Tumbuk lesung merupakan salah satu acara dalam pesta panen di Dusun Moncongloe Lappara, Desa Moncongloe, Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros. Alu-alu yang ditumbuk itu menghasilkan bunyi-bunyian yang berirama sehingga terdengar merdu di telinga.
Adu betis (mappalanca) sebetulnya tidak berdiri sendiri. Ia merupakan rangkaian dari sebuah pesta tahunan yang banyak dijumpai di masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk di Moncongloe. Yaitu pesta panen sebagai rasa syukur kepada Allah setelah berhasil melakukan panen padi.
"Mappalanca adalah permainan rakyat yang biasa dilakukan setelah masa panen," ungkap Prof Abu Hamid.
Lahan-lahan persawahan di Moncongloe sebetulnya merupakan tanah- tanah kering. Penduduk hanya mengandalkan air hujan, karena itu sawah-sawah di Moncongloe pun pada umumnya berupa sawah tadah hujan. Panen hanya sekali dalam setahun.
Meski masuk wilayah administrasi Kabupaten Maros, tetapi kawasan Moncongloe justru lebih dekat dengan Kota Makassar. Untuk mencapai daerah tersebut dari Makassar tak perlu melewati Kota Maros, melainkan melewati Panakkukang-Todopoli-Antang dan terus ke Moncongloe.
Di musim kemarau, bekas-bekas lahan persawahan di Moncongloe terlihat tandus. Tidak ada air. Yang terlihat hanya rumput-rumput liar yang juga mengering. Tidak ada petani yang berani mengolah lahan di kala musim kering itu. Yang terlihat hanya ternak kambing yang berkeliaran merumput di lahan-lahan tersebut. Jalan-jalan kampung yang masih berupa tanah pun berdebu, terutama bila dilintasi kendaraan bermotor.
Masa tanam padi antara Desember sampai Juni. Penduduk Moncongloe umumnya memanen padi sekitar Juli. "Setelah itu, kami melakukan pesta panen. Sebagai rasa syukur sekaligus untuk tolak bala. Dengan acara ini, kami berharap kejadian buruk di masa depan tidak akan terjadi," tutur Haji Gendra, pemangku adat Moncongloe Lappara.
Pesta panen biasanya diselenggarakan setiap Agustus. Ini terasa lengkap karena kemeriahan pesta rakyat ini bertambah seiring dengan pesta tahunan Agustusan (HUT kemerdekaan RI).
Dalam pesta panen tersebut biasanya ditampilkan beberapa atraksi. Selain adu betis dan sepak takraw (paraga), ada juga acara tumbuk padi muda (akdengka ase lolo).
Dalam upacara menumbuk padi ini bukan hanya dilakukan oleh gadis-gadis muda yang menumbuk lesung sehingga menimbulkan bunyi-bunyian merdu dan berirama, tetapi juga pria-pria muda. Untuk ikut ambil bagian dalam acara itu, mereka wajib mengenakan busana adat. Yang perempuan mengenakan baju bodo aneka warna. Begitupun yang laki-laki, mengenakan jas warna-warni, songkok, dan sarung.
Karena tradisi itu diikuti orang sedusun maka acara pun dirancang tidak main-main. Dibentuklah panitia, biasanya terdiri dari anak-anak muda baik lelaki maupun perempuan.
Sebagai ungkapan rasa syukur, tentu saja semua penduduk merasa terlibat. Bahkan untuk urusan pendanaan, mereka pun bergotong royong. Gabah-gabah dikumpulkan, begitu juga uang.
"Terserah mau memberikan berapa, yang penting dikumpulkan," tutur Sirajuddin. Masing-masing RT menyumbang untuk pesta adat ini, biasanya sekitar Rp 1 juta," tambah Sibali, penduduk RT 04 Moncongloe Lappara.
Masing-masing penduduk membawa hasil panen mereka, minimal dua piring beras ketan (songkolo).
Acara dimulai dari sekitar kompleks Makam Gallarang Moncongloe. Makanan itu lalu dibawa ke makam itu, tempat adu betis diselenggarakan. Piring-piring digelar. Bungkusan makanan dibuka. Lalu penduduk makan bersama-sama. Mereka menikmati hasil panen yang telah menguras tenaga mereka.
Seusai acara di sekitar makam leluhur mereka tersebut, penduduk berduyun-duyun kembali ke kampung masing-masing. Biasanya mereka berkumpul di rumah pemangku adat.
Diiringi alunan pukulan lesung, makanan pun kembali dihidangkan. Yang paling menonjol adalah hidangan padi muda. Rasanya manis karena dicampur gula. Pada saat pesta itu, semua penduduk menyiapkan makanan. "Semua pintu rumah penduduk terbuka untuk siapa saja yang datang," imbuh Sirajuddin. Jadi, tamu-tamu dipastikan tak bakal kelaparan.
Sumber : Kompas
Adu betis (mappalanca) sebetulnya tidak berdiri sendiri. Ia merupakan rangkaian dari sebuah pesta tahunan yang banyak dijumpai di masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk di Moncongloe. Yaitu pesta panen sebagai rasa syukur kepada Allah setelah berhasil melakukan panen padi.
"Mappalanca adalah permainan rakyat yang biasa dilakukan setelah masa panen," ungkap Prof Abu Hamid.
Lahan-lahan persawahan di Moncongloe sebetulnya merupakan tanah- tanah kering. Penduduk hanya mengandalkan air hujan, karena itu sawah-sawah di Moncongloe pun pada umumnya berupa sawah tadah hujan. Panen hanya sekali dalam setahun.
Meski masuk wilayah administrasi Kabupaten Maros, tetapi kawasan Moncongloe justru lebih dekat dengan Kota Makassar. Untuk mencapai daerah tersebut dari Makassar tak perlu melewati Kota Maros, melainkan melewati Panakkukang-Todopoli-Antang dan terus ke Moncongloe.
Di musim kemarau, bekas-bekas lahan persawahan di Moncongloe terlihat tandus. Tidak ada air. Yang terlihat hanya rumput-rumput liar yang juga mengering. Tidak ada petani yang berani mengolah lahan di kala musim kering itu. Yang terlihat hanya ternak kambing yang berkeliaran merumput di lahan-lahan tersebut. Jalan-jalan kampung yang masih berupa tanah pun berdebu, terutama bila dilintasi kendaraan bermotor.
Masa tanam padi antara Desember sampai Juni. Penduduk Moncongloe umumnya memanen padi sekitar Juli. "Setelah itu, kami melakukan pesta panen. Sebagai rasa syukur sekaligus untuk tolak bala. Dengan acara ini, kami berharap kejadian buruk di masa depan tidak akan terjadi," tutur Haji Gendra, pemangku adat Moncongloe Lappara.
Pesta panen biasanya diselenggarakan setiap Agustus. Ini terasa lengkap karena kemeriahan pesta rakyat ini bertambah seiring dengan pesta tahunan Agustusan (HUT kemerdekaan RI).
Dalam pesta panen tersebut biasanya ditampilkan beberapa atraksi. Selain adu betis dan sepak takraw (paraga), ada juga acara tumbuk padi muda (akdengka ase lolo).
Dalam upacara menumbuk padi ini bukan hanya dilakukan oleh gadis-gadis muda yang menumbuk lesung sehingga menimbulkan bunyi-bunyian merdu dan berirama, tetapi juga pria-pria muda. Untuk ikut ambil bagian dalam acara itu, mereka wajib mengenakan busana adat. Yang perempuan mengenakan baju bodo aneka warna. Begitupun yang laki-laki, mengenakan jas warna-warni, songkok, dan sarung.
Karena tradisi itu diikuti orang sedusun maka acara pun dirancang tidak main-main. Dibentuklah panitia, biasanya terdiri dari anak-anak muda baik lelaki maupun perempuan.
Sebagai ungkapan rasa syukur, tentu saja semua penduduk merasa terlibat. Bahkan untuk urusan pendanaan, mereka pun bergotong royong. Gabah-gabah dikumpulkan, begitu juga uang.
"Terserah mau memberikan berapa, yang penting dikumpulkan," tutur Sirajuddin. Masing-masing RT menyumbang untuk pesta adat ini, biasanya sekitar Rp 1 juta," tambah Sibali, penduduk RT 04 Moncongloe Lappara.
Masing-masing penduduk membawa hasil panen mereka, minimal dua piring beras ketan (songkolo).
Acara dimulai dari sekitar kompleks Makam Gallarang Moncongloe. Makanan itu lalu dibawa ke makam itu, tempat adu betis diselenggarakan. Piring-piring digelar. Bungkusan makanan dibuka. Lalu penduduk makan bersama-sama. Mereka menikmati hasil panen yang telah menguras tenaga mereka.
Seusai acara di sekitar makam leluhur mereka tersebut, penduduk berduyun-duyun kembali ke kampung masing-masing. Biasanya mereka berkumpul di rumah pemangku adat.
Diiringi alunan pukulan lesung, makanan pun kembali dihidangkan. Yang paling menonjol adalah hidangan padi muda. Rasanya manis karena dicampur gula. Pada saat pesta itu, semua penduduk menyiapkan makanan. "Semua pintu rumah penduduk terbuka untuk siapa saja yang datang," imbuh Sirajuddin. Jadi, tamu-tamu dipastikan tak bakal kelaparan.
Sumber : Kompas