjaan mudah karena dalam kegiatan ini diperlukan tim peneliti khusus yang memahami dunia pernaskahan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menginventarisasi lebih dahulu semua naskah Riau berdasarkan informasi berbagai daftar dan katalog.. Setelah itu, diadakan penelitian lapangan untuk penyusunan katalog. Katalog yang ideal yang banyak membantu peneliti adalah katalog deskriptif, sebuah katalog yang lebih terurai isinya dari hanya suatu daftar.
Katalog deskriptif naskah Melayu yang bisa dijadikan contoh di antaranya katalog yang pernah disusun S. Van Ronkel (1909). Katalop ini berisi khazanah naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional (dulu adalah koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscahppen). Katalog naskah Melayu lain yang rinciannya paling lengkap adalah yang dibuat oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts. Katalog ini sangat membantu dalam pelacakan berbagai topik yang berhubungan dengan naskah karena katalog ini disertai dengan indeks judul, indeks tempat atau daerah, cap kertas (watermarks), cap kertas tandingan (countermarks), dan indeks surat. Katalog deskriptif naskah Melayu yang lebih baru dan sederhana uraiannya dibuat oleh tim Yanassa (Yayasan Naskah Nusantara) yang diketuai oleh Prof. Achadiati. Lembaga ini bekerja sama dengan Toyota Foundation menyusun Katalog Naskah Buton (2001). Koleksi yang didata adalah naskah milik pribadi, yakni milik Abdul Mulku Zahari. Tahun 2004, lembaga ini juga bekerja sama dengan Tokyo University Of Foreign Studies dalam penyusun Katalog Naskah Palembang. Naskah yang dikatalogkan juga sebagian besar milik pribadi yang disimpan oleh 10 pemilik.
Dalam penyusunan katalog naskah selain keahlian diperlukan juga kesabaran dan ketekunan karena yang hadapi adalah buku kuno yang memerlukan perlakuan khusus. Agar pekerjaan lebih efektif, sebelumnya kita sudah menyiapkan formulir yang diisi dengan data setiap naskah. Setelah formulir ini terisi, kita tinggal menarasikan. Pokok-pokok penting yang dimasukkan dalam formulir pendataan adalah pokok yang berkaitan dengan hal umum, gambaran fisik, dan ringkasan isi naskah.. (1) Tempat penyimpan naskah adalah nama lembaga (yayasan, perpustakaan, masjid, kantor) atau nama pengoleksi naskah (pemilik/perorangan). (2) Judul naskah biasanya terdapat pada halaman judul (halaman awal teks). Kalau tidak ada, peneliti dapat mencatatkan judul berdasarkan bacaan teksnya. (3) Nomor naskah adalah nomor yang tercatat pada sampul muka, punggung naskah, halaman sampul belakang. Catat pula nomor lama jika naskah tersebut memang mempunyai nomor baru. Jika naskah belum dinomori, peneliti bisa memberikannya. (4) Jumlah teks adalah teks-teks yang terdapat dalam satu naskah.(5) Jenis naskah adalah genre naskah, hikayat, syair, atau jenis lain.(6) Bahasa apa yang digunakan dalam naskah. (7) Tanggal penulisan merupakan waktu penulisan yang tercatat dalam teks. (8) Tempat penulisan adalah nama tempat yang tercatat dalam teks. (9) Catat nama penulis/penyalin yang tertera dalam teks. (10) Tuliskan daftar atau katalog lain yang pernah mendata naskah ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan fisik naskah yang perlu dicatat adalah pokok-pokok berikut. (1) Bahan naskah adalah alas yang dipakai untuk menulis, jika kertas, kertas apa yang digunakan. (2) Cap kertas dapat dilihat dengan mengangkat kertas dan memberikan cahaya. Cap kertas sangat beragam. Untuk sementara mungkin cap kertas dideskripsi saja lebih dahulu, kemudian deskripsi itu dapat dicocokkan dengan daftar cap kertas. Daftar cap kertas yang agak lengkap dapat dibaca buku Churchill (1935) atau Heawood (1924). (3) Kondisi naskah adalah keadaan naskah saat diteliti, deskripsikan dengan cermat dan rinci sehingga pembaca mendapat gambaran bagaimana keadaan naskah, termasuknya teksnya, apakah huruf masih bisa dibaca. (4) Jumlah halaman dihitung mulai dari awal hingga akhir naskah. (5) Jumlah baris pada halaman kedua, biasanya jumlah halaman awal dan akhir berbeda dengan halaman berikutnya. (6) Ukuran halaman dihitung panjang kali lebar. (7) Penomoran halaman biasanya ditemukan pada pias atas atau pias bawah, ditulis dengan angka Arab atau dengan kata alihan (catcword), yaitu kata yang menjadi penanda halaman berikutnya.
Hal yang berkaitan dengan tulisan yang perlu dicatat adalah (1) aksara atau huruf yang digunakan, (2) hiasan huruf, kata yang penulisannya dihias, seperti kaligrafi, (3) Iluminasi (gambar atau hiasan pada halaman naskah) perlu dicatat dengan menyebutkan halaman dan bentuk gambarnya.
Informasi lain yang perlu didata adalah (1) bahan sampul yang dipakai, (2) ukuran sampul yang dihitung panjang kali lebar. Selain itu, catat pula (3) kolofon, yakni catatan yang menjelaskan waktu, penulis/penyalin, dan tempat penulisan. Bagian ini dapat dikutip seperti apa adanya dalam teks.(4) Kepemilikan adalah nama lembaga atau perorangan yang memiliki naskah ini; informasi sering ditemukan pada bagian sampul (depan atau belakang), halaman pelindung, atau bagian lain. Hal yang berkaitan dengan isi adalah (1) ringkasan isi bisa dinyatakan minimal dalam satu paragraf, (2) kutipan teks awal minimal tiga baris, dan (3) teks akhir juga dikutip minimal tiga baris saja. Idealnya rincian naskah ini juga dilengkapi dengan foto naskah yang dianggap penting.
b. Dokumentasi
Selain katalog sebagai bahan pendamping dilakukan dokumentasi naskah dalam bentuk foto, mikrofilm atau mikrofis. Dokumentasi ini merupakan salah satu bentuk pelestarian yang sangat penting agar isi naskah tidak hilang. Naskah di daerah tropis seperti Indonesia ini sangat rentan dari kerusakan, terutama alasnya sebab alas seperti kertas dan lontar tidak dapat bertahan terhadap iklim tersebut. Di samping itu serangan serangga juga mengancam keberadaan naskah. Untuk itu, perawatan naskah menjadi prioritas utama. Namun, pada kenyataannya perawatan pada benda budaya ini sangat minim, apalagi naskah-naskah yang masih disimpan di dalam koleksi pribadi (masyarakat). Untuk menanggulangi kepunahan ini dokumentasi harus segera dilakukan. Beberapa puluh tahun yang lalu dokumentasi dalam bentuk mikrofilm sudah banyak dilakukan, namun perawatan mikrofilm itu juga tidak memadai sehingga mikrofilm yang dibuat lebih dahulu punah daripada naskahnya.
Saat ini dengan kemajuan teknologi, pendokumentasi yang lebih mudah adalah foto digital. Dokumentasi ini lebih sederhana daripada mikrofilm atau mikrofis. Yang dibutuhkan di antaranya fotografer profesional sehingga foto yang dihasilkan berkualitas. Idealnya dokumentasi ini dilakukan seiring dengan pendataan saat menyusun katalog karena pada saat itu, kita bisa memilih naskah-naskah yang menjadi prioritas. Jika naskah sudah didokumentasi dalam bentuk foto, tentu perawatannya juga harus diupayakan.
c. Penyusunan Buku sebagai Bahan Bacaan
Naskah warisan nenek moyang ini jangan hanya dijaga sebagai benda keramat, tetapi harus diolah. Olahan itu akan menjadi bahan bacaan. Bentuknya bisa penelitian dan penyusunan. Kedua bentuk ini dibuat agar berbagai hasil pemikiran yang ada dalam isi naskah diketahui masyarakat. Caranya yang pengadaan bahan bacaan ini bisa dibuat untuk khalayak ilmiah dan khalayak umum, tergantung kepentingannya. Penyusunan itu bisa dalam bentuk (1) edisi teks, (2) bacaan remaja, (3) antologi atau bunga rampai, dan (4) penyusunan buku sejarah sastra.
Edisi teks merupakan salah satu cara menginformasikan isi naskah, hanya pembacanya lebih terbatas, yakni khalayak ilmiah. Terbitan ini bisa berbentuk edisi faksimile atau edisi kritis. Edisi faksimile yang dimuat dalam Manuscripta Indonesica yang dikelola Universitas Leiden ini perlu ditiru. Edisi ini menampilkan naskah dalam bentuk apa adanya. Belum dilakukan alih aksara; yang perlu disusun hanya pengantar yang lengkap tentang naskah yang dipilih. Salah satu naskah Riau yang pernah diterbitkan dalam edisi ini Tawarikh Alwusta. Edisi kritis adalah penyuntingan terhadap naskah yang banyak dilakukan para peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dalam edisi ini, teks sudah dialihaksarakan dan diberi catatan berupa pertangungjawaban, jika penyunting membuat beberapa perubahan atas teks asli. Jika teks yang disunting dalam bahasa daerah, baiknya dibuat juga terjemahannya. Terjemahan ini dilakukan agar pembaca mengerti isinya. Di samping edisi, para peneliti biasanya juga mengkaji isinya. Berbagai pendekatan dipakai dalam pekerjaan ini untuk mengungkap astetika dan etika yang ada di dalamnya.
Penyusunan bahan bacaan bagi siswa atau remaja yang bersumber pada naskah juga harus disusun agar generasi muda mengetahui nilai-nilai dan mempunyai wawasan pengetahuan budaya asli mereka. Kita berharap mereka juga bisa mengapresiasi karya-karya klasik. Berbagai edisi ilmiah yang sudah ada dipakai sebagai sumber. Upaya yang dilakukan Inggris dalam memperkenalkan Hamlet dan Shakespeare kepada anak-anak muda perlu ditiru. Berbagai buku yang pembaca sasarannya siswa atau remaja diciptakan Tahun ini Pusat Bahasa bekerja sama dengan sastrawan membuat bahan bacaan yang bersumber pada naskah. Usaha ini diharapkan berhasil sehingga penulis-penulis muda mengetahui motis-mitos yang menjadi kekayaan daerahnya dan kekayaan itu diungkapkan kembali dalam karya meraka. Bahan bacaan ini diharapkan dapat membangkitkan kreativitas remaja dan menumbuhkan minat terhadap sastra sastra. Di samping itu, bahan bacaan ini juga menjadi alternatif bagi guru sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah.
Penyusunan antologi atau bunga rampai merupakan salah satu upaya pemasyarakatan dan penyebaran informasi khazanah naskah. Bahan bacaan yang berupa kumpulan ini diambil dari (1) karya-karya kreatif, seperti hikayat, syair, (2) bahan kajian, (3) tema-tema tertentu dalam naskah. Antologi karya kreatif disusun berdasarkan naskah dan teksnya bisa diambil dari berbagai penelitian dan edisi yang sudah dibuat. Bahan ini diolah dalam bentuk yang lebih pendek, teks diringkas dan rinci. Masyarakat Pernaskahan Nusantara (1999) pernah membuat Antologi Sastra Daerah Nusantara. Pusat Bahasa pernah membuat antologi Naskah Undang-Undang. Majelis Sastera Asia Tenggara (2007) menerbitkan Inti Sari Sastera Klasik Nusantara. Selain karya kreatif, bunga rampai juga disusun berdasarkan berbagai hasil kajian. Misalnya skripsi, tesis, dan disertasi yang mengambil naska. Data dikumpulkan dan masing-masing dibuat ikhtisarnya. Bunga rampai sudah banyak disusun adalah makalah dari berbagai seminar pernaskahan. Di samping itu, berbagai tulisan tentang naskah yang dibuat khusus untuk memperingati suatu peristiwa penting juga sudah ada, di antaranya Al Azhar dan Elmustian, 2001 menyusun Kandil Akal di Pelataran Budi saat wafatnya Raja Hamzah Yunus.
Antologi atau bunga rampai lain berdasarkan tema-tema tertentu juga dapat menjadi alternatif. Dalam pernaskahan Riau, banyak pengarang wanita ditemukan, seperti Aisyah binti Sulaeman, Encik Kamariah, Khatijah Terung, Badariah Muhammad Tahir, dan Salamah binti Ambar. Karya-karya mereka bisa diambil sebagai bahan dan dikumpulkan dalam sebuah buku disertai dengan biodatanya. Karya mereka ditampilkan sebagai teks lengkap atau ikhtisarnya saja. Cara penyajian disesuaikan dengan pembaca sasarannya. Buku seperti ini di perguruan tinggi menjadi pegangan untuk kuliah pokok dan tokoh atau kapita selekta.
Yang penting juga dalam pengadaan bahan bacaan adalah penyusunan sejarah sastra, baik sastra cetak, sastra tulisan tangan, dan sastra yang hidup dalam tradisi lisan. Karya seperti ini perlu disusun, baik dalam kerangka nasional maupun daerah/etnis. Kelemahan dari penyusunan bahan bacaan ini adalah pada data. Kalau data belum terkumpul, kita belum bisa membuat sejarah.
d. Pangkalan Data Sastra
Dalam era teknologi informasi yang berkembang pesat, agaknya keberadaan pangkalan data (data base) mutlak dibutuhkan. Dalam pangkalan data sastra ini semua data yang berkaitan dengan sastra dimasukkan, pengkajian, pertemuan, biodata pengarang, karya, dll. Jika data lengkap, kita bisa mengakses berbagai informasi untuk berbagai keperluan ilmiah. Untuk menciptakan pangkalan data ini kita harus bekerja sama dengan ahli komputer. Selain itu, kita juga memerlukan pencari data dan pengolah data yang andal.
3. Penutup
Akhirul kata, perkembangan pernaskahan Melayu, khususnya Riau, menjadi tanggung jawab kita bersama. Program pengembangan harus disusun dan beberapa kegiatan perlu dibuat. Kegiatan ini harus melibatkan para profesional di bidangnya. Untuk merealisasikan pekerjaan itu diperlukan juga kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, swasta dan negeri. Satu masalah yang juga menjadi kegundahan ahli pernaskahan adalah perdagangan naskah. Meskipun kita sudah memiliki UU no.5 tahun 1992 tentang pemeliharaan dan pelestarian cagar budaya, perdagangan itu naskah terus terjadi.
Daftar Pustaka
Al Azhar dan Elmustian. 2001. Kandil Akal di Pelataran Budi. Pekan Baru: Yayasan Kata.
Chambert-Loir. 1999. Panduan Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ding Choo Ming. 1999. Raja Aisyah Sulaiman: Pengarang Ulung Wanita Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Melaysia.
Hamidy, UU. 1985. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III. Pekanbaru.
Gallop, Annabel Teh. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library.
Ikram, Achadiati dkk. 2001. Katalog Naskah Buton. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta.
------. 2004. Katalog Naskah Palembang. Tokyo University of Foreign Studies.
Junus, Hasan H. dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji: Sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tanjung Pinang: Pemerintah Provinsi Riau.
Matheson, Virginea. 1983. “Questions Arising form A Nineteenth Cebtury Riau Syair” dalam RIMA, 17, hlm.1—61.
McGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta:Yayasan Lontar.
Mu‘jizah. 1999. Penelusuran Penyalinan Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI.
Mulyadi, S.W.R. 1994. Kodikologi Melayu Jakarta: FSUI.
Putten, Jan van der. 1995. Di dalam Berkekalan Persahabatan. Leiden: Department of Languages and Cultures of South-east and Oceania.
Sham, Abu Hasan. 1999. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Mu‘jizah, adalah peneliti pada Pusat Bahasa.
Sumber : Makalah Disampaikan pada Seminar Bahasa dan Sastra Daerah Riau, Pekanbaru 13–14 Juli 2007
1. Pengantar
Produk budaya Nusantara dalam bentuk tradisi tulis yang disebut naskah (manuscript) tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi kekayaan bangsa. Naskah ini ditulis dengan aksara dalam bahasa daerah dan sudah berkembang kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di dalamnya prasasti, sedangkan tradisi tulis dalam bentuk naskah berusia seribu tahun lebih. Sebagian besar naskah-naskah itu saat ini tersimpan dalam koleksi publik yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang menjadi koleksi pribadi.
Dari sekitar 726 bahasa di Indonesia ada kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai sistem tulisan dan meninggalkannya dalam bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa itu adalah (1)Aceh, (2) Batak, (3) Melayu, (4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa Melayu di Sumatra Tengah dan Selatan, (6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali, (10) Bugis, (11) Sasak, (12) Makassar, (13) Buton.
Khazanah naskah tertulis yang menjadi peninggalan masyarakat Riau adalah Melayu yang ditulis dalam aksara Jawi (Arab gundul) dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu ini tidak hanya ada di daerah Riau, tetapi penyebarannya sangat luas di beberapa daerah di Indonensia, seperti (1) Aceh, (2) Minangkabau, (3) Riau, (4) Siak, (5) Bengkulu, (6) Sambas, (7) Kutai, (8) Ternate, (9) Ambon, (10) Bima (11) Palembang, dan (12) Banjarmasin. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Di Perustakaan Nasional naskah yang disimpan mencapai 9.626 yang ditulis dalam berbagai bahasa. Bagaimana dengan jumlah naskah Melayu? Pendataan yang pasti belum pernah ada karena jumlah terus bertambah dengan ditemukannya koleksi-koleksi baru dan terus berkurang karena banyak naskah yang rusak karena tidak dirawat. Mengenai jumlah naskah Melayu Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980) menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi, 1994).
Sampai saat ini naskah Melayu tersimpan hampir di 29 negara (1) Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria, (4) Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7) Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark, (10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia, (13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia, (16) Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18) Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia, (21) Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24) Singapura, (25) Spanyol, (26) Srilangka, (27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand (Chambert-Loir, 1999). Bagaimana dengan naskah Melayu, khusus Riau. Di mana saja naskah tersebut disimpan? Berbagai penelusuran sudah mulai dilakukan. Naskah Melayu yang begitu besar jumlahnya harus segera ditangani dengan perencanaan kerja yang matang. Program pengembangan, pengkajian, dan pembinaan harus terus dilakukan sebab kita berpacu dengan waktu. Semakin lama tidak tertangani, semakin rapuh pula naskah, khususnya naskah yang menjadi koleksi masyarakat (pribadi). Pemeliharaan naskah menjadi prioritas utama karena sampai saat ini sudah banyak naskah yang hilang dan rusak. Hilangnya naskah berarti hilang pula hasil pemikiran bangsa. Padahal di dalam naskah itu berbagai hal yang menjadi kekayaan bangsa termuat, seperti politik, sosial, budaya, keagamaan, sejarah, dan bahasa. Karena penelitian masih kurang dan sosialisasinya belum maksimal, masyarakat saat ini kurang mengenal warisan budaya mereka. Padahal kekayaan ini sangat penting bagi pengembangan kebudayaan.
Sampai saat ini sebenarnya penanganan pernaskahan Melayu dengan kegiatan pengembangan, penelitian, dan pembinaan sudah dilakukan oleh berbagai lembaga di Indonesia, baik lembaga pendidikan tinggi, lembaga penelitian, yayasan-yayasan, baik negeri maupun sawasta. Namun, agaknya kegiatan itu harus terus digalakkan dengan berbagai upaya karena hasilnya belum maksimal. Kerja sama dengan lembaga terkait dan lembaga swasta baik dalam dan luar negeri harus segera dijalin bagi penyelamatan warisan budaya ini.
2. Program Pengembangan Pernaskahan Melayu
Program kegiatan yang harus segera dilakukan dalam pengembangan dunia pernaskahan Melayu adalah (1) inventarisasi dan pembuatan katalog, (2) dokumentasi naskah, (3) penyusunan bahan bacaan, dan (4) pangkalan data (data base)
a. Inventariasai dan Penyusunan Katalog
Sampai saat ini naskah Melayu Riau, tempat penyimpanannya sangat tersebar. Upaya penelusuran harus terus dilanjutkan. Berdasarkan informasi Rudjiati Mulyadi (alm) di Daik Lingga juga banyak tersimpan naskah, tetapi khazanahnya belum diketahui umum. Kemungkinan masih ada masyarakat di daerah di sekitar Riau yang masih menyimpannya. Untuk itu, Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III yang disusun Hamidy (1985) harus diperkaya lagi dengan data naskah Riau yang lain. Dalam Penelusuran Penyalinan Naskah Riau: Kajian Kodikologis (Mu‘jizah 1999), tercatat sekitar 44 naskah Riau koleksi Yayasan Indra Sakti sekitar 13 yang berada dalam koleksi Perpustakaan Nasional. Jumlah yang 13 itu harus bertambah jika penelusuran dilakukan dalam koleksi naskah warisan Von de Wall, yaitu orang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Hindia-Belanda yang pada tahun 1858 bertugas di Riau. Pada masa itu, ia adalah pengayom untuk kegiatan pernaskahan di Riau. Saat ini koleksinya disimpan di Perpustakaan Nasional. Pada tahun 2003, sebagai penelitian lanjutan saya mendata naskah Riau yang berada dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV, Belanda. Dari kedua lembaga ditemukan sekitar 45-an naskah yang berasal dari Riau. Penelusuran ini harus terus dilaksanakan sehingga kita mendapat gambaran yang jelas tentang kekayaan naskah Melayu Riau. Usaha yang dilakukan Chambert-Loir (1999) dalam membuat katalog agaknya perlu diikuti, yakni penelusuran naskah Riau yang berada dalam koleksi lembaga (dalam dan luar negeri) dan koleksi pribadi (masyarakat).
Penyusunan katalog memang bukan pekerjaan mudah karena dalam kegiatan ini diperlukan tim peneliti khusus yang memahami dunia pernaskahan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menginventarisasi lebih dahulu semua naskah Riau berdasarkan informasi berbagai daftar dan katalog.. Setelah itu, diadakan penelitian lapangan untuk penyusunan katalog. Katalog yang ideal yang banyak membantu peneliti adalah katalog deskriptif, sebuah katalog yang lebih terurai isinya dari hanya suatu daftar.
Katalog deskriptif naskah Melayu yang bisa dijadikan contoh di antaranya katalog yang pernah disusun S. Van Ronkel (1909). Katalop ini berisi khazanah naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional (dulu adalah koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscahppen). Katalog naskah Melayu lain yang rinciannya paling lengkap adalah yang dibuat oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts. Katalog ini sangat membantu dalam pelacakan berbagai topik yang berhubungan dengan naskah karena katalog ini disertai dengan indeks judul, indeks tempat atau daerah, cap kertas (watermarks), cap kertas tandingan (countermarks), dan indeks surat. Katalog deskriptif naskah Melayu yang lebih baru dan sederhana uraiannya dibuat oleh tim Yanassa (Yayasan Naskah Nusantara) yang diketuai oleh Prof. Achadiati. Lembaga ini bekerja sama dengan Toyota Foundation menyusun Katalog Naskah Buton (2001). Koleksi yang didata adalah naskah milik pribadi, yakni milik Abdul Mulku Zahari. Tahun 2004, lembaga ini juga bekerja sama dengan Tokyo University Of Foreign Studies dalam penyusun Katalog Naskah Palembang. Naskah yang dikatalogkan juga sebagian besar milik pribadi yang disimpan oleh 10 pemilik.
Dalam penyusunan katalog naskah selain keahlian diperlukan juga kesabaran dan ketekunan karena yang hadapi adalah buku kuno yang memerlukan perlakuan khusus. Agar pekerjaan lebih efektif, sebelumnya kita sudah menyiapkan formulir yang diisi dengan data setiap naskah. Setelah formulir ini terisi, kita tinggal menarasikan. Pokok-pokok penting yang dimasukkan dalam formulir pendataan adalah pokok yang berkaitan dengan hal umum, gambaran fisik, dan ringkasan isi naskah.. (1) Tempat penyimpan naskah adalah nama lembaga (yayasan, perpustakaan, masjid, kantor) atau nama pengoleksi naskah (pemilik/perorangan). (2) Judul naskah biasanya terdapat pada halaman judul (halaman awal teks). Kalau tidak ada, peneliti dapat mencatatkan judul berdasarkan bacaan teksnya. (3) Nomor naskah adalah nomor yang tercatat pada sampul muka, punggung naskah, halaman sampul belakang. Catat pula nomor lama jika naskah tersebut memang mempunyai nomor baru. Jika naskah belum dinomori, peneliti bisa memberikannya. (4) Jumlah teks adalah teks-teks yang terdapat dalam satu naskah.(5) Jenis naskah adalah genre naskah, hikayat, syair, atau jenis lain.(6) Bahasa apa yang digunakan dalam naskah. (7) Tanggal penulisan merupakan waktu penulisan yang tercatat dalam teks. (8) Tempat penulisan adalah nama tempat yang tercatat dalam teks. (9) Catat nama penulis/penyalin yang tertera dalam teks. (10) Tuliskan daftar atau katalog lain yang pernah mendata naskah ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan fisik naskah yang perlu dicatat adalah pokok-pokok berikut. (1) Bahan naskah adalah alas yang dipakai untuk menulis, jika kertas, kertas apa yang digunakan. (2) Cap kertas dapat dilihat dengan mengangkat kertas dan memberikan cahaya. Cap kertas sangat beragam. Untuk sementara mungkin cap kertas dideskripsi saja lebih dahulu, kemudian deskripsi itu dapat dicocokkan dengan daftar cap kertas. Daftar cap kertas yang agak lengkap dapat dibaca buku Churchill (1935) atau Heawood (1924). (3) Kondisi naskah adalah keadaan naskah saat diteliti, deskripsikan dengan cermat dan rinci sehingga pembaca mendapat gambaran bagaimana keadaan naskah, termasuknya teksnya, apakah huruf masih bisa dibaca. (4) Jumlah halaman dihitung mulai dari awal hingga akhir naskah. (5) Jumlah baris pada halaman kedua, biasanya jumlah halaman awal dan akhir berbeda dengan halaman berikutnya. (6) Ukuran halaman dihitung panjang kali lebar. (7) Penomoran halaman biasanya ditemukan pada pias atas atau pias bawah, ditulis dengan angka Arab atau dengan kata alihan (catcword), yaitu kata yang menjadi penanda halaman berikutnya.
Hal yang berkaitan dengan tulisan yang perlu dicatat adalah (1) aksara atau huruf yang digunakan, (2) hiasan huruf, kata yang penulisannya dihias, seperti kaligrafi, (3) Iluminasi (gambar atau hiasan pada halaman naskah) perlu dicatat dengan menyebutkan halaman dan bentuk gambarnya.
Informasi lain yang perlu didata adalah (1) bahan sampul yang dipakai, (2) ukuran sampul yang dihitung panjang kali lebar. Selain itu, catat pula (3) kolofon, yakni catatan yang menjelaskan waktu, penulis/penyalin, dan tempat penulisan. Bagian ini dapat dikutip seperti apa adanya dalam teks.(4) Kepemilikan adalah nama lembaga atau perorangan yang memiliki naskah ini; informasi sering ditemukan pada bagian sampul (depan atau belakang), halaman pelindung, atau bagian lain. Hal yang berkaitan dengan isi adalah (1) ringkasan isi bisa dinyatakan minimal dalam satu paragraf, (2) kutipan teks awal minimal tiga baris, dan (3) teks akhir juga dikutip minimal tiga baris saja. Idealnya rincian naskah ini juga dilengkapi dengan foto naskah yang dianggap penting.
b. Dokumentasi
Selain katalog sebagai bahan pendamping dilakukan dokumentasi naskah dalam bentuk foto, mikrofilm atau mikrofis. Dokumentasi ini merupakan salah satu bentuk pelestarian yang sangat penting agar isi naskah tidak hilang. Naskah di daerah tropis seperti Indonesia ini sangat rentan dari kerusakan, terutama alasnya sebab alas seperti kertas dan lontar tidak dapat bertahan terhadap iklim tersebut. Di samping itu serangan serangga juga mengancam keberadaan naskah. Untuk itu, perawatan naskah menjadi prioritas utama. Namun, pada kenyataannya perawatan pada benda budaya ini sangat minim, apalagi naskah-naskah yang masih disimpan di dalam koleksi pribadi (masyarakat). Untuk menanggulangi kepunahan ini dokumentasi harus segera dilakukan. Beberapa puluh tahun yang lalu dokumentasi dalam bentuk mikrofilm sudah banyak dilakukan, namun perawatan mikrofilm itu juga tidak memadai sehingga mikrofilm yang dibuat lebih dahulu punah daripada naskahnya.
Saat ini dengan kemajuan teknologi, pendokumentasi yang lebih mudah adalah foto digital. Dokumentasi ini lebih sederhana daripada mikrofilm atau mikrofis. Yang dibutuhkan di antaranya fotografer profesional sehingga foto yang dihasilkan berkualitas. Idealnya dokumentasi ini dilakukan seiring dengan pendataan saat menyusun katalog karena pada saat itu, kita bisa memilih naskah-naskah yang menjadi prioritas. Jika naskah sudah didokumentasi dalam bentuk foto, tentu perawatannya juga harus diupayakan.
c. Penyusunan Buku sebagai Bahan Bacaan
Naskah warisan nenek moyang ini jangan hanya dijaga sebagai benda keramat, tetapi harus diolah. Olahan itu akan menjadi bahan bacaan. Bentuknya bisa penelitian dan penyusunan. Kedua bentuk ini dibuat agar berbagai hasil pemikiran yang ada dalam isi naskah diketahui masyarakat. Caranya yang pengadaan bahan bacaan ini bisa dibuat untuk khalayak ilmiah dan khalayak umum, tergantung kepentingannya. Penyusunan itu bisa dalam bentuk (1) edisi teks, (2) bacaan remaja, (3) antologi atau bunga rampai, dan (4) penyusunan buku sejarah sastra.
Edisi teks merupakan salah satu cara menginformasikan isi naskah, hanya pembacanya lebih terbatas, yakni khalayak ilmiah. Terbitan ini bisa berbentuk edisi faksimile atau edisi kritis. Edisi faksimile yang dimuat dalam Manuscripta Indonesica yang dikelola Universitas Leiden ini perlu ditiru. Edisi ini menampilkan naskah dalam bentuk apa adanya. Belum dilakukan alih aksara; yang perlu disusun hanya pengantar yang lengkap tentang naskah yang dipilih. Salah satu naskah Riau yang pernah diterbitkan dalam edisi ini Tawarikh Alwusta. Edisi kritis adalah penyuntingan terhadap naskah yang banyak dilakukan para peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dalam edisi ini, teks sudah dialihaksarakan dan diberi catatan berupa pertangungjawaban, jika penyunting membuat beberapa perubahan atas teks asli. Jika teks yang disunting dalam bahasa daerah, baiknya dibuat juga terjemahannya. Terjemahan ini dilakukan agar pembaca mengerti isinya. Di samping edisi, para peneliti biasanya juga mengkaji isinya. Berbagai pendekatan dipakai dalam pekerjaan ini untuk mengungkap astetika dan etika yang ada di dalamnya.
Penyusunan bahan bacaan bagi siswa atau remaja yang bersumber pada naskah juga harus disusun agar generasi muda mengetahui nilai-nilai dan mempunyai wawasan pengetahuan budaya asli mereka. Kita berharap mereka juga bisa mengapresiasi karya-karya klasik. Berbagai edisi ilmiah yang sudah ada dipakai sebagai sumber. Upaya yang dilakukan Inggris dalam memperkenalkan Hamlet dan Shakespeare kepada anak-anak muda perlu ditiru. Berbagai buku yang pembaca sasarannya siswa atau remaja diciptakan Tahun ini Pusat Bahasa bekerja sama dengan sastrawan membuat bahan bacaan yang bersumber pada naskah. Usaha ini diharapkan berhasil sehingga penulis-penulis muda mengetahui motis-mitos yang menjadi kekayaan daerahnya dan kekayaan itu diungkapkan kembali dalam karya meraka. Bahan bacaan ini diharapkan dapat membangkitkan kreativitas remaja dan menumbuhkan minat terhadap sastra sastra. Di samping itu, bahan bacaan ini juga menjadi alternatif bagi guru sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah.
Penyusunan antologi atau bunga rampai merupakan salah satu upaya pemasyarakatan dan penyebaran informasi khazanah naskah. Bahan bacaan yang berupa kumpulan ini diambil dari (1) karya-karya kreatif, seperti hikayat, syair, (2) bahan kajian, (3) tema-tema tertentu dalam naskah. Antologi karya kreatif disusun berdasarkan naskah dan teksnya bisa diambil dari berbagai penelitian dan edisi yang sudah dibuat. Bahan ini diolah dalam bentuk yang lebih pendek, teks diringkas dan rinci. Masyarakat Pernaskahan Nusantara (1999) pernah membuat Antologi Sastra Daerah Nusantara. Pusat Bahasa pernah membuat antologi Naskah Undang-Undang. Majelis Sastera Asia Tenggara (2007) menerbitkan Inti Sari Sastera Klasik Nusantara. Selain karya kreatif, bunga rampai juga disusun berdasarkan berbagai hasil kajian. Misalnya skripsi, tesis, dan disertasi yang mengambil naska. Data dikumpulkan dan masing-masing dibuat ikhtisarnya. Bunga rampai sudah banyak disusun adalah makalah dari berbagai seminar pernaskahan. Di samping itu, berbagai tulisan tentang naskah yang dibuat khusus untuk memperingati suatu peristiwa penting juga sudah ada, di antaranya Al Azhar dan Elmustian, 2001 menyusun Kandil Akal di Pelataran Budi saat wafatnya Raja Hamzah Yunus.
Antologi atau bunga rampai lain berdasarkan tema-tema tertentu juga dapat menjadi alternatif. Dalam pernaskahan Riau, banyak pengarang wanita ditemukan, seperti Aisyah binti Sulaeman, Encik Kamariah, Khatijah Terung, Badariah Muhammad Tahir, dan Salamah binti Ambar. Karya-karya mereka bisa diambil sebagai bahan dan dikumpulkan dalam sebuah buku disertai dengan biodatanya. Karya mereka ditampilkan sebagai teks lengkap atau ikhtisarnya saja. Cara penyajian disesuaikan dengan pembaca sasarannya. Buku seperti ini di perguruan tinggi menjadi pegangan untuk kuliah pokok dan tokoh atau kapita selekta.
Yang penting juga dalam pengadaan bahan bacaan adalah penyusunan sejarah sastra, baik sastra cetak, sastra tulisan tangan, dan sastra yang hidup dalam tradisi lisan. Karya seperti ini perlu disusun, baik dalam kerangka nasional maupun daerah/etnis. Kelemahan dari penyusunan bahan bacaan ini adalah pada data. Kalau data belum terkumpul, kita belum bisa membuat sejarah.
d. Pangkalan Data Sastra
Dalam era teknologi informasi yang berkembang pesat, agaknya keberadaan pangkalan data (data base) mutlak dibutuhkan. Dalam pangkalan data sastra ini semua data yang berkaitan dengan sastra dimasukkan, pengkajian, pertemuan, biodata pengarang, karya, dll. Jika data lengkap, kita bisa mengakses berbagai informasi untuk berbagai keperluan ilmiah. Untuk menciptakan pangkalan data ini kita harus bekerja sama dengan ahli komputer. Selain itu, kita juga memerlukan pencari data dan pengolah data yang andal.
3. Penutup
Akhirul kata, perkembangan pernaskahan Melayu, khususnya Riau, menjadi tanggung jawab kita bersama. Program pengembangan harus disusun dan beberapa kegiatan perlu dibuat. Kegiatan ini harus melibatkan para profesional di bidangnya. Untuk merealisasikan pekerjaan itu diperlukan juga kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, swasta dan negeri. Satu masalah yang juga menjadi kegundahan ahli pernaskahan adalah perdagangan naskah. Meskipun kita sudah memiliki UU no.5 tahun 1992 tentang pemeliharaan dan pelestarian cagar budaya, perdagangan itu naskah terus terjadi.
Daftar Pustaka
Al Azhar dan Elmustian. 2001. Kandil Akal di Pelataran Budi. Pekan Baru: Yayasan Kata.
Chambert-Loir. 1999. Panduan Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ding Choo Ming. 1999. Raja Aisyah Sulaiman: Pengarang Ulung Wanita Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Melaysia.
Hamidy, UU. 1985. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III. Pekanbaru.
Gallop, Annabel Teh. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library.
Ikram, Achadiati dkk. 2001. Katalog Naskah Buton. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta.
------. 2004. Katalog Naskah Palembang. Tokyo University of Foreign Studies.
Junus, Hasan H. dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji: Sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tanjung Pinang: Pemerintah Provinsi Riau.
Matheson, Virginea. 1983. “Questions Arising form A Nineteenth Cebtury Riau Syair” dalam RIMA, 17, hlm.1—61.
McGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta:Yayasan Lontar.
Mu‘jizah. 1999. Penelusuran Penyalinan Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI.
Mulyadi, S.W.R. 1994. Kodikologi Melayu Jakarta: FSUI.
Putten, Jan van der. 1995. Di dalam Berkekalan Persahabatan. Leiden: Department of Languages and Cultures of South-east and Oceania.
Sham, Abu Hasan. 1999. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Mu‘jizah, adalah peneliti pada Pusat Bahasa.
Sumber : Makalah Disampaikan pada Seminar Bahasa dan Sastra Daerah Riau, Pekanbaru 13–14 Juli 2007