Istilah PSK (Pekerja/Pelayan sex komersial) terasa lebih pas daripada pelacur, WTS, KKM ataupun penjaja cinta. Pelacur selama ini dianggap kata yang yang terlalu pedas dan tidak bagus kedengarannya. Maka muncul penghalusan kata menjadi WTS. Belakangan istilah WTS juga terasa sarkastik dan orangpun encari nama pengganti yang lebih puitis yaitu KKM (kupu-kupu malam) atau agak disamarkan penyebutannya dengan memakai beberapa istilah seperti penjaja cinta dan pramuria/pramucinta walau mungkin agak terkesan istilah ini dipaksakan.
Kata WTS dan pelacur jelas keliru dan terkesan kurang memenuhi rasa keadilan karena tidak ada padanan katanya untuk kaum lelaki. Istilah pelacur selama ini selalu saja dikaitkan dengan sosok wanita padahal pelacur artinya orang yang berbuat lacur, jadi itu tidak terikat jenis kelamin. Baik pembeli maupun penjuan sex itu dua-duanya bisa disebut pelacur, tidaak peduli apakah itu wanita atau lelaki. Demikian pula istilah WTS terkesan sangat diskriminatif sebab dalam kamus bahasa Indonesia tidak ada dijumpai istilah LTS (Lelaki Tuna Susila). Padahal dari segi istilah baik pria maupun wanita yang berbuat lacur (penjual ataupun pembeli sex) itu dalam norma kemasyarakatan kita yang masih berlaku disebut orang yang tidak memiliki jiwa kesusilaan (tuna susila). LTS juga sebenarnya tepat digunakan untuk lelaki penjual sex yang selama ini lebih populer menggunakan kata keren yang dipakai di barat, yaitu gigolo. Jadi sebenarnya kalau mau konsisten maka kata gigolo harus diterjemahkan sebagai Lelaki Tuna Susila.
SH.